Laporan Penelitian Hambatan Akses Masyarakat Miskin Terhadap Pendidikan Dasar di Kabupaten Bandung Panji Y Prasetya
Jl. Guntur Sari IV No.16 Telp/Faks : +62-22-7309987 Email : inisiatif@bdg.centrin.net.id Web : www.inisiatif.org
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ........................................................................................................................................ 1 RANGKUMAN EKSEKUTIF ............................................................................................................. 3 BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................................. 16 1.1.
Latar Belakang .................................................................................................................. 16
1.2.
Tujuan Penelitian ............................................................................................................. 17
1.3.
Metode Penelitian ............................................................................................................ 17
1.4.
Teknik Analisis Data ....................................................................................................... 18
1.5.
Struktur Laporan ............................................................................................................. 19
BAB II PENDIDIKAN DASAR DI KABUPATEN BANDUNG: GAMBARAN UMUM KEBIJAKAN DAN ANGGARAN ........................................................................................ 20 2.1. Akses Terhadap Pendidikan Dasar dalam Konteks Kebijakan ....................... 20 2.1.1. Konteks Kebijakan Pendidikan Dasar di Tingkat Nasional .................................... 20 2.1.2. Pendidikan Dasar di Kabupaten Bandung: Kebijakan dan Upaya Peningkatan Akses ................................................................................................................................................... 21 2.2. Gambaran Umum Belanja Sektor Pendidikan di Kabupaten Bandung......... 24 2.2.1. Alokasi Anggaran Pendidikan Kabupaten Bandung ................................................. 24 2.2.2. Struktur Belanja Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) Sembilan Tahun. ..................................................................................................................... 28 2.2.3. Belanja Peningkatan Akses ................................................................................................. 31 2.2.4. Pembiayaan Pendidikan: Alokasi Bantuan Biaya Personal ................................... 34 BAB III KINERJA PENDIDIKAN: SITUASI TERKINI PENCAPAIAN PENINGKATAN AKSES TERHADAP PENDIDIKAN DASAR DI KABUPATEN BANDUNG ............. 37 3.1.
Input Pendidikan: Ketersediaan Sarana dan Prasarana, Anggaran dan Sebaran Pemanfaatannya ............................................................................................. 37
3.2.
Analisis Output: Pencapaian Angka-angka dalam Upaya Peningkatan dan Pemerataan Akses ........................................................................................................... 43
1|Page
BAB IV HAMBATAN AKSES: REALITAS PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DASAR DI KABUPATEN BANDUNG ............................................................................................ 49 4.1.
Kesadaran Masyarakat Terhadap Pendidikan: Nilai-nilai dan Persepsi yang Melatarbelakanginya ...................................................................................................... 49
4.2.
Peran Berbagai Aktor dalam Mendorong dan Menghambat Anak Bersekolah.......................................................................................................................... 52
4.3.
Kemampuan dalam Membayar Layanan ................................................................. 56
4.4.
Penyedia Layanan dan Hambatan yang Mereka Lakukan ................................. 61
4.5.
Ketersediaan Sekolah dan Bagaimana Masyarakat Menjangkaunya ............ 63
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................................ 66 5.1.
Kesimpulan ........................................................................................................................ 66
5.2.
Saran ..................................................................................................................................... 68
2|Page
RANGKUMAN EKSEKUTIF
Pendahuluan Latar Belakang 1. Akses terhadap pendidikan dasar menjadi isu utama pembangunan dan berbagai upaya pengetasan kemiskinan di dunia, termasuk di Indonesia. Bila merujuk pada PP nomor 38/2007 dan permendiknas nomor 50/2007, keberhasilan upaya untuk meningkatkan dan memeratakan akses ini sangat bergantung pada bagaimana daerah dapat memformulasikan berbagai kebijakan, strategi dan program yang efektif dalam mengatasi permasalahan hambatan akses tersebut. Pada konteks kabupaten Bandung, meski memiliki strategi tersendiri dalam mencapai berbagai tujuan tersebut, pada kenyataannya permasalahan hambatan akses ini belum dapat terpecahkan sehingga upaya untuk mengkaji berbagai bentuk dan upaya pemerintah kabupaten Bandung dalam mengatasi permasalahan tersebut menjadi penting dilakukan guna memberi masukan untuk mengoptimalisasi kebijakan-kebijakan yang telah ada. Tujuan 2. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi berbagai kebijakan terkait upaya pemerintah daerah dalam menjamin masyarakat miskin untuk dapat mengakses pendidikan dasar, bagaimana mekanisme penganggaran yang dilakukan untuk menjamin hal tersebut, dan bagaimana keduanya berkontribusi dalam menghambat masyarakat miskin untuk mengakses pendidikan dasar, sekaligus mendokumentasikan berbagai permasalahan akses yang terjadi berdasar pada berbagai variabel akses: variabel penyedia layanan, variabel populasi pengguna layanan, dan variabel sumber daya layanan. Metodologi, Waktu dan Wilayah Penelitian 3. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian semipartisipatoris. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi literatur, wawancara mendalam, dan diskusi kelompok terfokus dengan waktu penelitian selama 3 bulan, antara april-juni 2010. Tujuh desa dipilih sebagai sampel, yaitu desa Cibodas kecamatan Solokanjeruk, desa Ciapus kecamatan Banjaran, desa Cikembang kecamatan Kertasari, desa Tarumajaya kecamatan Kertasari, desa Cileunyi Wetan kecamatan Cileunyi, desa Dukuh kecamatan Ibun, dan desa Mekarjaya kecamatan Pacet. Informan yang dipilih dalam penelitian ini adalah para stakeholder penyelenggara pendidikan dasar (kepala sekolah SD-SMP sederajat di tiap desa, kepala dinas/dewan pendidikan), kepala desa, tokoh masyarakat, dan masyarakat desa.
Kebijakan dan Anggaran Pendidikan Dasar Akses Terhadap Pendidikan Dasar dalam Konteks Kebijakan
4. Dalam konteks nasional, upaya peningkatan dan perluasan akses menjadi prioritas utama pembangunan di bidang pendidikan. Upaya pemerataan dan perluasan akses terhadap pendidikan yang bermutu ini diarahkan pada upaya perluasan daya tampung dan pemberian kesempatan yang sama kepada golongan masyarakat yang berbeda, baik secara ekonomi, gender, lokasi tempat tinggal, dan tingkat intelektual serta kondisi fisik. 5. Untuk melaksanakannya, pemerintah pusat menetapkan berbagai kebijakan strategis, antara lain pemberian dana BOS untuk semua siswa dan pemberian subsidi biaya personal bagi siswa miskin yang dialokasikan dari dana BOS, dan membangun SD-SMP satu atap di daerah-daerah terpencil dan berpenduduk jarang dan terpencar. Kebijakan strategis tersebut dijabarkan dalam beberapa kegiatan: pemberian BOS, rehabilitasi ruang kelas yang rusak, penyediaan USB dan RKB, perintisan pendidikan dasar 9 tahun satu atap dan SMP terbuka, serta penyelenggaraan kelas layanan khusus di sekolah dasar untuk anak yang putus sekolah atau sama sekali belum pernah sekolah dasar sampai tamat, dan pemberian bantuan melalui PKH. Sedangkan dalam konteks kebijakan tingkat propinsi, upaya untuk memperluas dan memeratakan akses terhadap pendidikan dasar, antara lain dilakukan dengan memprioritaskan pengadaan sarana penunjang KBM, pemberian dana BOS propinsi, dan pembangunan USB/RKB. 6. Upaya peningkatan kemampuan masyarakat dalam mengakses layanan pendidikan, khususnya pada sekolah negeri diselenggarakan dengan prinsip bebas biaya dan pemberian “perlakuan khusus” kepada siswa dari keluarga miskin, seperti yang diamanatkan dalam pasal 9 ayat 1 dan pasal 9 ayat 4 PP nomor 47/2008 tentang wajib belajar. Berbagai aturan tersebut dijewantahkan dalam pasal 118 ayat 2, 15 ayat 1 huruf (g), pasal 9 ayat 4 dan 121 ayat 1 perda nomor 26/2009 tentang penyelenggaraan sistem pendidikan di kabupaten Bandung, dimana satuan pendidikan milik pemerintah dilarang menarik biaya dalam bentuk apapun dan pemerintah wajib membebaskan segala biaya pendidikan bagi peserta didik dari keluarga tidak mampu antara lain melalui pemberian beasiswa dan/atau bantuan biaya pendidikan dari pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat. 7. Selain yang telah diamanatkan dalam perda nomor 26/2009, perda nomor 10/2008 juga menjabarkan berbagai “perlakuan khusus” lainnya. “Perlakuan khusus” tersebut yaitu upaya jaminan ketersediaan pelayanan pendidikan dasar kepada masyarakat miskin, percepatan penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun bagi keluarga miskin, percepatan pengembangan partisipasi masyarakat dan dunia usaha terhadap pendidikan bagi anak keluarga miskin, penyediaan skema pembiayaan bagi keluarga miskin untuk pendidikan anak usia dini hingga pendidikan sekolah menengah, percepatan program subsidi biaya penyelenggaraan pendidikan pada lembaga-lembaga pendidikan yang peduli keluarga miskin, percepatan penanganan siswa miskin putus sekolah melalui paket A, B, dan C, dan percepatan koordinasi dan fasilitasi program-program semua stakeholder yang berhubungan dengan pendidikan bagi anak keluarga miskin. 8. Banyaknya perlakuan khusus ini relevan dengan situasi masyarakat miskin di kabupaten Bandung terkait pendidikan, seperti yang dijabarkan dalam dokumen SPKD kabupaten Bandung tahun 2007-2009 dan peraturan Bupati nomor 7/2005. Berdasarkan dokumen tersebut, permasalahan ketimpangan akses 4|Page
antara masyarakat miskin dan non miskin disebabkan oleh keterbatasan jumlah sekolah yang layak untuk proses belajar mengajar, rendahnya mutu layanan pendidikan akibat kurangnya sarana dan prasarana yang memadai, ketersediaan dan kelayakan guru yang lebih terkonsentrasikan di daerah perkotaan, terbatasnya jumlah sekolah-sekolah lanjutan di daerah, kurangnya partisipasi masyarakat di bidang pendidikan, kurangnya kemauan dan kemampuan melanjutkan pendidikan diantaranya akibat kurang gizi dan dukungan sosial budaya masyarakat, tingginya biaya penunjang pendidikan seperti pengadaan buku, seragam dan transportasi, dan kurangnya keterpaduan antara kebutuhan lapangan pekerjaan dengan pendidikan yang dilaksanakan, ketidakmampuan dalam membayar sekolah, kurangnya motivasi dan rendahnya kesadaran terhadap pendidikan, ketidaksampaian informasi mengenai beasiswa dan keringanan biaya pendidikan; biaya jajan yang tinggi, lokasi sekolah yang jauh, terutama pada komunitas di lokasi-lokasi terpencil, tidak pernah hadirnya petugas penyuluh pendidikan, sulitnya mencari angkutan umum, biaya transportasi yang tinggi, dan biaya penunjang pendidikan (buku, seragam) yang dianggap mahal. 9. Dari berbagai peraturan perundang-undangan serta arah kebijakan dan program tersebut, pendidikan diselenggarakan dengan menganut prinsip diskriminasi positif terkait perbedaan perlakuan berdasarkan kriteria kesejahteraan (unequal treatment of unequals). Hal ini dilakukan karena masyarakat miskin memiliki kebutuhan dan permasalahan yang berbeda dibandingkan dengan kelompok lainnya, dengan tujuan menciptakan outcome equality di antara kelompok-kelompok yang berbeda-beda tersebut. Gambaran Umum Belanja Sektor Pendidikan di Kabupaten Bandung 10. Berdasarkan Perda nomor 26 tahun 2009, pemerintah daerah memiliki kewajiban memberikan dana guna penuntasan wajib belajar sembilan tahun. Perda tersebut menegaskan bahwa pendanaan pendidikan ini bersumber dari APBN dan APBD propinsi dan kabupaten, dimana APBD kabupaten wajib mengalokasikan dana sekurang-kurangnya 20% diluar belanja pegawai dan DAK dan tidak termasuk gaji pendidik serta biaya kedinasan. Berbagai komposisi dana tersebut digunakan untuk mendanai keseluruhan biaya penyelenggaraan pelayanan pendidikan pada sekolah negeri, memberi bantuan dana untuk sekolah swasta dan pembebasan segala biaya pendidikan bagi peserta didik dari keluarga tidak mampu. 11. Dalam pelaksanaannya, pemerintah kabupaten Bandung mengalokasikan anggaran yang sangat besar untuk belanja pada sektor pendidikan, dengan rata-rata sebesar 42,31% dari total belanja APBD. Dengan alokasi dana sebesar itu, belanja pendidikan merupakan belanja dengan porsi terbesar dalam struktur penganggaran APBD. 12. Meski total alokasi belanja pendidikan besar, berdasar komposisinya, ternyata penggunaannya belum memenuhi ketentuan pada pasal 120 perda nomor 26/2009. Hal ini karena alokasi terbesar dari porsi belanja tersebut digunakan untuk belanja pegawai (belanja tidak langsung). Persentase belanja tidak langsung terhadap total belanja APBD ini sangat tinggi, yaitu mencapai lebih dari 35% pertahun. Sedangkan untuk belanja program (belanja langsung), rata-rata persentase terhadap total belanja APBD hanya 6,73% pertahun. Dengan perbedaan 5|Page
yang signifikan antara belanja langsung dan tidak langsung tersebut, porsi belanja tidak langsung dalam struktur belanja sektor pendidikan sangat tinggi, yaitu mencapai lebih dari 80%. 13. Alokasi belanja langsung ini semakin rendah apabila kita menilainya berdasar harga riil. Pada tahun 2008 misalnya, dengan nominal alokasi belanja sebesar 110 milyar, adanya inflasi sebesar 10% pada tahun tersebut membuat secara riil, alokasi belanjanya hanya sebesar 83 milyar saja. Meski demikian, perbedaan nilai nominal dan riil yang paling mencolok ditemui pada belanja tidak langsung, dimana pada tahun tersebut, dengan nominal belanja sebesar 560 milyar, harga riil-nya hanya 419 milyar. 14. Adanya peningkatan jumlah alokasi belanja sektor pendidikan ternyata juga tidak serta-merta membuat alokasi belanja langsung meningkat. Pada tahun 2009, meski terjadi peningkatan alokasi belanja pendidikan sebesar 7,6%, alokasi belanja langsung justru mengalami penurunan sebesar 29% dimana belanja langsung meningkat sebesar 14,8%. Dengan demikian, proporsi tersebut membuktikan penggunaan anggaran tidak efektif. 15. Di dalam struktur belanja langsung, pemerintah daerah di nilai telah melakukan upaya untuk menjadikan pendidikan dasar sebagai prioritas utama pembangunan di bidang pendidikan. Hal ini terlihat dari sangat besarnya persentase porsi belanja program wajar dikdas dibandingkan program layanan pendidikan lainnya, yaitu lebih dari 80%. 16. Namun, struktur kegiatan dalam program wajar dikdas ini sebagian besar dialokasikan untuk kegiatan terkait pembangunan fisik. Kegiatan dengan jumlah alokasi terbesar dalam program ini pada empat tahun pengamatan adalah rehabilitasi sedang/berat ruang kelas sekolah, pembangunan perpustakaan sekolah, penambahan ruang kelas, penyediaan dana BOS dan pembangunan gedung sekolah sebesar 33%, 16%, 12%, dan 5%. Sedangkan kegiatan lainnya (22 kegiatan), nominal belanjanya dibawah 5%. 17. Berdasar sustainabilitas alokasi belanja, upaya peningkatan akses (non fisik) dilakukan dengan penyelenggaraan 5 kegiatan, sedangkan upaya terkait penyediaan sarana-prasarana dan mutu masing-masing sebanyak 5 dan 3 kegiatan. Kegiatan-kegiatan tersebut adalah penyediaan buku dan alat tulis siswa, pembinaan SMP terbuka, penyelenggaraan paket A, paket B, pengadaan alat praktik dan peraga siswa, dan penyediaan dana BOS. Kegiatan terkait pembangunan fisik (sarana prasarana) tetap merupakan alokasi terbesar dibandingkan kegiatan terkait akses dan mutu. Belanja Peningkatan Akses 18. Dalam struktur belanja pendidikan dasar, ada kecenderungan pemerintah kabupaten Bandung untuk menggolongkan berbagai kelompok belanja terkait fisik (sarana-prasarana) sebagai strategi utama upaya peningkatan akses. Hal ini penting untuk diperhatikan karena berdasarkan dokumen anggaran yang ada, belanja fisik memiliki nominal yang jauh lebih besar dibandingkan belanja non fisik. Berbagai belanja tersebut adalah pembangunan gedung sekolah, penambahan ruang 6|Page
kelas sekolah, dan penambahan ruang kelas baru SMP/MTs/SMPLB. Kegiatan rehabilitasi sedang/berat ruang kelas sekolah juga dianggap sebagai upaya peningkatan akses oleh pemerintah kabupaten Bandung. 19. Dengan demikian, meski belanja peningkatan akses memiliki jumlah kegiatan terbanyak (11 dari 27 kegiatan), pada kenyataannya nominal terbesar ada pada kegiatan-kegiatan terkait pembangunan fisik. Terlebih bila kegiatan rehabilitasi sedang/berat ruang kelas juga diperhitungkan sebagai upaya peningkatan akses, porsi belanja peningkatan akses ini merupakan porsi terbesar dibandingkan dengan kelompok belanja lainnya. Dan apabila berbagai kegiatan terkait fisik tersebut tidak digolongkan sebagai belanja peningkatan akses, jumlah kegiatannya hanya sebanyak 8 kegiatan dan nominal alokasi belanjanya menurun signifikan, seperti pada tahun 2008, dari 24,11 milyar menjadi 1,66 milyar rupiah saja. 20. Proporsi belanja tersebut jelas membuktikan bahwa pemerintah daerah memiliki alokasi anggaran yang sangat minim untuk memberi jaminan pembebasan biaya sekolah berstatus negeri, dan membebaskan segala biaya pendidikan bagi masyarakat miskin. Jenis alokasi belanja yang menjadi “tumpuan� untuk melaksanakan berbagai upaya tersebut adalah BOS. Namun, dalam kenyataannya, pemerintah kabupaten Bandung tidak tiap tahun menganggarkan dana BOS, dan nominal alokasinya yang tidak menentu dimana pada tahun 2007, hanya dianggarkan sebesar 668 juta rupiah, meski di tahun 2009 dan 2010 meningkat menjadi 21,57 milyar dan 21,73 milyar. 21. Nominal belanja untuk kegiatan lain terkait dengan upaya peningkatan akses untuk kegiatan non-fisik (selain BOS) jumlahnya sangat kecil. Kegiatankegiatan tersebut adalah pengadaan buku dan alat tulis siswa, pengadaan alat praktik dan peraga siswa, pembinaan SMP terbuka, penyediaan buku pelajaran, penyelenggaraan paket A dan B serta penyebarluasan dan sosialisasi berbagai informasi pendidikan. Dari berbagai kegiatan tersebut, alokasi terbesar dianggarkan untuk penyelenggaraan paket B sebesar 936 juta pertahun, dan pengadaan alat praktik dan peraga sebesar 506 juta pertahun, sedangkan kegiatan lainnya memiliki alokasi di bawah 200 juta pertahun. 22. Pada penyelenggaraan paket B, meski memiliki nominal kecil, jumlah alokasi yang tinggi dibandingkan dengan alokasi belanja kegiatan lainnya (selain BOS) dalam struktur belanja peningkatan akses memperlihatkan bahwa pemerintah kabupaten Bandung memberi prioritas yang besar dalam upaya memeratakan kesempatan memperoleh pendidikan setingkat SMP pada jalur non-formal. Alokasi belanja untuk penyelenggaraan paket B ini juga dianggarkan dari dana pemerintah pusat dan propinsi, namun dengan jumlah yang sangat kecil, dimana pada tahun 2008. Pemerintah propinsi hanya memberi dana sebesar 1,56 juta rupiah. Dengan alokasi sebesar 798,64 juta di tahun 2007, pemerintah daerah berhasil menyelenggarakan paket B untuk 2.960 orang dan berkontribusi meningkatkan APM sebesar 1,63%. Pembiayaan Pendidikan: Alokasi Bantuan Biaya Personal
7|Page
23. Berdasarkan analisis yang telah dikemukakan, pemerintah daerah hanya memiliki kontribusi yang sangat terbatas terhadap upaya untuk mengatasi hambatan biaya personal masyarakat miskin. Terlebih dengan adanya kenyataan bahwa penggunaan anggaran tidak efisien dan efektif. Upaya pemerintah kabupaten Bandung untuk mengatasi biaya personal ini dilakukan hanya dengan pemberian dana BOS. 24. Meski pemberian beasiswa dan bantuan biaya pendidikan diamanatkan dalam peraturan daerah, pada dokumen APBD kabupaten Bandung, tidak ada kegiatan yang secara eksplisit menerangkan adanya pemberian bantuan tersebut dalam program wajar dikdas. Pemberian beasiswa dan bantuan biaya pendidikan hanya dilakukan oleh pemerintah propinsi dan pusat. Misalnya dalam alokasi dana dekonsentrasi dimana pada tahun 2008, pemerintah propinsi Jawa Barat menganggarkan kegiatan pemberian bantuan terkait program menuju Jabar bebas putus sekolah untuk 3321 siswa SD dan SMP sejumlah 1,6 milyar rupiah, dan penyelenggaraan SMP terbuka. Penyelenggaraan PKH juga salah satu bentuk bantuan yang diberikan untuk mengatasi biaya personal ini, dengan anggaran sebesar 2 milyar di tahun 2008. 25. Dengan alokasi bantuan yang terbatas tersebut, hambatan biaya masih menjadi keniscayaan. Jumlah beban biaya ini setidaknya terlihat pada data statistik pendidikan tahun 2007/2008, dimana total pendapatan dari sumbangan orang tua yang dipungut oleh sekolah adalah sebesar 6,9 milyar rupiah, untuk jenjang pendidikan SD/MI negeri dan swasta. Sedangkan pada jenjang SMP, jumlah penerimaannya sebesar 10,7 milyar. Jumlah terbesar dari pendapatan ini di dapat dari uang iuran lainnya (diluar uang pangkal dan uang komite sekolah). Penerimaan uang iuran selain uang pangkal dan komite sekolah yang jauh lebih besar ini adalah karena adanya kontribusi pemasukan yang dilakukan oleh sekolah negeri kepada orang tua murid. 26. Dari struktur anggaran yang demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan dasar-pun, pemerintah kabupaten masih sangat tergantung pada bantuan dari pemerintah pusat. Dalam komposisi total penerimaan yang didapatkan satuan pendidikan, pemerintah kabupaten Bandung hanya berkontribusi sebesar 2 milyar (di luar gaji) dan pemerintah propinsi yang hanya sebesar 1,1 milyar rupiah. Sedangkan pemerintah pusat, meski tinggi, sebesar 96,9 milyar, 93 milyar-nya dialokasikan untuk dana BOS.
Kinerja Pendidikan Input Pendidikan: Ketersediaan Sarana dan Prasarana, Anggaran dan Sebaran Pemanfaatannya 27. Terjadi ketimpangan yang cukup besar pada jumlah SD dan SMP, terutama bila merujuk pada komposisi antara negeri dengan swasta. Jumlah SD negeri sebesar 1362 unit, sedangkan SMP negeri sebesar 77 unit saja di tahun 2010. Pada jenjang SD, jumlah sekolah yang berstatus negeri jauh lebih tinggi dibandingkan swasta, yaitu 1362:191, sedangkan pada jenjang SMP, jumlah sekolah berstauts swasta jauh lebih besar, yaitu 77:334. 8|Page
28. Dalam penyediaan unit sekolah, pemerintah kabupaten Bandung lebih memprioritaskan kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan sekolah swasta secara signifikan, dan mengurangi kontribusinya dalam penyediaan layanan pendidikan berstatus negeri. Berdasar kecenderungan, pertumbuhan sekolah swasta baik pada jenjang SD/MI maupun SMP/MTs lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah berstatus negeri. Rasio pertumbuhan sekolah pada jenjang SMP/MTs negeri terhadap sekolah swasta adalah 1:2, sedang pada jenjang SD/MI sebesar -16:13. 29. Kesenjangan jumlah sekolah antar kecamatan dan antar jenjang sekolah juga sangat tinggi. Hal ini terlihat dari tingginya perbedaan antara kecamatan yang memiliki rasio tertinggi dan terendah, dimana pada jenjang SD sederajat, rasio terendah adalah sebesar 1:157 di kecamatan Katapang dan tertinggi di Kertasari, sebesar 1:364. Sedangkan SMP sederajat, rasio terkecil terdapat di kecamatan Cimenyan, sebesar 1:193 dan tertinggi di Katapang, sebesar 1:619. Meski demikian, apabila diasumsikan keseluruhan penduduk bersekolah, rasio tertinggi terdapat di kecamatan baleendah sebesar 1:451 (untuk SD sederajat) dan Kertasari sebesar 1:921 (untuk SMP sederajat). 30. Selain itu, penyebaran jumlah ruang kelas di tiap kecamatan juga tidak merata, dimana ada wilayah yang mengalami kekurangan ruang kelas dan ada yang digunakan tidak optimal. Permasalahan ini terutama terlihat pada jenjang SMP sederajat, dimana sebagian besar kecamatan sangat kekurangan ruang kelas, terutama di kecamatan Margaasih. Ada juga kecamatan yang distribusi murid-nya tidak merata, seperti di kecamatan Pamengpeuk, dimana ada sekolah yang memiliki murid berlebih dan ada sekolah yang kekurangan murid. 31. Pemerintah kabupaten Bandung telah berupaya mengatasi keterbatasan ruang kelas ini, namun penggunaan anggarannya tidak efisien. Ini terlihat dengan perbandingan antara jumlah anggaran dengan ruang kelas yang berhasil dibangun, dimana 1 ruang kelas menghabiskan anggaran sebesar 509 juta rupiah. 32. Besarnya jumlah sekolah yang rusak berat juga merupakan permasalahan yang menjadi pokok perhatian pemerintah daerah. Hal ini karena banyaknya jumlah ruang kelas yang rusak (2474 unit di tahun 2008) dan anggaran yang dialokasikan untuk rehabilitasi ruang kelas merupakan jumlah nominal tertinggi dibandingkan pengeluaran lainnya. Kecamatan yang memiliki jumlah kelas rusak berat paling tinggi adalah kecamatan Pangalengan, yaitu sebanyak 253 ruang kelas untuk jenjang SD/MI negeri. 33. Apabila tidak ada perubahan arah kebijakan yang signifikan oleh pemerintah kabupaten Bandung, proporsi anggaran untuk rehabilitasi ruang kelas ini akan tetap menjadi irisan anggaran terbesar dibandingkan dengan kegiatan lainnya dalam program wajar dikdas pada tahun-tahun mendatang. Hal ini mengingat masih banyaknya ruang kelas yang rusak dan potensi meningkatnya status rusak ringan menjadi rusak berat. Dengan kemampuan realisasi anggaran sebesar 12,67 milyar pertahun, akan membutuhkan waktu setidaknya 23 tahun lagi untuk memperbaiki ruang kelas tersebut, atau dengan menyediakan anggaran sebesar 537,25 milyar rupiah.
