07 Modul Pelatihan Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif di Desa

Page 1

MODUL PELATIHAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI DESA

DISUSUN OLEH: TIM PENYUSUN MODUL

PERKUMPULAN INISIATIF BANDUNG 2007


Transparan 4.5

MENGAJAR ORANG DEWASA Atau MEMBANTU ORANG DEWASA BELAJAR Transparan 4.6


ORANG DEWASA SUDAH MEMILIKI BANYAK PENGETAHUAN YANG DIPEROLEHNYA MELALUI PENGALAMAN


ORANG DEWASA TIDAK AKAN SUKA DIPERINTAH UNTUK MELAKUKAN SESUATU, KECUALI JIKA MEREKA DIBERI KESEMPATAN UNTUK BERTANYA “MENGAPA?” DAN MENGAMBIL KEPUTUSANNYA SENDIRI


SALAM DARI PENYUSUN MODUL Mari bersenang-senang ... !! (Ajakan dari Sesama Fasilitator Pelatihan) Ada berbagai macam jenis Fasilitator Pelatihan: Jenis pertama adalah si Pencemas. Senantiasa mencemaskan kemampuan peserta, menganggap peserta pelatihan demikian dungu, sehingga ia setiap waktu membanjiri mereka dengan berbagai informasi dan bermacam peringatan. Jenis yang lain adalah Kepala Asrama. Ia menghendaki kelas pelatihan berlangsung tertib dan teratur. Ia terganggu jika ada peserta pelatihan bising, padahal mereka tengah asyik berdiskusi sesama mereka. Atau gusar bila peserta lalu lalang di depan kelas, padahal peserta tengah dalam semangat belajar yang tinggi. Berikutnya adalah si Berantakan, yang tidak memandang penting tanggungjawabnya. Melakukan persiapan sekenanya dan terlalu mengandalkan improvisasi di depan kelas. Si berantakan tidak merasa berkewajiban untuk membangun proses belajar yang terstruktur dan karena itu membuat bingung peserta. Ada pula fasilitator tipe Julius Caesar. Kelas pelatihan adalah koloni yang harus ditaklukkan. Vini Vidi Vici! Julius Caesar gemar membunuh gagasan dan argumentasi peserta. Pergi dari satu kelas pelatihan satu ke yang lain untuk menambah daftar kejayaannya. Jenis fasilitator berikutnya adalah si Sombong. Mendapatkan kesenangan dengan bersikap sinis dan meremehkan peserta. Si Sombong mengintimidasi peserta dengan memamerkan pemikiran, pengalaman dan kehebatan lainnya. Tentu masih banyak lagi jenis Fasilitator yang menjengkelkan peserta. Fasilitator demikian membuat pelatihan menjadi proses yang sama sekali tidak menyenangkan. Siksaan bagi peserta dan kegembiraan bagi Fasilitator. Kami yang menulis buku panduan ini pernah melakukan kekeliruan dengan menjadi si Berantakan, si Sombong, dan seterusnya. Tapi seperti juga anda, kami selalu ingin menjadi fasilitator pelatihan yang lebih baik. Buku panduan ini memang terutama untuk memenuhi kebutuhan belajar Fasilitator Komunitas. Namun secara praktis pengguna buku ini adalah teman-teman fasilitator pelatihan. Melalui penyusunan buku ini kami ingin menyampaikan ajakan kepada sesama rekan fasilitator pelatihan untuk membangun kelas belajar yang menyenangkan, saling percaya, saling menghormati, dan demokratis. Pelatihan memandang satu hal yang serius dan penting. Tapi kami percaya bahwa itu pekerjaan yang menyenangkan. Mari lakukan itu sambil bersenang-senang bersama peserta pelatihan!!


ISI MODUL TEMA I

: BELAJAR BERSAMA

MODUL 1.1. : Penjelasan Alur dan Tujuan Pelatihan MODUL 1.2. : Kontrak Belajar

TEMA II

: PENGANTAR UNTUK FASILITATOR

MODUL 2.1. : Memahami Motivasi, Peran, dan Etika Fasilitator MODUL 2.2. : Menjadi Fasilitator Warga Yang Handal

TEMA III

: TATA PEMERINTAHAN DESA YANG BAIK

MODUL 3.1. : Hubungan Tata Pemerintahan Desa Yang Baik Dengan Kualitas Layanan Publik MODUL 3.2. :Mengakomodir Kepentingan Kelompok Marjinal Melalui Layanan Publik

TEMA IV

: DEMOKRATISASI DESA

MODUL 4.1. : Mengoptimalkan Ruang Partisipasi Publik Yang Tersedia Di Desa MODUL 4.2. : Mewujudkan Peran Forum Warga dan Komunitas MODUL 4.3. : Membangun Sistem Informasi Desa MODUL 4.4. : Penguatan Kelompok Marjinal Dalam Mendorong Demokratisasi

TEMA V

: PROSES PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI DESA

MODUL 5.1. : Memahami RPJMDes MODUL 5.2. : Memahami RKPDes MODUL 5.3. : APBDes Yang Partisipatif MODUL 5.4. : Monitoring dan Evaluasi APBDes


MODUL 1.1. PERKENALAN DAN PENJELASAN ALUR PELATIHAN Tujuan a. Peserta saling mengenal, saling memahami perbedaan, saling menghargai, dan saling mengisi. b. Peserta mampu menciptakan keakraban. c. Peserta memahami kerangka acuan kerja pelatihan Kegiatan Belajar Kegiatan 1 Kegiatan 2 Kegiatan 3

: Penjelasan Kerangka Acuan Kerja Pelatihan : Permainan perkenalan : Mengisi biodata

Waktu 75 menit Acuan   

Kerangka Acuan Kerja Pelatihan Bahan bacaan: jenis-jenis permainan perkenalan Bio data peserta

30 menit 30 menit 15 menit


Kegiatan 1 1. Tujuan a. Peserta dapat memahami kerangka acuan kerja pelatihan. b. Peserta dapat menguraikan dengan kata-kata sendiri apa yang akan diperoleh dalam pelatihan ini dan cara pelatihan dilakukan serta cara menyampaikan dan mempraktikkan materi-materi di dalam pelatihan ini. 2. Materi Kerangka Acuan Kerja Pelatihan 3. Waktu 30 menit 4. Perlengkapan -

Spidol Papan Tulis

5. Proses Urutan Proses Belajar 1 Buka pertemuan dengan salam singkat dan uraikan bahwa kita akan memulai pelatihan dan menjelaskan tentang Kerangka Acuan Kerja Pelatihan. 2 Minta peserta untuk menelaah kembali Kerangka Acuan Kerja Pelatihan yang terlampir pada Surat Undangan Pelatihan. 3 Jelaskan Kerangka Acuan Kerja Pelatihan tersebut secara singkat, dengan bahasa yang mudah dipahami. 4 Buka kesempatan tanya jawab untuk kegiatan ini. 5 Tutup kegiatan dan ucapkan terima kasih.

Durasi 3 menit 3 menit 10 menit 2 menit


Kegiatan 2 Permainan Perkenalan 1. Tujuan   

Peserta saling mengenal, saling memahami perbedaan, saling menghargai Terjadi refleksi diri mengapa peserta mengikuti pelatihan Tercipta suasana yang akrab

2. Materi 

Permainan Perkenalan

3. Waktu 30 menit. 4. Perlengkapan      

Kertas metaplan Peralatan sesuai dengan jenis permainan perkenalan yang dipilih. Kertas plano. Spidol Selotip Papan tulis dengan perlengkapannya.

5. Proses Urutan Proses Belajar 1 Jelaskan secara singkat tentang permainan perkenalan. 2 Minta peserta untuk melakukan permainan perkenalan tersebut dengan semangat. 3 Setelah beberapa peserta maju ke depan dan mempraktikkan permainan tersebut, ajak peserta untuk memberikan kesan-kesan mereka seputar permainan perkenalan tadi. 4 Tutup kegiatan dan ucapkan terima kasih.

Durasi 5 menit 15 menit 8 menit

2 menit


Contoh P erm ainan PERKENALAN - SEBUAH PERJUMPAAN ANTAR PRIBADI Seringkali kita menganggap kita sudah saling mengenal dengan mengetahui nama dan jabatan seseorang. Perkenalan ini sering dikenal sebagai perkenalan kartu nama, karena seorang hanya mengenal yang lain sebatas apa yang biasa tertulis di kartu nama. Perkenalan macam ini jelas tidak cukup untuk membangun tim. 1) Tiap peserta harus menulis binatang kesayangan masing-masing di atas kertas/kartu yang telah disediakan oleh panitia. Sebaiknya binatang kesayangan yang ditulis adalah binatang kesayangan yang ingin digunakan oleh seluruh peserta dalam memanggil Anda. Kemudian kartu-kartu tersebut dikumpulkan oleh panitia dan diacak dan dibagi kembali sehingga tiap orang akan mendapat kartu orang lain. Bila ternyata ada yang mendapat kartu sendiri harus segera ditukarkan lewat panitia. 2) Tiap peserta harus mencari orang yang menulis binatang kesayangan pada kartu yang dipegangnya. Caranya: orang yang memegang kartu menirukan suara binatang yang tertulis pada kartu. Kemudian orang yang merasa binatang kesayangannya ditirukan suaranya mendatangi orang yang memegang kartu. Setelah bertemu, mereka harus memperdalam perkenalan dengan menanyakan hal-hal sebagai berikut: • • • • • • • • • •

Tempat dan tanggal lahir. Sudah berkeluarga atau belum. Bila sudah, siapa nama pasangannya. Berapa anaknya, umur anaknya (anak-anaknya). Pendidikan yang sempat dijalaninya. Perhatian utama dalam hidup ini. Kegemaran (hobi) yang paling disukai. Cita-citanya menjalani hidup ini. Pandangannya mengenai kemiskinan (ilustrasi). Apakah harapannya/motivasinya mengikuti pelatihan.

3) Tiap peserta kemudian harus memperkenalkan teman yang sudah makin dikenalnya tersebut kepada seluruh peserta kelas. Tiap peserta juga boleh menyimpulkan menurut pendapat masing-masing apakah teman Anda termasuk peserta yang penuh semangat/punya motivasi yang kuat, atau ikut-ikutan atau terpaksa ikut.


Kegiatan 3 Mengisi Bio data 1. Tujuan Terkumpul bio data peserta pelatihan dengan format yang seragam. 2. Materi Bio data. 3. Waktu 15 menit. 4. Perlengkapan 

Formulir bio data.

5. Proses Urutan Proses Belajar 1 Bagikan formulir bio-data. Contoh formulir bio data dapat dilihat pada lembar di bawah ini. Data yang diminta dapat disesuaikan dengan kebutuhan penyelenggara pelatihan. 2 Minta peserta untuk mengisi formulir tersebut dengan tulisan yang cukup besar dan jelas dibaca. 3 Kumpulkan formulir setelah selesai diisi oleh seluruh peserta. 4 Tutup kegiatan dan ucapkan terima kasih.

Durasi 3 menit

8 menit 2 menit 2 menit


CON TOH

BIO DATA PESERTA

Nama

: ...........................................................

Jenis Kelamin

: laki / perempuan (coret yang tidak perlu)

Status

: .............................................................

Tempat&Tanggal Lahir : .............................................................. Pendidikan Terakhir

: ..............................................................

Pekerjaan/Jabatan

: ..............................................................

Alamat Pekerjaan

: .............................................................. ..................................................................

Alamat Rumah : ..................................................................................................... Riwayat Pekerjaan ...................................................................................................................... ...................................................................................................................... ............................................................................................ Riwayat Pelatihan ...................................................................................................................... .............................................. Pengalaman organisasi ...................................................................................................................... .............................................. ..........................,..........................………..2006 Tanda Tangan

(Nama :...................................................)


MODUL 1.2. KONTRAK BELAJAR 1. Tujuan Peserta mampu : • • • •

merumuskan harapan bersama, memahami hubungan antara harapan dan silabus, membangun kesepakatan untuk mencapai harapan bersama, membangun kesepakatan tata tertib pelatihan yang kondusif untuk mencapai harapan bersama.

