Jambi Independent | 08 Januari 2011

Page 25

Jambi Independent

Sabtu, 08 Januari 2011

Mengurus Harga Cabai KERESAHAN masyarakat, terutama ibu-ibu, menyangkut urusan rasa pedas akhirnya sampai pada ubun-ubun. Ini setelah harga cabai yang terus merangkak naik beberapa pekan terakhir kini menyentuh harga fantastis; Rp 100 ribu per kilogram. Meski bukan kebutuhan pokok seperti beras, bagi penggemar rasa pedas, cabe adalah elemen menu yang tak bisa dipisahkan saat nasi tersaji di atas meja. Itulah kenapa, heboh akibat kelangkaan cabai sekarang ini sampai di manamana, tak hanya di dapur. Meski hanya cabai, persoalan ini sesungguhnya seperti labirin yang tak gampang dirunut jalan keluarnya. Ada banyak faktor penyebab melambungnya harga. Para pedagang sayur di pasar pun bisa bingung. Walaupun suplai dalam beberapa hari terakhir ini lancar-lancar saja, harga cabai tetap lebay. Jadi, ada faktor X yang biasanya dilakukan pedagang besar, dalam memperburuk bursa cabai di pasaran. Inilah yang akhirnya membuat para pedagang sayur di pasar-pasar tradisional kehi­ langan daya kulak. Mereka tak mampu membeli cabai dengan kapasitas seperti biasanya (ketika harga cabai di kisaran Rp 10 ribu) karena modal yang dibutuhkan tiba-tiba berlipat. Selain itu, pedagang khawatir terhadap kemungkinan harga yang potensial turun secara tiba-tiba. Atau, naik lebih tinggi lagi. Mungkin benar bahwa akar pokok permasalahan dari melambungnya harga lombok ini adalah terjadinya perubahan iklim. Cuaca yang tak menentu dan musim penghujan berkepanjangan mengakibatkan daerah-daerah sentra pengha sil cabai mengalami penurunan hasil produksi, bahkan gagal panen. Di Jawa Timur kondisinya diperburuk oleh dampak semburan abu vulkanik Gunung Bromo yang merusak lahan pertanian di beberapa daerah seperti Jember, Probolinggo, atau Lumajang. Karakter cabai yang mudah busuk dan gangguan transportasi akibat ba­n yak ruas jalan rusak (juga karena musim hujan berkepanjangan) adalah penyebab lain lagi yang menghambat pasokan. Tapi, benarkah keadaan seperti itu tak bisa diatasi dengan langkah antisipatif? Inilah kenyataan paradoksalnya. Negeri agraris yang sangat luas, yang sebagian besar penduduknya hidup dari bercocok tanam, ternyata acap dilanda kelangkaan hasil pertanian. Anehnya lagi, di saat lain, para petani juga menjerit tanpa daya akibat hasil panen melimpah, tapi harganya jatuh! Harga gabah, tebu, jagung, dan hasil pertanian lain pun bisa anjlok hingga begitu rendahnya. Bahkan, biaya tanam bisa jauh lebih tinggi dibanding hasil panen yang didapat para petani. Ironisnya, nasib petani yang terpuruk karena harga tebu yang tidak manis, harga gabah yang sangat rendah, misalnya, nyaris tak menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah. Para petani dan konsumen seperti dibiarkan terpelanting dan terperosok tanpa kendali dan intervensi pemerintah. Harga hasil panen yang sangat rendah atau sebaliknya, melambung tinggi, adalah kondisi yang sama-sama kurang menguntungkannya. Di era Orde Baru kita bisa secara rutin menyaksikan acara Kelompencapir di televisi yang menampilkan dialog antara presiden dan kelompokkelompok tani. Dibanding dialog politik acara itu memang relatif lebih kampungan. Tapi, bagi negara agraris seperti Indonesia, interaksi dan kepedulian pemimpin dalam mengurus tanaman cabai, misalnya, akan bisa menghindarkan negara ini dari persoalan sepele, tapi menggegerkan, se­ perti melambungnya harga cabai yang melampaui batas itu.(*)

- Zulkifli Nurdin puji HBA dan Fachrori. + Mudah-mudahan menjadi pemicu agar bisa lebih baik… - Masih sulit Kota Jambi raih Adipura. + Kuncinya: Saat tim penilai turun, Kota Jambi bersih pak…

grafis:djatmiko/jambi independent

Beberapa Catatan Penting tentang Program Satu Miliar Satu Kecamatan (Samisake)

Beri Kesempatan Kecamatan Berkompetisi Di antara sekian banyak program Gubernur Jambi Hasan Basri Agus dalam mewujudkan Jambi Emas 2015, terdapat satu program yang cukup menarik untuk dicermati. Yakni, Program Satu Miliar Satu Kecamatan (Samisake). Secara jujur saya mengakui program tersebut adalah program terobosan yang muncul dari ide brilian. Sepanjang survei maupun sear­ ching saya melalui internet, belum ada satu provinsi pun yang memiliki program seperti ini. Saya yakin dan percaya bahwa jika program ini betul-betul dilaksanakan secara sungguh-sungguh, hasilnya akan berpengaruh besar bagi percepatan pembangunan Provinsi Jambi ke depan. Program ini adalah program yang cukup membumi. Menurut hemat saya, suatu program bisa dikatakan baik dan benar manakala program tersebut bisa menciptakan kesejahteraan masyarakat. Dalam teori ekonomi, muara dari suatu aktivitas ekonomi adalah kesejahteraan masyarakat (welfare society). Oleh karenanya, apapun dan secanggih apapun programnya, jika hanya bagus pada tahapan ide tetapi tidak berhasil pada tahapan output dan outcome, maka program tersebut bisa dibilang gagal. Pengalaman menunjukkan bahwa Jambi sesungguhnya memiliki cukup banyak program yang bagus pada tahapan ide. Sebut saja program Patin Jambi dan replanting