9|Page
Analisis Output: Pencapaian Angka-angka dalam Upaya Peningkatan dan Pemerataan Akses 34. Meski dengan berbagai kekurangan yang ada tersebut, pada kenyataannya, pemerintah kabupaten Bandung telah berhasil meningkatkan angka IPM, APM, APK dan RLS. RLS meningkat dari 8,03 di tahun 2004 menjadi 8,87 di tahun 2009, sedangkan APK jenjang SD, naik 13,28 poin di tahun 2009 dan jenjang SMP naik 16,38 poin, meski APM pada jenjang ini turun sebesar 1,44 poin. Angka IPM juga naik tiap tahun, dengan kenaikan rata-rata sebesar 0.79 pertahun. 35. Namun, permasalahan yang terjadi adalah kesenjangan pencapaian tersebut di tiap-tiap kecamatan, dengan perbandingan yang cukup besar. Pada janjang SD sederajat, kecamatan yang memiliki APK dan APM tertinggi di tahun 2009 adalah kecamatan Margahayu, sebesar 146,90% dan 125,05% sedangkan terendah di kecamatan Cilengkrang, sebesar 77,80% dan 66,82%. Ketimpangan yang tinggi terjadi pada jenjang SMP dengan persentase terbesa di kecamatan Dayeuhkolot, sebesar 111,03% dan 77,77%, sedangkan terendah di Cilengkrang, 28,75% dan 20,92%. 36. Masalah lainnya adalah masih ditemukan berbagai kasus putus sekolah. Pada tahun 2009, ada 113 siswa SD dan 658 siswa SMP yang putus sekolah. Meski menurun dari tahun 2008, kemugkinan terjadinya putus sekolah masih tetap tinggi meski terjadi kenaikan angka partisipasi apabila sumber kerentanan yang mengakibatkan siswa mengalami putus sekolah tidak diatasi. 37. Laki-laki merupakan kelompok dengan jumlah angka putus sekolah yang besar, baik pada jenjang SD sederajat, maupun SMP. Perbedaan angka putus sekolah ini berbeda-beda di tiap-tiap kecamatan. Pada tingkat SD, kecamatan Ibun merupakan kecamatan tertinggi angka putus sekolah di tahun 2008, sedangkan tahun 2009, Pangalengan merupakan kecamatan yang paling tinggi tingkat putus sekolahnya. Pangalengan merupakan kecamatan yang paling memprihatinkan karena pada dua tahun tersebut tidak ada penurunan signifikan pada jumlah anak putus sekolah. Sedangkan pada jenjang SMP sederajat, perbedaan jumlah putus sekolah sangat kontras. Beberapa kecamatan yang paling tinggi tingkat putus sekolahnya adalah Ciparay, Ibun, Kertasari, dan Pangalengan. 38. Angka ketimpangan IPM juga tinggi, dimana pada tahun 2009, hanya ada 7 kecamatan yang IPM-nya berada di atas angka kabupaten. Kecamatan dengan IPM terendah adalah Kertasari, Rancabali, Cikancung, Pacet, dan Solokanjeruk. Kecamatan tersebut rendah karena wilayah tersebut memiliki infrastruktur yang kurang memadai, merupakan daerah rural yang berpengaruh pula terhadap tingkat kesadaran akan pendidikan dan kemampuan untuk memperoleh pekerjaan memadai yang jauh lebih sulit.
Realitas Penyelenggaraan Pendidikan Dasar Kesadaran Masyarakat Terhadap Pendidikan: Nilai-nilai dan Persepsi yang Melatarbelakanginya
10 | P a g e
39. Secara umum kesadaran masyarakat mengenai pentingnya menyekolahkan anak pada jenjang pendidikan dasar telah baik. Tingginya kesadaran ini membuat hampir keseluruhan anak usia 7-12 tahun di desa-desa yang diteliti bersekolah dan cukup banyak anak usia 13-15 tahun yang tetap bersekolah. 40. Faktor ekonomi merupakan motivasi utama yang mendorong orang tua dari kelompok miskin untuk menyekolahkan, atau tidak menyekolahkan anak mereka. Bagi mayoritas masyarakat miskin yang menganggap sekolah itu penting, memiliki pendangan bahwa “ketidakberuntungan hidup” yang mereka alami disebabkan karena pendidikan yang mereka miliki rendah. Pendidikan dianggap dapat merubah “nasib” anaknya menjadi lebih baik, melalui kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. 41. Bagi masyarakat miskin yang menganggap pendidikan merupakan hal yang tidak penting, didorong oleh adanya kenyataan bahwa dilingkungan tempa tinggalnya banyak lulusan sekolah formal yang menganggur, bekerja serabutan dan tidak memiliki harta benda yang banyak. Pencapaian akan pendidikan di anggap tidak berarti apa-apa dengan membandingkan bahwa ada tetangga mereka yang meski tidak mengenyam pendidikan formal, namun berhasil secara ekonomi—memiliki rumah yang besar, kendaraan lebih dari satu, pabrik, dan uang banyak. Hal ini mendorong masyarakat berfikiran negatif, dengan menganggap pendidikan hanya membuang uang dan waktu tanpa kepastian akan masa depan yang lebih baik, karena mereka menganggap bisa menjadi kaya raya meski tanpa bersekolah. 42. Pada kelompok masyarakat miskin lainnya, terutama buruh (buruh serabutan, buruh tani, buruh pabrik), persepsi bahwa pendidikan itu tidak penting adalah karena status sebagai lulusan sekolah tidak banyak menjamin adanya peningkatan kesempatan mendapat pekerjaan lebih baik. Selain menganggap tidak adanya pilihan pekerjaan yang lebih baik bila bersekolah, terbukanya kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan tanpa menunjukkan ijasah sekolah formal, seperti pekerjaan sebagai TKI dan buruh pabrik dengan adanya jasa “membayar orang dalem” dan “ijasah palsu” juga merupakan salah satu faktor pendorongnya. 43. Mayoritas kelompok masyarakat miskin yang memiliki pandangan bahwa pendidikan itu tidak penting memiliki latar belakang pendidikan yang rendah. Orang tua tidak merasakan pentingnya menyekolahkan anak karena merekapun tidak pernah mendapatkan pendidikan formal, terutama karena alasan keterbatasan ekonomi dan ketiadaan figur individu yang bersekolah tinggi dan berhasil dari segi ekonomi. 44. Penting tidaknya pendidikan juga dinilai berdasarkan untung rugi yang mereka dapatkan dalam hal ekonomi. Pendidikan adalah perkara mengorbankan uang dan waktu yang mereka miliki saat ini untuk hal yang belum dapat dirasakan atau didapatkan pada masa mendatang. Meski ada kebijakan pendidikan gratis, ada opportunity cost yang masih dirasa mahal untuk dikorbankan dengan bersekolah, seperti pungutan-pungutan sekolah, buku tulis, ongkos, uang jajan dan lainnya, maupun karena adanya kesempatan untuk mendapatkan tambahan penghasilan yang terbuang karena bersekolah. 11 | P a g e
45. Secara umum, tidak ada diskriminasi kesempatan memperoleh pendidikan (tingkat SD dan SMP sederajat) terhadap perempuan. Laki-laki merupakan kelompok yang banyak mengalami putus sekolah dan tidak melanjutkan sekolah karena mereka memiliki kemampuan (tenaga) yang lebih, dan perempuan lebih sedikit karena mereka memiliki kesempatan yang lebih baik untuk bekerja sebagai buruh pabrik. Laki-laki cenderung ingin membantu orang tua mencari uang karena merasakan beban ekonomi yang berat, atau diminta membantu mencari uang oleh orang tuanya, seperti bekerja di sawah dan ladang, terutama pada masa panen. 46. Perasaan malu untuk bersekolah kembali setelah lama tidak bersekolah juga menjadi hambatan penting yang mendorong kejadian putus sekolah. Setelah selesai masa panen misalnya, mereka malu masuk sekolah kembali karena telah lama membolos. Selain itu, situasi dimana anak sudah mengerti uang dan bisa menghasilkan uang sendiri juga mendorong mereka untuk malas bersekolah. Peran Berbagai Aktor dalam Mendorong dan Menghambat Anak Bersekolah 47. Perangkat desa, terutama kepala desa memiliki peran yang signifikan dalam meningkatkan kepesertaan masyarakat terhadap pendidikan. Cara yang dilakukan para aparat desa tersebut sangat beragam, mulai hanya sekedar sosialisasi atau penyuluhan yang dilaksanakan pada berbagai forum desa, hingga membentuk atau menginisiasi terbentuknya unit kegiatan belajar/mengajar dan pembentukan paguyuban yang mencurahkan perhatian terhadap masalah pendidikan di desa tersebut. 48. Sosialisasi atau penyuluhan merupakan upaya standar yang dilakukan, meski dampaknya berbeda-beda tergantung bagaimana upaya yang dilakukan oleh kepala desa untuk meyakinkan masyarakat akan pentingnya pendidikan. Di desa yang kepala desanya kurang menaruh perhatian terhadap pendidikan, peran ketua RT/RW atau tokoh pendidikan menjadi penting. Misalnya, pada tokoh pendidikan, dengan memanfaatkan lembaga pendidikan yang ia miliki, seperti playgroup atau pengajian, orang tua siswa diberikan pemahaman terus-menerus mengenai pentingnya pendidikan. 49. Lingkungan bertetangga dapat mendorong atau menghambat kepesertaan seseorang di dalam pendidikan. Lingkungan bertetangga ini dapat mempengaruhi terutama karena karakteristiknya yang masih memiliki pertalian darah di antara para tetangga, ataupun ikatan kekeluargaan yang erat di antara tetangga. Permasalahan seperti kesulitan dalam membayar sekolah dapat diatasi dengan berhutang kepada tetangga, ataupun memberi teguran kepada tetangga yang anaknya tidak sekolah. 50. Pengaruh teman sebaya juga menjadi faktor penghambat dalam menyekolahkan anak. Berdasar penuturan beberapa orang tua, anaknya putus sekolah bukan karena alasan ketidakmampuan membayar, namun karena pengaruh temannya yang membuat anaknya malas bersekolah dan senang bermain. Adanya penyewaan playstation juga menjadi pemicu malasnya anak bersekolah dan lebih senang bermain.
12 | P a g e
51. Tingkat kepedulian orang tua juga merupakan faktor yang mempengaruhi kepesertaan anak di sekolah. Anak kurang diperhatikan karena orang tuanya sibuk bekerja, sehingga kurang memiliki waktu untuk memperhatikan perkembangan pendidikan anak-anak mereka. Kurangnya perhatian tersebut membuat anak memiliki motivasi yang rendah untuk bersekolah. Banyak orang tua dari masyarakat miskin lebih mendidik anaknya untuk mencari uang dibandingkan bersekolah, seperti dengan mengajaknya membantu di ladang sehingga sering membolos sekolah, ataupun menjadi TKI. 52. Konflik dalam rumah tangga juga mengakibatkan pendidikan anak terganggu. Pada beberapa temuan, konflik seperti perceraian, bapak yang sering berprilaku kasar, mabuk-mabukan atau berjudi, memiliki istri lebih dari satu menyebabkan pendidikan anak menjadi terbengkalai. 53. Dorongan pihak sekolah hanya dilakukan kepada orang tua yang bersekolah saja. Dorongan ini hanya sebatas himbauan pada saat digelar pertemuan antara sekolah dengan wali murid. Meski demkian, ada guru-guru yang memang mencurahkan perhatian yang lebih kepada anak muridnya dengan datang ke rumah orang tuanya. Namun, efektifitas penyuluhan ini pada akhirnya sangat tergantung pada situasi ekonomi orang tua murid, dan sekolah ataupun guru tidak dapat berbuat banyak mengatasi masalah ini. Kemampuan dalam Membayar Layanan 54. Dengan indeks daya beli yang rendah dan sumber pendapatan yang tidak menentu dan memadai, masyarakat miskin di desa-desa tersebut memiliki permasalahan ekonomi yang sangat mempengaruhi kepesertaan anak mereka di sekolah. Dengan pendapatan yang demikian, mereka masih harus mengeluarkan uang sekolah. Mayoritas sekolah negeri memang tidak membebankan uang pendaftaran dan iuran perbulan, meski pada beberapa sekolah tetap memungutnya. Sedangkan sekolah swasta, mayoritas masih tetap memberlakukan pungutan kepada orang tua murid. 55. Pengeluaran utama masyarakat terdapat pada biaya pembelian perlangkapan sekolah, uang jajan, iuran sekolah dan transportasi. Perlengkapan sekolah seperti seragam, tas, buku, sepatu alat tulis dan lainnya dianggap berat karena jumlah nominalnya yang besar dan tidak bisa dicicil. Pengeluaran untuk uang jajan dianggap berat terutama karena sifatnya yang harus ada setiap hari, meski jumlahnya kecil. Sedangkan iuran sekolah, memberatkan karena selain nominalnya yang besar, terkadang jenis iuran ini dibebankan mendadak dan tidak dapat dicicil. 56. Keputusan untuk membiayai sekolah pada lingkup rumah tangga adalah ajang pertarungan antara keinginan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan kebutuhan untuk bersekolah. Pada kenyataannya, rumah tangga yang dapat memenuhi kebutuhan untuk bersekolah mengorbankan kualitas pemenuhan kebutuhan pokoknya, terutama makan sehari-hari, dan rumah tangga yang tidak menyekolahkan anaknya beralasan mereka tidak memiliki kemampuan sama sekali, bahkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
13 | P a g e
57. Meski mereka dapat bersekolah dengan mengorbankan kebutuhan pangan, banyak dari anak-anak tersebut yang kekurangan gizi sehingga perkembangan mereka di sekolah terhambat. Alih-alih mempertahankan kepesertaan mereka di sekolah dengan mengurangi kebutuhan pangan, mereka secara terpaksa harus mengeluarkan anak mereka dari sekolah karena tidak bisa mengikuti pelajaran (menganggap anaknya bodoh) dan sering sakit-sakitan. 58. Cara pemerintah daerah hanya mengandalkan BOS untuk menjamin pembebasan biaya pendidikan tidak efektif. Pada pelaksanananya, meski telah dianggarkan dengan jumlah yang sangat besar, tetap saja masih ada sekolah yang memungut uang dari peserta didik dengan berbagai tujuan dan alasan, terutama kecilnya dana yang didapatkan sekolah. 59. Hal ini menyebabkan pada akhirnya, tingginya pungutan sekolah kepada murid menjadi sebuah keniscayaan. Kesimpulan ini diperkuat dengan fenomena berkembangpesatnya sekolah swasta, baik pada jenjang SMP maupun SD sederajat dibandingkan dengan sekolah negeri, yang secara konstitusi masih diperkenankan untuk memungut iuran kepada murid, dan adanya upaya untuk lebih mendorong partisipasi orang tua membayar biaya pendidikan. 60. Mengenai upaya untuk menjamin keseluruhan masyarakat miskin terbebas dari segala biaya pendidikan, misalnya melalui pemberian beasiswa atau bantuan perlengkapan sekolah dan bantuan uang transportasi, penerapannya masih buruk. Buruknya penerapan upaya tersebut karena (1) tidak adanya tolok ukur yang jelas mengenai siapa yang dibantu, apa saja yang dibantu, dengan apa mereka dibantu dan bagaimana cara mereka di bantu; (2) tidak adanya porsi anggaran yang cukup dialokasikan untuk memberi bantuan kepada mereka; (3) tidak adanya ketegasan untuk memberi sanksi kepada sekolah yang tetap memberlakukan pungutan kepada murid dari keluarga miskin; (4) pengelolaan bantuan yang telah ada pun buruk. Penyedia Layanan dan Hambatan yang Mereka Lakukan 61. Hambatan utama yang dilakukan oleh penyedia layanan adalah hambatan dengan memberlakukan iuran/pungutan. Ada sekolah yang tetap membebankan uang bangunan dan iuran bulanan, iuran ujian semester, ujian akhir sekolah, uang semesteran/THB, uang seragam, batik, baju olah raga, biaya praktik. Jumlahnya berbeda-beda di tiap sekolah, dimana banyak dari pengeluaran ini yang bersifat mendadak, jumlahnya besar, dan tidak bisa dicicil. Konsekuensi apabila tidak membayar, mereka tidak dapat mengikuti ujian, tidak mendapatkan ijasah, baju seragam dan lainnya sesuai peruntukannya. 62. Besarnya beban tersebut membuat banyak masyarakat yang putus sekolah, ragu-ragu untuk menyekolahkan, ataupun depresi karena tidak dapat membayar dan tekanan atau ancaman yang dilakukan oleh guru kepada murid yang tidak bisa membayar, dan menjadi bahan olokan temantemannya. Tekanan atau ancaman ini pada beberapa kasus membuat si anak menjadi takut untuk bersekolah kembali.
14 | P a g e
63. Terbatasnya jumlah bantuan perlengkapan sekolah (buku pelajaran/LKS, tas, sepatu, dll) yang diterima membuat sekolah kesulitan dalam menentukan siapa yang berhak menerima. Pemberlakuan aturan siswa miskin dan berprestasi saja yang mendapatkan, membagi 1 buku untuk digunakan 2 murid, diundi untuk menentukan siapa yang berhak, atau menitipkannya kepada tukang fotokopi dan siswa di minta membeli fotokopiannya merupakan beberapa cara yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut. Ketersediaan Sekolah dan Bagaimana Masyarakat Menjangkaunya 64. Jumlah SD di tiap desa yang diteliti memang telah mencukupi, meski kualitasnya masih memprihatinkan. Sedangkan pada tingkat SMP, jumlah sekolah masih kurang mencukupi dan kualitas juga kurang baik. Banyak sekolah yang masih menumpang bangunan dengan sekolah lain, ruang kelas kecil dan rusak dengan jumlah murid sangat banyak sehingga lebih besar dibanding kapasitas ruang yang seharusnya. 65. Permasalahan utama penyediaan sarana dan prasarana pendidikan adalah persebaran yang tidak merata. Sekolah banyak berlokasi di daerah yang padat penduduknya dan akses jalan yang memadai sehingga daerah yang jauh dari pusat kegiatan desa, ketersediaan sarana pendidikan masih menjadi masalah. 66. Mereka juga harus mengeluarkan uang untuk biaya transportasi dengan jumlah yang cukup besar. Rentang pengeluaran untuk biaya ini adalah 6.00010.000 rupiah perhari, dengan memanfaatkan jasa ojeg, atau andong. Untuk menyiasati pengeluaran yang besar tersebut, mereka harus berjalan kaki. Berjalan kaki pun juga tidak banyak memecahkan masalah karena mereka juga dibebankan dengan pengeluaran pembelian sepatu yang cepat rusak.
15 | P a g e
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Akses terhadap pendidikan dasar menjadi isu utama pembangunan dan berbagai upaya pengentasan kemiskinan di dunia, tak terkecuali Indonesia. Urgensi pemenuhan kebutuhan akan pendidikan ini terletak pada kemampuan pendidikan yang dipercaya dapat memutus mata rantai kemiskinan intergenerasional, melalui investasi pada peningkatan kapabilitas dasar “asset” terpenting dalam keluarga, yaitu anak. Dalam konteks desentralisasi, penilaian berbagai upaya yang dilakukan untuk mengatasi hambatan akses penting untuk dipahami dalam tataran penyelenggaraan di tingkat daerah (kabupaten/kota), terutama dalam penyelenggaraan pendidikan dasar. Dengan berbagai peran penting yang diberikan kepada pemerintah kabupaten/kota berdasar PP nomor 38/2007 dan permendiknas nomor 50/2007, keberhasilan upaya meningkatkan dan memeratakan akses sangat bergantung pada bagaimana daerah dapat memformulasikan berbagai kebijakan, strategi dan program yang efektif dalam mengatasi hambatan akses masyarakat terhadap pendidikan dasar, khususnya masyarakat miskin. Kabupaten Bandung juga memiliki strategi tersendiri dalam mencapai berbagai tujuan tersebut, yang secara khusus di atur dalam perda nomor 26/2009. Namun, pada kenyataannya, meski secara normatif pemerintah daerah telah berupaya menjamin hakhak masyarakat untuk mendapatkan pendidikan dasar yang layak melalui pemberlakuan berbagai peraturan dan program, permasalahan hambatan akses ini belum dapat dipecahkan1. Permasalahan akses ini dengan demikian penting untuk dipahami karena “proses redistribusi pembangunan dalam rangka pemerataan seringkali tidak menjangkau kelompok sasaran yang semula digariskan dalam program” (Laksmono, 1999:i). Meski dalam berbagai kebijakan dan program, masyarakat miskin menjadi “kelompok sasaran utama,” pada kenyataannya mereka seringkali terpinggirkan dalam proses pembangunan. Begitupun dalam sektor pelayanan sosial seperti pendidikan dasar. Merujuk pernyataan Spicker (1995), meski sektor pendidikan ini merupakan hak, pada kenyataannya, hak tersebut dapat tercederai sebagai akibat dari perlakuan diskriminatif oleh penyedia layanan dan ketidakmampuan masyarakat miskin dalam menjangkau layanan, baik karena faktor ekonomi, sosial, budaya, maupun karakter individu dalam memandang layanan. Penelitian ini melihat terminologi akses tidak hanya berkaitan dengan jarak terhadap layanan ataupun ketersediaan sarana dan prasarana yang berkaitan dengan upaya mendistribusikan layanan saja, namun juga mecakup karakteristik individu penerima layanan, masyarakat, karakteristik birokrasi penyedia layanan serta berbagai 1
Pernyataan ini dilatarbelakangi dari berbagai hasil studi yang dilakukan oleh perkumpulan Inisiatif terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat di kabupaten Bandung.
kebijakan dan anggaran yang terkait dengan pendidikan. Melalui identifikasi tersebut, permasalahan akses menjadi bersifat multidimensional dan kompleks. Permasalahan akses tidak hanya dilihat dari aspek hubungan antara penyedia layanan dengan pengguna layanan melalui alokasi administratif barang dan jasa dengan tepat saja (seperti yang dikemukakan oleh Schaffer dan Lamb, 1973), Bodenhemer (1970) yang mendefinisikan akses sebagai ketersediaan dan kejelasan prosedur pemberian pelayanan, ataupun Vladeck (1981) yang mendefinisikan akses hanya berdasarkan kemampuan layanan dalam memberikan pelayanan yang sama (equal), namun juga memuat berbagai identifikasi dimensi akses komprehensif yang dilakukan oleh Rew (dalam Laksmono, 1999) maupun Buijs (n.d.), yang memberikan perhatian pada sistem budaya dan karakteristik individu pengguna layanan.
1.2.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi berbagai kebijakan terkait upaya pemerintah daerah dalam menjamin masyarakat miskin untuk dapat mengakses pendidikan dasar, bagaimana mekanisme penganggaran yang dilakukan untuk menjamin hal tersebut, dan bagaimana keduanya berkontribusi dalam menghambat masyarakat miskin untuk mengakses pendidikan dasar sekaligus mendokumentasikan berbagai permasalahan akses yang terjadi, berdasar pada berbagai variabel akses: variabel penyedia layanan, variabel populasi pengguna layanan, dan variabel sumber daya layanan. Berbagai temuan tersebut ditujukan sebagai upaya untuk memberi masukan dalam meningkatkan efektifitas kebijakan peningkatan dan pemerataan akses terhadap pendidikan dasar, khususnya terhadap upaya untuk menjamin masyarakat miskin agar dapat mengakses pendidikan dasar.