2. Kegiatan Belajar Kegiatan 1 Kegiatan 2 Kegiatan 3 Waktu 45 menit

Diskusi harapan bersama Penyepakatan mekanisme belajar Mengisi Lembar Evaluasi Diri (Pre-Training)

30 menit 15 menit 15 menit


Kegiatan 1 Diskusi Harapan Bersama

1. Tujuan Peserta mampu : • • •

merumuskan harapan bersama memahami hubungan antara harapan dan silabus membangun kesepakatan untuk mencapai harapan bersama

2. Materi Harapan bersama dan kesepakatan mencapai harapan bersama 3. Waktu 30 menit 4. Perlengkapan • Kertas plano • Kuda-kuda untuk flip chart • Papan tulis dengan perlengkapannya • Supidol, selotip kertas dan jepitan besar • OHP (Overhead Projector)/Infokus 5. PROSES Urutan Proses Belajar Durasi 1 Buka pertemuan dengan salam singkat dan uraikan 5 menit bahwa kita akan memulai dengan Modul 1.2 Kontrak Belajar yang terdiri dari 3 kegiatan. Jelaskan tujuan dari modul ini. 2 Bagi peserta menjadi beberapa kelompok dan minta 5 menit tiap kelompok menyimpulkan harapan kelompok bukan lagi harapan individu. 3 Ajak satu kelompok menyajikan hasil kelompok dan 20 menit kemudian minta kelompok lain melengkapi sehingga terjadi harapan kelas. Diskusikan hasil harapan kelas tersebut dan kaitkan dengan Kerangka Acuan Kerja Pelatihan. 4 Setelah selesai lanjutkan ke kegiatan 2


Kegiatan 2 Penyepakatan Mekanisme Belajar 1. Tujuan Terbangun kesepakatan: •

mekanisme pencapaian harapan bersama (aturan main)

tata tertib pelatihan yang kondusif untuk mencapai harapan bersama

2. Materi •

Daftar harapan peserta

Aturan main dan tata tertib pelatihan

3. Waktu 15 menit 4. Perlengkapan   

Kertas plano dan Papan tulis dengan perlengkapannya Spidol dan selotip kertas

5. PROSES Urutan Proses Belajar Durasi 1 Jelaskan kepada peserta bahwa kita punya harapan 5 menit bersama yang dirumuskan di Kegiatan 1. Diperlukan kesepakatan bersama untuk mencapai harapan tersebut selama pelatihan ini. Kesepakatan bersama tersebut merupakan langkah-langkah yang perlu dilakukan termasuk tata tertib kelas agar dapat tercapai harapan bersama, yang harus ditaati oleh seluruh peserta dan penyelenggara dalam melaksanakan pelatihan 2 Ajaklah peserta untuk curah pendapat apa saja yang 10 menit harus disepakati untuk diatur bersama dalam menjaga proses pelatihan. Tuliskan semua berbagai hal yang disepakati untuk menjadi tata tertib selama mengikuti pelatihan pada kertas plano dan tempelkan di tempat semua peserta dapat melihat. Bangun kesepakatan bahwa tata tertib tersebut bersifat mengikat semua pihak yang terlibat selama pelatihan.


Kegiatan 3 Lembar Evaluasi Diri Peserta (Pra and Pasca Pelatihan)

1. Tujuan 

Untuk mengetahui dan mengukur tingkat pengetahuan dan pemahaman peserta sebelum dan sesudah proses pelatihan berlangsung.

2. Materi 

Lembar Evaluasi Diri Peserta

3. Waktu 15 menit 4. Kelengkapan • •

Lembar Isian “Lembar Evaluasi Diri Peserta Pra Pelatihan” Lembar Isian “Lembar Evaluasi DIri Peserta Pasca Pelatihan”

5. PROSES Urutan Proses Belajar Durasi 1 Fasilitator mengajak peserta untuk bersama-sama 5 menit menilai pengetahuan dan atau pemahaman dan atau keterampilan mereka tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan perencanaan dan penganggaran partisipatif di desa. 2 Evaluasi diri dilakukan dengan cara peserta mengisi 8 menit Lembar Isian “Lembar Evaluasi Diri Peserta Pelatihan” sesuai dengan tingkat penguasaan mereka masingmasing. 3 Fasilitator mengumpulkan lembar isian tersebut, 3 menit kemudian mengajak peserta untuk bersama-sama membangun suasana belajar yang baik.


Lembar Evaluasi Diri Peserta Pra Pelatihan No.

Pengetahuan, Pemahaman, dan Keterampilan Saya tentang‌

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.

Nilai Saya Sekarang

++

+

_

__


Lembar Evaluasi Diri Peserta Pasca Pelatihan No.

Pengetahuan, Pemahaman, dan Keterampilan Saya tentang‌

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.

Nilai Saya Sekarang

++

+

_

__


Kegiatan 4 Menyusun Rencana Tindak Lanjut Pasca Pelatihan

1. Tujuan 

Untuk mengetahui dan mengukur tingkat pengetahuan dan pemahaman peserta dalam mengaplikasikan Modul Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif ini. Untuk mengetahui dan menilai rencana tindak lanjut peserta pasca pelatihan.

2. Materi 

Rencana Tindak Lanjut Peserta Pasca Pelatihan

3. Waktu 15 menit 4. Kelengkapan •

Lembar Isian “Rencana Tindak Lanjut Peserta Pasca Pelatihan”

5.PROSES Urutan Proses Belajar Durasi 1 Fasilitator meminta peserta merumuskan rencana 10 menit tindak lanjut pelatihan di desa mereka masing-masing dengan mengisi Lembar Isian “Rencana Tindak Lanjut Peserta Pasca Pelatihan”. Pertanyaan kuncinya adalah “Apa yang akan peserta lakukan di desa masingmasing berkaitan dengan perencanaan dan penganggaran partisipatif? 2 Fasilitator menyampaikan beberapa catatan penting 5 menit tentang pelatihan, kesimpulan-kesimpulan umum, atau kesan-kesan tertentu tentang pelatihan, kemudian menutup sesi.


Rencana Tindak Lanjut Peserta Pasca Pelatihan Nama Peserta Pelatihan

: ……………………………………

Jabatan

: ……………………………………

No.

Kegiatan

Pihak lain Yang Terlibat

Waktu


MODUL 2.1. MEMAHAMI MOTIVASI, PERAN, DAN ETIKA FASILITATOR 1. Tujuan a. Peserta memahami motivasi, peran, dan etika fasilitator warga. b. Peserta dapat mempraktikkan motivasi, peran, dan etika dalam memfasilitasi warga. 2. Kegiatan Belajar Kegiatan 1 Kegiatan 2 Kegiatan 3

: Menggali Motivasi Fasilitator Komunitas : Menentukan Peran Fasilitator Komunitas : Menyepakati Etika Fasilitator Komunitas

60 menit 60 menit 60 menit

3. Waktu 120 menit 4. Acuan 

Bahan bacaan mengenai Motivasi, Peran, dan Fungsi Fasilitator Komunitas

5. Alat dan Bahan • Spidol warna • Plano • Lembar Kerja : Apa yang Memotivasi Saya Menjadi Fasilitator Komunitas?


6. Proses Fasilitasi Urutan Proses Belajar 1 Buka pertemuan dengan salam singkat dan uraikan bahwa kita akan memulai dengan Modul 2.1. yaitu Memahami Motivasi, Peran, dan Etika Fasilitator yang terdiri dari 3 kegiatan. Jelaskan tujuan dari modul ini. 2 Narasumber atau fasilitator pelatihan menyampaikan materi pelatihan. 3 Bagi peserta menjadi beberapa kelompok dan minta tiap kelompok menyimpulkan motivasi, peran, dan etika fasilitator. 4 Ajak satu kelompok menyajikan hasil kelompok dan kemudian minta kelompok lain melengkapi sehingga terjadi kesepakatan mengenai motivasi, peran, dan etika fasilitator. Diskusikan hal ini bersama-sama. 5 Kaji ulang proses pelatihan. Tutup kegiatan dan ucapkan terima kasih.

Durasi 15 menit

45 menit 30 menit 20 menit

10 menit


Kegiatan 1 Lembar Kerja

Apa yang Memotivasi Saya Menjadi Fasilitator?

Pilihlah lima aspek terpenting yang memotivasi diri anda untuk terlibat sebagai fasilitator:  Menjadi fasilitator komunitas sangat menarik, saya menikmatinya  Membuat saya dikenal orang lain  Mudah untuk dilakukan  Saya memiliki kemampuan untuk melakukannya  Saya memiliki kesempatan untuk tumbuh dan berkembang  Saya memiliki kesempatan untuk berbakti pada nusa dan bangsa  Saya memiliki kesempatan untuk mendapat imbalan (uang, pujian, kesenangan)  Saya memiliki kesempatan untuk terlibat dalam kerja-kerja perubahan sosial  Kesempatan untuk bertemu dengan orang banyak  Masyarakat membutuhkan fasilitator  Saya merasa ini penting  Saya memiliki idealisme

Catatan : Meskipun selalu ada motif yang merupakan motif utama, namun mungkin campuran beberapa motiflah yang menggerakkan seseorang untuk menjadi Fasilitator Komunitas. Amat penting bagi setiap peserta untuk mengenali motifnya sendiri, dengan membicarakan tujuan, harapan dan kekuatirannya dengan sesama Fasilitator Komunitas.


Kegiatan 2 Konsep Kunci

Catatan untuk Fasilitator

 Paradigma ‘Developmentalisme’, yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan digerakkan oleh mekanisme yang sentralistik telah menempatkan komunitas hanya sebagai obyek pembangunan. Pemerintah kemudian meluncurkan paket pemberdayaan kepada komunitas untuk efisiensi biaya pembangunan karena cadangan APBN sebagian besar ditujukan untuk membiayai pertumbuhan yang digerakkan oleh industri dan itu terjadi di kota-kota. Desa kemudian hanya sebagai penyangga pertumbuhan kota. Paket “pemberdayaan” pada masa awal orde baru berupaya mendorong kemandirian komunitas untuk membiayai sendiri pembangunan dan dikemas dalam pengklasifikasian desa “swakarsa, swadaya, swasembada”, berbarengan dengan hal itu orde baru menciptakan iklim pembodohan secara sistematik agar komunitas tidak menyadari akan hakhaknya terhadap pembangunan. Setiap ungkapan kritis atau perlawanan terhadapnya kemudian akan dituduh sebagai bahaya laten komunis, atau kelompok fundamentalis sampai pada GPK.  Situasi krisis saat ini telah memberikan pelajaran bagi komunitas. Telah terbit di ufuk cakrawala kesadaran komunitas tentang hak-haknya, tidak hanya tentang keswadayaan semata. Hal tersebut ditandai dengan maraknya “corruption watch” di komunitas. Meski belum lagi sampai pada kesadaran akan perubahan mendasar atas sistem dan kebijakan yang lebih berpihak pada mereka. Peran CO (Community Organizer/Pengorganisir Warga) desa maupun kota kemudian lebih sebagai upaya bersama komunitas ke arah itu.  Upaya bersama komunitas merupakan langkah-langkah transformatif yang di dalamnya berlangsung proses saling belajar antara CO-komunitas.  Pada tahap awal sessi atau pada saat peserta membacakan bahan bacaan, ada baiknya fasilitator membangun situasi emotif dan terlibat terhadap peristiwa yang berlangsung di dalam cerita. Hal ini bisa dicapai dengan memilih peserta yang memiliki kemampuan untuk “teatrikal”. Fasilitator bisa bertanya tentang hal tersebut kepada peserta. Atau fasilitator juga bisa terlibat sebagai pembaca bersama beberapa peserta lainnya.


Bahan Bacaan:

PERAN FASILITATOR KOMUNITAS (Disadur dari surat, catatan, dan cerita sebagaimana dituturkan G kepada BS ) Kota-kota telah menjadi seperti jaring raksasa rumah laba-laba. Jalinan jaring yang terbentang dari julang-julang gedung yang mencakar-cakar langit, mallmal, supermarket-supermarket, pabrik-pabrik, dan entah belasan atau puluhan bangunan bagus yang entah apa namanya. Jalinan yang membentang ratusan kilometer jauhnya hingga ke desa saya. Begitulah. Orang-orang di dusun tidak yang tua-tidak yang muda-tidak laki-tidak juga perempuan kemudian berbondong menjadi seperti serangga menyongsong kota-kota dengan sepasang sayapnya yang kecil-rapuh bernama kemiskinankebodohan. Meninggalkan desa dengan hamparan hektar-hektar sawah-ladangkebun namun telah tak berarti apapun selain hanya menunjukkan bahwa warga desa saya tak memiliki apa-apa. Sawah-ladang-kebun di desa saya sebagian besar memang bukan lagi milik orang-orang di desa. Cepat tapi pasti, sawah yang itu kemudian jadi punya bapak jendral A, sebelah kiri yang itu anaknya pejabat N, sebelah kanannya milik pengusaha L, di sebelah utara katanya punya iparnya menteri. Di sebelah sana entah saudara entah mamangnya salah seorang kenalannya pejabat. Begitu juga dengan yang di sebelah situ. Dari semuanya tidak ada satu pun yang orangorang desa saya kenal. Kakek-nenek, buyut, dan leluhur-leluhur saya adalah petani turun-temurun di desa itu. Bapak-ibu memiliki sebidang tanah cukup luas. Di atasnya mereka bangun sebuah rumah sederhana serta sebagian lainnya untuk sumber utama penghidupan keluarga: beberapa petak sawah. Ketika saya berumur 7 tahun, bapak jatuh sakit. Berangsur sembuh kemudian jatuh sakit lagi. Lebih keras. Begitu terus dan berlangsung hingga saya berusia 9 tahun lebih 3 bulan ketika bapak meninggal. Sakitnya bapak tidak hanya membuat saya dan 3 adik saya kehilangan sepasang sayap untuk beranjak tidur; “hariring� ibu yang lembut dan sayup yang membuat saya terbang dan melayang-layang di langit kemudian terlelap. Tapi juga telah menggerogoti petak demi petak penghidupan keluarga. Pada saat bapak meninggal, beberapa petakan sawah itu telah menjadi milik mang Fulan. Ibu menggadaikannya atau tepatnya ibu terpaksa menjualnya untuk biaya pengobatan bapak selama 2 tahun lebih hingga ke pemakaman dan tahlil. Seperti kata ibu, hampir tidak mungkin untuk ibu menebusnya dengan hanya mengandalkan sepasang tanganya untuk “buburuh� (menjadi buruh) membantu