O l e h

Dr. Haryadi, SE, MMS* (peremajaan) karet. Namun, begitu sampai pada pelaksanaan, program tersebut kelihatannya belum dapat dijalankan secara baik. Tak bisa dielakkan, akhirnya hasilnya pun tidak sesuai dengan tujuan. Ibarat duri, pangkalnya gemuk tapi sampai di ujungnya justru semakin mengecil bahkan tidak kelihatan sama sekali. Terkadang justru membahayakan. Idenya bagus tapi output-nya tidak ada. Mengapa demikian? Sebab, program tersebut memiliki lebih banyak unsur politis dibandingkan tujuan murni untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pola yang bagus adalah seperti sungai, semakin ke muara semakin lebar dan semakin banyak pula ikannya. Namun, menurut hemat saya ada beberapa hal yang patut menjadi perhatian Gubernur Jambi agar program tersebut bisa terlaksana secara baik dan benar. Pertama, melakukan persiapan program. Sebelum

program betul-betul diluncurkan, harus ada suatu kajian yang matang mengenai bentuk, pola, sistem, dan mekanisme pelaksanaan. Penyaluran dana program Samisake tersebut akan diberikan dalam bentuk apa? Apakah dalam bentuk uang langsung atau dalam bentuk fisik barang sesuai kebutuhan. Apakah polanya dengan penyaluran bertahap atau sekaligus? Apakah langsung melalui aparatur kecamatan atau disalurkan melalui instansi atau lembaga tertentu yang ditunjuk? Selanjutnya apakah dana Samisake tersebut diberikan sekaligus untuk setiap kecamatan atau secara bertahap. Jika dana Samisake tidak diberikan untuk semua kecamatan pada tahun yang bersamaan, maka harus ada mekanisme penunjukkan kecamatan yang akan dipilih. Berdasarkan informasi yang saya baca dari beberapa media, untuk 2011 ini dana Samisake akan disalurkan terhadap 52 kecamatan. Di antara 52 kecamatan tersebut, seluruh kecamatan di Kota Jambi akan mendapatkan kucuran dana pada 2011 ini. Sementara sisanya akan disalurkan kepada kecamatan yang ada di kabupaten. Setiap kabupaten akan ada empat sampai dengan enam kecamatan. Jika demikian, maka akan ada kecamatan yang mendapatkan penyaluran program ini lebih awal dan akan ada pula kecamatan yang mendapatkannya setelah beberapa tahun mendatang.

Menurut saya, untuk menetapkan kecamatan yang akan mendapatkan pengucuran dana Samisake, harus ada indikator, mekanisme, dan alasan yang jelas. Misalnya, apa yang menjadi dasar sehingga seluruh kecamatan di Kota Jambi mendapat kucuran dana pada 2011, dan mengapa di kabupatan/kota lainnya hanya empat sampai enam kecamatan. Intinya, harus ada penjelasan mengenai pertimbangan penunjukan kecamatan. Menurut saya, ada bagusnya program ini ditawarkan kepada semua kecamatan sehingga semua kecamatan bersaing untuk mendapatkan dana ini. Pertimbangan dalam menetapkan kecamatan terpilih bisa didasarkan pada (1) kelayakan program dan (2) urgensi program bagi masyarakat (apakah program ini merupakan program mendesak atau tidak). Proses seleksi seperti ini selain kelihatan lebih objektif juga bertujuan mendorong setiap kecamatan untuk menciptakan program-program yang terbaik dan mendesak dilakukan di kecamatan masing-masing. Dalam menilai program, harus pula dibatasi proporsi antara alokasi untuk dana insentif dan dana untuk program fisik. Selain itu, program fisik pun harus jelas. Jangan sampai alokasi dana satu miliar justru digunakan untuk pembangunan gedung. Agar program Samisake bisa mencapai tujuan dan tepat sasaran, maka program yang diprioritaskan adalah program yang mampu menciptakan dan memperluas lapangan kerja. Semakin ba­ nyak lapangan kerja tersedia, semakin berkurang pengangguran dan semakin menurun kemiskinan. Faktor lain yang juga harus mendapat perhatian adalah keseimbangan antara biaya administrasi dan biaya program ril. Suatu hal yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai untuk biaya administrasi dan honor justru lebih besar dibandingkan dengan dana riil untuk pembangunan. Sehubungan dengan hal ini, maka harus ada aturan atau payung hukum yang jelas, sistem pengawasan yang berkelanjutan sehingga program ini bisa terlaksana de­ ngan baik.(*) **Penulis adalah dosen Fakultas Ekonomi dan Pascasarjana Universitas Jambi.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.