1.3.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian semipartisipatoris. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi literatur, wawancara mendalam, dan diskusi kelompok terfokus dengan waktu penelitian selama 3 bulan, antara April-Juni 2010. Sampel wilayah studi yang dipilih dalam penelitian ini sebanyak tujuh desa yang berada di kabupaten Bandung, yaitu desa Cibodas kecamatan Solokanjeruk, desa Ciapus kecamatan Banjaran, desa Cikembang kecamatan Kertasari, desa Tarumajaya kecamatan Kertasari, desa Cileunyi Wetan kecamatan Cileunyi, desa Dukuh kecamatan Ibun, dan desa Mekarjaya kecamatan Pacet. Kecamatan-kecamatan tersebut dipilih karena kecamatan-kecamatan tersebut memiliki IPM yang rendah,2 rata-rata jumlah angka putus sekolah tiap tahunnya tinggi, dan mengacu pula pada berbagai hasil studi yang telah dilakukan sebelumnya oleh perkumpulan Inisiatif mengenai kondisi sosial-ekonomi di beberapa wilayah di kabupaten Bandung. Kelompok informan yang dipilih dalam penelitian ini adalah para stakeholder penyelenggara layanan pendidikan dasar, yaitu dinas pendidikan dasar kabupaten Bandung, dan di tiap-tiap kluster desa (Kepala sekolah SD dan SMP baik negeri maupun swasta); kepala desa, tokoh masyarakat, serta masyarakat desa. Pada pelaksanaan wawancara mendalam, informan yang dipilih adalah para stakeholder penyelenggara 2
Terendah diantara kecamatan lainnya, kecuali kecamatan Cileunyi. Kecamatan Cileunyi, khususnya Cileunyi Wetan dipilih berdasarkan kondisi persebaran penduduk yang tidak merata dimana ada wilayah yang terpencil dan sulit menjangkau layanan publik yang disediakan pemerintah.
17 | P a g e
layanan pendidikan dasar, kepala desa, tokoh masyarakat di tiap-tiap kluster desa dan tiga orang masyarakat miskin di tiap-tiap desa. Pemilihan informan dari kelompok masyarakat miskin ini dipilih berdasarkan ranking nama-nama anggota masyarakat yang di lakukan oleh ketua RW atau tokoh masyarakat berdasarkan kriteria kronisitas kemiskinan dan pengalaman dalam mengalami hambatan akses (terutama pada keluarga yang anaknya pernah putus sekolah). Untuk mencegah bias yang kemungkinan timbul, data yang diperoleh akan dikaji kembali dengan menanyakannya kepada anggota masyarakat lain, ataupun melalui kunjungan. Sedangkan pada diskusi kelompok terfokus, informan yang menjadi peserta adalah warga desa yang memiliki kriteria: masyarakat asli desa tersebut (bukan pendatang), bukan aparat desa, bukan PNS atau guru, bukan tokoh masyarakat, bukan orang yang sukar diajak berdiskusi dan ada diantaranya yang berasal dari golongan masyarakat miskin yang memiliki anak usia sekolah dasar yang tidak bersekolah.
1.4.
Teknik Analisis Data Dalam penelitian ini, analisis data dibagi dalam tiga bagian:
Bagian pertama, memfokus pada upaya untuk mengkaji berbagai dokumen kebijakan yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan dasar di kabupaten Bandung. Dokumen kebijakan tersebut yaitu: berbagai peraturan perundangan yang terkait dengan pendidikan dasar (perda dan perbup), masterplan pendidikan kabupaten Bandung 2008-2025, RPJMD, RKPD, Renstra dan Renja SKPD Pendidikan, dan RKA SKPD Pendidikan. Data-data di dalam dokumen diolah dengan mengkaji berbagai substansi yang membahas mengenai arah dan tujuan pembangunan pendidikan dasar, bagaimana strategi yang digunakan untuk mencapai target tersebut, kemudian di kontras-kan dengan bagaimana pelaksanaan dan pencapaian-nya di lapangan, melalui analisis anggaran serta data-data statistik peningkatan partisipasi masyarakat miskin pada sektor pendidikan. Pada Bagian kedua, analisis hambatan akses dilakukan dengan mengumpulkan data-data lapangan melalui wawancara mendalam. Data yang diperoleh dijabarkan dengan mengklasifikasi berbagai temuan yang ada berdasarkan variabel hambatan akses, yaitu karakteristik penyedia layanan, karakteristik populasi pengguna layanan, dan karakteristik sumber daya layanan. Pada variabel karakteristik penyedia layanan, difokuskan pada analisis mengenai bentuk-bentuk hambatan akses, baik pada sisi supply maupun demand yang dilakukan oleh penyelenggara pendidikan dasar, bagaimana proses hambatan tersebut terjadi, latar belakang mengapa hambatan tersebut dilakukan/terjadi serta kaitannya dengan berbagai kebijakan pemerintah dan karakteristik populasi pengguna layanan. Pada variabel karakteristik populasi pengguna layanan, analisis ditekankan pada bentuk-bentuk hambatan yang berasal dari faktor predisposisi, pemungkin perubahan dan penguat perubahan. Khusus pada faktor predisposisi, analisis diperdalam dengan menjabarkan lebih jauh mengapa dan bagaimana proses nilai dan persepsi negatif itu muncul dan ter-internalisasi sebagai cara pandang mereka terhadap pendidikan. Sedangkan pada variabel karakteristik sumber daya layanan, analisis ditekankan pada 18 | P a g e
bagaimana jumlah dan jarak fasilitas pendidikan dasar di daerah tersebut berkontribusi dalam menghambat akses masyarakat miskin. Mengacu pada hasil analisis berbagai temuan wawancara lapangan, pedoman pelaksanaan diskusi kelompok terfokus di susun. Bagian ketiga dari tahap analisis data ini berupaya untuk melakukan klarifikasi terhadap berbagai temuan wawancara mendalam dan mengeksplorasi berbagai kemungkinan bentuk hambatan akses yang belum teridentifikasi dalam wawancara mendalam melalui pelaksanaan diskusi kelompok terfokus. Hasilnya akan dianalisis dengan cara meng-klasifikasi, menginterpretasi dan menggabungkan data-data sesuai dengan berbagai dimensi yang terdapat dalam kerangka analisis permasalahan akses untuk melihat pola-pola ataupun kecenderungan yang ada.
1.5.
Struktur Laporan
Laporan ini dibagi ke dalam empat bab. Bab pertama, berisi latar belakang, tujuan penelitian, metode penelitian, teknik analisis data dan struktur laporan. Pada bab kedua, memfokus pada penjabaran menganai analisis kebijakan dan anggaran kabupaten Bandung dalam penyelenggaraan pendidikan dasar. Bab ketiga, berisi analisis input dan output penyelenggaraan pendidikan di kabupaten Bandung, dan bab terakhir, bab keempat, memfokus pada upaya untuk menjabarkan berbagai permasalahan hambatan akses yang dialami masyarakat miskin di desa-desa terpilih, beserta berbagai faktor yang melatarbelakanginya.
19 | P a g e
BAB II PENDIDIKAN DASAR DI KABUPATEN BANDUNG: GAMBARAN UMUM KEBIJAKAN DAN ANGGARAN
2.1.
Akses Terhadap Pendidikan Dasar dalam Konteks Kebijakan
2.1.1. Konteks Kebijakan Pendidikan Dasar di Tingkat Nasional Upaya pemerataan dan perluasan akses masyarakat terhadap pendidikan yang bermutu merpakan prioritas utama pembangunan di bidang pendidikan yang dicanangkan oleh pemerintah pusat. Dalam rencana strategis departemen pendidikan nasional tahun 2005-2009, upaya pemerataan dan perluasan akses ini diarahkan pada upaya perluasan daya tampung dan pemberian kesempatan yang sama kepada golongan masyarakat yang berbeda, baik secara sosial, ekonomi, gender, lokasi tempat tinggal, dan tingkat kemampuan intelektual serta kondisi fisik. Penekanan terhadap upaya untuk mengakselerasi perluasan dan pemerataan akses tersebut tidak lepas dari kondisi riil situasi pendidikan di Indonesia dan dorongan untuk memenuhi berbagai sasaran yang diamanatkan di dalam berbagai komitmen internasional mengenai pendidikan (lihat Renstra Mendiknas tahun 2005-2009). Situasi pendidikan yang digambarkan dengan tinggiya ketimpangan akses antara golongan masyarakat yang berbeda-beda ini menjadi pokok perhatian utama pemerintah, karena situasi tersebut merupakan cermin dari kekurangoptimalan pemerintah dalam memberi perlindungan dan melaksanakan hak anak tentang pendidikan dan mewujudkan wajib belajar pendidikan dasar bagi semua secara bebas, seperti yang diamanatkan dalam Education for All; konvensi hak-hak anak (convention on the rights of the child), khususnya pada artikel 28; Deklarasi HAM (artikel 28); dan kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya (pasal 13). Dengan demikian, meski telah memberikan pengakuan akan persamaan hak atas pendidikan seperti yang dikemukakan dalam undang-undang dasar tahun 1945 pasal 31 serta undang-undang nomor 20/2003, pemerintah merasa belum menjalankan berbagai komitmen tersebut secara maksimal sehingga timbul adanya urgensi untuk mengakselerasi pemerataan dan perluasan akses sebagai strategi pembangunan di bidang pendidikan pada lima tahun pemerintahan. Untuk melaksanakan prioritas pembangunan tersebut, pemerintah pusat menetapkan berbagai kebijakan strategis. Kebijakan strategis ini secara spesifik berupaya menjawab berbagai ketimpangan yang terjadi pada berbagai kelompok masyarakat. Untuk mengatasi ketimpangan berdasarkan ekonomi, pemerintah melakukan penghapusan hambatan biaya melalui pemberian dana bantuan operasional sekolah (BOS) untuk semua siswa dan pelaksanaan pemberian subsidi biaya personal bagi siswa kurang mampu yang dialokasikan dari dana BOS. Untuk mengatasi ketimpangan berdasar geografis, pemerintah membangun SD-SMP satu atap di daerahdaerah terpencil dan berpenduduk jarang dan terpencar melalui penambahan ruang belajar, serta pengembangan SMP terbuka untuk mengatasi permasalahan keterbatasan jumlah sekolah tingkat SMP sederajat. Sedangkan upaya untuk mengatasi ketimpangan berdasar kemampuan intelektual dan kondisi fisik, pemerintah memperluas pelayanan pendidikan non-formal dan program pendidikan inklusif untuk anak yang tidak/belum
terlayani di jalur pendidikan formal. Berbagai kebijakan strategis ini kemudian dijabarkan dalam beberapa kegiatan, yaitu: pemberian bantuan biaya operasional; rehabilitasi ruang kelas yang rusak; penyediaan Unit Sekolah Baru (USB) dan Ruang Kelas Baru (RKB); perintisan pendidikan dasar 9 tahun satu atap dan SMP terbuka; serta penyelenggaraan kelas layanan khusus di sekolah dasar untuk anak yang putus sekolah atau sama sekali belum pernah sekolah dasar sampai tamat. Selain itu, penyelenggaraan Program Keluarga Harapan juga dilakukan untuk mengatasi beban biaya personal rumah tangga sangat miskin terhadap pendidikan dasar (Renstra Depdiknas 2005-2009). Dalam konteks kebijakan tingkat propinsi, perluasan dan pemerataan akses juga menjadi prioritas dengan mengamanatkannya sebagai misi pembangunan pendidikan propinsi Jawa Barat. Dalam lingkup penyelenggaraan program peningkatan dan pengambangan pendidikan dasar, upaya untuk merealisasikan misi tersebut dilakukan dengan pelaksanaan berbagai kegiatan, seperti pemberian BOS propinsi untuk melengkapi dana BOS pemerintah pusat; pengembangan unit sekolah baru/ ruang kelas baru (USB/RKB); rehabilitas ruang kelas; pengadaan sarana penunjang kegiatan belajar mengajar (KBM); peningkatan kapasitas kelembagaan SD dan SMP bertaraf internasional; pembinaan kurikulum; dan memfasilitasi pelaksanaan akreditasi sekolah. Berdasarkan pagu anggaran yang disertakan, pengembangan pendidikan dasar yang dilakukan oleh pemerintah propinsi mengedepankan pengadaan sarana penunjang KBM, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan pembangunan USB/RKB dan rehabilitasi ruang kelas sebagai prioritas utama. 2.1.2. Pendidikan Dasar di Kabupaten Bandung: Kebijakan dan Upaya Peningkatan Akses Sebagai konsekuensi dari penyelenggaraan desentralisasi di bidang pendidikan, berdasar PP nomor 38/2007, pemerintah daerah (kabupaten/kota) memiliki peranan sangat penting dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan dan pencapaian berbagai upaya peningkatan dan pemerataan akses, terutama dalam penyelenggaraan program pendidikan dasar. Penegasan akan peran penting pemerintah daerah dalam pelaksanaan program wajib belajar pendidikan dasar ini termaktub dalam Permendiknas nomor 50/2007, dimana pemerintah daerah (kabupaten/kota) berkewajiban merencanakan dan menetapkan berbagai tahapan pelaksanaan penuntasan program wajib belajar di daerahnya; menjamin ketersediaan dana, sarana dan prasarana pendidikan, pendidik dan tenaga kependidikan; menjamin setiap warganya mengikuti pendidikan dasar; menjamin terselenggaranya program wajib belajar pendidikan dasar tanpa memungut biaya; mengatur pelaksanaan program wajib belajar pendidikan dasar; serta memfasilitasi, memberikan asistensi, advokasi dan konsultasi pengelolaan program wajib belajar. Dengan peran, kewenangan dan tanggung jawab yang luas tersebut—yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan pengevaluasian penyelenggaraan pendidikan dasar—efektifitas dan pencapaian kinerja penyelenggaraan pendidikan dasar di daerah sangat tergantung pada berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah, baik dalam segi pemberlakuan kebijakan, maupun penyelenggaraan berbagai program untuk mengakselerasi tujuan pembangunan bidang pendidikan yang dicanangkan. Upaya peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan yang berkualitas juga menjadi isu penting dan menjadi prioritas daerah dalam rencana pembangunan jangka 21 | P a g e
menengah daerah 2005-2010. Upaya peningkatan akses terhadap pendidikan yang bermutu ini dilakukan melalui peningkatan kualitas layanan pendidikan, peningkatan kualitas dan kesejahteraan tenaga kependidikan, peningkatan sarana/prasarana pendidikan, dan penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun. Upaya penyelenggaraan pendidikan—berdasar perda nomor 26/2009—dilakukan dengan memberdayakan seluruh komponen pemerintahan daerah dan masyarakat serta memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berperan serta dalam penyelenggaraan dan peningkatan mutu pendidikan. Bentuk peran serta ini dilakukan dengan mewajibkan masyarakat untuk memberi dukungan sumber daya pendidikan untuk kelangsungan penyelenggaraan pendidikan (pasal 4 ayat 2 dan pasal 8), antara lain dengan menyediakan pembiayaan untuk kelangsungan pendidikan yang tidak ditanggung oleh pemerintah dan pemerintah daerah (pasal 6 huruf (f)), terutama pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat (sekolah swasta) (lihat pasal 118 ayat 4). Untuk menunjang keberhasilan pembangunan di bidang pendidikan tersebut, pemerintah memberikan dukungan alokasi anggaran (APBD), mengupayakan pengembangan partisipasi masyarakat dan dunia usaha terhadap pendidikan dan memberi perhatian lebih terhadap peningkatan akses masyarakat miskin terhadap pendidikan. Terkait dengan upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengakses layanan, pendidikan dasar pada satuan pendidikan milik pemerintah (sekolah negeri) diselenggarakan dengan prinsip bebas biaya. Komitmen tersebut di amanatkan dalam pasal 9 ayat 1 PP nomor 47/2008 tentang wajib belajar, “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya program wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya;” dan pasal 9 ayat 4: “warga negara Indonesia usia wajib belajar yang orang tua/walinya tidak mampu mambiayai pendidikan, pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib memberikan bantuan biaya pendidikan sesuai peraturan perundang-undangan.” Dalam konteks kabupaten Bandung, aturan dalam PP nomor 47/2008 tersebut dijewantahkan dalam pasal 118 ayat 2 perda nomor 26/2009 tentang Penyelenggaraan Sistem Pendidikan di Kabupaten Bandung: “pada jenjang pendidikan dasar, setiap satuan pendidikan milik pemerintah daerah dilarang menarik biaya dalam bentuk apapun.” Penekanan pembebasan biaya ini juga termaktub dalam pasal 15 ayat 1 huruf (g), dimana pemerintah daerah berkewajiban “membebaskan segala biaya pendidikan bagi peserta didik dari keluarga tidak mampu;” pasal 9 ayat 4, “peserta didik yang berprestasi dan/atau yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikan berhak mendapatkan beasiswa dan/atau bantuan biaya pendidikan dari pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat;” dan pasal 121 ayat 1, “peserta didik dari keluarga kurang mampu berhak memperoleh beasiswa dari pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.” Dari berbagai pasal tersebut, terlihat adanya upaya pemerintah daerah untuk memberi “perlakuan khusus” terhadap masyarakat tidak mampu. Pemberian “perlakuan khusus” ini ditekankan juga sebagai upaya penanggulangan kemiskinan yang diamanatkan dalam perda nomor 10/2008 tentang penanggulangan kemiskinan dimana pendidikan diposisikan memiliki peran penting dalam strategi penanggulangan kemiskinan (lihat pasal 11). Upaya penanggulangan kemiskinan ini dilakukan dengan jaminan ketersediaan pelayanan pendidikan dasar yang bermutu, terjangkau tanpa diskriminasi gender dan status sosial atau politik (pasal 9 ayat 2) dengan intervensi 22 | P a g e
yang meliputi: percepatan penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun bagi keluarga miskin; pemberian beasiswa untuk anak keluarga miskin; percepatan pengembangan partisipasi masyarakat dan dunia usaha terhadap pendidikan terutama bagi anak keluarga miskin; penyediaan skema pembiayaan bagi keluarga miskin untuk pendidikan anak usia dini hingga pendidikan sekolah menengah; percepatan program subsidi biaya penyelenggaraan pendidikan pada lembaga-lembaga pendidikan yang peduli keluarga miskin; percepatan penanganan siswa miskin putus sekolah melalui paket A, B, dan C; dan, percepatan koordinasi dan fasilitasi program-program semua stakeholder yang berhubungan dengan pendidikan bagi anak keluarga miskin. Berbagai kebijakan khusus yang diberikan untuk mengakselerasi partisipasi masyarakat terhadap pendidikan tersebut relevan dengan situasi masyarakat miskin terkait dengan pendidikan. Dalam dokumen strategi penanggulangan kemiskinan daerah (SPKD) kabupaten Bandung tahun 2007-2009, permasalahan penyebab kemiskinan ditekankan pada fenomena keterbatasan akses dan mutu layanan pendidikan. Hal ini ditandai dengan terbatasnya jumlah sekolah yang layak untuk proses belajar mengajar, rendahnya mutu layanan pendidikan akibat kurangnya sarana dan prasarana yang memadai, ketersediaan dan kelayakan guru yang lebih terkonsentrasikan di daerah perkotaan, terbatasnya jumlah sekolah-sekolah lanjutan di daerah, kurangnya partisipasi masyarakat di bidang pendidikan, kurangnya kemauan dan kemampuan melanjutkan pendidikan diantaranya akibat kurang gizi dan dukungan sosial budaya masyarakat, tingginya biaya penunjang pendidikan seperti pengadaan buku, seragam dan transportasi, dan kurangnya keterpaduan antara kebutuhan lapangan pekerjaan dengan pendidikan yang dilaksanakan. Selain itu, berdasarkan peraturan bupati nomor 7 tahun 2005 tentang strategi dan rencana tindak pengurangan kemiskinan (SRTPK) kabupaten Bandung, masyarakat miskin memiliki pendidikan yang rendah karena ketidakmampuan dalam membayar sekolah; kurangnya motivasi dan rendahnya kesadaran terhadap pendidikan; ketidaksampaian informasi mengenai beasiswa dan keringanan biaya pendidikan; biaya jajan yang tinggi; lokasi sekolah yang jauh, terutama pada komunitas di lokasi-lokasi terpencil; tidak pernah hadirnya petugas penyuluh pendidikan; sulitnya mencari angkutan umum; biaya transportasi yang tinggi; dan biaya penunjang pendidikan (buku, seragam) yang dianggap mahal. Dari berbagai peraturan perundang-undangan serta arah kebijakan dan program pemerintah pusat, popinsi dan kabupaten yang telah dijabarkan tersebut, pendidikan dasar dengan demikian di posisikan sebagai sebuah hak dengan memandang pemenuhannya sebagai konsekuensi dari status seseorang sebagai warga negara. Meski secara prinsip memberi penekanan pada konsep persamaan (equality) dimana setiap warga negara memiliki hak yang sama tanpa membeda-bedakannya berdasarkan status apapun, pada beberapa aspek, penyelenggaraannya dilakukan dengan menganut prinsip diskriminasi positif terkait perbedaan berdasarkan kriteria kesejahteraan. Masyarakat miskin mendapat ‘perlakuan khusus’ sebagai upaya peningkatan dan pemerataan akses karena mereka memiliki kebutuhan yang berbeda dengan masyarakat pada kelompok lainnya. Pada tataran inilah equity (keadilan) ditekankan, sebagai upaya untuk memberi hasil akhir yang sama diantara kelompok-kelompok yang secara karakteristik berbeda (outcome equality). Dalam posisi ini, arah kebijakan pendidikan di Indonesia dalam hal pemerataan akses diselenggarakan berdasar prinsip vertical equity (keadilan vertikal), melalui pemberian perlakuan yang “lebih� terhadap masyarakat miskin sebagai upaya untuk menjamin pemenuhan hak-hak mereka atas pendidikan dasar (unequal treatment 23 | P a g e
of unequals) dengan tujuan menciptakan outcome equality di antara kelompokkelompok yang berbeda-beda tersebut.
2.2.
Gambaran Umum Belanja Sektor Pendidikan di Kabupaten Bandung
Dalam peraturan daerah kabupaten Bandung nomor 26 tahun 2009 tentang penyelenggaraan sistem pendidikan, kewajiban pemerintah daerah untuk memberikan dana guna penuntasan wajib belajar 9 tahun di tegaskan dalam pasal 15 ayat 1 huruf (e) dan pasal 120 ayat 4. Pendanaan pendidikan untuk jenjang pendidikan dasar ini bersumber dari APBN dan APBD, baik propinsi maupun kabupaten (pasal 119 ayat 1) dengan alokasi sekurang-kurangnya 20% dari APBD kabupaten diluar belanja pegawai dan Dana Alokasi Khusus (DAK) (120 ayat 1) dimana tidak termasuk gaji pendidik dan biaya kedinasan (pasal 120 ayat 2). Selain itu, pemerintah daerah juga diwajibkan mengalokasikan dana darurat untuk mendanai keperluan mendesak dalam penyelenggaraan pendidikan yang diakibatkan peristiwa tertentu (pasal 120 ayat 3). Berdasarkan peraturan daerah tersebut, berbagai komposisi alokasi dana di atas ditujukan untuk mendanai keseluruhan biaya penyelenggaraan pelayanan pendidikan pada satuan pendidikan milik pemerintah (sekolah negeri) (pasal 118 ayat 1), memberi bantuan dana untuk sekolah swasta (pasal 118 ayat 4), dan pembebasan segala biaya pendidikan bagi peserta didik dari keluarga tidak mampu (pasal 15 ayat 1). 2.2.1. Alokasi Anggaran Pendidikan Kabupaten Bandung Peraturan Pemerintah nomor 38/2007 tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat, propinsi dan daerah mengamanatkan tanggung jawab pembiayaan utama penyelenggaraan pendidikan dasar kepada pemerintah kabupaten/kota (lihat Bank Dunia, 2008). Meski demikian, pemerintah pusat dan propinsi tetap memiliki tanggung jawab dalam pemberian bantuan tambahan/subsidi terhadap penyelenggaraan jenjang pendidikan dasar di tingkat kabupaten/kota. Dalam pemberian bantuan keuangan ini, dana pemerintah pusat disalurkan melalui beberapa mekanisme, yaitu: transfer langsung ke sekolah, penyediaan dana untuk proyek dekonsentrasi, pembiayaan melalui proyek-proyek APBN yang didanai dan dilaksanakan secara langsung oleh pemerintah pusat, dan dana untuk proyek-proyek kantor perwakilan pusat di daerah. Dalam pembiayaan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, jumlah nominal transfer dana ini sebagian besar untuk proyek fisik dan transfer ke sekolah (seperti dana BOS). Berdasar total alokasi belanja pendidikan pada 4 tahun pengamatan (20072010), pemerintah kabupaten Bandung mengalokasikan anggaran yang sangat besar untuk belanja pada sektor pendidikan. Secara agregat, rata-rata persentase alokasi belanja pada sektor tersebut terhadap total belanja APBD adalah sebesar 42,31%. Dengan alokasi dana sebesar itu, belanja pendidikan merupakan belanja dengan porsi terbesar dalam struktur penganggaran APBD. Meski terdapat kecenderungan penurunan, terutama pada 2008-2010, secara persentase jumlahnya tidak terlalu signifikan, dimana secara nominal justru mengalami kenaikan dari 801 milyar pada tahun 2007, menjadi 887 milyar di tahun 2010.