di kebun atau sawah tetangga serta pada belas kasihan orang. Meski saya tahu tangan ibu tebal dan kasar, kuat dan perkasa untuk memikul hari-hari sendirian dengan 4 orang anak. Keluarga dari pihak bapak maupun ibu bukannya mereka tidak perduli dan mengulurkan tangan. Begitu juga dengan tetangga yang sudah seperti saudara. Mereka demikian “nyaah” (kasih-sayang yang dalam hingga ke lubuk bathin). Itu saya rasakan sendiri. Ada saja yang paman-bibi, ua, serta saudara-saudara lainnya lakukan untuk meringankan keseharian kami. Meski keadaan mereka semua sesungguhnya tidak jauh lebih baik; sama dengan kami, mengandalkan sepasang tangan untuk menyangga hari-hari: buburuh. Beberapa bulan lalu, saya bertemu dengan mang C, teman bapak di desa tetangga, ketika saya pulang belanja bahan-bahan cendol dagangan saya dari pasar W. Saya hampir tidak mengenalinya lagi. Selain karena pertemuan saya yang terakhir dengan mang C 3 tahun lalu ketika saya ziarah ke makam bapak dan ibu, juga terutama karena hampir tidak ada lagi yang bisa saya kenali dari sosok mang C selain dari sorot matanya: tenang namun teguh. Meski saya merasakannya bahwa sorot mata itu pun telah berubah menjadi lebih dalam dan mengeras. Dulu mang C hampir selalu penuh senyum. Tegap dan gerak-geriknya gesit. Saya hampir tidak percaya bahwa laki-laki setengah baya di hadapan saya adalah mang C: wajahnya bergurat-gurat oleh garis-garis muram, kurus dan kumal meski masih tampak kuat dan gesit. “Mang sekarang jadi kuli kontrak bangunan,” katanya menjelaskan . Saya betul-betul tidak pernah menyangka atas kejadian yang menimpa mang C dan warga lainnya. Desa mang C dibangun. Jadi lapang golf katanya. Saya juga betul-betul tidak pernah menyangka bahwa ada jenis manusia yang tinggal di sini yang pekerjaannya mematikan puntung-puntung rokok di punggung orang, di punggung mang C. “Takdir, emang, ini, Jang. Mang sering di koramil. Jadinya mang persis sapi dikasih merk,” kata mang C setengah bergurau sambil menarik kembali kemejanya menutup punggungnya. “Mang dan warga lain sebetulnya bukan mau melawan pemerintah, Jang. Punya apa sih Mang? Tapi Mang dan warga lain hanya nggak tahu kalau ngejual lahan terus nasib Mang nasib warga gimana? Mang kan ngga ada lagi selain tani. Lagian itu tanah warisan. Apalagi harga gantinya miring, jang. Hanya 100 perak permeter. Coba ujang bayangin sendiri,” lanjut mang C. Saya hanya diam. Ada banyak yang tidak bisa saya pahami.


“Mang juga dituduh BTI* oleh orang-orang itu. Kasihan si bibi. Sejak saat itu tiap tidur pasti ngigau ketakutan karena terlalu sering diancam. Mau dibakarlah rumah, mau didoser, sampai mau dibunuh segala, tidak hanya oleh mereka, tapi juga sama pak kades dan anak buahnya. Mang lama-lama ngga kuat, Jang. “ (Dulu di desa saya ada semacam guyonan tentang BTI dan katanya bisa jadi

cara yang ampuh, bahkan bisa untuk membuat pencuri mengakui perbuatannya. Begini biasanya kami melukiskan: “Kamu maling ayam, ya?”, bentak ronda. “Ampun, kang, bukan, kang. Sumpah, bener saya bukan maling!”, seru pencuri itu. “Ngaku kamu! Kamu pasti maling!!!” “Ngga, kang, bukan. Bener, sumpah.” “Ooo, kalau bukan maling kamu pasti BTI, ya?!” “Tobat, saya bukan BTI, kang. Sumpah tujuh turunan! “Ngaku, kamu BTI’kan?! “Bukan, kang, bukan, saya memang maling.” Akhirnya si pencuri mengaku. Karena lebih baik mengaku maling ketimbang dituduh BTI. Bisa celaka 7 turunan)

Saya hanya diam. Ada banyak yang tidak bisa saya pahami. Saya teringat ketika ibu menjual sawah pada mang fulan untuk biaya obat bapak. “Kenapa harus menjual sawah? Apa obat-obat bapak itu seharga sawah?” Tanya saya. Ibu hanya menjawab lirih saat itu, “obat-obat, rumah sakit itu mahal, jang.” Tapi saya tetap tidak mengerti terlebih ketika melihat obat-obat bapak kecil-kecil, tidak sebesar sawah. Atau ketika banyak tetangga saya yang menjual sawahnya pada mang fulan agar mereka bisa beli radio, beli tv saat pertama kali listrik ke desa saya. “Kenapa harus menjual sawah? Kenapa mereka baru bisa beli radio, beli tv kalau mereka menjual sawah?” Ibu hanya menjawab lirih saat itu, “radio, tv itu mahal, jang.” Tapi saya tetap tidak mengerti terlebih ketika melihat radio-tv kecil-kecil, tidak sebesar sawah. Atau ketika banyak tetangga saya yang menjual sawahnya ke mang fulan agar mereka bisa menyekolahkan anak-anaknya ke kota. “Kenapa harus menjual sawah? Kenapa mereka baru bisa sekolah kalau mereka menjual sawah?” Ibu hanya menjawab lirih saat itu, “sekolah itu mahal, jang. Kalau sekolah kita jadi pintar.” Tapi saya tetap tidak mengerti terlebih ketika melihat buku-buku yang mereka


bawa kecil-kecil, tidak sebesar sawah. Dan saya semakin tidak mengerti ketika melihat mereka kembali “ngarit” (mencari rumput untuk ternak) seperti saya. “Tidak ada biaya untuk melanjutkan,” jawab mereka saat itu. “Jadi untuk apa menjual sawah?” “Ya, biar bisa sekolah, biar pintar, biar nggak kayak kamu yang hanya ngaji.” Saya tetap tidak mengerti karena bertahun kemudian mereka tetap ngarit dan buburuh seperti warga yang tidak sekolah. Atau ketika banyak tetangga saya yang menjual sawahnya pada mang fulan agar mereka bisa beli motor saat jalan-jalan ke desa saya diaspal. “Kenapa harus menjual sawah? Kenapa mereka baru bisa beli motor kalau mereka menjual sawah?” Tapi ibu sudah tidak bisa menjawab bahwa motor itu mahal, jang, dan kalau punya motor kamu tidak harus lagi jalan kaki jika pergi. Ibu sudah meninggal. TBC, katanya. “Motor itu buatan luar negeri, jang. Jadi mahal. Mang juga belinya diangsur 3 tahun. Nanti kalau insinyur kita sudah bisa bikin sendiri baru motor itu murah mudah-mudahan seperti pisang goreng.” Saya mengangguk-angguk saja saat mang C menjelaskan. Beberapa bulan setelah itu mang C kemudian menjadi tukang ojeg di desa saya. Saya hanya diam. Ada banyak yang tidak bisa saya pahami meski kemudian saya menjadi tahu bahwa ketika ibu atau tetangga saya menjual sawahnya itu adalah untuk keperluan bapak dan untuk kebutuhan mereka sendiri. Tapi lapangan golf? Itu ‘kan bukan untuk mang C dan warga desa, yang saya yakin jangankan melihatnya mendengarnya pun pasti baru: golf. “Ngga tahu lah, jang, golf itu apa? Itu sih katanya untuk pejabat dan orang gede.” Tutur mang C. Saya hanya diam. Ada banyak yang tidak bisa saya pahami. Mang C tidak bisa saya tahan untuk sekedar singgah. Malah sebaliknya dia yang memaksa untuk mengunjunginya di rumah kontrakan di jalan G. Kami pun berpisah. Kota-kota memang telah menjadi seperti jaring raksasa rumah laba-laba. Dan saya menemukan diri saya (G), tiga anak saya (C, M, R), istri saya (V) terpintal oleh jalinannya di dalam sebuah rumah kontrakan (5x4) m2 yang berdesakdesak, bertumpuk-tumpuk dengan (3x4, 5x6, 3x3, 4x7) m2 berderet di sepanjang lorong yang semakin hari semakin hangat karena kian menjadi selebar bahu saja;


Jerit tangis jerit riang gelak tawa anak-anak berlarian di lorong-lorong gang di bawah semarak warna-warni celana kolor, bh, singlet, jaket, kemeja, kaos oblong, celana jeans, daster, handuk, lap, selimut yang berkibar-kibar di tali jemuran. Siang hari lorong akan penuh suara desis minyak goreng dari dapurdapur yang juga berderet di sepanjang lorong. Udara akan kaya dengan aroma goreng terasi, ikan sepat, goreng telor, goreng jengkol, goreng tempe, goreng tahu, sesekali bau wc umum menyelinap ke sela-selanya bersama aroma tumpukan sampah yang berminggu tertimbun di tanah lapang. Dengung lalat yang berputar-putar mencari. Gelak tawa gerutu ibu-ibu ditingkahi trang-tring-trong piring-gelas-panci-ketel. “Tidak, Felicia, tidak, Jose tetap mencintaimu!”, suara perempuan tua Spanyol di TV seperti bersaing dengan jeritan “aku bukan pengemis cinta” di radio. Dan saya-istri saya semakin terbungkuk memanggul hari-hari yang semakin memberat. harga-harga melonjak-lonjak di punggung : 1 kg gula Rp 3800,00 1 kg minyak goreng Rp 4000,00 1 kg beras Rp 2600,00 1 kg minyak tanah Rp ………. *harga sewaktu-waktu dapat berubah tanpa pemberitahuan Pada hari-hari musim penghujan atau ketika menyaksikan arak-arakan awan hitam menutup langit kampung, kami semua akan disergap kecemasan. Banjir. Ya, banjir dan kampung ini akan segera tergenang menampung luap dan tumpahan segala isi sungai Ck yang menyisir kampung yang juga kian anyir dan hitam. Begitu senantiasa sepanjang puluhan tahun. Tetapi orang-orang di sini tidak bisa berhenti. Begitu juga anak-anak di kampung ini. Mereka tetap akan terus bernyanyi dan terus bernyanyi di segenap jalanan hingga ke segala penjuru kota dalam merah-hijau-kuning lampu lalulintas. Anak-anak akan terus bernyanyi hingga nyanyian itu hanya gumam atau hanya geresek kecrek tutup botol dan lampu akan juga terus berkedap-kedip (seperti mengisyaratkan tentang hidup saya kah?), mengiringi setiap ayunan kerja saya, istri saya dan ibu-bapaknya, mengiringi setiap perasan gulir keringat agar mesinmesin terus berputar sepanjang siang-malam menenun apa saja yang ingin mereka tenun, mencetak apa saja yang ingin mereka cetak, merakit apa saja yang ingin mereka rakit, agar cerobong-cerobong terus mengepul dan gedunggedung itu tetap menjulang-julang mencakar-cakar langit.


Kegiatan 3 Bahan Bacaan:

Etika Fasilitator Perubahan Tiga Tema Etika Intervensi Sosial KEKUASAAN, KEBEBASAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN Tiga pihak yang terpisah tapi saling berinteraksi muncul dalam pelaksanaan program Pendampingan Reformasi Pengelolaan Keuangan Desa. Para pihak tersebut adalah:  Perkumpulan Inisiatif yaitu lembaga yang berinisiatif, bertanggung jawab dan membiayai program.  Fasilitator yaitu individu yang menjalankan program Pendampingan Reformasi Pengelolaan Keuangan Desa di komunitas.  Komunitas yaitu kelompok sasaran dimana program Pendampingan Reformasi Pengelolaan Keuangan Desa dijalankan. Pola hubungan antara Perkumpulan Inisiatif, fasilitator dan komunitas menjadi sangat penting untuk disadari. Perpaduan antara yang memiliki posisi kekuasaan lebih dalam pengambilan keputusan dan fasilitator yang handal biasanya akan lebih berpengaruh ketimbang komunitas yang merupakan sasaran intervensi. Perbedaan kekuasaan ini berlanjut pada masalah ‘kebebasan’ komunitas dan ‘pertanggung jawaban’ fasilitator. Komunitas mempunyai kebebasan untuk memilih tingkat partisipasi mereka dalam program. Pada sisi lain, Perkumpulan Inisiatif dan fasilitator harus mampu mempertanggung jawabkan intervensi yang mereka lakukan di komunitas. Itulah sebabnya masalah ‘kekuasaan’, ‘kebebasan’ dan ‘pertanggung jawaban’ melahirkan sejumlah masalah etis dalam segitiga hubungan tersebut. KEKUASAAN Persoalan etis utama dari fasilitator adalah menyangkut dirinya sebagai pengemban kekuasaan. Fasilitator memegang kekuasaan yang berasal dari pengetahuan, keterampilan, dan hubungan kerjanya dengan Perkumpulan Inisiatif. Penyalahgunaan kekuasaan oleh fasilitator dapat menimbulkan kerugian, baik terhadap komunitas maupun terhadap program intervensi itu sendiri. Persoalan etika kekuasaan fasilitator yang penting lainnya adalah (keterlibatan fasilitator) mendefinisikan masalah komunitas. Ada sebagian fasilitator yang menggunakan cara pandang dokter-pasien. Dianggapnya komunitas adalah pasien dan fasilitator adalah sang dokter. Bila fasilitator secara sepihak menentukan masalah komunitas tanpa ada partisipasi atau konsultasi dengan komunitas, apalagi disertai dengan tindakan perumusan rencana proyek yang tidak diketahui komunitas, maka terjadilah pelanggaran etis.