24 | P a g e
Jumlah (X1.000.000)
Bagan 2.1. Nominal dan Prosentase Belanja Pendidikan terhadap Total Belanja APBD, 2007-2010 Rp1.000.000.000.000,00
43,50%
Rp900.000.000.000,00
43,00%
Rp800.000.000.000,00
42,50%
Rp700.000.000.000,00 Rp600.000.000.000,00
42,00%
Rp500.000.000.000,00
41,50%
Rp400.000.000.000,00
41,00%
Rp300.000.000.000,00
40,50%
Rp200.000.000.000,00
40,00%
Rp100.000.000.000,00 Rp0,00
2007
2008
2009
2010
39,50%
Total Belanja Pendidikan Rp800.988.93 Rp670.285.08 Rp721.259.94 Rp887.183.98 % thd total belanja APBD
40,82%
43,14%
42,91%
42,37%
Sumber: APBD kab. Bandung 2007-2010, diolah.
Namun, meski secara keseluruhan alokasi belanja sektor pendidikan sangat tinggi, berdasar proporsinya, ternyata anggaran tersebut belum memenuhi ketentuan pasal 120 perda nomor 26/2009 mengenai alokasi minimal 20% diluar belanja pegawai. Ini terjadi karena alokasi terbesar belanja pendidikan tersebut adalah pada belanja tidak langsung (belanja pegawai) dengan persentase terhadap total belanja APBD mencapai lebih dari 35% pertahun. sedangkan untuk belanja program (belanja langsung), rata-rata persentase-nya hanya 6,73% pertahun dengan persentase terendah pada tahun 2009 sebesar 4,64%.
Bagan 2.2. Persentase Belanja Pendidikan Terhadap Total Belanja APBD, 2007-2010 total belanja tidak langsung
38,27%
36,06%
34,32%
6,65%
2007
total belanja langsung
33,82%
7,08%
2008
8,55% 4,64%
2009
2010
Sumber: APBD kab. Bandung 2007-2010, diolah.
Apabila memperhitungkan inflasi, nilai riil dari alokasi belanja ini jauh lebih rendah lagi. Pada tahun 2008 misalnya, dengan nominal alokasi belanja langsung sebesar 110 milyar, adanya inflasi sebesar 10% membuat secara riil alokasi belanjanya hanya sebesar 83 milyar saja. Perbedaan antara nilai riil dan nominal paling mencolok 25 | P a g e
terdapat pada belanja tidak langsung, dimana pada tahun 2008, dengan nominal sebesar 560 milyar, nilai riil-nya hanya 419 milyar. Grafik 2.1. Perbandingan Nilai Nominal dan Riil Belanja Tidak Langsung Sektor Pendidikan (tahun dasar 2007), 2007-2010
Grafik 2.2. Perbandingan Nilai Nominal dan Riil Belanja Langsung Sektor Pendidikan (tahun dasar 2007), 2007-2010
Rp700.000,00
Anggaran (dalam Jutaan)
Anggaran (dalam jutaan)
Rp800.000,00
Rp600.000,00 Rp500.000,00 Rp400.000,00 Rp300.000,00 Rp200.000,00 Rp100.000,00 Rp0,00 2007 Harga Nominal
2008
2009
2010
Harga Riil
Rp200.000,00 Rp180.000,00 Rp160.000,00 Rp140.000,00 Rp120.000,00 Rp100.000,00 Rp80.000,00 Rp60.000,00 Rp40.000,00 Rp20.000,00 Rp0,00 2007 Harga Nominal
2008
2009
2010
Harga Riil
Sumber: APBD kab. Bandung 2007-2010, diolah.
Dengan perbedaan yang signifikan antara belanja langsung dan tidak langsung tersebut, porsi belanja tidak langsung dalam struktur belanja sektor pendidikan sangat tinggi, yaitu mencapai lebih dari 80%. Perbandingan yang paling timpang terjadi pada tahun 2009, dimana dengan jumlah total alokasi belanja pendidikan sebesar 886,89 milyar rupiah, alokasi belanja langsung hanya dianggarkan sebesar 78 milyar saja. Adanya peningkatan jumlah alokasi belanja sektor pendidikan ternyata juga tidak serta-merta membuat alokasi belanja langsung meningkat. Pada tahun 2009, meski terjadi peningkatan alokasi belanja pendidikan sebesar 7,6%, alokasi belanja langsung justru mengalami penurunan sebesar 29%, sedangkan belanja tidak langsung meningkat sebesar 14,8%. Dengan demikian, selain proporsi alokasi belanja yang tidak memenuhi aturan perundang-undangan yang berlaku, proporsi tersebut juga membuktikan penggunaan anggaran pendidikan yang dilakukan pemerintah tidak efektif.
26 | P a g e
Anggaran (dalam Jutaan)
Bagan 2.3. Perbandingan Nominal Belanja Langsung dan Tidak Langsung, 2007-2010
Bagan 2.4. Perbandingan Persentase Belanja Langung dan tidak langsung, 2007-2010
Rp1.000.000,00 Rp78.031,0 0
Rp800.000,00
100% 80%
Rp600.000,00
60%
Rp400.000,00
40%
Rp643.227, 00
Rp200.000,00
20%
Rp0,00
0%
2007
2008
BELANJA TIDAK LANGSUNG
2009
2010
BELANJA LANGSUNG
2007
2008
BELANJA TIDAK LANGSUNG
2009
2010
BELANJA LANGSUNG
Sumber: APBD kab. Bandung 2007-2010, diolah.
Di dalam struktur belanja langsung, pemerintah daerah dinilai telah melakukan upaya untuk menjadikan pendidikan dasar sebagai prioritas utama pembangunan di bidang pendidikan. Prioritas pemerintah terhadap pendidikan dasar ini ditunjukkan dengan sangat tingginya perbedaan persentase alokasi belanja antar layanan pendidikan (lihat bagan 2.6), dan berdasar nilai nominalnya, dimana PAUD, program pendidikan non-formal dan pendidikan menengah masing-masing hanya berjumlah 650 juta, 1 milyar dan 15 milyar rupiah, alokasi wajar dikdas berjumlah 130 milyar rupiah.
Bagan 2.5. Perbandingan Alokasi Belanja Antar Layanan Pendidikan, 2007-2010
Bagan 2.6. Perbandingan Persentase Alokasi Antar Layanan Pendidikan, 2007-2010
Rp140.000.000.000,00 Rp120.000.000.000,00
100%
Rp100.000.000.000,00
80%
Rp80.000.000.000,00
60%
Rp60.000.000.000,00
40%
Rp40.000.000.000,00 Rp20.000.000.000,00
20%
Rp0,00
0% 2007
2008
2009
2010
2007
2008
2009
2010
PAUD+non Formal
PAUD+non Formal
Program Wajar Dikdas
Program Wajar Dikdas
Program Pendidikan Menengah
Program Pendidikan Menengah
Sumber: APBD kab. Bandung 2007-2010, diolah.
27 | P a g e
2.2.2. Struktur Belanja Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) Sembilan Tahun. Komposisi struktur belanja program wajar dikdas 9 tahun, berdasarkan nominal belanja, di dominasi oleh kegiatan pembangunan fisik. Pada tahun anggaran 2007-2010, jumlah tertinggi alokasi anggaran program pendidikan dasar adalah untuk kegiatan rehabilitasi sedang/berat ruang kelas sekolah, yaitu sebesar 33% dari total alokasi dana program pendidikan dasar, disusul oleh pembangunan perpustakaan sekolah sebesar 23%, penambahan ruang kelas sekolah sebesar 16%, penyediaan dana BOS sebesar 12% dan pembangunan gedung sekolah sebesar 5%, sedangkan lainnya (22 kegiatan), nominal belanjanya dibawah 5%.
Bagan 2.6. komposisi Nominal Belanja Program Wajar Dikdas 4%
Pembangunan Gedung Sekolah Penambahan Ruang Kelas Sekolah
12% 35% 24%
16%
9%
Rehabilitasi Sedang/Berat Ruang Kelas Sekolah Penyediaan BOS Pembangunan Perpustakaan Sekolah
Sumber: APBD kab. Bandung 2007-2010, diolah.
Rincian berbagai kegiatan dalam program wajar dikdas yang tercantum dalam APBD, berikut alokasi anggaran dari tahun 2007-2010 dapat dilihat pada tabel dibawah.
28 | P a g e
Tabel 2.1. Jenis dan Alokasi dana Kegiatan Terkait dengan Program Wajar Dikdas dalam APBD 2007-2010
Nama Kegiatan
Tahun 2008 Rp6.064
Tahun 2009 Rp5.438
Tahun 2010 Rp4.249
Rp10.004
Rp14.147
Rp13.911
Rp2.952
Rp0.00
Rp70
Rp0.00
Rp0.00
Rp1.388
Rp737
Rp0.00
Rp650
Pembangunan Sarana Air Bersih dan Sanitary
Rp431
Rp654
Rp0.00
Rp0.00
Pengadaan Buku-buku dan Alat Tulis Siswa
Rp199
Rp60
Rp50
Rp654
Pengadaan Alat Praktik dan Peraga Siswa
Rp270
Rp157
Rp1.598
Rp0.00
Rp4.756
Rp3.029
Rp3.937
Rp0.00
Rehabilitasi Sedang/ Berat Bangunan Sekolah
Rp145
Rp0.00
Rp0.00
Rp0.00
Rehabilitasi Sedang/Berat Rumah Dinas Kepala Sekolah, Guru, Penjaga Sekolah
Rp338
Rp45
Rp0.00
Rp0.00
Rp49.172
Rp49.308
Rp6.051
Rp14.653
Pelatihan Kompetensi Siswa Berprestasi
Rp153
Rp0.00
Rp228
Rp0.00
Pelatihan Penyusunan Kurikulum
Rp176
Rp0.00
Rp148
Rp86
Pembinaan SMP Terbuka
Rp269
Rp50
Rp30
Rp322
Rp14.923
Rp2.240
Rp0.00
Rp0.00
Rp668
Rp0.00
Rp21.547
Rp21.738
Pembangunan Gedung Sekolah Penambahan Ruang Kelas Sekolah Pembangunan Sarana dan Prasarana Olahraga Pembangunan Taman, Lapangan Upacara dan Fasilitas Parkir
Pengadaan Meubelair Sekolah
Rehabilitasi Sedang/Berat Ruang Kelas Sekolah
Penambahan Ruang Kelas Baru SMP/MTS/SMPLB Penyediaan BOS Jenjang SD/MI/SDLB dan SMP/MTS Serta Pesantren Salafiyah dan Santunan Pendidikan
29 | P a g e
(dalam jutaan)
Tahun 2007 Rp3.008
Non-Islam setara SD dan SMP Penyediaan Buku Pelajaran Untuk SD/MI/SDLB dan SMP/MTS
Rp75
Rp0.00
Rp0.00
Rp0.00
Penyelenggaraan Paket A Setara SD
Rp94
Rp70
Rp138
Rp84
Rp799
Rp958
Rp1.117
Rp870
Pembinaan Kelembagaan Sekolah dan Manajemen Berbasis Sekolah dengan Penerapan MBS di satuan Pendidikan Dasar
Rp1.078
Rp1.400
Rp2.289
Rp598
Pembinaan Minat, Bakat dan Kreativitas siswa
Rp1.228
Rp570
Rp305
Rp756
Rp139
Rp50
Rp0.00
Rp0.00
Penyebarluasan dan Sosialisasi Berbagai Informasi Pendidikan Dasar
Rp99
Rp370
Rp0.00
Rp0.00
Rehabilitasi sedang dan berat perpustakaan sekolah
Rp69
Rp0.00
Rp0.00
Rp0.00
Penyelenggaraan Akreditasi Sekolah Dasar
Rp195
Rp0.00
Rp0.00
Rp0.00
Pembangunan Perpustakaan Sekolah
Rp0.00
Rp0.00
Rp0.00
Rp81.852
Penyediaan Dana Pengembangan Sekolah untuk SD/MI dan SMP/MTs
Rp0.00
Rp0.00
Rp0.00
Rp1.155
Penyelenggaraan Paket B Setara SMP
Pengembangan Materi belajar dan Mengajar dan Metode Pembelajaran dengan Menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi
Sumber: APBD kab. Bandung 2007-2010.
30 | P a g e
Berdasar sustainabilitas alokasi belanja, upaya peningkatan akses dilakukan dengan penyelenggaraan 5 kegiatan, yaitu penyadiaan buku dan alat tulis siswa; pembinaan SMP terbuka; penyelenggaraan paket A; paket B; pengadaan alat praktik dan peraga siswa; dan penyediaan dana BOS. Sedangkan upaya terkait penyediaan saranaprasarana pendidikan, ada 5 kegiatan yang setiap tahun dianggarkan, yaitu pembangunan gedung sekolah; penambahan ruang kelas sekolah; rehabilitasi sedang/berat ruang kelas sekolah; pengadaan mebeulair; dan pembangunan taman, lapangan upacara dan fasilitas parkir. Untuk kegiatan yang tekait dengan peningkatan mutu, terdapat 3 kegiatan, yaitu pembinaan kelembagaan sekolah dan manajemen berbasis sekolah; pembinaan minat, bakat, dan kreativitas siswa; serta pelatihan penyusunan kurikulum. Namun, berdasar nominal alokasi anggarannya, penyediaan sarana-prasarana tetap menjadi prioritas utama, disusul upaya terkait peningkatan akses, khususnya berkat tingginya prosentase penyediaan dana BOS yang dialokasikan. Bagan 2.7. Proporsi Belanja yang Rutin Dianggarkan Tiap Tahun, 2007-2010 Pembangunan Gedung Sekolah 8%
6% 16%
17%
Penambahan Ruang Kelas Sekolah 5%
Pengadaan Meubelair Sekolah Rehabilitasi Sedang/Berat Ruang Kelas Sekolah
48%
Penyediaan BOS lainnya
Sumber: APBD kab. Bandung 2007-2010, diolah.
2.2.3. Belanja Peningkatan Akses Dalam struktur belanja pendiidkan dasar, ada kecenderungan pemerintah kabupaten Bandung untuk menggolongkan berbagai kelompok belanja terkait fisik (sarana-prasarana) sebagai strategi utama peningkatan akses. Pemerintah kabupaten Bandung menempatkan kegiatan pembangunan gedung sekolah, penambahan ruang kelas sekolah, dan penambahan ruang kelas baru SMP/MTs/SMPLB sebagai upaya peningkatan akses. Kegiatan rehabilitasi sedang/berat ruang kelas sekolah juga dianggap sebagai upaya peningkatan akses. Pendikotomian antara kelompok belanja akses non fisik dan fisik penting untuk diperhatikan karena berdasarkan dokumen anggaran yang ada, belanja fisik (infrastruktur dasar) memiliki nominal yang jauh lebih besar dibandingkan belanja non fisik. Meski belanja peningkatan akses memiliki jumlah kegiatan terbanyak (11 kegiatan dari 27 kegiatan), pada kenyataannya nominal terbesar ada pada kegiatan-kegiatan terkait pembangunan fisik tersebut. Terlebih bila kegiatan ruang kelas juga diperhitungkan sebagai upaya peningkatan akses, porsi belanja peningkatan akses ini merupakan porsi terbesar dibandingkan dengan kelompok belanja lainnya. Dan apabila 31 | P a g e
berbagai kegiatan terkait fisik tersebut tidak digolongkan sebagai belanja peningkatan akses, jumlah kegiatannya hanya sebanyak 8 kegiatan dan nominal alokasi belanjanya menurun signifikan, seperti pada tahun 2008, dari 24,11 milyar menjadi 1,66 milyar rupiah saja (lihat bagan 2.8 dan 2.9).
Bagan 2.8. Perbandingan Nominal Kategori Belanja, 2007-2010
Bagan 2.9. Perbandingan Nominal Kategori Belanja (akses non fisik), 20072010
Rp140.000.000.000,00
Rp140.000.000.000,00
Rp120.000.000.000,00
Rp120.000.000.000,00
Rp100.000.000.000,00
Rp100.000.000.000,00
Rp80.000.000.000,00
Rp80.000.000.000,00
Rp60.000.000.000,00
Rp60.000.000.000,00
Rp40.000.000.000,00
Rp40.000.000.000,00
Rp20.000.000.000,00
Rp20.000.000.000,00
Rp0,00
Rp0,00 2007
Belanja Infrastruktur Dasar
2008
2009
2010
Belanja Peningkatan Akses
Belanja Peningkatan Mutu
2007 Belanja Infrastruktur Dasar
2008
2009
2010
Belanja Peningkatan Akses
Belanja Peningkatan Mutu
Sumber: APBD kab. Bandung 2007-2010, diolah.
Dengan struktur penganggaran yang demikian, jelas membuktikan bahwa pemerintah daerah memiliki alokasi anggaran yang sangat minim untuk memberi jaminan pembebasan biaya sekolah berstatus negeri, dan membebaskan biaya pendidikan bagi masyarakat miskin. Porsi pembangunan infrastruktur fisik lebih mendominasi dibandingkan porsi kegiatan lainnya dalam struktur anggaran terkait peningkatan akses, termasuk penyediaan dana BOS yang menjadi “tumpuan� untuk melaksanakan berbagai jaminan tersebut. Dana BOS hanya sebesar 36%, lebih rendah dibandingkan dengan pembangunan gedung sekolah dan penambahan ruang kelas yang totalnya mencapai 57%. Sedangkan alokasi belanja kegiatan lainnya, seperti penyelenggaraan paket B dan pengadaan alat praktik dan alat peraga siswa hanya sebesar 3% dan 2%. Alokasi belanja di luar kegiatan-kegiatan tersebut (penyediaan buku pelajaran, penyelenggaraan paket A, penyebarluasan dan sosialisasi berbagai informasi pendidikan hanya sebesar kurang dari 2% saja (lihat bagan 2.10).
32 | P a g e
Bagan 2.12. Komposisi Anggaran Terkait Peningkatan Akses, 2009 Penyelenggaraan Pembangunan Paket B Setara SMP Gedung Sekolah 3% 12%
Penyediaan BOS 35%
Penambahan Ruang Kelas Sekolah 33%
Penambahan Ruang Kelas Baru SMP/MTS/SMPLB 14%
Pengadaan Alat Praktik dan Peraga Siswa 2%
Sumber: APBD kab. Bandung 2007-2010, diolah.
Sebagai tumpuan utama upaya menjamin pembebasan biaya pendidikan, alokasi dana BOS yang dianggarkan oleh pemerintah kabupaten Bandung pada empat tahun pengamatan (2007-2010) ternyata bersifat tidak menentu. Pada tahun 2007, pemerintah daerah hanya mengalokasikan dana BOS sebesar 668 juta rupiah, bahkan pada tahun 2008, sama sekali tidak ada anggaran untuk dana BOS. Peningkatan alokasi dana BOS secara signifikan terjadi pada tahun 2009 yang meningkat sebesar 21,54 milyar, dan di tahun 2010 bertambah menjadi 21,74 milyar rupiah. Bagan 2.14. Nominal dan Total Alokasi dana BOS kab. Bandung, 20072010 Rp50.000.000.000,00 Rp40.000.000.000,00 Rp30.000.000.000,00 Rp20.000.000.000,00 Rp10.000.000.000,00 Rp0,00
2007
Alokasi BOS pertahun Rp668.290.000,00 Total Alokasi BOS
2008 Rp0,00
2009
2010
Rp21.546.620.000 Rp21.737.531.900
Rp668.290.000,00 Rp668.290.000,00 Rp22.214.910.000 Rp43.952.441.900
Sumber: APBD kab. Bandung 2007-2010, diolah.
Sedangkan pada penyelenggaraan paket B, meski secara nominal kecil, besarnya proporsi anggaran penyelenggaraan paket B dibandingkan dengan proporsi belanja program lain selain penyediaan dana BOS, setidaknya memperlihatkan bahwa kegiatan tersebut mendapatkan prioritas yang besar dalam upaya memeratakan kesempatan memperoleh pendidikan setingkat SMP pada jalur non formal. Hal ini di dorong oleh keterbatasan kapasitas dari penyelenggaraan pada satuan pendidikan tingkat SMP pada jalur formal. Selain dari APBD kabupaten, alokasi belanja untuk kegiatan penyelenggaraan paket B juga dianggarkan dari dana pemerintah pusat dan pemerintah 33 | P a g e
propinsi. Namun, porsi dana alokasi dari pusat dan propinsi sangat kecil sekali, seperti pada tahun 2008 yang hanya sebesar 1,56 juta rupiah. Sedangkan berdasarkan efektifitasnya, dari alokasi anggaran pemerintah daerah sebesar 798,64 juta rupiah di tahun 2007, pemerintah berhasil menyelenggarakan pendidikan paket B untuk 2.960 orang, atau berkontribusi setidaknya 1,63% peningkatan APM. Jumlah kepesertaan dalam kegiatan ini akan semakin bertambah mengingat kecenderungan semakin bertambahnya alokasi anggaran untuk kegiatan tersebut di tiap-tiap tahun, meski tidak signifikan. 2.2.4. Pembiayaan Pendidikan: Alokasi Bantuan Biaya Personal Berdasarkan analisis yang telah dikemukakan, pemerintah daerah hanya memiliki kontribusi yang sangat terbatas terhadap upaya untuk mengatasi hambatan biaya personal masyarakat miskin. Terlebih dengan adanya kenyataan bahwa penggunaan anggaran tidak efisien dan efektif. Upaya pemerintah kabupaten Bandung untuk mengatasi biaya personal ini dilakukan hanya dengan pemberian dana BOS. Berdasarkan pasal 62 peraturan pemerintah nomor 19/2005 tentang standar nasional pendidikan, biaya pendidikan terdiri atas biaya investasi, yang meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap; biaya operasi, yang meliputi gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala sesuatu yang melekat pada gaji, bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan biaya operasi tidak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi dan sebagainya; dan biaya personal, meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan. Untuk mengetahui bagaimana upaya yang dilakukan dalam menjamin pembebasan segala biaya pendidikan bagi siswa tidak mampu, analisis mengenai komposisi anggaran yang ditujukan untuk membantu mengurangi beban biaya personal penting untuk dilakukan. Di dalam struktur belanja APBD yang telah dijelaskan, alokasi anggaran untuk pengurangan biaya personal setidaknya ada pada kegiatan penyediaan dana BOS dan penyediaan buku dan alat tulis siswa. Penyediaan dana BOS sebenarnya ditujukan untuk mengurangi biaya operasional yang dikeluarkan sekolah untuk menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar, namum memiliki implikasi pada berkurangnya biaya sekolah yang dibebankan kepada murid. Alokasi dana BOS ini merupakan tambahan kontribusi pemerintah daerah terhadap dana BOS yang telah dialokasikan oleh pemerintah pusat dan propinsi. Namun, pemerintah kabupaten Bandung tidak secara rutin menganggarkan dana BOS di dalam APBD, terbukti dengan tidak adanya alokasi anggaran untuk kegiatan tersebut pada tahun 2008. Kemudian, alokasi penyediaan buku dan alat tulis siswa ditujukan untuk mengurangi biaya personal terkait pengeluaran siswa untuk membeli perlengkapan sekolah, namun, dari besaran dana yang dialokasikan, jumlah buku dan alat tulis siswa yang disediakan sangat terbatas. Meski pemberian beasiswa dan bantuan biaya pendidikan diamanatkan di dalam peraturan daerah, di dalam struktur APBD kabupaten Bandung, tidak ada kegiatan yang secara eksplisit menerangkan adanya pemberian bantuan tersebut dalam program wajar dikdas. Pemberian beasiswa dan bantuan biaya pendidikan hanya dilakukan oleh 34 | P a g e
pemerintah propinsi dan pusat, misalnya dalam alokasi dana dekonsentrasi dimana pada tahun 2008, pemerintah propinsi Jawa Barat menganggarkan kegiatan pemberian bantuan gubernur untuk siswa (BAGUS) dalam rangka program menuju Jabar bebas putus sekolah untuk 3321 siswa SD dan SMP sejumlah total 1,6 milyar rupiah, serta dana penyelenggaraan PKH dari pemerintah pusat sebesar 2 milyar rupiah. Bagan 2.15. Porsi Dana Dekonsentrasi Pemerintah Propinsi untuk Kabupaten Bandung, 2008 penyelenggaraan TK/SD satu atap dan Rp135.000.000,00
Rp15.600.000,00
SMP terbuka (menuju jabar BJPS) penyelenggaraan TK/SD satu atap dan SMP terbuka (menuju jabar BJPS)
Rp1.280.000.000,00 Rp1.660.500.000,00
Rp92.500.000,00 Rp220.000.000,00
pemberian bantuan gubernur untuk siswa (BAGUS) menuju jabar bebas putus sekolah) Pengembangan sarana dan prasarana sekolah luar biasa peningkatan keterampilan dan kreativitassiswa dan guru sekolah luar biasa pembinaan dan pengembangan sekolah bertaraf internasional (SBI) dan sekolah standar
Sumber: LKPJ kabupaten Bandung, 2008, diolah.
Terkait dengan skema pembiayaan, hal yang menarik adalah pada total jumlah penerimaan pendidikan yang di dapat dari partisipasi orang tua siswa (pendapatan dari biaya personal orang tua murid) pada lingkup total proporsi pendapatan di tiap-tiap satuan pendidikan. Pada tahun 2007/2008, dana dari orang tua dan masyarakat terkait penyelenggaraan SD/MI adalah sebesar 6,9 milyar rupiah, dan pada jenjang SMP/MTs adalah sebesar 10,7 milyar. Penerimaan ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan penerimaan sekolah dari pemerintah kabupaten yang hanya sebesar 2 milyar (diluar gaji), dan pemerintah propinsi yang hanya sebesar 1,1 milyar. Pemerintah pusat memberi proporsi sumber penerimaan terbesar, yaitu 96,9 milyar dengan alokasi tertinggi di dapat dari dana BOS, sebesar 93 milyar rupiah.
35 | P a g e
Bagan 2.16. Proporsi Total Penerimaan yang di dapatkan Satuan Pendidikan, 2007/2008 Rp6.968.744.600,00 Rp2.785.000.079,00 Rp1.139.031.465,00 dana dari orang tua dan masyarakat Pemerintah Kab/Kota Pemerintah Propinsi Pemerintah Pusat
Rp96.956.521.424,0 0
Sumber: Statistik Pendidikan kabupaten Bandung 2007/2008, diolah.
Pada proporsi alokasi penerimaan dari partisipasi orang tua siswa, jumlah terbesar di dapat dari uang iuran lainnya (di luar uang pangkal dan uang komite sekolah). Penerimaan uang iuran selain uang pangkal dan komite sekolah yang jauh lebih besar ini adalah karena adanya kontribusi pemasukan yang dilakukan oleh sekolah negeri kepada orang tua murid. Terkait dengan kebijakan dewan pendidikan kabupaten Bandung yang berupaya meningkatkan partisipasi masyarakat melalui pendanaan pendidikan, jumlah biaya personal yang dikeluarkan orang tua murid akan semakin meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Komposisi total penerimaan dari partisipasi orang tua siswa untuk jenjang SD/MI ini dapat dilihat pada bagan 2.17. Bagan 2.17. Proporsi Alokasi Penerimaan dari Partisipasi Orang Tua Siswa, 2007 Rp1.336.636.150,00 Rp45.870.300,00 Rp5.586.238.150,00
Uang Pangkal
Uang Komite Sekolah
Uang Iuran Lainnya
Sumber: Statistik Pendidikan kabupaten Bandung 2007/2008, diolah.
36 | P a g e
BAB III KINERJA PENDIDIKAN: SITUASI TERKINI PENCAPAIAN PENINGKATAN AKSES TERHADAP PENDIDIKAN DASAR DI KABUPATEN BANDUNG Gambaran umum pencapaian pembangunan bidang pendidikan dasar difokuskan pada situasi terkini mengenai hasil-hasil pembangunan yang terkait dengan upaya pemerintah daerah mengatasi hambatan akses masyarakat. Analisis akan ditekankan pada dua bentuk: analisis input pendidikan, yang mencakup kondisi fasilitas pendidikan dasar dan efektifitas penggunaan anggaran; dan analisis output pendidikan, yang mencakup pencapaian pada angka-angka IPM, APK, APM, RLS, dan angka putus sekolah.
3.1.
Input Pendidikan: Ketersediaan Sarana Anggaran dan Sebaran Pemanfaatannya
dan
Prasarana,
Proporsi jumlah sekolah dasar terhadap sekolah menengah pertama dan sederajat memperlihatkan ketimpangan yang cukup besar, terutama apabla kita merujuk pada komposisi antara sekolah negeri dengan swasta. Dengan jumlah SD/MTs negeri sebanyak 1362 unit, jumlah SMP/MTs negeri hanya berjumlah 77 unit. Perbedaan yang kontras juga terjadi pada jumlah sekolah swasta yang berbanding terbalik dengan fenomena komposisi SD dan SMP negeri, dimana jumlah SMP/MTs swasta lebih banyak dibandingkan dengan SD/MI negeri, yaitu 334 berbanding 191. Dengan demikian, jumlah unit SMP/MTs swasta jauh lebih besar dibandingkan dengan SMP/MTs Negeri. Bagan 3.1. Jumlah SD/MI Negeri&Swasta, 2007-2009 1500
Bagan 3.2. Jumlah SMP/MTs Negeri&Swasta, 207-2009 400 300
1000
200 500
100
0
0 2007 SD/MI Negeri
2008 SD/MI Swasta
2009
2007 SMP/MTs Negeri
2008
2009
SMP/MTs Swasta
Sumber: Statistik Pendidikan kabupaten Bandung, 2007/2008-2009/2010, diolah.
Berdasar kecenderungan, pertumbuhan sekolah swasta baik pada jenjang SD/MI maupun SMP/MTs lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah berstatus negeri. Dengan jumlah anggaran sebesar 14,5 milyar atau rata-rata pertahun sebesar 4,8 milyar rupiah, pemerintah membangun sekolah baru sebanyak 20 unit di tingkat SMP/MTs negeri atau 6-7 sekolah pertahun (lihat bagan 3.3). Berdasar tingkat pencapaian demikian, rasio pertumbuhan unit sekolah pertahun pada jenjang SMP/MTs negeri dengan swasta adalah 7:14 atau 1:2, sedangkan pada jenjang SD/MI, perbandingan pertumbuhan 37 | P a g e
antara sekolah negeri dan swasta adalah sebesar -16:13. Dengan asumsi bahwa tidak ada perubahan pada proporsi rasio ini pada tahun-tahun selanjutnya, dapat disimpulkan bahwa dalam penyediaan unit sekolah, pemerintah kabupaten Bandung lebih memprioritaskan kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan sekolah swasta secara signifikan, dan mengurangi kontribusinya dalam penyediaan layanan pendidikan berstatus negeri. Bagan 3.3. Pertumbuhan Sekolah dan Anggaran Pembangunan Sekolah, 2007-2009
1600
2007
2007,5
1410
2008
2008,5
1378
1400
2009
2009,5 Rp16.000,00 Rp14.510,00 Rp14.000,00
1362
Jumlah
1200
Rp12.000,00
1000
Rp10.000,00
Rp9.072,00
800
Rp8.000,00
600
Rp6.000,00
400 200
Rp4.000,00 57
71
77
0
Rp2.000,00
Anggaran (x 1.000.000)
2006,5
Rp0,00 2007
2008
2009
Tahun SD dan MI Negeri
SD dan MI Swasta
SMP dan MTs Negeri
SMP dan MTs Swasta
Anggaran (nominal)
Anggaran (total)
Sumber: Statistik Pendidikan kab. Bandung, 2007/2008-2009/2010 dan APBD 2007-2009, diolah.
Kesenjangan jumlah sekolah antar kecamatan dan antar jenjang sekolah juga sangat tinggi. Rasio jumlah sekolah terhadap jumlah murid di kabupaten Bandung untuk sekolah jenjang SD sederajat adalah sebesar 1:264 dan SMP sederajat sebesar 1:349. Rasio ini berbeda pada tiap-tiap kecamatan, dimana pada jenjang SD sederajat, rasio terkecil ada di kecamatan Katapang, yaitu 1:157, dan tertinggi di kecamatan Kertasari, yaitu 1:364. Sedangkan untuk jenjang SMP sederajat, rasio terkecil terdapat pada kecamatan Cimenyan, yaitu 1:193, dan tertinggi di kecamata Katapang, sebesar 1:619. Meski demikian, apabila diasumsikan keseluruhan penduduk usia SD (7-12 tahun) dan SMP (13-15 tahun) bersekolah, rasio tertinggi penduduk usia sekolah berbanding jumlah sekolah adalah di kecamatan Baleendah sebesar 1:451 (untuk SD sederajat) dan Kertasari sebesar 1:921 (untuk SMP sederajat) (lihat bagan 3.4 dan 3.5).
38 | P a g e
Bagan 3.4. Rasio Murid dengan Jumlah Sekolah, SD-SMP sederajat, 2009
Bagan 3.5. Rasio Penduduk Usia Sekolah dengan Jumlah sekolah, SD-SMP sederajat
Kab.Bandung
Kab.Bandung
Soreang
Soreang
Solokanjeruk
Solokanjeruk
Rancaekek
Rancaekek
Rancabali
Rancabali
Pasirjambu
Pasirjambu
Paseh
Paseh
Pangalengan
Pangalengan
Pamengpeuk
Pamengpeuk
Pacet
Pacet Nagerg
Nagerg Margahayu
Margahayu
Margaasih
Margaasih
Majalaya
Majalaya
Kutawaringin
Kutawaringin Kertasari
Kertasari Katapang
Katapang
Ibun
Ibun Dayeuhkolot
Dayeuhkolot
Ciwidey
Ciwidey
Ciparay
Ciparay
Cimenyan
Cimenyan
Cimaung
Cimaung
Cileunyi
Cileunyi
Cilengkrang
Cilengkrang
Cikancung
Cikancung Cicalengka
Cicalengka
Cangkuang
Cangkuang
Bojongsoang
Bojongsoang Banjaran
Banjaran
Baleendah
Baleendah
Anjarsari
0
200
400
SMP/MTSNegeri&Swasta
Anjarsari
600
800
SD/MINegeri&Swasta
0
200
400
SMP/MTSNegeri&Swasta
600
800
1000
SD/MINegeri&Swasta
Sumber: Statistik Pendidikan kabupaten Bandung 2009/2010, diolah.
Perbedaan jumlah sarana dan prasarana pendidikan dasar juga dapat terlihat dari perbedaan jumlah ruang sekolah di tiap-tiap kecamatan. Ketimpangan distribusi ini terlihat dari proporsi jumlah ruang kelas dengan jumlah murid di tiap-tiap kecamatan tersebut. Berdasar statistik pendidikan tahun 2009/2010, kecamatan yang memiliki rasio terendah jumlah ruang kelas berbanding jumlah murid adalah kecamatan Cilengkrang dengan perbandingan 1:21 (SMP sederajat), dan tertinggi di kecamatan Cicalengka (1:65). Sedangkan pada jenjang SD sederajat, rasio terendah di kecamatan Cangkuang (1:31), dan tertinggi di kecamatan Baleendah (1:61). Sebaran ruang kelas dan sekolah yang tidak merata tersebut mengindikasikan adanya wilayah yang mengalami kekurangan ruang kelas dan ada yang memiliki ruang kelas yang berlebih. Meski apabila merujuk pada jumlah siswa di tiap-tiap kecamatan, jumlah ruang kelas yang terdapat di kecamatan (pada jenjang SD sederajat) tersebut telah ideal, namun bila merujuk pada proporsi penduduk usia sekolah, masih terdapat 4 kecamatan yang kekurangan ruang sekolah, terutama di kecamatan Baleendah. Hal ini 39 | P a g e
mengindikasikan adanya permasalahan ketidaktercukupan daya tampung apabila APM meningkat di kecamatan tersebut. Selain itu, ada fenomena ketimpangan distribusi murid yang terjadi di kecamatan Cangkuang, yang berarti ada sekolah yang kelebihan murid dan ada yang kekurangan murid. Bagan 3.6. Kecukupan Ruang Kelas tingkat SD sederajat (data 2009)
Bagan 3.7. Kecukupan Ruang Kelas Berdasar Jumlah Penduduk tingkat SD sederajat (data 2009)
Cangkuang
45 40
45
35
40
DyKolot
Baleendah DyKolot
35
Rancabali
30
Cilengkrang
50
Cangkuang Rancabali
30
25
Katapang
25
20
20
15
Margahayu
15
10
10
5
5
0
0 0
0,5
1
1,5
2
0
0,5
1
1,5
2
Sumber: Statistik Pendidikan kabupaten Bandung 2009/2010, diolah.
Kemudian, pada jenjang SMP sederajat, sebagian besar kecamatan sangat kekurangan ruang kelas. Dari total 32 kecamatan, hanya 2 kecamatan yang setidaknya dapat dikatakan ideal, yaitu kecamatan Ciwidey dan Dayeuhkolot, dan kecamatan yang paling membutuhkan penambahan ruang kelas SMP baru adalah kecamatan Margaasih. Pada jenjang SMP sederajat, juga terdapat fenomena adanya distribusi murid yang tidak merata pada tiap-tiap sekolah, yaitu di kecamatan Pamengpeuk. Ini berarti, di kecamatan tersebut ada sekolah yang memiliki murid berlebih dan ada sekolah yang kekurangan murid. Bagan 3.8. Kecukupan Ruang Kelas tingkat SMP sederajat (data 2009) 60
Bagan 3.9. Kecukupan ruang kelas berdasar jumlah Penduduk tingkat SMP sederajat (data 2009) 160
Margaasih
Cilengkrang
120
Cilengkrang
40
Margaasih
140
Cicalengka
50
100
30
80 Rancaekek
Pamengpeu k
20 10
60 40 20
0
Pamengpeu k
Ciwidey DyKolot
0 0
1
2
3
4
0
1
2
3
4
40 | P a g e
Sumber: Statistik Pendidikan kabupaten Bandung 2009/2010, diolah.
Pemerintah kabupaten Bandung telah berupaya untuk mengatasi permasalahan keterbatasan ruang kelas ini, yaitu dengan menganggarkan kegiatan penambahan ruang kelas baru sebesar 55 milyar atau 18,33 milyar rupiah pertahun. Anggaran tersebut berhasil meningkatkan jumlah ruang kelas sebanyak 228 unit pada tingkat SMP/MTs negeri, sedangkan ruang kelas di tingkat SD/MI negeri justru berkurang, dari 8802 di tahun 2008, menjadi 7930 unit di tahun 2009 atau berkurang 872 ruangan (lihat bagan 3.10). Penggunaan anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah daerah untuk membangun ruang kelas baru juga tidak efisien. Meski jumlah ruang kelas yang telah dibangun cukup besar, namun perlu diperhatikan adanya peningkatan jumlah sekolah pada tahun 2009 sebanyak 20 unit. Apabila diasumsikan 1 unit sekolah baru tersebut memiliki 6 ruang kelas, kontribusi pembangunan sekolah baru terhadap penambahan jumlah ruang kelas adalah sebesar 120 ruangan. Dengan demikian, jumlah ruang kelas yang berhasil dibangun hanya sebanyak 108 unit dimana 1 ruang sekolah menghabiskan anggaran 509 juta rupiah.
10000
Rp60.000.000.000,00
8000
Rp50.000.000.000,00 Rp40.000.000.000,00
6000
Rp30.000.000.000,00 4000
Rp20.000.000.000,00
2000
Anggaran
Jumlah ruang kelas
Bagan 3.10. Perkembangan Jumlah Ruang kelas SD-SMP dan Anggaran, 20072009
Rp10.000.000.000,00
0
Rp0,00 2007
2008
2009
Tahun Jumlah ruang kelas SD negeri
Jumlah ruang kelas SMP negeri
Anggaran Pembangunan Sekolah
Total Anggaran Pembangunan Sekolah
Sumber: Statistik Pendidikan kabupaten Bandung 2007/2008-2009/2010 dan APBD 2007-2009, diolah.
Selain permasalahan persebaran ruang kelas yang tidak merata, masalah lain yang patut diperhatikan adalah kondisi ruang kelas. Pada jenjang SD negeri sederajat, ruang kelas yang berkategori rusak berat sejumlah 1711 ruang di tahun 2009, atau berkurang 763 dari jumlah ruang kelas rusak pada tahun sebelumnya. Kecamatan yang memiliki jumlah kelas yang rusak paling tinggi—baik pada Jenjang SD/MI maupun SMP/MTs—adalah kecamatan Pangalengan dengan jumlah yang signifikan dibandingkan dengan kecamatan lainnya, 253 unit (SD/MI negeri).
41 | P a g e
300 250 200 150 100 50 0 Anjarsari Baleendah Banjaran Bojongsoang Cangkuang Cicalengka Cikancung Cilengkrang Cileunyi Cimaung Cimenyan Ciparay Ciwidey Dayeuhkolot Ibun Katapang Kertasari Kutawaringin Majalaya Margaasih Margahayu Nagerg Pacet Pamengpeuk Pangalengan Paseh Pasirjambu Rancabali Rancaekek Solokanjeruk Soreang
Jumlah
Grafik 3.1. Jumlah Kelas Rusak tingkat SD-SMP sederajat perKecamatan, 2009
Jumlah Rusak Berat (SD/MI Negeri&Swasta
Jumlah Rusak Berat (SMP/MTs Negeri&Swasta
Sumber: Statistik Pendidikan kabupaten Bandung 2009/2010, diolah.
Dalam struktur alokasi anggaran pada tahun 2007-2010, kegiatan rehabilitasi sedang dan berat ruang kelas sekolah merupakan alokasi terbesar program wajar dikdas, yaitu 48% dari total alokasi anggaran program. Dalam RKPD kabupaten Bandung pada 4 tahun pengamatan tersebut, masalah kerusakan ruang kelas sekolah menjadi salah satu perhatian utama. Hal ini mengingat masih banyaknya ruang kelas yang rusak berat, terutama pada jenjang SD/MI. Pada tahun 2008 misalnya, jumlah ruang kelas SD/MI negeri yang rusak sebanyak 2474 buah dan SMP/MTs negeri sebanyak 60 buah. Dari total alokasi belanja untuk rehabilitasi sebesar 38 milyar (tahun 2007-2010), jumlah ruang kelas yang dapat diperbaiki hanya 121 buah ruangan SD/MI negeri, atau hanya 6,4% dari total ruang kelas yang rusak berat pada tahun 2008, sementara ruang kelas rusak berat pada tingkat SMP/MTs semakin meningkat dari tahun ke tahun. Grafik 3.2. Perkembangan Ruang Kelas Rusak Ringan dan Berat, SDSMP Negeri sederajat, 2007-2009 3000
Jumlah
2500 2000
SD rusak ringan
1500
SD rusak berat
1000
SMP rusak ringan SMP rusak berat
500 0 2007
2008
2009
Sumber: Statistik Pendidikan kabupaten Bandung 2007/2008-2009/2010, diolah.
Dari grafik diatas, terlihat masih banyaknya kebutuhan untuk perbaikan ruang kelas karena masih ada 1711 ruang kelas SD/MI dan 102 ruang kelas SMP/MTs negeri 42 | P a g e
yang rusak berat di tahun 2009, ditambah dengan potensi peningkatan status rusak ringan menjadi rusak berat. Dengan mengambil asumsi tidak adanya penambahan ruang kelas rusak lagi pada tahun-tahun berikutnya dan dengan kemampuan realisasi seperti itu, kabupaten Bandung setidaknya masih membutuhkan anggaran sebesar 537,25 milyar rupiah lagi untuk memperbaiki keseluruhan ruang yang rusak berat tersebut, atau merujuk pada kemampuan penganggaran sebesar 12,67 milyar pertahun, akan membutuhkan waktu 43 tahun untuk memperbaiki semuanya, dan anggaran sebesar itu-pun hanya untuk rehabilitasi kelas di tingkat SD/MI negeri. Dengan kemampuan realisasi anggaran yang demikian, serta masih banyaknya kebutuhan untuk memperbaiki sekolah yang rusak, proporsi anggaran untuk rehabilitasi ruang kelas ini tetap akan menjadi irisan anggaran yang terbesar dibandingkan dengan kegiatan lainnya dalam program wajar dikdas pada tahun-tahun berikutnya, apabila tidak ada perubahan yang signifikan dalam kebijakan pendidikan pemerintah daerah.
3.2.
Analisis Output: Pencapaian Angka-angka Peningkatan dan Pemerataan Akses
dalam
Upaya
Dengan kondisi infrastruktur dan penganggaran tersebut, pemerintah kabupaten Bandung telah berhasil meningkatkan angka IPM, APM, APK, dan RLS, serta berupaya menurunkan angka putus sekolah. Angka RLS menunjukkan peningkatan yang makin membaik tiap tahunnya, meski peningkatan tersebut tidak terjadi secara signifikan. RLS merangkak naik dari angka 8.03 pada tahun 2004, menjadi 8.87 pada tahun 2009. Bagan 3.11. Rata-rata Lama Sekolah, 2004-2009 9 8,8
8,87
2008
2009
8,58
8,6
8,39
8,4 8,2
8,86
8,26 8,03
8 7,8 7,6 2004
2005
2006
2007
Sumber: BPS, Indeks Pembangunan Manusia 2009
Berdasar data tahun 2009, pemerintah berhasil meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) tingkat SD sederajat sebesar 13,28 poin, atau meningkat dari 88,26% menjadi 102,44%. Peningkatan juga terjadi pada APM SD, dimana pada tahun 2008 hanya sebesar 76,50%, di tahun 2009 meningkat menjadi 89,04%. Sedangkan APK jenjang SMP sederajat, meningkat dari 53,07% menjadi 69,45%, dan APM pada jenjang ini menurun dari 53,07% menjadi 51,63% di tahun 2009. Meski demikian, pencapaian APK dan APM ini berbeda-beda tiap kecamatan. Pada jenjang SD sederajat, kecamatan yang memiliki APK dan APM tertinggi tahun 2009 diraih oleh kecamatan Margahayu, yaitu sebesar 146,90% dan 125,05%. Dan terendah di kecamatan Cilengkrang, sebesar 74,80% dan 66,82%. Ketimpangan angka APK dan 43 | P a g e
APM yang lebih kontras terjadi pada jenjang SMP sederajat, dimana APK dan APM tertinggi dimiliki Dayeuhkolot sebesar 111, 03% dan 77,77%, sedangkan terendah dimiliki kecamatan Cilengkrang, 28,75% dan 20,92%. Dari hasil perbandingan antara data APK-APM tahun 2008 dan 2009, fenomena menarik ada pada kecamatan Cikancung, dimana pada tahun 2008 memiliki APM jenjang SMP sederajat sebesar 169,15%, pada tahun 2009 turun signifikan menjadi 38,44% (lihat grafik 3.3). Grafik 3.3. Perkembangan APK dan APM SD-SMP sederajat perKecamatan,2008-2009 Perkembangan APK SD/MI per-kecamatan, 2008-2009
Anjarsari Baleendah Banjaran Bojongsoang Cangkuang Cicalengka Cikancung Cilengkrang Cileunyi Cimaung Cimenyan Ciparay Ciwidey Dayeuhkolot Ibun Katapang Kertasari Kutawaringin Majalaya Margaasih Margahayu Nagerg Pacet Pamengpeuk Pangalengan Paseh Pasirjambu Rancabali Rancaekek Solokanjeruk Soreang Kab.Bandung
160,00% 140,00% 120,00% 100,00% 80,00% 60,00% 40,00% 20,00% 0,00%
Perkembangan APM SD/MI per-kecamatan, 2008-2009
Anjarsari Baleendah Banjaran Bojongsoang Cangkuang Cicalengka Cikancung Cilengkrang Cileunyi Cimaung Cimenyan Ciparay Ciwidey Dayeuhkolot Ibun Katapang Kertasari Kutawaringin Majalaya Margaasih Margahayu Nagerg Pacet Pamengpeuk Pangalengan Paseh Pasirjambu Rancabali Rancaekek Solokanjeruk Soreang Kab.Bandung
140,00% 120,00% 100,00% 80,00% 60,00% 40,00% 20,00% 0,00%
Perkembangan APK SMP/MTs per-kecamatan, 2008-2009 250,00% 200,00% 150,00% 100,00% 50,00% Anjarsari Baleendah Banjaran Bojongsoang Cangkuang Cicalengka Cikancung Cilengkrang Cileunyi Cimaung Cimenyan Ciparay Ciwidey Dayeuhkolot Ibun Katapang Kertasari Kutawaringin Majalaya Margaasih Margahayu Nagerg Pacet Pamengpeuk Pangalengan Paseh Pasirjambu Rancabali Rancaekek Solokanjeruk Soreang Kab.Bandung
0,00%
44 | P a g e
Perkembangan APM SMP/MTs per-kecamatan, 2008-2009
Anjarsari Baleendah Banjaran Bojongsoang Cangkuang Cicalengka Cikancung Cilengkrang Cileunyi Cimaung Cimenyan Ciparay Ciwidey Dayeuhkolot Ibun Katapang Kertasari Kutawaringin Majalaya Margaasih Margahayu Nagerg Pacet Pamengpeuk Pangalengan Paseh Pasirjambu Rancabali Rancaekek Solokanjeruk Soreang Kab.Bandung
180,00% 160,00% 140,00% 120,00% 100,00% 80,00% 60,00% 40,00% 20,00% 0,00%
APM2009
APM2008
Sumber: Statistik Pendidikan kabupaten Bandung 2008/2009-2009/2010, diolah.
Meski pencapaian APK dan APM tersebut patut dibanggakan, pada penyelenggaraan pendidikan dasar, masih ditemukan berbagai kasus putus sekolah. Pada tahun 2009 saja, jumlah siswa yang putus sekolah sejumlah 113 siswa untuk tingkat SD sederajat, dan 658 siswa ditingkat SMP, meski menurun signifikan dari tahun sebelumnya, yaitu 315 untuk jenjang SD sederajat, dan 834 untuk jenjang SMP sederajat. Jumlah ini dengan catatan bahwa angka partisipasi kasar SD sebesar 89,04, dan SMP sebesar 69,45% saja. Hal ini berarti potensi atau kemungkinan putus sekolah masih tetap tinggi meski terjadi kenaikan angka partisipasi pada kedua jenjang pendidikan tersebut, atau dengan kata lain, apabila sumber kerentanan yang mengakibatkan siswa mengalami putus sekolah tidak diatasi, kemungkinan terjadinya putus sekolah semakin besar meski angka partisipasi meningkat. Perbedaan jumlah siswa putus sekolah-pun berbeda-beda di tiap-tiap kecamatan dan jenis kelamin. Pada jenjang SD maupun SMP sederajat, laki-laki merupakan kelompok dengan jumlah angka putus sekolah terbesar. Kecamatan Ibun merupakan kecamatan yang memiliki angka putus sekolah tertinggi di tahun 2008 untuk tingkat SD sederajat. Sedangkan di tahun 2009, kecamatan Pacet memiliki jumlah siswa putus sekolah terbesar setelah Pangalengan. Kecamatan Pangalengan merupakan kecamatan yang paling parah untuk tingkat SD sederajat, karena kecamatan tersebut memiliki jumlah siswa putus sekolah yang tinggi dari tahun ke tahun (tidak ada penurunan signifikan).