Tipologi Pengaruh Mengingat kekuasaan berasal dari gambaran keahlian fasilitator, apakah pengaruh politis yang utama dari intervensi sosial? Istilah “politik” digunakan untuk mencakup setiap perubahan dalam pembagian kekuasaan, pengaruh dan wewenang dalam setiap unit yang mencakup individu, kelompok, komunitas dan negara. Tipologi pengaruh secara umum dibagi menjadi (i) pemeliharaan sistem dan (ii) perubahan sistem. Intervensi sosial dapat membantu memelihara atau memperkuat suatu sistem dengan cara-cara berikut.  Legitimasi Moral Kehadiran fasilitator yang nyata dan dipercaya sering memperkuat perasaan anggota komunitas yang tidak puas atau justru sangat puas dengan sistem sosial yang ada. Hal ini disebabkan oleh kepercayaan komunitas bahwa fasilitator adalah jujur, bertanggung jawab, dan berhak atas kekuasaan serta kedudukannya.  Pengorbanan Dalam rangka mencapai kohesi interen yang lebih besar, hampir setiap masyarakat memilih seorang musuh atau setan yang padanya dapat diproyeksikan rasa bersalah, frustasi atau ketidakpuasan. Pengkambinghitaman seperti itu membantu untuk mempertahankan sistem dengan menyalurkan agresi melawan pihak yang lemah daripada pihak yang kuat.  Penyesuaian Diri Intervensi dapat mendorong individu dan kelompok untuk menyesuaikan diri dengan suatu sistem melalui pikiran, perasaan dan tindakan dalam batasbatas yang telah ditentukan. Fasilitator pada umumnya dapat meningkatkan penyesuaian diri dengan menanamkan suatu etika pragmatis. Dalam etika ini, tindakan politik, tindakan organisasi, atau tindakan lainnya hanya dapat diterima dalam jajaran pilihan yang disetujui pihak yang berwenang. Tekanan terhadap apa yang mungkin, apa yang praktis, dan apa yang bisa membuat sistem terpelihara.  Pengumpulan Informasi Fasilitator lebih lanjut dapat memperkuat posisi pihak yang berwenang dengan mengumpulkan informasi mengenai ketidaksepakatan atau ketidakpuasan.  Meredam Oposisi Keuntungan politis yang diperoleh dari informasi ialah bahwa informasi itu dapat digunakan oleh pihak berwenang untuk menghadapi oposisi. Fasilitator dapat dengan sengaja atau tidak sengaja bekerja untuk meredam kekuatan yang tidak setuju. Ia dapat saja menutup ruang yang cukup bagi oposan untuk berkembang melalui cara-cara menumpas atau setidaknya mengurangi pengaruh para oposan.


Intervensi sosial adalah tindakan yang menghasilkan atau dirancang untuk menghasilkan perubahan. Memang banyak bentuk intervensi tidak mencapai sasaran perubahan yang dinyatakan, namun intervensi-intervensi itu dapat langsung atau tidak langsung menyebabkan perubahan penting dalam diri individu dan sistem sosial.  Peningkatan Kesadaran Salah satu pengaruh yang mendalam dari intervensi sosial ialah peningkatan kesadaran bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan kehidupan seseorang dan keyakinan bahwa situasi itu dapat diperbaiki. Intervensi juga dapat membantu individu untuk mengatasi keharusan struktural yang mengitari mereka dan memahaminya, meskipun samar-samar, kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi dan membentuk hidup mereka.  Delegitimasi Intervensi sosial juga membantu terjadinya perubahan dengan menantang legitimasi suatu sistem tertentu. Hal ini dapat dilakukan melalui pembongkaran landasan keyakinan orang-orang yang dikuasai. Intervensi juga dapat diarahkan langsung untuk melemahkan dasar kekuasaan dari para pemimpin yang mapan.  Kemampuan Intervensi lebih lanjut dapat menyebabkan perubahan karena memasok lawan, kelompok minoritas, atau kelompok yang menentang lainnya dengan kemampuan, peluang, sarana dan insentif untuk bertindak. Intervensi dapat meyakinkan orang-orang bahwa mereka dapat menjadi sumber tindakan sosial. Intervensi dapat mengajarkan individu dan kelompok untuk melihat diri mereka sendiri sebagai pemula tindakan, mampu berprakarsa, mampu meramalkan, dan mampu mengendalikan diri sendiri dan orang lain. KEBEBASAN Menurut definisi, kebebasan membutuhkan – di atas segala-galanya – kemampuan dan peluang untuk memilih. Jika individu yang terlibat tidak mempunyai kemampuan dan tidak memperoleh informasi untuk memahami dan mempertimbangkan akibat-akibat dari partisipasi mereka, atau jika mereka dipaksa, didesak, atau dimanipulasi oleh tekanan lingkungan untuk berpartisipasi, maka kebebasan akan berkurang. Kemampuan memahami suatu intervensi seringkali berkembang oleh peluang partisipasi dari dekat. Hambatan utama bagi kebebasan terletak dalam ketidakmampuan orang untuk memahami hakikat dan akibat dari partisipasi mereka dalam intervensi. Dalam kasus lain, hambatan itu berupa informasi yang tidak memadai mengenai intervensi itu dan akibat-akibatnya. Sebuah persolan yang muncul ialah mengenai batas-batas pengungkapan informasi. Pengungkapan informasi biasanya ditegaskan keharusannya secara etis dalam intervensi sosial. Namun masalahnya mengenai seberapa jauh pengungkapan harus dilakukan. Misalnya, apakah fasilitator harus membeberkan


seluruh ‘kartu’nya di atas meja, termasuk menyingkap seluruh perlengkapan teknik yang dipakainya? Kebebasan individu juga dikendalikan oleh paksaan dan tekanan yang ditemukan dalam lingkungan. Dalam kasus lain, kendala untuk kebebasan bukan berasal dari paksaan langsung melainkan dari tekanan kelompok atau ancaman kuat dan perangsang. Dalam kegiatan-kegiatan pengembangan komunitas, pimpinan komunitas dapat menegaskan dengan jelas bahwa setiap anggota komunitas bebas untuk berpartisipasi atau tidak, sesuai dengan pertimbangannya. Namun kebebasan ini ternyata dapat palsu jika kebanyakan anggota suatu komunitas memutuskan untuk berpartisipasi, dan para penolak merasa ditekan untuk maju bersama. Akhirnya dan ironisnya, kebebasan individu kadang-kadang dapat dimusyawarahkan secara serius dengan menawarkan imbalan dan perangsang positif. Meskipun demikian, kita harus tetap bertanya apakah secara etis dapat dibenarkan jika menggunakan imbalan materi untuk mempercepat perubahan pelaku dalam intervensi sosial. Mengingat banyak keterbatasan kemampuan dan peluang, langkah-langkah apakah yang dapat diambil untuk melindungi kebebasan manusia dalam intervensi. Tipologi usaha-usaha perlindungan yang disajikan berikut ini disusun berdasarkan perbedaan-perbedaan asumsi kemampuan untuk menangkap hakikat dan akibat-akibat dari intervensi sosial.  Informasi yang Meningkat Hasilnya Jika dapat diandaikan bahwa para peserta berada dalam posisi untuk memahami intervensi dan melindungi kepentingan mereka sendiri manakala diberi informasi yang memadai, maka tantangannya ialah memberikan informasi ini dengan cara yang paling mungkin dapat dimengerti. Oleh karena itu, tugas utama fasilitator ialah memasok orang yang bersangkutan dengan pemberitahuan yang jelas dan lengkap mengenai kemungkinan resiko dan manfaat dari partisipasi dalam kelompok.  Partisipasi Partisipasi dan perundingan bersama adalah sarana efektif untuk membantu tercapainya persetujuan. Asumsi di balik usul-usul tersebut ialah bahwa orang mempunyai kemampuan dasar untuk melindungi kepentingannya, namun mereka harus memperoleh kesempatan untuk mengambil bagian dalam keputusan tentang apakah memang harus ada intervensi, kapan dan dimana intervensi itu harus berlangsung, dan bagaimana intervensi itu akan diadakan.  Penguasaan Jika dibiarkan berbuat menurut kemauan mereka sendiri, maka orang-orang yang kurang beruntung sering tidak berada dalam posisi siap untuk berpartisipasi sebagai orang-orang yang sederajat dalam perundingan mengenai penyelesaian konflik. Pemecahan paling etis ialah tidak mengandalkan pihak yang paling siap dan juga tidak mempercayakan


penyelesaiannya kepada pihak luar, melainkan memperbesar kemampuan kaum lemah untuk mewujudkan kepentingan mereka sendiri. Fasilitator harus meningkatkan kemampuan pihak-pihak yang lebih lemah untuk mengambil keputusan yang paling baik dengan membantu mereka informasi yang diperlukan dan keterampilan untuk menjalankan kekuasaan. PERTANGGUNGJAWABAN Apakah para fasilitator harus bertanggung jawab untuk kegiatan atau ketidakgiatan mereka? Jika mereka bertanggung jawab, kepada siapa, dan bagaimana? Tiga jenis pertanggung jawaban fasilitator dapat dibedakan ke dalam pertanggung jawaban: pribadi, hukum dan profesi. Pertama adalah tanggung jawab ‘pribadi’ yang diambil oleh seseorang untuk tindakannya. Ada anggapan yang luas, yang diakui dalam pernyataan Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia, bahwa individu, tanpa memperhatikan status dan profesinya, bertanggung jawab secara moral atas prilakunya. Jadi fasilitator tidak berhak untuk membunuh, menipu, membohongi, mencuri atau melanggar kode-kode moral yang diakui dalam melaksanakan suatu intervensi. Bentuk pertanggungjawaban kedua dan ketiga ialah tanggung jawab ‘hukum’ dan ‘profesi’. Fasilitator bertanggung jawab terhadap komunitas atas kerugian yang terjadi. Komunitas mempunyai hak untuk mengajukan para profesional ini ke pengadilan jika mereka yakin bahwa (a) profesional yang bersangkutan telah lalai atau tidak etis dalam menjalankan praktek, (b) oleh karena itu mereka dirugikan, dan (c) pendekatan alternatif untuk mengganti kerugian komunitas tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pertanggung jawaban profesi harus melalui organisasi fasilitator. Organisasi profesi harus meminta pertanggung jawaban dan mengambil langkah-langkah yang perlu. Sampai sekarang, konsep mengenai pertanggung jawaban ‘hukum’ dan ‘profesi’ untuk fasilitator lebih bersifat teoritis ketimbang aktual. Diadaptasi dari: Gordon Bermant dan Donal O. Walrik, “Etika Intervensi Sosial: Kekuasaan, Kebebasan dan Pertanggungjawaban”, dalam Merencanakan Perubahan; Warren G. Bennis et al (Eds), Jakarta: Intermedia, 1990, hal. 603 – 633.


MODUL 2.2. 1. Tujuan

Menjadi Fasilitator Warga Yang Handal

a. Peserta memahami cara memfasilitasi warga. b. Peserta memahami tahapan-tahapan dalam memfasilitasi warga. 2. Kegiatan Belajar Kegiatan : Merumuskan Langkah-Langkah Penting Memfasilitasi Warga

100menit

3. Waktu 90 menit 4. Bahan Bacaan Dimensi-Dimensi Penting Fasilitasi Warga 5. Alat dan Bahan • Spidol • Kertas plano 6. Proses Fasilitasi Urutan Proses Belajar 1 Buka pertemuan dengan salam singkat dan uraikan bahwa kita akan memulai dengan Modul 2.2. yaitu Menjadi Fasilitator Warga Yang Handal. Jelaskan tujuan dari modul ini. 2 Narasumber atau fasilitator pelatihan menyampaikan materi pelatihan. 3 Buka sesi diskusi dan tanya jawab atau sharing untuk peserta mengenai materi yang disampaikan. 4 Kaji ulang proses pelatihan. Tutup kegiatan dan ucapkan terima kasih.