45 | P a g e
Grafik 3.4. Jumlah Siswa SD/MI Negeri&Swasta Putus Sekolah (Laki-Laki, 2008-2009) 60
Jumlah
50 40 30 20 10 Anjarsari Baleendah Banjaran Bojongsoang Cangkuang Cicalengka Cikancung Cilengkrang Cileunyi Cimaung Cimenyan Ciparay Ciwidey Dayeuhkolot Ibun Katapang Kertasari Kutawaringin Majalaya Margaasih Margahayu Nagerg Pacet Pamengpeuk Pangalengan Paseh Pasirjambu Rancabali Rancaekek Solokanjeruk Soreang
0
2009
2008
Jumlah
Grafik 3.5. Jumlah Siswa SD/MI Negeri&Swasta Putus Sekolah (Perempuan, 2008-2009) 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
2009
2008
Sumber: Statistik Pendidikan kabupaten Bandung 2008/2009-2009/2010, diolah.
Sedangkan pada jenjang SMP sederajat, perbedaan jumlah siswa putus sekolah per kecamatan sangat kontras. Kecamatan yang paling tinggi tingkat putus sekolah adalah kecamatan Ciparay (pada tahun 2008) dan Pacet (tahun 2009). Kecamatankecamatan lain yang memiliki jumlah siswa putus sekolah tinggi adalah kecamatan Anjarsari, Ibun, Kutawaringin, Pangalengan dan Solokanjeruk (tahun 2008), Ciparay, Ibun, Kertasari, dan Pangalengan (tahun 2009) dengan jumlah lebih dari 30 siswa.
46 | P a g e
Jumlah
Grafik 3.6. Jumlah Siswa SMP/MTs Negeri& Swasta Putus Sekolah (Laki-Laki, 2008-2009) 80 70 60 50 40 30 20 10 0
2009
2008
Grafik 3.6. Jumlah Siswa SMP/MTs Negeri&Swasta Putus Sekolah (Perempuan, 2008-2009) 60
Jumlah
50 40 30 20 10 0
2009
2008
Sumber: Statistik Pendidikan kabupaten Bandung 2008/2009-2009/2010, diolah.
Untuk menilai kinerja Pendidikan, angka IPM juga penting untuk diperhatikan. Angka IPM memang tidak hanya menginformasikan berbagai pencapaian pendidikan, namun angka ini penting karena dapat menjelaskan prestasi dan potensi sebenarnya dari tiap-tiap kecamatan. Prestasi yang dimaksud disini adalah pencapaian dibidang pendidikan dan status kesehatan, sedangkan potensi terlihat dari kemampuan masyarakat dalam bidang ekonomi, khususnya terkait dengan kemampuan daya beli, sehingga sangat vital digunakan untuk menilai kemampuan masyarakat dalam membiayai pengeluaran pendidikan. Pada tahun 2009, IPM kabupaten Bandung adalah 73,39, mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya, sebesar 72,50. Angka IPM ini terus mengalami peningkatan tiap tahun, dengan tingkat pertumbuhan yang cukup baik seperti yang ditunjukkan pada grafik 3.7.
47 | P a g e
Grafik 3.7. Pertumbuhan IPM, 2004-2009 1
0,95
0,6
0,89
0,85
0,8 0,64
0,62
0,4 0,2 0 2004-2005 2005-2006 2006-2007 2007-2008 2008-2009 Sumber: BPS, Indeks Pembangunan Manusia 2009
Meski peningkatan angka IPM secara umum cukup baik, angka perkecamatan memperlihatkan ketimpangan yang cukup tinggi. Data tahun 2009 menerangkan bahwa hanya 7 kecamatan yang IPM-nya berada di atas angka kabupaten, yaitu kecamatan Cileunyi, Margahayu, Dayeuhkolot, Rancaekek, Bojongsoang, Margaasih, Katapang. Sedangkan 24 kecamatan lainnya berada dibawah angka rata-rata kabupaten. Kecamatan-kecamatan dengan IPM terendah adalah Kertasari (67,70), Rancabali (69,66), Cikancung (69,25), Pacet (70,02) dan Solokanjeruk (70,04). Kecamatan tersebut memiliki IPM yang rendah karena wilayah tersebut memiliki infrastruktur pendidikan yang kurang memadai, merupakan daerah rural (pedesaan) yang berpengaruh juga terhadap tingkat kesadaran akan pendidikan dan kemampuan untuk memperoleh pekerjaan memadai yang jauh lebih sulit (lihat BPS, Indeks Pembangunan Manusia kabupaten Bandung tahun 2009).
48 | P a g e
BAB IV HAMBATAN AKSES: REALITAS PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DASAR DI KABUPATEN BANDUNG
4.1.
Kesadaran Masyarakat Terhadap Pendidikan: Nilai-nilai dan Persepsi yang Melatarbelakanginya
Secara umum, kesadaran mengenai pentingnya menyekolahkan anak pada jenjang pendidikan dasar telah baik. Tingginya kesadaran ini membuat hampir keseluruhan anak usia 7-12 tahun di desa- desa yang diteliti bersekolah dan cukup banyak anak usia 13-15 tahun tetap bersekolah. Faktor ekonomi merupakan motivasi utama yang mendorong orang tua dari kelompok miskin untuk menyekolahkan, atau tidak menyekolahkan anak mereka. Bagi mayoritas kelompok masyarakat miskin yang yang menganggap sekolah adalah hal yang penting, mereka memiliki pandangan bahwa ‘ketidakberuntungan hidup’ yang mereka alami disebabkan karena pendidikan yang mereka miliki rendah sehingga dengan cara apapun akan berupaya untuk menyekolahkan anaknya agar memiliki ‘nasib’ yang lebih baik daripada orang tuanya, khususnya di bidang ekonomi. Mereka terdorong oleh kepercayaan bahwa dengan bersekolah, anak mereka akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dikemudian hari. Sedangkan, bagi masyarakat miskin yang menganggap pendidikan merupakan hal yang tidak penting, di dorong oleh adanya kenyataan bahwa di lingkungan tempat tinggalnya banyak lulusan sekolah formal yang masih menganggur, bekerja serabutan dan tidak memiliki harta benda yang banyak. Mereka bahkan memiliki ijasah SMA dan perguruan tinggi. Pencapaian akan pendidikan ini dianggap tidak berarti apa-apa dengan membandingkan bahwa ada tetangga mereka yang meski tidak mengenyam pendidikan formal, namun berhasil secara ekonomi—memiliki rumah yang besar, kendaraan lebih dari satu, pabrik, dan uang banyak. Hal ini mendorong masyarakat berfikiran negatif, dengan menganggap pendidikan hanya membuang uang dan waktu tanpa kepastian akan masa depan yang lebih baik dengan bersekolah, karena mereka menganggap bisa menjadi kaya raya meski tanpa bersekolah. Dengan demikian, mereka lebih mendorong anaknya untuk bekerja dibandingkan dengan bersekolah. Fenomena ini ditemui di desa Dukuh kecamatan Ibun, dimana banyak anak usia sekolah yang didorong untuk bekerja dan banyak industri rumahan yang bersedia mempekerjakan anak usia sekolah dengan tidak menetapkan batasan umur. Box 4.1. Desa Dukuh dan Pekerja Anak
Desa dukuh terletak di kecamatan Ibun, berbatasan langsung dengan kecamatan Paseh. Dengan letak geografis berada di punggung gunung, kondisi jalan yang terjal, berbukit-bukit dan rusak 49 | P a g e
menjadikan desa ini terisolir dengan desa-desa lain di bawah. Pekerjaan asli penduduk desa dukuh adalah petani untuk lahan tadah hujan. Dengan kondisi alam yang semakin memprihatinkan dan alih fungsi lahan kritis oleh Perhutani dimana banyak yang dipergunakan untuk membudidayakan kopi membuat mata pencaharian sebagai petani semakin tidak menentu masa depannya. Dengan berkembangnya industri rumah tangga di daerah ini, mayoritas penduduk kemudian beralih pada pekerjaan lain, yaitu buruh pengrajin. Berkembangnya industri rumah tangga tersebut, seperti pembuatan lap pel, lap piring dan rajutan yang padat karya dengan upah rendah membawa dampak tersendiri bagi kepesertaan masyarakat di sekolah. Dengan keterbatasan ekonomi dan keinginan atau dorongan untuk membantu orang tua, banyak yang memilih untuk putus sekolah. “hambatannya ya tergiur kerja we, karena disini lingkungannya banyak pengrajin, kan prinsip mereka begini, Cina we teu sakola, beunghar (hambatannya tergiur kerja, karena disini lingkungannya banyak pengrajin, dan mereka memiliki prinsip, [orang] Cina saja tidak sekolah, [mereka bisa] kaya raya)” begitulah kata-kata yang diucapkan oleh kepala desa Dukuh untuk menggambarkan masyarakatnya. Namun, yang lebih memberatkan adalah pada kondisi dimana ada kepercayaan masyarakat yang meyakini bahwa dengan bersekolah tidak menjamin mereka bisa kaya. “dari SMA nganggur. Jadi ada satu orang sekolah sampai SMA, orang tua teh, jual rumah, jual naon ... lulus SMA, nganggur ... malah ke pabrik juga tidak masuk.” Begitu kepala desa mengisahkan. Ia juga menerangkan bahwa untuk kerja dipabrikpun harus membayar 2 juta rupiah dengan sistem kerja kontrak. Dampaknya di masyarakat, mereka berfikir, “ah, ceuna naon di gawe ke, sekolah luhur teu boga duit. Mending nyuruh kerja anak, jadi duit (ah, katanya apa [lebih baik] di pekerjakan, sekolah tinggi tetapi tidak punya uang. Lebih baik menyuruh anak bekerja, bisa menghasilkan uang).” Ia bahkan mengisahkan temannya yang sukses dan hanya berpendidikan SD. Setelah lulus SD, temannya tersebut bekerja di pengrajin dan sekarang telah memiliki pabrik sendiri dan mobil berjumlah 6 buah, sedangkan ia yang berpendidikan S1, “boro-boro mobil, motor ge teu gaduh (jangankan mobil, motor saja tidak punya).” Yang jadi masalah adalah masyarakat sering membanding-bandingkan kesuksesan ekonomi dengan tingkat pendidikan, “ah,.. mending digawe we, itu disini banyak yang sukses, pendidikan SD (ah, lebih baik dipekerjakan, di sini banyak yang sukses meski berpendidikan SD).” “Di desa dukuh ini ada 3-4 orang pengrajin pendidikan SD, dia berhasil. Mobil punya lebih dari 3, tiap bulan beli tanah, pabrik punya. (sedangkan) Ada yang pendidikan SMA, dia bisnis malah bangkrut. Ini, saya juga heran.” Pungkasnya.
Pada kelompok masyarakat miskin lainnya, persepsi bahwa pendidikan itu tidak penting adalah karena status sebagai lulusan sekolah tidak banyak menjamin adanya peningkatan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Ini banyak dialami oleh masyarakat yang berlatar belakang buruh, baik buruh serabutan, buruh tani maupun buruh pabrik. Mereka melihat tidak adanya pilihan pekerjaan yang lebih baik yang terbuka bila mereka bersekolah, sebab banyak masyarakat yang telah menamatkan pendidikan, pada akhirnya tetap memiliki profesi sebagai buruh. Faktor pendorong lain adanya persepsi akan tidak pentingnya pendidikan adalah dengan terbukanya kesempatan bagi masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan tanpa menunjukkan ijasah sekolah formal, seperti pekerjaan sebagai tenaga kerja di luar 50 | P a g e
negeri, ataupun kerja sebagai buruh pabrik dengan adanya jasa “membayar orang dalem� dan “ijasah palsu�. Fenomena ini ditemui di desa Mekarjaya dan Cibodas. Box 4.2. Cibodas: Buruh pabrik atau buruh yang dipabrikkan?
Cibodas terletak di kecamatan Solokanjeruk. Berbeda dengan desa-desa lain, desa Cobodas berada jauh dari jalan utama Solokanjeruk, jadi untuk menjangkau berbagai sarana publik, mereka harus menggunakan alat transportasi, seperti andong dan ojeg. Dengan karakteristik kecamatan Solokanjeruk yang mengandalkan sektor industri, mayoritas warga desa Cibodas berprofesi sebagai buruh pabrik. Mereka banyak yang bekerja pada industri-industri garmen dengan sistem kerja kontrak. Dengan karakteristik padat karya dan buruh murah, permasalahan pendidikan mucul sebagai dampak dari adanya sistem kerja yang demikian. Karena tidak ada kemampuan khusus yang dipersyaratkan untuk bekerja, banyak masyarakat yang lebih memilih untuk bekerja. Dimulai dari memalsukan umur, hingga adanya oknum yang bersedia memasukkan mereka dengan menyetorkan sejumlah uang. Persyaratan pendidikan mininal juga tidak dipermasalahkan karena adanya kemungkinan diterima dengan menggunakan ijasah palsu. Dengan adanya kemudahan ini, praktis, sekolah sudah tidak lagi dianggap berkontribusi dalam meningkatkan peluang untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Dampaknya, orang tua menjadi lebih memilih untuk memasukkan anak mereka ke pabrik dibandingkan bersekolah, karena mereka akan mendapat uang, dan sekolah dianggap hanya membuang uang. Toh, nasib antara anak yang sekolah dengan yang tidak tak ada bedanya. Begitulah yang ada di fikiran mereka.
Mayoritas kelompok masyarakat miskin yang memiliki pandangan bahwa pendidikan merupakan hal yang tidak penting memiliki latar belakang pendidikan yang rendah. Satu contoh di desa Tarumajaya kecamatan Kertasari, ada satu keluarga yang anggota keluarganya sama sekali tidak pernah disekolahkan oleh orang tuanya, orang tua tersebut tidak merasakan pentingnya menyekolahkan anak karena merekapun tidak pernah mendapatkan pendidikan formal, dengan berbagai alasan, terutama keterbatasan ekonomi dan ketiadaan figur individu yang bersekolah tinggi dan berhasil dari segi ekonomi. Kemudian, penting tidaknya pendidikan juga dinilai berdasarkan untung rugi yang mereka akan dapatkan dalam hal ekonomi. Masyarakat melihat pendidikan merupakan perkara mengorbankan uang dan waktu yang mereka miliki saat ini, untuk hal yang belum dapat dirasakan atau belum tentu akan didapatkan pada masa yang akan datang. Meski ada kebijakan pendidikan gratis, ada opprotunity cost yang masih dirasa mahal untuk mereka korbankan dengan bersekolah. Kebijakan pendidikan gratis memang terbukti dapat mendorong kepesertaan masyarakat dalam pendidikan, namun, masih adanya pungutan-pungutan yang memberatkan peserta didik, terutama pada sekolah swasta dan pengeluaran penunjang lainnya, seperti buku tulis, ongkos, uang jajan, dan pengeluaran lainnya, serta kesempatan mendapatkan tambahan panghasilan 51 | P a g e
yang terbuang karena anak tersebut bersekolah membuat pendidikan tetap dirasa sebagai barang mahal. Hal inilah yang membuat beberapa masyarakat di desa Tarumajaya atau desa Dukuh misalnya, lebih memilih untuk tidak bersekolah dan bekerja mencari uang. Di kabupaten Bandung, secara umum tidak ada diskriminasi kesempatan memperoleh pendidikan (di tingkat SD dan SMP sederajat), terhadap perempuan. Lakilaki merupakan kelompok yang banyak mengalami putus sekolah dan tidak melanjutkan sekolah karena mereka dipandang memiliki kemampuan (tenaga) dan kesempatan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari pada perempuan, terutama pada sektor industri rumah tangga, buruh kasar/serabutan, dan pertanian, baik dipekerjakan oleh orang lain, atau membantu orang tuanya. Sedangkan pada perempuan, lebih didorong untuk mendapatkan pendidikan karena mereka memiliki kesempatan yang lebih baik untuk bekerja sebagai buruh pabrik. Laki-laki lebih banyak mengalami putus sekolah dan tidak melanjutkan sekolah karena cenderung ingin membantu atau diminta membantu orang tuanya mencari uang. Keputusan mereka untuk tidak bersekolah dilatarbelakangi oleh dua hal, yaitu keinginan/kemauan anak tersebut untuk mencari uang kerena merasakan beban yang dialami oleh orang tuanya, ataupun karena diminta untuk membantu orang tua bekerja, seperti disawah atau di ladang, terutama pada masa panen. Setelah masa panen selesai, mereka menjadi buruh serabutan dengan pekerjaan yang tidak tetap, atau seringkali menganggur karena tidak ada yang dikerjakan. Mereka tidak bersekolah kembali karena ada perasaan malu setelah lama tidak masuk sekolah.
4.2.
Peran Berbagai Aktor dalam Mendorong dan Menghambat Anak Bersekolah
Perangkat desa, terutama kepala desa memiliki peran yang signifikan dalam meningkatkan kepesertaan masyarakat desanya terhadap pendidikan. Cara yang dilakukan oleh berbagai kepala desa yang diwawancarai untuk mendorong masyarakat menyekolahkan anak mereka sangat beragam, mulai dari hanya sekedar sosialisasi atau penyuluhan yang dilaksanakan pada berbagai forum desa, hingga membentuk atau menginisiasi terbentuknya unit kegiatan belajar mengajar/ lembaga pendidikan baru di desanya dan pembentukan paguyuban yang mencurahkan perhatian terhadap masalah pendidikan di desa tersebut. Sosialisasi atau penyuluhan merupakan upaya standar yang dilakukan oleh kepala desa tersebut. sosialisasi ini biasa dilakukan pada berbagai forum-forum yang membahas berbagai kegiatan desa. Meski sosialisasi atau penyuluhan yang dilakukan ini merupakan hal yang penting, dampaknya berbeda-beda tergantung bagaimana upaya yang dilakukan oleh para kepala desa agar warga benar-benar memahami pentingnya pendidikan. Upaya sosialisasi yang dilakukan oleh kepala desa Dukuh kecamatan Ibun merupakan bentuk sosialisasi/penyuluhan yang menarik untuk diangkat, dimana dengan sosialisasi tersebut, kepesertaan masyarakat terhadap pendidikan meningkat di desanya. Contoh lain juga dapat dilihat pada bagaimana upaya yang dilakukan kepala desa Ciapus kecamatan Banjaran dalam menginisasi terbentuknya lembaga pendidikan dan paguyuban yang berfungsi mendorong masyarakat untuk mersekolah dan berupaya 52 | P a g e
menyelesaikan permasalahan yang dialami masyarakat berkaitan dengan sekolah. Berbagai upaya yang dilakukan oleh kepala desa tersebut, dilakukan berdasar inisiatif mereka sendiri. Box 4.3. Dukuh dan Ciapus: Upaya Kepala Desa dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Terhadap Pendidikan
Bentuk sosialisasi yang dilakukan oleh kepala desa Dukuh memang biasa, namun, substansi yang ia ajarkan kepada masyarakat sangat menarik. Dengan keterbatasannya, ia berupaya untuk mengikis pandangan negatif masyarakat yang telah mengakar mengenai pendidikan. Fenomena rendahnya pendidikan ini sangat ironi, setidaknya dengan mengambil contoh bahwa aparat desa saja banyak yang hanya berpendidikan setingkat SD. Pandangan negatif tersebut adalah pandangan bahwa tanpa bersekolah, masyarakat menganggap dapat menjadi kaya. Ia dihadapkan pada situasi bahwa ia sendiripun, meski berpendidikan tinggi, namun tidak memiliki harta yang banyak. Situasi ini terkadang menjadi sindiran teman-temannya semasa SD yang meski hanya berpendidikan SD, memiliki harta yang melimpah. Untuk mensiasatinya, ia menggunakan teknik berdakwah. Ia sering menasihati warganya, jangan melihat dirinya, tetapi pandanglah bahwa pendidikan merupakan ibadah yang bersifat wajib seperti yang dilakukan oleh nabi Sulaiman. Cerita nabi Sulaiman selalu menjadi andalannya dalam mendorong masyarakat untuk bersekolah. Ia juga menjelaskan ke masyarakat “kalau tidak (bersekolah) sembilan tahun maraneh, anjeun sadayana teh gaduh hutang ka negara upami teu salapan taun, karena ini kewajiban (kalau tidak bersekolah sembilan tahun, kalian semuanya punya hutang ke negara, karena ini kewajiban)” tuturnya. Ia juga mendorong masyarakat dengan memberi penjelasan kalau yang mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia ada tiga, pendidikan, daya beli dan kesehatan. Jadi daya beli atau ekonomi masyarakat kurang itu karena tidak memperhatikan pendidikan. “Orang Cina bukannya tidak bersekolah, ia bersekolah di pendidikan nonformal dengan mengambil guruguru yang pandai, dibawa kerumah dan disuruh mengajarkan anaknya serta digaji tiap bulan.” Begitulah cara beliau menerangkan. Dengan cara demikian dan usaha yang tidak henti-hentinya, cukup banyak masyarakat desa Dukuh yang menyekolahkan anaknya, meski tetap masih banyak yang belum sekolah, karena pendidikan belum dirasa sebagai sebuah kebutuhan. Sedangkan upaya yang dilakukan oleh kepala desa Ciapus, selain mengadakan sosialisasi, ia juga menginisiasi suatu organisasi yang bernama “Rempug Masyarakat Ciapus” dimana salah satu programnya adalah membantu orang-orang yang tidak mampu untuk bisa mendapatkan pendidikan. Organisasi ini juga berhasil mendirikan satu-satunya sekolah menengah pertama di lingkungan desa Ciapus, dengan prinsip gratis 100% tanpa ada pungutan apapun. SMP ini diberi nama SMP terpadu Al-Falah dan telah berdiri 2 tahun dengan memberdayakan guru-guru yang berada di desa Ciapus. Dengan sasaran siswa dari keluarga yang tidak mampu, masyarakat terbantu dengannya. Meski demikian, sekolah ini masih menumpang pada bangunan SD yang telah ada.
53 | P a g e
Namun, ada kepala desa yang kurang memperhatikan permasalahan pendidikan di desanya. Ini mengakibatkan mereka putus sekolah dan tidak mendapatkan bantuan dan dukungan apapun dari pihak desa. Dalam hal ini, peran tersebut, setidaknya dalam hal sosialisasi/penyuluhan mengenai pendidikan lebih diperankan oleh ketua RT/RW, atau tokoh pendidikan. Sosialisasi ini dilakukan di dalam berbagai forum warga, dan untuk tokoh pendidikan, sosialisasi dilakukan dengan memanfaatkan lembaga pendidikan atau kegiatan belajar mengajar yang ia lakukan untuk masyarakat di desanya. Misalnya dengan mendirikan playgroup, seperti yang dilakukan oleh seorang tokoh masyarakat di desa Tarumajaya. Dalam pelaksanaan playgroup tersebut, orang tua siswa diberikan pemahaman terus menerus mengenai pentingnya pendidikan, ataupun menjadi bagian dari penyelenggara program paket B dan C seperti yang dilakukan oleh tokoh pendidikan di desa Cileunyi Wetan. Lingkungan bertetangga juga berpotensi mendorong, ataupun juga menghambat kepesertaan seseorang di dalam pendidikan. Lingkungan bertetangga dapat mempengaruhi, terutama dilihat dari karakteristik dimana diantara para tetangga masih memiliki hubungan/pertalian darah, ataupun ikatan kekeluargaan yang erat diantara tetangga meskipun tidak memiliki pertalian darah. Dengan adanya ikatan yang erat tersebut, permasalahan pendidikan, seperti kesulitan dalam pembiayaan pendidikan dapat diatasi dengan meminta bantuan kepada tetangga yang sedang mendapatkan rezeki yang lebih, ataupun memberi teguran apabila ada orang tua yang anaknya tidak sekolah. Pengaruh teman sebaya juga menjadi faktor penghambat dalam menyekolahkan anak. Ini menjadi faktor penting yang ditekankan oleh banyak informan di desa Tarumajaya, kecamatan Kertasari. Berdasar penuturan beberapa orang tua, anaknya putus sekolah bukan karena alasan kemampuan membayar sekolah, namun lebih karena pengaruh teman sebaya yang membuat anak mereka malas untuk bersekolah. Dituturkan bahwa anak mereka sering diajak bekerja ke ladang dan membolos sekolah. Dengan seringnya ia membolos, anak tersebut merasa malu untuk kembali ke sekolah dan akhirnya putus sekolah dan lebih banyak waktunya digunakan untuk bermain dengan temannya. Selain itu, adanya pedagang sewa playstation juga menjadi permasalahan, seperti yang dikeluhkan oleh ibu IS dan AI di desa Cikembang. Ia sering mendapati anaknya bolos sekolah dan jarang belajar karena bermain playstation bersama teman-temannya. Karena adanya permainan tersebut, uang jajan dan semangat belajar anak menjadi tersita. Mereka merasa kesulitan untuk memberi nasihat kepada anak-anaknya. Tingkat kepedulian orang tua juga merupakan faktor yang mempengaruhi kepesertaan seorang anak di sekolah. Pada kebanyakan buruh tani di Tarumajaya misalnya, taraf hidup yang buruk membuat mereka lebih banyak menghabiskan waktu di ladang dibandingkan meluangkan waktu untuk memperhatikan perkembangan pendidikan anak-anak mereka. Ini membuat anak kekurangan perhatian dan motivasi untuk bersekolah, sehingga anak merekapun mengabaikan sekolahnya. Berdasar pendangan tokoh masyarakat di desa tersebut, kebanyakan orang tua mendidik anaknya untuk mencari penghasilan dibandingkan dengan bersekolah, hal ini berdampak ketika anak tersebut lebih banyak mengikuti orang tuanya ke ladang dan terjadi terus-menerus sehingga menyebabkan anak tersebut malu untuk kembali masuk sekolah. Anak-anak Tarumajaya banyak yang tidak menamatkan pendidikan karena ikut 54 | P a g e
orang tuanya berkebun atau mencari penghasilan sendiri dengan memunguti sisa-sisa panen kentang atau ngasag. Fenomena ini terutama terjadi pada saat musim panen, seperti yang di kemukakan kades Tarumajaya, “Tapi aya nu panen, rada nu saat sekola teh. Aya paktor orang tuana kurang mendukung. (tetapi pada saat panen, siswa yang sekolah berkurang [karena membantu orang tua memanen]. [dalam hal ini], ada faktor orang tua yang kurang mendukung� Fenomena di desa Mekarjaya, terutama di kampung Cipatat dan kampung Puncak-pun tidak berbeda dengan Tarumajaya, dimana ketiadaan dorongan dari orang tua yang bekerja diluar negeri menjadikan banyak anak yang tidak mendapatkan perhatian dari orang tuanya. Akibatnya, pendidikan mereka terabaikan dan banyak yang tidak melanjutkan ke jenjang sekolah berikutnya. Box 4.4. Masyarakat Desa Mekarjaya: Kaya tanpa Bersekolah?
Tentu bukan keseluruhan masyarakat desa Mekarjaya, fenomena ini secara khusus menyorot permasalahan yang terjadi di kampung Cipatat dan kampung Puncak. Pewawancara memang tidak berhasil mewawancarai orang tua yang memiliki anak putus sekolah, terutama dengan alasan malu dan menutup-nutupi. Namun, dari berbagai informasi yang didapatkan di lingkungan mereka, ada hal yang penting yang dapat digarisbawahi. Secara umum, tingkat kesejahteraan masyarakat kampung Cipatat dan Puncak baik, mereka memiliki rumah yang bagus dan harta benda. Namun, fenomena putus sekolah merupakan masalah yang menjadi fokus perhatian di kampung tersebut. Orang tua tidak mengambil pusing mengenai apakah anak mereka bersekolah atau tidak, meski mereka mampu untuk membiayainya. Pemahaman yang mereka tekankan dalam mendidik anak mereka adalah bukan merupakan hal yang penting mendapatkan pendidikan formal, tetapi pengalaman dan naluri usaha yang harus ditanamkan sedini mungkin, termasuk menjadi TKI. Dengan menjadi TKI, tanpa harus bersekolahpun mereka bisa menjadi kaya. “toh yang tidak sekolah juga bisa jadi TKI dan dapat uang banyak. Jadi, kenapa harus bersekolah sampai tinggi?�
Selain itu, konflik dalam rumah tangga juga mengakibatkan pendidikan anak terganggu, seperti yang dialami oleh Ibu HN di desa Cikembang, dimana setelah bercerai, suaminya tidak pernah lagi menafkahi anaknya sehingga menjadi beban. Sedangkan ia hanya bekerja sebagai pedagang Cimol yang penghasilannya tidak menantu. Pada akhirnya, anaknya yang bersekolah di Tsanawiyah terpaksa putus sekolah karena beban biaya bulanan, buku dan seragam yang tidak terjangkau. Masalah keluarga ini juga dialami oleh ibu DW, anaknya putus sekolah karena bersikap nakal dan tidak mau sekolah. menurut penuturannya, kenakalan anaknya ini adalah hasil ketidakpedulian bapaknya dan mencontohkan hal-hal buruk, seperi berjudi. Dorongan dari pihak sekolah untuk meningkatkan kesadaran dan kepesertaan masyarakat terhadap pendidikan hanya dilakukan kepada orang tua murid yang bersekolah di sekolah tersebut, misalnya pada pertemuan-pertemuan rutin yang diadakan tiap akhir tahun ajaran atau kegiatan lainnya. Bahkan ada guru-guru yang bersedia datang ke rumah orang tua murid untuk memberikan penyuluhan secara 55 | P a g e
khusus kepada mereka. Tidak ada upaya yang dilakukan secara khusus untuk melakukan penyuluhan kepada masyarakat diluar orang tua murid, kecuali dilakukan oleh beberapa orang guru yang memiliki perhatian khusus pada permasalahan pendidikan masyarakat. Meski demikian, efektifitas penyuluhan tersebut pada akhirnya sangat tergantung pada situasi ekonomi orang tua murid. Banyak anak murid yang putus sekolah karena desakan ekonomi dimana sekolah tidak dapat berbuat banyak mengatasi hal ini. Meski pendidikan gratis dan sekolah berupaya untuk memberi keringanan dan beberapa bantuan, karena berbagai faktor, mereka tetap putus sekolah.
4.3.
Kemampuan dalam Membayar Layanan
Berdasarkan laporan Indeks Pembangunan Manusia tahun 2009, lima dari enam kecamatan yang diteliti (kecuali kecamatan Cileunyi) memiliki kemampuan daya beli yang rendah, dan dengan demikian, desa-desa yang berada di wilayah tersebut juga memiliki kemampuan daya beli yang rendah dibandingkan dengan desa-desa di wilayah kecamatan lainnya di kabupaten Bandung. Kemampuan daya beli ini menjadi penting dikaitkan dengan tingkat kemampuan masyarakat untuk menyekolahkan anaknya karena upaya untuk menyekolahkan anak tersebut tidak lepas dari motif-motif ekonomi yang berkaitan erat dengan kemampuan mereka dalam membayar segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan. Masyarakat miskin di desa-desa yang menjadi fokus penelitian dicirikan dengan jenis pekerjaan yang menghasilkan pendapatan yang tidak memadai, seperti buruh tani dan buruh serabutan atau buruh kasar. Mereka memiliki penghasilan hanya apabila ada yang mempekerjakan mereka, dan selebihnya menganggur. Pendapatan untuk buruh tani rata-rata hanya sebesar 300 ribu rupiah perbulan dan buruh serabutan—dimana terkadang ia menjadi buruh bangunan, penggembala ternak ataupun pemulung tergantung siapa yang mempekerjakannya—hanya memiliki pendapatan rata-rata sebesar 100 ribu rupiah perbulan. Jumlah pendapatan itupun tidak menentu karena belum tentu tiap bulan ia memiliki pekerjaan yang bisa dilakukan untuk mendapatkan penghasilan. Meski kecamatan Cileunyi memiliki daya beli yang tinggi, tidak sama halnya yang terjadi di desa Cileunyi Wetan, khususnya di kampung Cibeusi. Tingkat kesejahteraannya tidak berbeda dengan penduduk di desa lainnya, namun mereka secara geografis lebih terisolasi. Dengan mayoritas pekerjaan sebagai buruh serabutan, terkadang menyabit rumput untuk pakan ternak, rata-rata penghasilannya hanya 100 ribu rupiah perbulan. Sedangkan kelompok masyarakat miskin yang memiliki pekerjaan di sektor lainnya, seperti buruh pabrik dan pedagang kecil, meski mereka setidaknya memiliki kepastian penghasilan perbulan, nasibnya sedikit lebih baik daripada buruh tani dan buruh kasar. Pada buruh pabrik, permasalahannya ada pada sistem kerja kontrak dimana setiap 2 tahun sekali kontraknya selalu diputus agar pabrik tidak terkena kewajiban untuk meningkatkan status mereka menjadi buruh tetap, dan meski mereka dapat diterima kembali menjadi pekerja, mereka harus membayar sejumlah uang kepada oknum di pabrik dan tetap berstatus kontrak. Sedangkan pada pedagang kecil, permasalahan utama adalah keterbatasan modal dan pada musim libur panjang, mereka tidak mendapatkan penghasilan karena sekolah tutup. Dengan pendapatan sebesar itu, masyarakat miskin masih harus mengeluarkan uang sekolah tiap bulannya. Mayoritas sekolah, terutama sekolah negeri memang sudah 56 | P a g e
tidak membebankan uang pendaftaran dan iuran perbulan mengacu pada kebijakan pendidikan gratis yang dicanangkan oleh pemerintah, meski masih saja ditemukan beberapa sekolah yang tetap memungut bayaran tersebut. Sedangkan sekolah swasta, mayoritas masih tetap memberlakukan pungutan kepada orang tua murid dalam proses kegiatan belajar mengajar. Box 4.5. Pengeluaran Orang tua Siswa untuk Menyekolahkan Anaknya.
Meski pendidikan dasar dinyatakan gratis, pada kenyataannya masyarakat masih memiliki beban dalam hal pembiayaan pendidikan. Beban ini tidak hanya berasal dari pungutan sekolah, namun juga dari biaya penunjang pendidikan. Pengeluaran rumah tangga yang dilkeluarkan oleh ibu-ibu di desa Cileunyi Wetan adalah sebagai berikut: Ongkos ke sekolah, tingkat SD sebesar 10.000 rupiah per-anak perhari. Uang jajan sebesar 3.000-5.000 rupiah per-anak perhari. Ekstrakurikuler renang, bersifat dadakan sebesar 20.000 rupiah. Pembelian baju batik dan olah raga sebesar 70.000 rupiah per-anak, tidak boleh dicicil. Uang daftar sekolah (ke SMP negeri di Sumedang, termasuk biaya baju seragam, dll) sebesar 300.000-500.000 rupiah, belum termasuk uang SPP, LKS dan fotokopi. Biaya praktik dan perpisahan, sifatnya dadakan dan harus dilunasi saat itu juga. Di Cikembang, selain pengeluaran tersebut, juga diketahui bahwa mereka juga harus mengeluarkan uang fotokopi sebesar 3.000-12.000 rupiah dan ongkos untuk pergi ke tempat fotokopi sebesar 6.000 rupiah. Sedangkan Tarumajaya, pungutan lainnya yang dibebankan adalah uang Ujian SD, sebesar 25.000 rupiah, Ujian akhir sekolah untuk MTs sebesar 150.000 rupiah, uang semesteran (THB) sebesar 25.000 untuk SMP dan 10.000 untuk SD, uang kenaikan kelas (SD) sebesar 10.000 dan SMP sebesar 25.000 rupiah, dan biaya perpisahan sebesar 75.000 rupiah. Berbagai uang ujian tersebut harus dibayarkan lunas dan tidak boleh dicicil. Dan di Cibodas, selain berbagai pungutan tersebut, peserta didik juga dibebankan dengan uang SPP untuk SMP Swasta, yang rata-rata sebesar 75.000 rupiah perbulan. Berbagai pengeluaran ini belum termasuk pengeluaran untuk beli buku tulis, tas, sepatu, seragam, dan lannya, termasuk biaya internet dimana ada sekolah yang menggunakan media internet (facebook) untuk berkomunikasi dan mengirimkan soal dan jawaban ujian, seperti yang dilakukan oleh salah satu SD di Cikembang. Dari pengeluaran tersebut, dan dengan kenyataan bahwa rata-rata masyarakat miskin hanya memiliki pendapatan kurang dari 400.000 rupiah perbulan untuk tanggungan rata-rata sebanyak 3 orang anak, bagaimanakan cara mereka mengatur pengeluarannya?
Berbagai jenis pungutan tersebut secara sederhana dapat dikelompokkan menjadi empat jenis pengeluaran. Meski ada beberapa pengeluaran yang tidak dapat dimasukkan ke dalam empat kelompok tersebut, namun setidaknya kita dapat memetakan permasalahn utama apa saja yang dialami warga desa. Empat jenis 57 | P a g e
pengeluaran yang dimaksud adalah pengeluaran terkait perlengkapan/peralatan sekolah (seragam, tas, sepatu, dll), Iuran sekolah (uang bangunan, SPP, uang ujian, dll), Uang jajan dan Transportasi. Grafik 4.1. Perbandingan Permasalahan Utama yang dialami Masyarakat dalam Mengakses Pendidikan Dasar Perlengkapan Sekolah 4 3
Transportasi
Cikembang
2
Tarumajaya
1
Ciapus
0
Iuran Sekolah
Cibodas Cileunyi Wetan Dukuh Mekarjaya
Uang Jajan
Sumber: Hasil FGD di Tujuh Desa, diolah.
Dari gambar diatas, terlihat bahwa keluhan utama masyarakat terdapat pada biaya pembelian perlengkapan sekolah. Perlengkapan sekolah ini dianggap memberatkan karena jumlah nominalnya yang besar. Pengeluaran lain yang dianggap berat adalah uang jajan, terutama karena sifatnya yang harus ada setiap hari, meski jumlahnya lebih kecil dibandingkan pengeluaran lainnya. Pengeluaran ketiga terberat adalah pengeluaran terkait iuran sekolah, dan terakhir adalah transportasi. Iuran sekolah dianggap memberatkan karena selain jumlah nominalnya yang besar, terkadang jenis iuran ini dibebankan mendadak dan tidak dapat dicicil. Sedangkan transportasi, kurang dianggap memberatkan dibanding pengeluaran lain karena mereka dapat menyuruh anak-anak mereka pergi sekolah dengan berjalan kaki. Dengan kondisi ekonomi dimana sumber pendapatan tidak menentu, jumlahnya sedikit dan ditambah faktor inflasi yang mengakibatkan harga melambung tinggi mengakibatkan mereka tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Keputusan untuk membiayai sekolah pada lingkup rumah tangga adalah ajang pertarungan antara keinginan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan kebutuhan untuk bersekolah. Pada kenyataannya, rumah tangga yang dapat memenuhi kebutuhan untuk bersekolah mengorbankan kualitas pemenuhan kebutuhan pokoknya, terutama makan sehari-hari, dan rumah tangga yang tidak dapat menyekolahkan anaknya beralasan mereka tidak memiliki kemampuan sama sekali, bahkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Situasi tersebut dapat memberi kesimpulan bahwa kemampuan rumah tangga dalam membayar pendidikan sangat ditentukan oleh kemampuan mereka dalam memenuhi kebutuhan pokok mereka lainnya, terutama pangan. Masyarakat hanya mengalokasikan uang untuk biaya pendidikan hanya apabila ada kelebihan uang setelah kebutuhan sehari-harinya dapat dicukupi. Dengan demikian, apabila ada guncangan ekonomi yang mengakibatkan biaya hidup sehari-hari mereka meningkat tinggi, anak58 | P a g e
anak mereka terancam tidak bersekolah. Meski mereka dapat bersekolah dengan mengorbankan kebutuhan pangan, pada akhirnya banyak dari anak-anak tersebut yang kekurangan gizi sehingga perkembangan mereka di sekolah terhambat. Alih-alih mempertahankan kepesertaan mereka di sekolah dengan mengurangi kebutuhan pangan, mereka secara terpaksa harus mengeluarkan anak mereka dari sekolah karena tidak bisa mengikuti pelajaran (menganggap anaknya bodoh) dan sering sakit-sakitan. Dengan berbagai keterbatasan yang ada, anak mereka kemudian di dorong, atau memilih untuk bekerja. Pada kasus anak yang telah bekerja, sulit sekali untuk di dorong bersekolah kembali, dimana mengutip apa yang dikemukakan oleh tokoh pendidikan desa Tarumajaya, “anak nu nggeus apal duit mah, malas untuk sakola, aya kemalasan. (anak yang telah mengerti uang, malas untuk bersekolah)� Dampak dari fenomena tersebut setidaknya terlihat di salah satu MTs dimana mayoritas anak desa Tarumajaya bersekolah. Pada tahun ajaran ini (2009-2010), ada 50 dari total 390 siswa yang putus sekolah. Alasannya adalah karena motivasi dan dorongan orang tua yang kurang serta alasan membantu ekonomi keluarga. Di SMP 1 Dukuh juga demikian, meski merupakan sekolah favorit, di sekolah ini jumlah anak putus sekolah terbilang tinggi, dimana hampir 50% siswa putus sekolah. Fenomena putus sekolah terbanyak dialami pada jenjang kelas 2 (kelas IIIV) dengan alasan utama, membantu orang tua mencari penghasilan. Sedangkan di desa Cileunyi wetan, setidaknya 20 orang murid setingkat SD dan 24 orang setingkat SMP yang putus sekolah karena permasalahan ini.
Box 4.6. Kisah Ibu AN
Ibu AN (40 tahun) adalah salah seorang warga desa Dukuh. Ia menghidupi 4 orang anak, yang pertama berumur 11 tahun, putus sekolah karena bekerja sebagai pekerja di pabrik konveksi sejak duduk di bangku kelas 4 SD. Anak keduanya juga tidak bersekolah karena sering sakitsakitan dan kurang dapat menangkap pelajaran dengan baik, sedangkan anak yang ketiga, meski masih duduk di kelas 2 SD, ia terancam putus sekolah karena kesulitan biaya, seperti pembelian buku, seragam, sepatu dan uang jajan sehari-hari, dan anak yang keempat masih balita. Dengan upah suaminya sebagai buruh serabutan sebesar 300 ribu perbulan dengan catatan ada yang mempekerjakan, ia hanya mampu untuk memenuhi gizi keluarganya untuk makan 1-2 kali sehari dengan menu utama jagung dan nasi aking. Penghasilan sebesar itupun harus dibagi dengan istri muda suaminya. Hingga saat ini, ia sama sekali tidak pernah mendapatkan bantuan sekolah apapun dari pemerintah dan swasta. Alokasi Bantuan Khusus Murid (BKM) dari dana BOS juga tidak kunjung didapatkan, bahkan bantuan lainnya seperti Program keluarga Harapan (PKH) pun tak di dapat. Bu AN merupakan salah satu potret permasalahan pendidikan di desa Dukuh, dimana masih banyak masyarakat yang memiliki permasalahan yang sama, atau bahkan lebih buruk darinya, seperti yang dialami Bapak EC dan Bapak CM. Menghadapi kondisi yang berat ini, bapak EC lebih memilih menyuruh semua anaknya untuk bekerja daripada menyekolahkan mereka.
59 | P a g e
Berbagai permasalahan tersebut membuktikan bahwa upaya pemerintah untuk menjamin pendidikan dasar bebas biaya, terutama bagi masyarakat miskin belum optimal. Berbagai permasalahan tersebut terjadi bukan karena pemerintah tidak mengetahui permasalahan yang ada (dimana terlihat dari penjelasan perda nomor 10/2008), namun karena ketiadaan kemampuan pemerintah, baik dalam merumuskan kegiatan apa saja yang dapat secara efektif mengatasi berbagai permasalahan tersebut, maupun dalam melaksanakan kegiatan yang pada dasarnya telah direncanakan oleh pemerintah daerah. Dalam upaya untuk menjamin pembebasan biaya pendidikan dasar pada sekolah yang berstatus negeri, pemerintah hanya mengandalkan dana BOS untuk menghilangkan biaya operasional sekolah yang biasanya dibebankan sekolah kepada murid. Pada pelaksanaannya, meski telah ditanggung oleh pemerintah pusat, propinsi dan daerah dengan alokasi yang sangat besar, tetap saja ada sekolah yang masih memungut uang dari peserta didik dengan berbagai tujuan dan alasan. Alasan utama adalah sangat kecilnya dana BOS yang diterima oleh sekolah sehingga tidak cukup untuk menutupi berbagai biaya operasional yang ada. Meski demikian, cukup tidaknya sangat bergantung pada bagaimana pengelolaan dana BOS tersebut oleh sekolah karena pada kenyataannya, ada beberapa sekolah yang benar-benar bisa menyelenggarakan pendidikan tanpa memungut biaya apapun kepada anak murid, meski dalam segi kualitas proses belajar-mengajar mengalami kemunduran. Hal ini menyebabkan pada akhirnya, tingginya pungutan sekolah kepada murid menjadi sebuah keniscayaan. Kesimpulan ini diperkuat dengan fenomena berkembangpesatnya sekolah swasta, baik pada jenjang SMP maupun SD sederajat dibandingkan dengan sekolah negeri, yang secara konstitusi masih diperkenankan untuk memungut iuran kepada murid. Kemudian, adanya upaya pemerintah daerah untuk lebih mendorong partisipasi orang tua murid dalam menanggung biaya pendidikan, baik pada sekolah negeri maupun swasta juga menjadi permasalahan yang patut diperhatikan. Kebijakan Penerimaan Siswa Baru (PSB) yang digalakkan oleh dewan pendidikan juga harus digarisbawahi, dimana ada upaya pemerintah mendorong masyarakat untuk menggunakan sekolah swasta apabila mereka tidak diterima di sekolah negeri. Mengenai upaya untuk menjamin keseluruhan masyarakat miskin terbebas dari segala biaya pendidikan, misalnya melalui pemberian beasiswa atau bantuan perlengkapan sekolah dan bantuan uang transportasi, penerapannya masih buruk. Buruknya penerapan upaya tersebut karena (1) tidak adanya tolok ukur yang jelas mengenai siapa yang dibantu, apa saja yang dibantu, dengan apa mereka dibantu dan bagaimana cara mereka di bantu; (2) tidak adanya porsi anggaran yang cukup dialokasikan untuk memberi bantuan kepada mereka; dan (3) tidak adanya ketegasan untuk memberi sanksi kepada sekolah yang tetap memberlakukan pungutan kepada murid dari keluarga miskin. Tidak adanya tolok ukur yang jelas mengenai siapa yang di bantu terjadi karena pemerintah daerah mengalami kesulitan dalam menentukan siapa yang layak dibantu dan yang tidak. Hal ini terjadi karena kriteria kemiskinan yang menjadi landasan dalam penentuan penerima manfaat dari bantuan tersebut sangat beragam sehingga pada saat ada alokasi kegiatan untuk pengadaan bantuan tersebut—tanpa perhitungan yang tepat—mereka menentukan sendiri berapa volume bantuan yang akan diberikan. 60 | P a g e
Dengan ketidaksesuaian jumlah bantuan dibandingkan dengan calon penerima, sifatnya yang aksidental dan tidak sustainable, serta terjadinya moral hazard (dimana banyak masyarakat yang ingin mendapat bantuan, memang miskin tetapi tidak mau mengaku miskin, atau mengaku miskin tetapi tidak dapat menunjukkan bukti bahwa mereka miskin), pemberian bantuan tersebut menjadi kurang tepat sasaran. Kemudian, permasalahan tidak adanya porsi anggaran yang cukup dialokasikan dalam mengatasi hambatan masyarakat miskin dalam mengakses layanan, terutama hambatan biaya mengindikasikan bahwa terjadi kegagalan dalam penyediaan skema pembiayaan bagi keluarga miskin, dan percepatan subsidi biaya penyelenggaraan pendidikan. Sedangkan ketidaktegasan pemberian sanksi yang dilihat dari ketiadaan tindakan yang dilakukan terhadap sekolah yang masih membebankan pungutan kepada murid dari keluarga miskin mengindikasikan kurang optimalnya sosialisasi mengenai pembebasan biaya pendidikan, dan kurang optimalnya upaya percepatan koordinasi dan fasilitasi program semua stakeholder yang berhubungan dengan pendidikan bagi anak keluarga miskin.
4.4.