Durasi 10 menit

40 menit 30 menit 10 menit


Bahan Bacaan Dimensi-Dimensi Penting Fasilitasi Warga Di lapangan, seringkali kita menjumpai kesulitan untuk dapat mengajak warga mengembangkan potensi dan menggali masalah bersama. Terkadang kita menghadapi warga yang ‘bisu’ tidak mau mengeluarkan pendapat sama sekali dalam pertemuan ataupun rembuk-rembuk warga. Atau bahkan kebalikannya, kita sering menemui warga yang ‘lincah’ dan super aktif yang mendominasi pertemuan. Kedua ekstrim ini, sebenarnya merupakan potensi yang sangat baik bagi perkembangan perjalanan warga untuk mencapai harapan-harapannya. Proses fasilitasi merupakan suatu kerja yang sangat mulia, dimana fungsi utama fasilitator adalah menjadi ”motor penggerak” warga untuk dapat mencapai tujuannya secara bersama-sama. Proses fasilitasi tidak boleh memanipulasi warga sehingga mereka mengikuti keinginan fasilitator. Proses ini justru menumbuhkan keinginan dan harapan warga, mencari jalan untuk mencapainya dengan upaya pelibatan warga secara partisipatif dan sukarela. Setidaknya ada 4 dimensi penting yang perlu dijalankan oleh seorang fasilitator apabila yang bersangkutan ingin mendapatkan proses fasilitasinya berguna dan fasilitator dapat menjadi handal dengan memperhatikan hal-hal berikut ini: 1. PERHATIKAN KESIAPAN PRIBADI, dalam dimensi ini ada beberapa hal penting yang harus mendapat perhatian yaitu: a. Tinggalkan masalah pribadi. Sebelum memulai kegiatan fasilitasi sebaiknya kita meninggalkan semua masalah pribadi di rumah. Jangan sampai para peserta melihat wajah kita tidak enak untuk dipandang, sehingga mereka akan menjauhi kita. Cara yang paling tepat adalah konsentrasi dengan rencana kegiatan fasilitasi dan mempersiapkan semua langkah dengan baik. b. Berpakaian yang sopan dan cocok dengan partisipan. Sebagai fasilitator, kita jangan sampai menjadi makhluk ’aneh’ bagi para partisipannya. Kalau partisipan adalah kelompok muslim, maka berpakaian seperti mereka. Kalau partisipan berasal dari kalangan bisnis, maka berpakaian yang memenuhi standar mereka. Kalau partisipannya adalah masyarakat bawah yang miskin, jangan berpakaian yang mewah dan mencolok. Jangan pula menggunakan pakaian yang mengundang reaksi penolakan partisipan seperti pakaian sexy.


c. Sedapat mungkin bergerak selama proses fasilitasi. Fasilitator yang handal tidak hanya duduk saja selama proses fasilitasi berlangsung. Fasilitator sedapat mungkin bergerak menguasai ruangan ataupun lokasi pertemuan. Tujuannya agar tidak membosankan partisipan. 2. PERHATIKAN DINAMIKA PERJALANAN KELOMPOK yaitu: a. Rumuskan secara bersama tujuan rasional pertemuan. Sebelum memulai fasilitasi ada baiknya fasilitator menanyakan pada semua partisipan apa-apa saja hasil yang hendak dicapai melalui pertemuan dan acara ini. Hasil ini sangat penting dirumuskan diawal pertemuan. b. Menjaga keseimbangan proses dan hasil. Selama proses fasilitasi hendaknya fasilitator dapat menjaga keseimbangan antara proses dan hasil. Maksudnya, prosesnya dibuat sedemikian rupa agar menyenangkan dan tidak bosan. Humor menjadi penting. Akan tetapi dengan waktu tertentu fasilitator harus terus-menerus sadar sudah sampai dimana hasil perjalanan diskusi kelompok tersebut. c. Mempunyai keluwesan. Fasilitator dalam mengendalikan perjalanan kelompok agar dapat bersikap luwes terhadap permintaan mayoritas partisipan. Misalnya dalam situasi yang agak melelahkan, fasilitator bisa bertanya pada partisipan untuk berhenti sejenak dan bermain bersamasama atau bernyanyi bersama agar mendapatkan energi kelompok yang baru. d. Membangun kerjasama tim. Proses fasilitasi yang baik seyogyanya juga melibatkan partisipan ataupun co-fasilitator untuk mempersiapkan hal-hal teknis tanpa mengganggu proses perjalanan fasilitasi. Misalnya persiapan alat-alat belajar seperti kertas plano, spidol, clup chart, tali sampai pada persiapan konsumsi, hendaknya diatur ada pembagian kerja yang baik. Proses pencatatan dan dokumentasi juga merupakan bagian pekerjaan yang harus didistribusikan secara merata pada semua pihak yang terlibat. e. Membuat keputusan bersama. Di akhir ataupun dipertengahan proses berlangsung, perlu ada kesimpulan-kesimpulan umum yang harus ditegaskan menjadi keputusan bersama anggota kelompok. Sehingga dapat dilihat perjalanan proses menghasilkan komitmen dan keputusan bersama yang akan ditindaklanjuti.


3. PERHATIKAN GAYA PENYAMPAIAN. a. Aktif mendengarkan partisipan. Fasilitator yang baik adalah fasilitator yang dapat memberikan perhatian penuh dan mendengar dengan baik semua yang dikemukakan oleh partisipan, sekalipun fasilitator tidak setuju dengan isi pembicaraan mereka. b. Memahami dan merumuskan kembali pokok pembicaran peserta. Fasilitator yang baik hendaknya dapat menemukan inti (kata kunci) dari setiap pembicaraan yang dilakukan oleh para partisipan. Sebagai masyarakat yang gemar berbicara, kebanyakan orang memberikan banyak bunga-bunga bibir dalam pembicaraannya. Sehingga perlu disimpulkan pembicaraan tersebut dalam kata kunci yang tepat. c. Punya persediaan Humor yang memadai. Untuk menyegarkan suasana dan membuat tidak terlalu membosankan, fasilitator ada baiknya mempunyai persediaan humor yang dapat dikeluarkan pada saat-saat diperlukan. Akan tetapi jangan sampai humor tersebut justru menyinggung peserta. Siapkan humor-humor umum yang tidak menyangkut dan tidak menyinggung para peserta atau partisipan. d. Sering bertanya. Untuk dapat mendorong partisipasi peserta, terutama kelompok perempuan ataupun kelompok marginal yang tidak berani berbicara dalam kelompok, sebaiknya fasilitator memberikan kesempatan pada mereka dengan pertanyaan yang sifatnya memancing jawaban yang sesuai dengan materi yang diperbincangkan. e. Menghargai semua pandangan. Fasilitator hendaknya bersikap netral terhadap semua pandangan dan argumentasi, sekalipun ia tidak menyetujui isinya. Fasilitator harus membangun suasana yang nyaman untuk semua partisipan agar dapat mempunyai pandangan yang berbeda tanpa khawatir menjadi dipojokkan. f. Kolaborasi bahasa. Fasilitator yang baik adalah orang yang dapat dengan mudah menggunakan terminologi lokal yang dipahami oleh semua peserta. Jangan menggunakan bahasa asing ataupun bahasa �tinggi� yang tidak dimengerti oleh peserta dengan tujuan menunjukkan bahwa fasilitator menguasai bahasa asing. g. Tetap pada jalurnya. Fasilitator harus terus-menerus sadar akan tujuan yang hendak dicapai, sehingga apabila ada perdebatan ataupun isu tertentu yang membawa kelompok menjadi menyimpang topiknya, maka harus segera dikembalikan lagi kepada topik awalnya.


4. PERHATIKAN KETERLIBATAN FISIK. a. Pelihara kontak mata. Fasilitator sedapat mungkin selama proses fasilitasi berlangsung menatap semua mata partisipannya. Proses ini sangat penting secara psikologis, agar peserta dapat terlibat secara emosional dengan fasilitatornya. Tetapi pandangan mata tersebut jangan hanya ditujukan pada satu dua orang saja. b. Bahasa tubuh. Fasilitator perlu waspada untuk tidak membuat bahasa tubuh yang dapat menjadi bumerang proses fasilitasi. Misalnya bahasa tubuh yang melecehkan anggota partisipan yang cacat. Atau bahasa tubuh yang menolak pendapat yang sangat tidak sesuai dengan pikiran fasilitator. c. Daya tahan. Proses fasilitasi biasanya memerlukan waktu yang relatif lama. Sehingga daya tahan tubuh menjadi penting. Fasilitator hendaknya sudah mempersiapkan diri dengan baik. Misalnya sudah sarapan pagi. Minum vitamin dan suplemen sebelum memulai fasilitasi. d. Penekanan suara. Fasilitator yang baik bukan hanya mempertahankan suaranya secara datar dan pelan. Justru untuk mendinamisasi kelompok, tekanan suara tinggi rendah menjadi penting sebagai variasi yang tidak membosankan. Paling tidak suara fasilitator dapat di dengar dengan baik oleh seluruh partisipan.


MODUL 3.1. TATA PEMERINTAHAN DESA YANG BAIK DAN KUALITAS LAYANAN PUBLIK Tujuan

 

Peserta mengetahui dan memahami tentang wacana, pilarpilar, dan prinsip-prinsip tata pemerintahan desa yang baik. Peserta dapat mengetahui dan memahami partnership (kemitraan) sebagai salah satu pendekatan wacana tata pemerintahan desa yang baik. Partisipan dapat mendiskusikan bersama mengenai wacana tata pemerintahan desa yang baik.

Metode

  

Paparan Diskusi kelompok Presentasi

Alat dan Bahan

   

White board Kertas plano Spidol Selotip kertas

Bahan Bacaan

Good Governance (Tata Pemerintahan Desa Yang Baik) dan Kualitas Layanan Publik

Waktu

100 menit

Proses Fasilitasi 1. Fasilitator kelas menyiapkan judul, tujuan, dan waktu

yang diperlukan untuk melaksanakan materi ini (5 menit). 2. Fasilitator/narasumber menjelaskan tentang wacana good governance (10 menit). 3. Fasilitator meminta klarifikasi dari peserta mengenai materi yang disampaikan (10 menit). 4. Fasilitator membagi partisipan dalam 5 kelompok (5 menit). 5. Fasilitator meminta partisipan untuk mendiskusikan tentang media apa saja yang dapat digunakan untuk mempertemukan antara pemerintah dan masyarakat (15 menit). 6. Fasilitator mempersilakan masing-masing kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya (45 menit). 7. Kaji ulang proses dan hasil dari sessi ini (10 menit).


Konsep Kunci 

Ketersediaan ruang-ruang partisipasi memungkinkan masyarakat masuk dalam urusan publik yang menyangkut kepentingannya. Penerapan perencanaan dan penganggaran partisipatif di daerah merupakan satu alternatif untuk mewujudkan cita-cita tata pemerintahan desa yang baik dan keluar dari kerangkeng dominasi elite dan penguasa yang membatasi praktek-praktek transparansi dan akuntabilitas. Melalui penerapan perencanaan dan penganggaran partisipatif ini akan terwujud pemerintahan yang membuka diri pada keterlibatan masyarakat, akses informasi, dan berdasar pada kebutuhan riil masyarakat. Nilai-nilai tata pemerintahan desa yang baik akan tercermin dari pendekatan pembangunan dengan meletakkan rakyat sebagai sumber kedaulatan penyelenggaraan negara sekaligus sebagai pengawas dari penyelenggara negara. Tata pemerintahan desa yang baik mensyaratkan adanya ruang bagi masyarakat, keterbukaan informasi, dan akuntabilitas publik. Dengan adanya keterbukaan kontrol sosial dan kontrol politik terhadap penyelenggaraan pemerintahan maka kesejahteraan rakyat akan lebih terjamin. Ruang bagi keterlibatan masyarakat ini menjadi bangunan komunikasi bagi masyarakat dengan penyelenggara negara dalam proses pembangunan. Dengan adanya komunikasi dua arah antara pemerintah dengan rakyat maka tata pemerintahan desa yang baik akan lebih terbuka untuk diwujudkan. Tanpa adanya partisipasi masyarakat maka perencanaan dan penganggaran daerah hanya akan bias pada kepentingan elit dan tidak peka pada kepentingan masyarakat.


Bahan Bacaan

Good Governance dan Peningkatan Kualitas Layanan Publik: Peluang dan Tantangan Bagi Masyarakat Sipil untuk Berperan Lokakarya Organisasi Masyarakat Sipil Kabupaten Bandung untuk Mewujudkan Good Governance Katapang, 03 Juli 2006

Daftar isi… 1) Sekilas riwayat dan pengertian governance… 2) Prinsip dan pengertian layanan publik… 3) Hubungan governance dengan layanan publik… 4) Mekanisme kerja governance di Kabupaten Bandung…/Mesin pembangkit/pabrik layanan publik… 5) Celah peran masyarakat sipil… 6) Apa ide dan langkah strategis yang diperlukan…


1) Sekilas riwayat dan pengertian governance… ... Bermula dari penelitian PBB/UNDP (1980-an) yang mencoba mencari jawaban atas pertanyaan: …“mengapa ada banyak negara yang secara potensial (SDM/SDA/SDF) kaya, tetapi malah rakyatnya tidak sejahtera?”…

1) Sekilas riwayat dan pengertian governance… (lanjutan) ...kesimpulan dari penelitian itu: …“kemiskinan terjadi karena potensi (SDA/SDM/SDF) itu dikelola secara keliru dan tidak bertanggungjawab”… …keliru dan tidak bertanggungjawab: • pemerintah (government) berorientasi memperkaya diri sendiri (rent-seeking) bukannya mengabdi pada rakyat. • Keputusan dan pertanggungjawaban pengelolaan (SDM/SDA/SDF), dilakukan sepihak oleh government (…yang berperilaku seperti di atas) • Masyarakat adalah objek


1) Sekilas riwayat dan pengertian governance… (lanjutan) ...rekomendasi dari penelitian itu: …“mengatasi kemiskinan (…= mencapai kesejahteraan rakyat) harus dilakukan dengan cara pengelolaan potensi (SDA/SDM/SDF) secara benar dan bertanggungjawab”… …benar dan bertanggungjawab: • pemerintah (government) berorientasi untuk mengabdi pada rakyat bukannya memperkaya diri sendiri (rent-seeking). • Keputusan dan pertanggungjawaban pengelolaan (SDM/SDA/SDF), dilakukan bersama masyarakat. • Masyarakat adalah subjek.

1) Sekilas riwayat dan pengertian governance… (lanjutan) LEMBAGA

PENGERTIAN GOVERNANCE

The Governance Working of The International Institute of Administrative Science 1996

•Good governance adalah suatu proses dimana seluruh elemen masyarakat memiliki power dan kewenangan untuk mempengaruhi keputusan dan kebijakan yang memperhatikan kehidupan publik beserta seluruh pembagunan sosial dan ekonomi mereka. •Governance lebih luas dari government karena melibatkan interaksi institusi-institusi formal tersebut dengan masyarakat sipil.

•Governance adalah jumlah dari banyak cara individu dan institusi, publik dan private, dalam mengelola urusan mereka. •Merupakan suatu proses berkelanjutan dimana konflik-konflik kepentingan The Commision diakomodasikan dan dikoperatifkan, termasuk didalamnya institusi-institusi formal dapat on Global mendorong suatu proses compliance sebagaimana halnya mekanisme informal yang Governance kepentingan masyarakat dan institusi disetujui dan diterima •Tidak ada alternatif untuk mencapai good governance selain bekerjasama dan menggunakan kekuatan kolektif.

Policy Center

Affairs

•Kualitas good governance tercapai jika pemerintah secara keseluruhan dan institusiinstitusi publik terbuka terhadap ide-ide baru dan responsif terhadap warga •Responsivitas itu pada akhirnya akan kembali meningkat ketika warga terinformasi dan mencari pelaksanaan tanggung jawab kolektif secara lebih baik terhadap institusi-institusi tersebut.


2) Prinsip dan pengertian layanan publik… ... Layanan publik adalah: “semua produk barang, jasa, dan regulasi yang diproduksi/dihasilkan oleh pemerintahan” …karena pemerintahan adalah pelayan publik. Layanan publik itu kemudian terkategori menjadi sektor-sektor. Misalnya: pendidikan, kesehatan, administrasi kependudukan, ketenagakerjaan, prasarana umum, lingkungan dan tataruang, dll

2) Prinsip dan pengertian layanan publik…(lanjutan) ... Secara prinsip…:

“semua produk barang, jasa, dan regulasi yang diproduksi/dihasilkan oleh pemerintahan harus ditujukan kepada peningkatan kesejahteraan rakyat” produk layanan publik misalnya:

Jenis layanan publik

Sektor Barang

Jasa

Regulasi

Pendidikan

Buku pelajaran

Proses belajar/ mengajar

Perda/Perbup yang memberikan kebebasan membayar SPP kepada murid tidak mampu

Kesehatan

Obat-obatan

Proses pengobatan

Perda/Perbup yang memberikan jaminan pengobatan gratis di RSUD/Puskesma bagi masyarakat miskin

Prasarana Umum

Jalan

Proses pemberian izin untuk mendirikan bangunan

Perda/Perbup tentang proses penerbitan IMB


Hubungan governance dengan layanan publik‌ Input

Proses/governance

Output/ layanan

SDA SDM SDF

Tatacara dan tahapan diproduksinya layanan publik

Barang Jasa Regulasi

Produk antara: APBD

Dampak

Kesejahteraan rakyat

Invisible hand

Mekanisme Kerja Governance PERENCANAAN

PELAKSANAAN

PENGANGGARAN

MONITORING

EVALUASI -Musrenbang -Desa-Kab -Delegasi

Partisipasi tidak terlembaga

Partisipasi tidak terlembaga

Partisipasi tidak terlembaga

Partisipasi tidak terlembaga


Celah Peran masyarakat sipil dalam mekanisme kerja governance -Musrenbang -Desa-Kab -Delegasi

Partisipasi tidak terlembaga

Partisipasi tidak terlembaga

Partisipasi tidak terlembaga

Partisipasi tidak terlembaga -terlibat dlm Musrenbang - Menjadi delegasi

Advokasi Perda/ Tatib DPRD

Advokasi Perda/ Perbup

Advokasi Perda/ Perbup

Advokasi Perda/ Perbup

Apa ide dan langkah strategis yang diperlukan‌ -terlibat dlm Musrenbang -menjadi delegasi

Advokasi Perda/ Tatib DPRD

Advokasi Perda/ Perbup

Advokasi Perda/ Perbup

Advokasi Perda/ Perbup Konsolidasi para delegasi musrenbang

Forum Masyarakat Peduli APBD

Kelompok Kerja Sektoral

Mekanisme Penilaian Publik

Komisi Transparansi


MODUL 3.2. MENGAKOMODIR KEPENTINGAN KELOMPOK MARJINAL MELALUI LAYANAN PUBLIK Tujuan

Peserta mengetahui dan memahami cara mengakomodir kepentingan kelompok marjinal melalui layanan publik. Peserta dapat mendiskusikan bersama mengenai cara mengakomodir kepentingan kelompok marjinal melalui layanan publik.

Metode

  

Paparan Diskusi kelompok Presentasi

Alat dan Bahan

   

White board Kertas plano Spidol Selotip kertas

Bahan Bacaan

Sederet Urusan Warga Dengan Anggaran

Waktu

100 menit

Proses Fasilitasi 1. Fasilitator kelas menyiapkan judul, tujuan, dan waktu

yang diperlukan untuk melaksanakan materi ini (5 menit). 2. Fasilitator/narasumber menjelaskan tentang kelompok marjinal dan akses terhadap layanan publik (10 menit). 3. Fasilitator meminta klarifikasi dari peserta mengenai materi yang disampaikan (10 menit). 4. Fasilitator membagi partisipan dalam 5 kelompok (5 menit). 5. Fasilitator meminta partisipan untuk mendiskusikan tentang upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh kelompok marjinal agar dapat mengakses layanan publik (15 menit). 6. Fasilitator mempersilakan masing-masing kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya (45 menit). 7. Kaji ulang proses dan hasil dari sessi ini (10 menit).


Konsep Kunci Prinsip-Prinsip

Partisipasi Dalam Tata Pemerintahan Desa Yang Baik • Semua warga mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang dalam berpartisipasi • Berpihak kepada warga yang akses partisipasinya paling rendah (kelompok marjinal, perempuan) • Jenis, tujuan, saluran, dan mekanisme partisipasi disosialisasikan dengan baik kepada warga. • Adanya tahapan dan waktu yang memadai agar partisipasi benar-benar bermakna (termasuk konsultasi publik) • Adanya pemberdayaan para pihak agar mampu berpartisipasi secara seimbang • Setiap aspirasi diperhatikan tanpa terkecuali • Pengambilan keputusan melalui proses yang jujur, terbuka, dan adil • Adanya akses yang luas terhadap berbagai informasi yang merupakan hak publik • Adanya mekanisme penilaian (monev) terhadap hasilhasil keputusan dan pelaksanaannya Prinsip-Prinsip Partisipasi Dalam Proses Penyusunan APBDes • Penyusunan APBDes seharusnya dijalankan dengan tujuan untuk menyelenggarakan tata pemerintahan yang baik di tingkat desa. • Partisipasi, akuntabilitas, keterbukaan, dan pengawasan agar tidak terjadi penyalahgunaan terhadap anggaran pembangunan desa merupakan dasar-dasar yang prinsipil dalam penyusunan APBDes. • Partisipasi dalam penyusunan APBDes merupakan HAK sekaligus KEWAJIBAN masyarakat. • Melibatkan kelompok masyarakat di desa, terutama kelompok marjinal dan perempuan • Tidak ada dominasi elit di desa • Proses berjenjang dari tingkat komunitas terkecil hingga tingkat desa • Pos-pos anggaran disepakati bersama melalui musyawarah • Pos-pos anggaran berdasar kepada kebutuhan (bukan keinginan) masyarakat desa • Berbasis potensi desa • Dibuka peluang untuk dibahas kembali bersama masyarakat sebelum ditetapkan (melalui konsultasi


publik) • Anggaran harus berpihak kepada rakyat paling marginal atau miskin termasuk perempuan • Aspirasi rakyat paling miskin harus didengarkan • Anggaran disusun berdasarkan kebutuhan rakyat paling miskin (pro-poor budgeting) • Anggaran digunakan terutama untuk kepentingan rakyat paling miskin (pro-poor delivery service) Marjinalisasi Konsep marjinalisasi dalam arti luas, adalah sebuah proses yang hubungan-hubungan kekuasaan antar manusianya mengalami perubahan melalui suatu cara sehingga salah satu kelompok semakin terputus dari akses ke sumbersumber daya vital yaitu tanah dan air, modal, pekerjaan, pendidikan, hak-hak politik, yang semakin lama semakin dikuasai atau dimonopoli oleh sekelompok kecil orang atau pihak elite. Dalam proses marjinalisasi, perempuan lebih tersisih atau terpinggirkan dibanding laki-laki. Kelompok/Masyarakat Marjinal Masyarakat marjinal adalah sekelompok orang yang bertempat tinggal di suatu wilayah dalam arti geografis dengan batas-batas tertentu yang menjadi korban dan terpinggirkan oleh ketidakadilan struktur, kebijakan, proses pembangunan, dan sistem birokrasi. Mereka miskin karena dimiskinkan, mereka lemah karena dilemahkan, dan tidak berdaya karena tidak diberdayakan, sehingga mereka sulit untuk mewujudkan aspirasi dalam rangka pemenuhan kebutuhan yang disebabkan oleh pemerintah yang belum mampu mengelola pelayanan publik dengan baik dan adanya monopoli oleh kelompok elit masyarakat yang menguasai sumber-sumber ekonomi, politik, dan kemasyarakatan. Sementara itu kategori kelompok lemah atau tidak beruntung meliputi: 1. Kelompok lemah secara struktural (primary structural deadvantaged groups), baik secara kelas, gender, maupun etnis; 2. Kelompok lemah khusus (other disadvantaged groups), seperti manula, anak-anak dan remaja, penyandang cacat, gay dan lesbian, masyarakat terasing; dan 3. Kelompok lemah secara personal (the personally disadvantaged groups), adalah mereka yang


mengalami masalah pribadi atau keluarga.

SEDERET URUSAN WARGA DENGAN ANGGARAN Oleh : Dati Fatima

Sungguh galau perasaan Bu Surti sebut saja demikian ketika datang surat pemberitahuan dari sekolah siang itu. Anaknya yang bersekolah di salah satu SMA di Kecamatan Pundong, Bantul, diharuskan membayar biaya sekolah dalam jumlah yang sangat besar. Setelah bencana gempa 27 Mei 2006, iuran yang ditentukan pihak sekolah sebesar Rp. 190 rb tentu saja terasa sangat berat. Apalagi, melihat perinciannya, beberapa pos bukan merupakan kebutuhan mendesak. Ada biaya les sebesar Rp. 50 rb, dan ekstra wajib untuk percakapan Bahasa Inggris sebesar Rp. 40 rb. Bukan karena ia tak peduli pada pendidikan anak, tetapi mengapa dalam situasi sesulit ini tidak tampak kepedulian sekolah pada beban hidup yang ditanggung warga? Ia juga tampak semakin heran, ketika sore itu, lewat berita di stasiun televisi lokal, pemerintah menginformasikan kepedulian pemerintah terhadap warga korban bencana, termasuk dalam hal pendidikan. Dalam berita itu juga disebut, pemerintah akan menanggung biaya operasional pendidikan baik yang bersumber dari dana Biaya Operasional Sekolah (BOS) maupun dari dana APBD. Ia kembali bertanya-tanya, bila memang ada kepedulian, kenapa tetap ada pungutan yang memberatkan? BOS, APBD, apa pula itu? Punya siapakah? Darimana serta untuk kepentingan apa? Pertanyaan dan kegalauan berseliweran dalam pikirannya? Mungkin pertanyaan serupa juga akan muncul dari banyak warga. Istilah-istilah teknis seperti APBD, BOS, memang kerap sekali diucapkan para pejabat dalam berbagai kesempatan. Tetapi, penjelasan minim akan arti dan posisi istilah tersebut bisa membuat banyak hal penting terlewat dari pandang masyarakat. Tulisan kali ini akan mencoba mengurai tentang persoalan tersebut.

Anggaran Publik : Uang Milik Siapa?