Penyedia Layanan dan Hambatan yang Mereka Lakukan
Berdasarkan wawancara yang dilakukan, hambatan utama yang dilakukan oleh penyedia layanan adalah hambatan biaya, yaitu dengan membebankan biaya sekolah dengan jumlah tertentu dan keperluan tertentu terkait kegiatan belajar mengajar. Meski berdasarkan undang-undang dan peraturan daerah kabupaten Bandung, pendidikan dasar diselenggarakan dengan bebas biaya dimana sekolah dilarang untuk memungut biaya apapun, pada kenyataannya, para siswa tetap masih dibebankan biaya tersebut. Pada proses penerimaan siswa barupun, meski sekolah-sekolah yang diwawancarai mengaku tidak memungut uang dari calon peserta didik, namun berdasarkan pengakuan dari para peserta didik, mereka masih tetap harus mengelurkan sejumlah uang untuk masuk ke sekolah tertentu. Hal ini di temui pada SMP negeri di daerah perbatasan kabupaten Bandung dengan Sumedang. Meski sudah masuk wilayah Sumedang, banyak anak didik mereka berasal dari kabupaten bandung. Untuk masuk ke sekolah tersebut, mereka harus membayar uang bangunan sebesar 300.000-500.000 rupiah. Dengan adanya pungutan tersebut, banyak orang tua di desa Cileunyi wetan, khususnya di kampung Cibeusi yang menugurungkan niat mereka untuk menyekolahkan anak ke sekolah tersebut. Akibatnya, banyak anak lulusan sekolah dasar yang tidak bisa melanjutkan sekolah. Hambatan biaya lainnya juga terdapat pada pemberlakuan iuran bulanan. Meski pada pelaksanaannya, ada sekolah yang mengganti iuran bulanan ini dengan nama Infak, sifatnya yang wajib tetap membebankan orang tua murid. Pengaluaran perbulan ini terutama dilakukan pada sekolah-sekolah tingkat SMP dan MTs, khususnya pada sekolah swasta dengan jumlah berbeda-beda, yaitu sebesar 15.000 rupiah hingga 75.000 rupiah perbulan. Dampaknya apabila tidak membayar, anak mereka tidak dapat ikut ujian semester, seperti yang dialami ibu IP di desa Cikembang, dan ibu HN yang anaknya putus sekolah akibat tidak dapat membayar iuran bulanan tersebut. Selain iuran bulanan, biaya lainnya yang dibebankan adalah biaya ujian semester sebesar 10.000-25.000 rupiah untuk tingkat SD, uang ujian akhir sekolah (MTs) sebesar 150.000 rupiah, uang semesteran atau THB (MTs) sebesar 25.000 rupiah, serta uang 61 | P a g e
seragam, batik dan baju olah raga. Biaya ini tidak dapat dicicil, bersifat mendadak/tidak ada pemberitahuan sebelumnya dan harus lunas, apabila tidak dapat melunasi, konsekuensinya tidak dapat ikut ujian semester dan ujian akhir, tidak mendapat ijasah, dan untuk uang baju, tidak dapat mengikuti pelajaran olah raga. Iuran perpisahan (biasa disebut uang samen/uang panggung) sebesar 75.000 rupiah juga masih menjadi beban, meski mengaku sekolah tidak memaksa, namun tetap menjadi beban karena mereka merasa malu apabila tidak dapat membayar. Dampak dari berbagai pungutan tersebut adalah biaya yang dikeluarkan orang tua menjadi tinggi dan berkontribusi terhadap putus sekolah berdasar penuturan para orang tua murid. Terlebih ada kasus dimana ada sekolah yang memaksa anak muridnya untuk melunasi segala tunggakannya, dan mengancam akan mengeluarkan anak murid tersebut apabila tidak dapat melunasinya, seperti yang dialami UT, siswa dari desa Ciapus. Bahkan ia sering ditagih di depan teman-temannya sehingga membuatnya malu dan depresi serta tidak mau masuk sekolah lagi. Demikian pula dengan IN, putus sekolah karena tidak dapat membayar SPP dan selalu ditagih oleh pihak sekolah. Ia pun menjadi bahan olokan teman-temannya karena tidak bisa ikut praktikum akibat tidak dapat membayar biaya praktik. Meski ada sekolah yang masih memungut bayaran kepada murid, namun ada pula sekolah yang tidak membebankan biaya apapun kepada muridnya. Untuk menyelenggarakan kegiatan belajar-mengajar yang bebas biaya tersebut, sekolah hanya mengandalkan dana BOS. Dengan pencapaian yang berbeda-beda di tiap-tiap sekolah tersebut, berarti ada sekolah yang benar-benar efisien menggunakan dana BOS sehingga mereka dapat menggratiskan biaya sekolah kepada anak murid, dan ada sekolah yang kurang dapat mamanfaatkan dana BOS dengan baik, sehingga masih membebankan biaya kepada siswa. Dengan demikian, efektifitas dana ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan sekolah dalam menggunakan uang bantuan tersebut. Selain dana BOS, sekolah juga mendapatkan bantuan berupa peralatan sekolah seperti buku tulis, tas, LKS, seragam, sepatu. namun, jumlah bantuan yang diterima oleh sekolah sangat beragam, ada yang mendapatkan banyak sehingga mereka dapat membagi-bagikannya kepada hampir keseluruhan murid, ada yang sangat sedikit dibandingkan jumlah siswa yang membutuhkannya. Untuk mengatasi permasalahan ini, sekolah memberlakukan subsidi silang (untuk mengatasi ketidakcukupan dana BOS yang didapat), dan memberikan bantuan (seperti buku, tas, seragam, sepatu) hanya untuk siswa yang tidak mampu dan berprestasi, membagi 1 LKS untuk digunakan oleh 2 murid (yang dilakukan oleh salah satu MI di Mekarjaya), ataupun diundi untuk mementukan siapa yang berhak menerimanya (seperti yang dituturkan oleh salah seorang tokoh di desa Cibodas). Selain itu—pada bantuan buku—ada sekolah yang tidak membagikannya kepada murid, namun menitipkannya ke tempat fotokopi dan siswa diminta untuk membeli fotokopian buku tersebut. Sedangkan pada batuan lain, permasalahannya ada pada pengelolaannya yang kurang baik. Hal ini seperti yang dialami dalam pemberian bantuan PKH, dimana banyak masyarakat yang masuk kategori penerima bantuan namun tidak mendapatkannya. Penentuan penerima bantuan-pun sarat dengan nepotisme, dengan prinsip 4D: Deuheus, Deukeut, Dulur, Duit. Sedangkan pada pelaksanaan paket B, desadesa tersebut tidak selalu mendapatkannya, dan bahkan pada penyelenggaraan di desa Cibodas, masyarakat pernah diharuskan membayar 2 juta rupiah kepada pelaksana 62 | P a g e
kegiatan. Uang ini digunakan untuk membeli soal berikut jawabannya dan tidak ada proses belajar mengajar yang terjadi, begitu masuk, langsung ujian. Permasalahan lain yang terkait dengan hambatan dari sisi penyedia layanan adalah, rasa malu dan rendah diri masyarakat untuk bertanya, meminta penjelasan dan informasi mengenai pendidikan anaknya dan bantuan serta pungutan yang dibebankan oleh sekolah. Hal ini disadari oleh warga desa Mekarjaya. Dengan sifat pasif tersebut, meski setiap keputusan yang dilakukan sekolah untuk membebankan iuran kepada murid telah dibahas dengan orang tua murid, sifat tersebut menghambat mereka untuk berpartisipasi secara aktif sehingga mereka hanya menerima saja keputusan yang diputuskan dalam rapat/forum yang dilakukan.
4.5.
Ketersediaan Sekolah Menjangkaunya
dan
Bagaimana
Masyarakat
Secara kuantitas, jumlah SD di tiap-tiap desa dan kecamatan yang diteliti dinilai telah mencukupi. Ketercukupan sarana dan prasarana ini juga dinilai dari pendapat informan bahwa mereka tidak merasakan kesulitan dalam menjangkau layanan pendidikan tingkat SD sederajat karena jaraknya yang dekat dari rumah mereka. Meski secara kuantitas mencukupi, namun secara kualitas masih memprihatinkan karena masih adanya sekolah yang ruang kelasnya mengalami kerusakan, seperti yang dikeluhkan oleh SDN Palipurna di desa Dukuh. Sedangkan pada tingkat SMP sederajat, jumlah sekolah masih dinilai kurang mencukupi, meski secara umum kualitasnya jauh lebih baik dibandingkan dengan SD sederajat. Di desa Cileunyi Wetan misalnya, penyediaan fasilitas sekolah untuk daerahdaerah terpencil dilakukan melalui “SMP jauh�, dengan menumpang pada bangunan fisik SD terdekat dengan kondisi ruang kelas yang memprihatinkan. Sedangkan untuk Ciapus, fasilitas sekolah dimana ada beberapa sekolah dasar yang menggunakan gedung yang sama membuat kegiatan belajar mengajar menjadi kurang optimal, seperti yang terjadi di SDN 2 dan SDN 3 yang memanfaatkan gedung sekolah bersama dan ukuran ruang kelas yang kecil dengan jumlah murid yang sangat padat (idealnya satu kelas digunakan untuk 35 murid, namun pada kenyataannya digunakan oleh 50 orang murid). Sedangkan di desa Mekarjaya, seperti di MI Al-Ikhlas ataupun di MTs Al-Muhajirin, permasalahannya adalah ruang kelas yang kurang memadai, gedung yang masih menyatu dengan MTs dan MA (untuk MI Al-Ikhlas) sehingga satu kelas diisi oleh 50-60 orang murid. Akses terhadap anak berkebutuhan khusus (fisik ataupn mental) untuk bersekolah juga sulit karena tidak ada fasilitas tersebut, terutama di Mekarjaya yang diakui oleh informan, banyak warga yang membutuhkannya. Dengan keterbatasan daya tampung tersebut, potensi penolakan sekolah terhadap siswa juga menjadi tinggi. Di tiap-tiap desa tersebut, mayoritas SD berstatus SD negeri dan pada jenjang SMP, mayoritas berbentuk MTs swasta yang dibangun dan dikelola oleh salah seorang anggota masyarakat desa. Desa Cikembang memiliki 6 SD negeri dan 1 MTs swasta, sedangkan desa Tarumajaya memiliki 4 SD negeri. Desa Dukuh memiliki 2 SD negeri, 1 SD swasta dan 1 SMP negeri, dan desa Mekarjaya memiliki SD negeri sebanyak 3 buah, MI swasta sebanyak 1 buah dan MTs swasta sebanyak 1 buah. Untuk desa Cibodas, jumlah SD negeri sebanyak 3 buah, SD swasta 1 dan SMP 2 buah; dan desa Ciapus terdapat 5 SD dan 1 MTs terpadu. Sedangkan desa Cileunyi Wetan, sebanyak 4 SD negeri, 1 SMP negeri dan 1 SMP terbuka. 63 | P a g e
Permasalahan utama dalam penyediaan sarana dan prasarana pendidikan tersebut adalah persebaran sarana dan prasarana yang tidak merata. Sekolah banyak yang berlokasi di daerah-daerah yang banyak penduduknya dan memiliki akses jalan yang memadai sehingga daerah yang jauh dari pusat kegiatan desa, seperti yang dialami warga RW 02 kampung Pasir Rancang dan kampung Babakan Ngob di desa Dukuh, ataupun warga kampung Cibeusi desa Cilunyi Wetan yang akses untuk ke pusat desa sulit dan jauh karena letaknya di tengah hutan di punggung gunung Manglayang, ketersediaan sarana pendidikan menjadi masalah. Sulitnya untuk mengakses layanan pendidikan oleh warga RW 02 desa Dukuh membuat hampir 50% anak-anak usia sekolah dasar tidak dapat menamatkan sekolah dan hanya berhasil hingga kelas 4 saja, terutama pada jenjang SMP dimana mereka harus menuruni gunung dan berputar jalan untuk menjangkau fasilitas SMP yang ada di jalan utama. Sedangkan warga kampung Cibeusi, sulitnya menjangkau sekolah yang disediakan pemerintah kabupaten Bandung membuat mereka memilih untuk memanfaatkan sekolah di kabupaten Sumedang. Untuk menjangkaunya, mereka harus berjalan kaki setidaknya sepanjang 5-7 kilometer menuju sekolah terdekat, menuruni dan mendaki bukit yang sangat licin dan sulit dilintasi saat musim hujan. Dengan memanfaatkan sekolah-sekolah di kabupaten Sumedang itu pun tidak menyelesaikan masalah karena meski berstatus negeri, mereka masih tetap diharuskan membayar uang bangunan dan iuran perbulan apabila ingin bersekolah di sekolah tersebut. Hal ini membuat banyak warga kampung Cibeusi yang berfikir beberapa kali, atau bahkan mengurunkan niatnya untuk menyekolahkan anak mereka ke sekolah tersebut karena ketiadaan biaya. Pada desa-desa yang lain, meski masyarakat menganggap jarak antara rumah dan sekolah tidak terlalu jauh, namun mayoritas dari mereka harus mengeluarkan uang transportasi tiap hari untuk menjangkau sekolah tersebut, terutama sekolah tingkat SMP sederajat. Di desa Cibodas misalnya, jaraknya yang jauh dari jalan utama dan pusat kegiatan kecamatan Solokanjeruk membuat orang tua setidaknya harus mengeluarkan uang 6.000 rupiah perorang perhari untuk menyewa ojeg atau andong, karena sekolah hanya ada di jalan utama tersebut. Bagitu pula dengan masyarakat desa Ciapus, mereka harus mengeluarkan uang dengan jumlah yang sama untuk menyewa ojeg atau andong agar mereka dapat bersekolah karena sekolah-sekolah (tingkat SMP sederajat) hanya ada di pusat kecamatan, yaitu di sekitar alun-alun kecamatan Banjaran. Sedangkan desa Tarumajaya, mayoritas masyarakat menyekolahkan anaknya di sekolah tingkat SMP sederajat di desa Cibeureum. Untuk menjangkaunya, setidaknya harus mengeluarkan uang sebesar 6.000 perhari. Dan di desa Cileunyi Wetan, kampung Cibeusi, untuk menjangkau sekolah dasar, setidaknya masyarakat harus mengeluarkan uang sejumlah 10.000 rupiah setiap hari, seperti yang diakui oleh ibu IH yang menyekolahkan anaknya di Babakan Limus. Hal ini tidak berbeda dengan masyarakat di kampung Palered desa Cikembang, yang harus mengeluarkan ongkos ojeg sebesar 10.000 rupiah per-orang untuk transportasi anaknya yang sekolah di daerah Buka Tanah. Untuk menyiasati tingginya pengeluaran tersebut, mereka meminta anaknya untuk berjalan kaki ke sekolah, ini dilakukan sebagian besar anak di desa yang diteliti. Namun, cara ini tidak banyak menyelesaikan masalah karena ada biaya tambahan lain yang harus dikeluarkan oleh orang tua siswa, yaitu pembelian sepatu. Di desa Cileunyi Wetan, kampung Cibeusi misalnya, pengeluaran untuk membeli sepatu menjadi masalah penting yang diprioritaskan. Karakteristik topografi lingkungan yang berbukit64 | P a g e
bukit, curam, kondisi jalan yang buruk dan jarak yang jauh membuat sepatu cepat rusak, sehingga pembelian sepatu menjadi belanja rutin karena anak tidak mau masuk sekolah bila sepatunya rusak.
65 | P a g e
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan
Berbagai temuan yang telah dijabarkan memberi kesimpulan bahwa pemerintah kabupaten Bandung telah gagal dalam mengatasi berbagai permasalahan yang dialami masyarakat miskin dalam mengakses pendidikan dasar. Kegagalan ini bukan dalam hal ketidaktahuan pemerintah mengenai masalah hambatan akses yang sebenarnya terjadi, namun dalam tataran formulasi kebijakan, struktur penganggaran dan implementasi berbagai kebijakan tersebut dalam mengatasi berbagai permasalahan yang spesifik. Masyarakat miskin mengalami hambatan akses yang bersifat multidimensional. Hambatan akses yang bersumber dari adanya nilai-nilai dan persepsi negatif terhadap pendidikan, rendahnya tingkat pendidikan orang tua, dorongan untuk membantu bekerja atau dipekerjakan oleh orang tua, perasaan malu, gizi buruk, lingkungan bertetangga yang kurang mementingkan pendidikan, pengaruh teman sebaya (peergroup), rendahnya tingkat kepedulian orang tua, konflik rumah tangga, rendahnya kemampuan dalam membiayai berbagai pengeluaran terkait pendidikan, sekolah yang masih membebankan berbagai pungutan, ancaman dari guru karena belum membayar, ejekan dari teman serta jarak ke sekolah yang jauh merupakan berbagai faktor yang mendorong rendahnya kepesertaan masyarakat miskin terhadap pendidikan. Dalam mengatasi hambatan dari sisi nilai dan persepsi negatif masyarakat terhadap pendidikan, maupun rendahnya tingkat kepedulian orang tua, tidak ada kebijakan dan kegiatan yang secara khusus ditujukan untuk mengatasinya. Namun, hal yang menarik adalah dalam lampiran SK bupati nomor 2/2005 tentang SRTPK, yang menulis tentang keberadaan petugas penyuluh pendidikan. Meski tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai petugas ini—dan mungkin memang tidak ada—namun ini memperlihatkan bahwa pemerintah daerah memang menyadari adanya permasalahan nilai dan persepsi negatif tersebut. Masih terkait dengan upaya mengatasi hambatan tersebut, adanya program PKH juga merupakan salah satu bentuk upaya pemerintah untuk mengatasi hambatan ini, terutama karena adanya pendamping lapangan yang juga bertugas memberikan penyuluhan. Program ini (secara konseptual) bahkan memiliki dampak yang luas, karena berupaya mengatasi permasalahan akses pendidikan seperti biaya transportasi, uang jajan, perlangkapan sekolah dan lainnya yang bersifat subyektif. Namun, berbagai penyimpangan yang terjadi, sistem yang sentralistik dan rendahnya anggaran membuat berbagai upaya yang dilakukan tidak efektif. Absennya pemerintah daerah dalam mengatasi permasalahan ini, terbantu oleh inisiatif berbagai pihak di tingkat desa,
66 | P a g e
seperti kepala desa, tokoh masyarakat/pendidikan, maupun tetangga dalam memberikan penyuluhan, maupun dorongan. Dari berbagai kegiatan dan program yang telah dicanangkan, pemerintah hanya melaksanakan upaya untuk mengatasi hambatan akses yang terkait dengan kemampuan ekonomi masyarakat, dan hambatan keterbatasan sumber daya melalui pembangunan sekolah dan ruang kelas baru. Namun, dalam pelaksanaannya, prosentase alokasi belanja yang tidak memenuhi aturan, jumlahnya yang rendah, pengalokasian dan penggunaan anggaran yang tidak efisien membuat pemerintah tidak memiliki anggaran yang memadai untuk membiayai berbagai kegiatan terkait upaya mengatasi berbagai hambatan akses yang ada. Meski pembangunan sarana dan prasarana mendapat alokasi belanja paling besar, masih tingginya kebutuhan terhadap sekolah dan ruang kelas (terutama SMP) di hampir seluruh kecamatan membuat, serta tidak efisiennya anggaran yang digunakan membuat alokasi belanja tersebut tetap akan menjadi irisan terbesar dalam struktur anggaran di tahun-tahun berikutnya. Ini berarti, apabila tidak ada upaya perubahan pola penggunaan anggaran, upaya untuk menjamin masyarakat miskin untuk dapat mengakses pendidikan tidak akan pernah efektif. BOS, sebagai program yang dijadikan “primadona� dalam menjamin terselenggaranya pendidikan dasar bebas biaya, ternyata tidak optimal dalam menghilangkan berbagai macam pungutan yang dibebankan sekolah kepada siswa. Meski telah dianggarkan dengan jumlah yang sangat besar, alasan utama masih adanya pungutan tersebut adalah ketidakcukupan dana yang diberikan untuk menutupi berbagai biaya operasional yang dikeluarkan. Dalam struktur anggaran pemerintah kabupaten Bandung, nyatanya pengeluaran ini tidak dianggarkan tiap tahun. Dengan demikian, ketercukupan biaya penyelenggaraan bantuan ini sangat tergantung pada besarnya alokasi yang diberikan oleh pemerintah pusat dan propinsi. Terkait dengan upaya untuk menjamin segala biaya pendidikan yang dikeluarkan oleh masyarakat miskin dalam mengakses pendidikan, pemberian bantuan untuk mengurangi beban biaya personal melalui pemberian perlengkapan sekolah, beasiswa, maupun biaya transportasi memang dilaksanakan, namun pelaksanaannya tidak optimal karena anggaran yang dialokasikan sangat kecil dimana banyak siswa tidak mampu yang tidak memperolehnya. Hal ini kemudian mendorong terjadinya ketidaktepatan pemberian bantuan, serta penyimpangan dalam penggunaan bantuan. Dalam menyelenggarakan berbagai bantuan ini, pemerintah kabupaten Bandung-pun sangat bergantung pada alokasi anggaran yang diberikan pemerintah pusat. Dengan demikian, permasalahan hambatan akses akbat rendahnya kemampuan ekonomi masyarakat tidak dapat diatasi. Padahal, faktor ekonomi ini merupakan faktor penting yang memiliki andil sangat besar yang mendorong terbentuknya hambatanhambatan lain, terutama hambatan terkait perlakuan tidak baik dari guru, hambatan terkait nilai dan persepsi negatif terhadap pendidikan, maupun hambatan karena jarak ke sekolah yang jauh. Terlebih lagi, dengan adanya upaya pemerintah untuk kembali 67 | P a g e
mendorong kepesertaan masyarakat dalam membayar biaya pendidikan, dorongan untuk menggunakan sekolah swasta, berkurangnya sekolah negeri (terutama pada jenjang SD), berkembangpesatnya sekolah swasta yang masih diberikan kewenangan untuk memungut biaya sekolah kepada anak muridnya, serta tidak adanya sanksi yang tegas kepada sekolah yang masih memungut iuran. Dengan tidak adanya mekanisme jaminan yang jelas dan di dukung dengan proporsi anggaran yang kurang memadai, secara prospektif, masyarakat miskin di tahun-tahun mendatang akan mengalami permasalahan yang jauh lebih sulit dalam mengakses pendidikan dasar. Namun, perlu dipahami bahwa peningkatan anggaran untuk memberi jaminan pembebasan segala biaya pendidikan bagi masyarakat miskin belum tentu dapat mengatasi berbagai permasalahan tersebut. Hal ini karena sistem pengelolaan bantuan yang masih buruk. Buruknya pengelolaan ini karena (1) tidak adanya tolok ukur yang jelas mengenai siapa yang dibantu, apa saja yang dibantu, dengan apa mereka di bantu, dan bagaimana cara mereka di bantu; dan (2) tidak adanya ketegasan pemberian sanksi kepada sekolah yang tetap memberlakukan pungutan kepada murid dari keluarga miskin. Ketegasan kriteria beneficiaries menjadi penting karena jaminan pembebasan biaya pendidikan ini bersifat residual, hanya murid dari keluarga miskin saja yang di beri. Kemudian, kejelasan mengenai apa saja yang di bantu, dengan apa mereka di bantu dan bagaimana cara mereka dibantu penting karena permasalahan dan kebutuhan tiaptiap keluarga dalam mengakses pendidikan berbeda-beda, apakah mereka lebih membutuhkan bantuan dalam bentuk in-cash (diberi uang), in-kind (diberi barang), perbaikan gizi, atau personal/family assistance (pendampingan, ini terutama digunakan untuk mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan persepsi, nilai-nilai, motivasi, peningkatan kadar perhatian orang tua terhadap anak, ataupun mengkondisikan agar lingkungan (seperti tetangga, tokoh masyarakat, guru-guru, perangkat desa) dapat lebih proaktif mendorong mereka menyekolahkan anaknya.
5.2.
Saran
Berdasarkan berbagai temuan tersebut, ada beberapa hal yang penting untuk diperhatikan guna meningkatkan efektifitas upaya mengatasi hambatan akses masyarakat miskin terhadap pendidikan adalah reformulasi berbagai kebijakan dan aturan-aturan teknis pelaksanaan pemberian bantuan, peningkatan dukungan anggaran terhadap berbagai upaya tersebut, serta memberdayakan masyarakat dalam tataran yang lebih konkrit untuk memfasilitasi terbentuknya dukungan sosial yang lebih baik dalam mengatasi permasalahan akses yang dialami oleh anggotanya. Reformulasi berbagai kebijakan dan aturan teknis pelaksanaan pemberian bantuan ditujukan pada upaya untuk mengkaji kembali dan menetapkan dengan jelas kriteria siswa yang layak untuk diberikan bantuan, permasalahan apa saja yang akan dibantu, bentuk bantuan seperti apa yang diberikan dan cara pemberian bantuan. Penentuan dengan jelas kriteria siswa yang layak dibantu penting untuk dilakukan 68 | P a g e
karena selama ini, tidak ada ukuran yang jelas mengenai hal tersebut, yang mendorong ketidakcukupan bantuan, ataupun kesalahan dalam pemberian bantuan. Sedangkan penetapan jenis permasalahan yang akan dibantu penting karena tiap-tiap siswa, dan daerah memiliki permasalahan yang berbeda-beda. Pada masyarakat yang tinggal di daerah terpencil dan memiliki topografi lingkungan yang curam, berbukit-bukit dan jalan yang rusak misalnya, bantuan biaya transportasi ataupun sepatu menjadi keharusan dbandingkan dengan yang tinggal di kota. Penetapan mengenai bentuk bantuan yang diberikan juga penting karena kurang tepat mengatasi permasalahan nilai dan persepsi negatif dengan memberikan perlengkapan sekolah atau memberi uang, tetapi dengan personal/family assistance, ataupun mengkondisikan masyarakat agar lebih proaktif mendorong anggotanya untuk lebih memperhatikan pendidikan. sedangkan penetapan cara pemberian bantuan, seperti apakah diberikan ke sekolah dan dikelola oleh sekolah, atau langsung kepada murid, atau diberikan kepada masyarakat penting untuk dilakukan agar berbagai bantuan yang diberikan tepat sasaran. Upaya peningkatan dukungan anggaran juga penting, terutama terkait dengan adanya kebijakan untuk penyediaan skema pembiayaan bagi keluarga miskin seperti yang termaktub dalam perda nomor 26/2009. Upaya ini bisa dalam bentuk perampingan jumlah pegawai untuk mengurangi beban belanja tidak langsung, ataupun menyeimbangkan proporsi antara belanja fisik dan non fisik sekaligus lebih mengefisienkan penggunaan anggaran. Upaya lain yang dapat dilakukan adalah menghapus kontribusi anggaran kabupaten Bandung dalam pembiayaan BOS dan dialokasikan untuk membiayai pemberian bantuan yang secara khusus ditujukan kepada masyarakat miskin. Hal ini dilakukan karena alokasi tersebut tidak efektif karena pada kenyataannya sekolah masih membebankan pungutan kepada murid, dan dana tersebut juga dinikmati oleh masyarakat mampu. Saran terakhir adalah memfasilitasi peningkatan dukungan sosial yang lebih baik dalam mengatasi permasalahan akses yang terjadi. Pemerintah kabupaten Bandung memang telah mencanangkan upaya tersebut dalam bentuk kebijakan percepatan pengembangan partisipasi masyarakat dan dunia usaha terhadap pendidikan bagi anak keluarga miskin dan percepatan koordinasi dan fasilitasi program semua stakeholder yang berhubungan dengan pendidikan bagi anak keluarga miskin. Namun, hal ini hanya sebatas wacana karena tidak ada kebijakan turunan untuk melaksanakan hal tersebut. Fasilitasi dukungan sosial dapat dilakukan, misalnya dengan memberikan pendampingan komunitas, peningkatan partisipasi masyarakat untuk turut serta dalam perumusan kebijakan pendidikan, dan bentuk-bentuk lainnya.
69 | P a g e