Mari kita mencoba mengingat-ingat. Bila kita parkir di pinggir jalan raya, atau di depan pasar, ingatkah kita kalau ditarik karcis retribusi parkir oleh petugas? Ingat pulakah kita bilamana tagihan listrik bulanan datang, ada potongan di sebelah bawah yang menunjukkan persen tertentu sekitar 8% hingga 9% dari total tagihan bulanan yang juga harus ikut kita bayarkan? Pajak penerangan jalan namanya, yang melekat dalam tagihan rekening listrik bulanan itu. Itulah dua contoh pungutan-pungutan yang ditarik negara dan dibayarkan oleh warga. Daftar pungutan akan menjadi begitu panjang bilamana kita mendata semua pungutan


yang dibayarkan oleh warga negara, baik dalam bentuk pajak, retribusi, ataupun pembayaran barang jasa oleh perusahaan milik negara seperti rekening listrik, telepon, dan air. Juga beberapa pungutan yang sifatnya tidak langsung, alias tidak nampak tetapi sebetulnya ada dalam komponen harga barang dan jasa yang kita bayarkan. Pajak Pertambahan Nilai (PPN), misalnya, ada dalam komponen harga barang pabrikan seperti sabun, pasta gigi, gula, hingga dalam harga minyak goreng, juga pada pajak bahan bakar setiap kali kita membeli bensin atau solar. Intinya adalah, sumbangsih masyarakat seperti inilah yang menjadi komponen dan penyumbang utama anggaran. Ini terjadi baik di anggaran tingkat pusat (lebih dikenal dengan sebutan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di tingkat propinsi dan kabupaten. Bilamana sumber utamanya adalah sumbangan masyarakat, bukankah wajar bila konsekuensi logisnya masyarakat pula yang harusnya mendapatkan kemanfaatan dari anggaran? Bukankah begitu juga seharusnya, bilamana penyumbang utama PAD di beberapa daerah, mulai dari Kabupaten Bantul hingga Kabupaten Gunung Kidul berasal dari retribusi kesehatan yang dibayar orang yang berobat ke Puskesmas dan Rumah Sakit, serta pajak penerangan jalan sebagaimana di Sleman yang dibayar rutin oleh warga setiap bulan tanpa bisa ditawar?

Siapa yang diuntungkan oleh anggaran?

Jika sebelumnya kita mengurai sumber-sumber penerimaan anggaran yang ternyata sumber utamanya adalah sumbangsih masyarakat, siapa yang mendapat manfaat dari sisi pengeluarannya? Logikanya, harusnya rakyat pula yang mendapat porsi utama. Betulkah demikian? Salah satu fungsi utama anggaran adalah sebagai mekanisme untuk mengatur prioritas dan alokasi belanja negara dan daerah. Bila menjadi prioritas dalam pembangunan, maka begitu juga dalam hal anggaran, akan menjadi prioritas. Belanja anggaran ini juga memegang peranan penting dalam membuat bagaimana hak-hak warga negara bisa dilindungi, dihargai, dan yang utama juga dipenuhi. Apa saja hak dasar warga yang harus dipenuhi oleh negara ini? Pendidikan dan kesehatan, serta hak untuk mendapat tempat bernaung adalah beberapa hak dasar yang diterima dan disepakati masyarakat internasional termasuk juga Pemerintah Indonesia. Bila menjadi prioritas, otomatis pula anggaran berorientasi pada upaya menjamin supaya tidak ada warga yang terlantar tanpa mendapat pengobatan yang layak, tak ada bayibayi yang terkena malnutrisi dan gizi buruk tanpa mendapatkan perawatan dan pencegahan, anak-anak bisa mengenyam pendidikan dasar, hingga semua orang bisa memiliki tempat bernaung yang layak dan memadai. Tetapi kondisinya, Indonesia adalah salah satu negara dengan rangkaian rendahnya derajat kehidupan warga. Ratusan ribu balita mengalami gizi buruk dan kurang gizi, ribuan anak terpaksa putus sekolah, dan jutaan warga hidup dalam standar yang sangat rendah. Sayangnya, masalah-masalah ini justru tidak mendapat respon memadai dari kebijakan anggaran. Anggaran kesehatan masih sangat jauh dari cukup, demikian juga anggaran pendidikan biarpun Undang-Undang Sisdiknas mengatur alokasi minimal sebesar 20% di luar gaji guru untuk anggaran pendidikan. Sementara pada saat yang bersamaan, korupsi di Indonesia adalah termasuk dalam daftar korupsi terparah di dunia. Korupsi ini juga ditandai dengan banyaknya kasus korupsi anggaran, baik yang melibatkan anggota legislatif maupun pejabat eksekutif. Kita juga dihadapkan dengan situasi dimana proyek-proyek mercusuar yang tidak berkaitan langsung dengan pemenuhan hak dasar justru menyerap anggaran yang luar biasa besar. Proyek


infrastruktur yang super canggih, dalam beragam bentuk justru dibarengi dengan penggusuran rakyat kecil, adalah contoh nyata yang membuat anggaran semakin mengabaikan hak masyarakat miskin. Tidak usah jauh-jauh, pasca gempa, pemenuhan hak atas perumahan masih harus kita lihat dalam bulan-bulan terakhir ini. Apakah anggaran untuk dana rekonstruksi rumah sebesar Rp 749 miliar untuk tahap I dan Rp 945 miliar untuk tahap II di DIY pada tahun 2006 ini akan bisa dikelola dengan baik sehingga setiap warga yang berhak bisa terlayani. Masih harus kita tunggu!

Diam Saja Tidak Cukup

Persoalan-persoalan pendidikan sebagaimana cerita di awal, kiranya juga menunjukkan betapa masih banyak masalah pemenuhan hak dasar yang terlewat dan terabaikan, yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Untuk pendidikan ini, contoh Bantul sungguh menarik. Sebelum gempa, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan dalam APBD 2006 sebanyak Rp 265,8 miliar. Jumlah ini mencapai 44,8% dari total APBD. Setelah bencana, Dinas Pendidikan Bantul mengeluarkan SK No.442/0978, tentang Pembebasan Biaya Penerimaan Siswa Baru, Syukuran, Perpisahan, dan Rekreasi, serta Pungutan-Pungutan Yang Membebani Orang Tua. Surat edaran ini juga menyebut bahwa siswa tidak harus menggunakan seragam. Pemerintah dalam surat edaran tersebut menyebut bahwa biaya pelaksanaan pendidikan dibebankan kepada Biaya Operasional Sekolah (BOS) dari APBN dan porsi dari APBD. Sementara, Bupati juga berkomitmen bahwa separuh dari Rp 54 Miliar Dana Tak Tersangka APBD Perubahan Bantul 2006, akan diperuntukkan bagi pendidikan. Logikanya, kasus-kasus seperti yang dialami Bu Surti di muka tidak perlu terjadi. Tetapi, dalam banyak kesempatan, penulis bertemu dengan banyak wali murid yang justru mengeluhkan biaya pendidikan yang semakin mahal, bahkan setelah gempa terjadi. Orang tua wali juga tidak memiliki kuasa untuk menolak kebijakan pungutan ini. Beberapa sebabnya adalah karena informasi tentang kebijakan tidak terbuka kepada masyarakat, atau bilamana ada yang protes malah mendapat sikap yang tidak bersahabat serta anak bisa terancam di sekolah karena ’dicing’ oleh pihak sekolah. Walau begitu, ini tidak berarti upaya pengawasan masyarakat terhadap kebijakan dan praktik penganggaran menjadi tidak bisa lagi dilakukan. Logikanya, pengawasan warga terhadap anggaran merupakan pengawasan apakah uang-uang yang disumbangkan warga, bisa dikelola oleh negara dengan baik dan dipergunakan kembali untuk kepentingan warga? Partisipasi publik dalam pengawasan anggaran bisa dilakukan di mana pun, dan dalam bentuk apa pun. Lewat rembug di kampung, melalui dialog dengan pihak sekolah, atau publikasi secara sederhana tentang hak-hak warga untuk ikut mengawasi anggaran melalui acara di radio komunitas, bukan hal yang sulit untuk dilakukan. Mulai dari yang paling dekat, adalah awal yang baik, karena anggaran ada di dekat kita, dan karenanya pula, anggaran adalah urusan warga. Kita harus memulainya , hari ini, dan seterusnya!*** (Penulis bekerja di Institute for Development and Economic Analysis (IDEA), Yogayakarta).


MODUL 4.1. MENGOPTIMALKAN RUANG PARTISIPASI PUBLIK YANG TERSEDIA DI DESA Kegiatan 1 Tujuan

Kerangka Hukum Partisipasi Publik Di Tingkat Desa  

Partisipan mengetahui dan memahami tentang kerangka hukum partisipasi publik di tingkat desa. Partisipan dapat mendiskusikan bersama mengenai kerangka hukum partisipasi publik di tingkat desa.

Metode

  

Paparan Diskusi kelompok Presentasi

Alat dan Bahan

   

White board Kertas plano Spidol Selotip kertas

Bahan Bacaan

 

Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No 6 Tahun 2004 Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No 8 Tahun 2005

Waktu

100 menit

Proses Fasilitasi 1. 2. 3. 4. 5.

6. 7.

Fasilitator kelas menyiapkan judul, tujuan, dan waktu yang diperlukan untuk melaksanakan materi ini (5 menit). Fasilitator/narasumber menjelaskan tentang materi KERANGKA HUKUM PARTISIPASI PUBLIK DI TINGKAT DESA (10 menit). Fasilitator meminta klarifikasi dari peserta mengenai materi yang disampaikan (10 menit). Fasilitator membagi partisipan dalam 5 kelompok (5 menit). Fasilitator meminta partisipan untuk mendiskusikan tentang KERANGKA HUKUM PARTISIPASI PUBLIK DI TINGKAT DESA (15 menit). Hal-hal yang didiskusikan diantaranya: a. Apakah partisipan mengetahui kerangka hukum partisipasi publik? b. Apakah ada kerangka hukum yang menjamin partisipasi publik di tingkat desa? c. Seberapa penting kerangka hukum partisipasi publik ini pada proses perencanaan dan penganggaran partisipatif di tingkat desa? Fasilitator mempersilakan masing-masing kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya (45 menit). Kaji ulang proses dan hasil dari sessi ini (10 menit).


Konsep Kunci • Sistem sentralisasi pada pemerintahan mempunyai andil besar dalam terjadinya kekacauan penyelenggaraan negara. Sistem sentralisasi tersebut menciptakan terjadinya pemusatan kekuasaan, wewenang, dan tanggung jawab, dan juga telah dengan sengaja menyumbat kran partisipasi masyarakat. • Dampak negatif dari penyelenggaraan negara yang sentralistik secara nyata tampak dengan adanya praktek penyelenggaraan negara yang lebih menguntungkan kelompok tertentu dan membuka peluang tumbuhnya praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). • Untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN dipandang perlu dibuka ruang bagi peran serta masyarakat. Pemberian ruang kepada masyarakat untuk berperan serta ini sesuai dengan prinsip keterbukaan dalam negara demokrasi. Prinsip ini mengharuskan penyelenggara negara membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif mengenai penyelenggaraan negara. • Dibukanya ruang tersebut hendaknya juga diikuti penyusunan perangkat hukum. Pembentukan peraturan tentang peran serta masyarakat ini dipandang perlu supaya selain mengetahui hak, kewajiban, tanggung jawab serta mekanisme dalam berperan serta, masyarakat juga memperoleh perlindungan hukum dalam menggunakan haknya tersebut. • Hakikat Partisipasi Sebagai Prinsip Good Governance o Partisipasi dalam sistem demokrasi adalah sarana untuk - Menghindari penyalahgunaan kekuasaan oleh pemimpin, - Menyalurkan aspirasi rakyat (warga) kepada pemerintah, - Melibatkan warga dalam pengambilan keputusan publik, - Menegakkan kedaulatan rakyat. o Partisipasi adalah : HAK sekaligus KEWAJIBAN warga untuk menegakkan tata pemerintahan yang baik. • Salah satu doktrin penting dalam hukum adalah ”...jika sesuatu tidak dilarang, maka berarti boleh...”. Doktrin ini nampaknya sangat tepat untuk menggambarkan peluang bagi perencanaan dan penganggaran partisipatif daerah. Sampai saat ini tidak ada peraturan rinci yang mengatur proses-proses perencanaan dan penganggaran daerah. Karena itulah proses-proses tersebut sangat tergantung pada kekuatan-kekuatan sosial politik yang bermain di dalamnya.


Bahan Bacaan LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG

NOMOR : 29

TAHUN : 2004 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR : 6 TAHUN 2004 TENTANG TRANSPARANSI DAN PARTISIPASI DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DI KABUPATEN BANDUNG

SERI : D


BADAN PENGEMBANGAN INFORMASI DAERAH KABUPATEN BANDUNG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG

NOMOR : 29

TAHUN : 2004

SERI : D

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR : 6 TAHUN 2004 TENTANG TRANSPARANSI DAN PARTISIPASI DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DI KABUPATEN BANDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG Menimbang

Mengingat

:

:

a.

bahwa transparansi dan partisipasi merupakan unsur penting dalam membangun dan mengembangkan sistem pemerintahan yang demokratis dan aspiratif, sehingga perlu melibatkan unsur masyarakat dalam menyusun kebijakan publik, pelaksanaan dan evaluasi dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang amanah, bersih dan berwibawa;

b.

bahwa transparansi dan partisipasi baik secara langsung maupun tidak langsung merupakan bentuk kemitraan dan keterbukaan antara Pemerintah dan Masyarakat untuk secara bersama-sama bertanggungjawab terhadap keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Bandung;

c.

bahwa untuk menunjang hal tersebut di atas, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Transparansi dan Partisipasi Dalam Penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Bandung.

1.

Undang-undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Jawa Barat (Berita Negara Tahun 1950);

2.

Undang-undang nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan (Lembaran Nagara Tahun 1971 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2964);


3.

Undang-undang nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Depan Umum (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 181, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3789);

4.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);

5.

Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 72 (Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);

6.

Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3852);

7.

Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3872);

8.

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165);

9.

Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 166);

10. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000 – 2004 (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 206); 11. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban dan Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 104 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3660); 12. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 tentang Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3866); 13. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4090); 14. Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Penyediaan Barang/Jasa Pemerintah; 15. Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 20 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pembentukan dan Teknik Penyusunan Peraturan Daerah (Lembaran Daerah Tahun 2000 Nomor 35 Seri D);

Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANDUNG MEMUTUSKAN :


Menetapkan

:

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG TENTANG TRANSPARANSI DAN PARTISIPASI DALAMPENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DI KABUPATEN BANDUNG BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1.

Daerah adalah Kabupaten Bandung.

2.

Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta Perangkat Daerah Otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif.

3.

Bupati adalah Bupati Bandung.

4.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah Lembaga Legislatif Kabupaten Bandung.

5.

Transparansi adalah keadaan dimana semua pihak dapat mengetahui penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Bandung.

6.

Partisipasi adalah bentuk keterlibatan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyumbangkan pikiran dan pendapatnya pada setiap proses pengambilan keputusan publik sehingga lebih aspiratif, terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan.

7.

Partisipasi langsung adalah partisipasi masyarakat yang disampaikan secara aktif dan spontan kepada Badan Publik dan penyelenggaraan pemerintahan di Daerah.

8.

Partisipasi tidak langsung adalah partisipasi masyarakat yang dalam penyampaiannya melalui tulisan/media kepada Badan Publik dalam menyusun rencana/program kerja.

9.

Pemerintahan yang amanah adalah penyelenggaraan pemerintahan yang didasarkan atas prinsip-prinsip : Berwawasan kedepan, terbuka/transparan, cepat tanggap/responsif, bertanggung jawab/akuntabel profesional/kompeten, efisein dan efektif, desentralistis, demokratis, mendorong partisipasi masyarakat. Mendorong kemitraan dengan swasta dan masyarakat, menjunjung supremasi hukum, berkomitmen pada pengurangan kesenjangan, berkomitmen pada tuntutan pasar dan berkomitmen pada lingkungan hidup.

10. Prosedur adalah metode/tata cara yang dipakai untuk melaksanakan kegiatan yang sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. 11. Badan publik adalah semua penyelenggara urusan publik di Kabupaten Bandung, yaitu : a. Pemerintah Daerah dan DPRD. b. Pemerintahan Desa, BUMD dan Bumdes yang mendapat dana dari APBD dan atau sumber dana publik lainnya. c. Instansi vertikal yang mendapat dana bantuan dari APBD. d. Organisasi Non Pemerintah yang mendapat dana bantuan dari APBD dan atau sumber dana publik lainnya; e. BUMN yang beroperasi di Kabupaten Bandung. 12. Informasi adalah semua bentuk komunikasi baik berupa fakta-fakta dan data-data dengan menggunakan media dalam bentuk tulisan, angka grafik maupun audio visual.


13. Informasi publik adalah informasi yang dikelola oleh Badan Publik dan dapat diakses oleh masyarakat setiap saat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 14. Kebijakan publik adalah keputusan-keputusan yang menyangkut dengan kepentingan dan kebutuhan publik. 15. Proses kebijakan publik adalah adalah seluruh tahapan pembuatan kebijakan publik mulai rencana penyusunan, implementasi, monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan publik. 16. Pejabat Dokumentasi dan Informasi adalah adalah pejabat yang bertanggungjawab secara khusus terhadap penyimpanan, pendokumentasian dan penyediaan pelayanan informasi pada Badan Publik. 17. Multimedia adalah berbagai sarana informasi dan komunikasi. 18. Instansi vertikal adalah adalah perangkat Pemerintah Pusat yang melaksanakan tugas-tugas Pemerintah Pusat di Daerah. 19. Masyarakat adalah perorangan dan atau kelompok/perkumpulan yang terikat oleh suatu lingkungan maupun suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. BAB II ASAS, TUJUAN DAN RUANG LINGKUP TRANSPARANSI Bagian Pertama Asas dan Tujuan Transparansi Pasal 2 (1) Transparansi berasaskan kepada : a. Keterbukaan, melalui informasi publik yang benar, jujur dan tidak diskriminatif; b. Kepatutan, dilaksanakan dengan memperhatikan perlindungan hak azasi, pribadi, golongan dan rahasia Negara; c. Fasilitasi, dengan memberikan informasi yang cepat, tepat waktu, murah dan sederhana kecuali informasi yang bersifat rahasia sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. (2) Transparansi bertujuan untuk : a. Meningkatkan daya tangap Badan Publik akan makna pentingnya keterbukaan pada setiap pengambilan keputusan/kebijakan publik atas penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis dan transparan; b. Meningkatkan peran dan fungsi Badan Publik dalam mengemban amanat publik atas penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis dan transparan; c. Menciptakan nuansa yang harmonis dan keterbukaan bagi tahap kebijakan publik untuk membangun sistem pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa. Bagian Kedua Ruang Lingkup Transparansi Pasal 3 Ruang Lingkup Transparansi : 1. Informasi; 2. Prosedur; 3. Pengambilan Keputusan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi kebijakan publik. Bagian Ketiga Jenis Informasi Paragraf I Informasi yang Wajib Diumumkan Secara Aktif Pasal 4 (1) Hasil-hasil Kegiatan yang dilaksanakan oleh Badan Publik. (2) Aspek-aspek perumusan, perencanaan, pengambilan kebijakan/keputusan meliputi :


a.

(3) (4) (5) (6) (7)

(8)

Informasi berkaitan dengan seluruh proses perencanaan kegiatan Badan Publik baik visi/strategi, perencanaan tahunan mulai tingkat Kelurahan/Desa, Kecamatan maupun Kabupaten. b. Informasi penganggaran, mulai dari mekanisme dan proses perencanaan, penetapan, pelaksanaan penggunaan anggaran pada Badan Publik; c. Informasi tentang pelayanan Publik; d. Informasi proses perjanjian/kontrak atau kesepakatan dan yang diterbitkan dalam kerangka kewenangan daerah. Informasi penyusunan Tata Ruang mulai dari perencanaan, pembahasan, penetapan, sampai dengan peruntukannya. Informasi tentang pengadaan barang dan jasa; Informasi hasil pengawasan; Informasi kelembagaan dan ketatalaksanaan Badan Publik. Aspek penyebarluasan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), (3), (4), (5) dan (6) pasal ini, dilakukan dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan dapat dijangkau dengan mudah oleh masyarakat luas. Cara-cara sebagaimana dimaksud ayat (7) pasal ini, harus dirumuskan dalam mekanisme yang menjamin pemerataan informasi yang akan ditentukan lebih lanjut dalam Keputusan Bupati.

Paragraf 2 Informasi yang Tersedia Setiap Saat Pasal 5 Badan Publik menyediakan informasi publik setiap saat, meliputi : a. Daftar informasi publik yang berada di bawah pengelolaannya; b. Hasil keputusan publik dan pertimbangannya; c. Kebijakan yang ada berikut dokumen pendukungnya; d. Rencana kerja/kegiatan termasuk dengan anggaran Badan Publik. Pasal 6 (1) Untuk mendukung kinerja pelayanan informasi, maka Badan Publik secara berkala mendokumentasikan dan menyampaikan laporan kegiatan yang bersifat terbuka untuk umum baik yang aktif maupun informasi yang tersedia setiap saat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. (2) Mekanisme pelaporan sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini, diatur lebih lanjut dengan Keputusan Bupati. Paragraf 3 Informasi yang Wajib Diumumkan Secepatnya Pasal 7 (1) Badan Publik, mengumumkan setiap informasi yang sifatnya dapat mempengaruhi/mengancam kehidupan orang banyak melalui multimedia. (2) Penyebarluasan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, dilakukan dengan bahasa yang mudah dipahami dan dapat dijangkau oleh masyarakat. Paragraf 4 Tata Cara Mendapatkan Informasi Pasal 8 (1) Permintaan informasi oleh masyarakat harus mencantumkan identitas pemohon secara tertulis. (2) Dalam hal permintaan informasi tersebut pada ayat (1) pasal ini, pemohon menyampaikan pula kepentingan penggunaan informasi yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Badan Publik memberikan informasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Paragraf 5 Informasi yang Dikecualikan Pasal 9 Setiap badan Publik membuka akses bagi setiap orang untuk mendapatkan informasi publik, kecuali : 1. Informasi yang apabila dibuka akan menghambat proses penegakan hukum, yaitu: a. Mengungkapkan identitas informan, pelapor, pengadu, saksi, dan atau korban yang mengetahui adanya kejahatan; b. Mengungkapkan data intelejen kriminal dan rencana-rencana yang berhubungan dengan pencegahan dan penanganan kegiatan kriminal dan terorisme. c. Membahayakan keselamatan dan kehidupan petugas penegak hukum dan atau keluarganya. d. Membahayakan keamanan peralatan, sarana/prasarana penegakan hukum. e. Menghambat proses pemeriksaan oleh aparat fungsional pengawasan. 2. Informasi yang apabila dibuka dan diberikan kepada orang lain dapat mengganggu kepentingan perlindungan atas kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha yang tidak sehat. 3. Informasi yang apabila dibuka dan diberikan kepada orang dapat melanggar kerahasiaan pribadi yaitu informasi yang dapat : a. Mengungkapkan riwayat, kondisi dan perawatan kesehatan fisik, psikiatrik, psikologi seseorang. b. Mengungkapkan tentang hasil evaluasi sehubungan dengan kapabiltas, intelektual, dan rekomendasi kemampuan seseorang. 4. Informasi yang menurut peraturan perundang-undangan, tidak dibenarkan untuk diinformasikan secara terbuka.

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

Bagian Keempat Paragraf 1 Prosedur Pasal 10 Prosedur yang diinformasikan dalam lingkungan Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa : a. Segala prosedur yang berkaitan dengan aspek pelayanan Publik. b. Untuk memenuhi hak masyarakat atas informasi yang utuh, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa berkewajiban membuat pertimbangan secara tertulis dari setiap kebijakan yang diambil. c. Pertimbangan sebagaimana yang dimaksud huruf (b) di atas, setidak-tidaknya membuat pertimbangan ketentraman dan ketertiban daerah atau pertimbangan-pertimbangan lain yang menjadi dasar pemikiran dalam pengambilan suatu kebijakan. d. Prosedur perencanaan baik dari musyawarah Desa/Kelurahan, Kecamatan dan musyawarah tingkat Kabupaten, sampai pada rencana penyusunan anggaran, perencanaan tata ruang kota, tataguna lahan serta prosedur pemanfaatan aset Kabupaten. Prosedur yang diinformasikan di lingkungan DPRD: a. Semua program kerja DPRD; b. Jadwal dan sifat semua rapat di lingkungan DPRD c. Hasil Rapat DPRD harus disampaikan kepada seluruh anggota DPRD dan disediakan di Humas DPRD untuk kepentingan masyarakat. Prosedur yang diinformasikan dalam lingkungan Badan Usaha Milik Daerah : a. Segala hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat baik menyangkut tentang tarif, dan mekanisme pelaksanaan kegiatan; b. Rapat yang dilaksanakan dalam lingkungan BUMD menyangkut usulan untuk kebijakan publik harus tersedia informasinya dan dapat diakses oleh masyarakat. c. Pimpinan di tingkat lingkungan BUMD berkewajiban untuk menyampaikan hasil-hasil pengambilan keputusan tentang kepentingan masyarakat dan disampaikan secara terbuka kepada publik melalui multimedia, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Prosedur yang harus diinformasikan dalam lingkungan BUMN adalah segala hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat baik menyangkut tentang tarif, pelaksanaan serta dampak dari kegiatan usaha harus diinformasikan secara terbuka. Prosedur yang harus diinformsikan dalam lingkungan Instansi vertikal adalah semua program kerja, penganggaran, dan hasil kerja yang pembiayaannya bersumber dari dana bantuan APBD.


(6) Prosedur yang harus diinformasikan dalam Organisasi Non Pemerintah adalah semua program kerja, penganggaran dan hasil kerja Organisasi Non Pemerintah yang dibiayai dari dana bantuan APBD dan atau dana publik lainnya harus diinformasikan secara terbuka.

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Paragraf 2 Mekanisme Pengambilan Kebijakan Publik Pasal 11 Mekanisme pengambilan kebijakan dalam lingkungan Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa : a. Rapat di lingkungan Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa, Jika menyangkut kebijakan publik yang berkaitan. b. Pengambilan keputusan yang erat kaitannya dengan kepentingan masyarakat sebagaimana dimaksud pada huruf a ayat ( I ) pasal ini, sedapat mungkin melibatkan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung dan hasilnya dapat diakses oleh masyarakat. c. Apabila Pemerintah Pusat atau Pemerintah Propinsi mengeluarkan kebijakan yang berbeda/bertentangan dengan kewenangan daerah, maka kebijakan tersebut harus dipublikasikan melalui multimedia untuk dapat diakses oleh masyarakat. Mekanisme pengambilan kebijakan dalam lingkungan DPRD ; a. Rapat yang sifatnya terbuka dan bukan merupakan rapat dengar pendapat, maka masyarakat dapat hadir tanpa memberikan masukan atau pendapatnya; b. Rapat yang sifatnya terbuka dan erat kaitannya dengan pembahasan kepentingan masyarakat harus melibatkan masyarakat secara aktif dengan tetap memperhatikan tata tertib DPRD. Mekanisme pengambilan kebijakan dalam lingkungan Badan Usaha Milik Daerah ; a. Dalam pelaksanaan rapat yang sifatnya terbuka dan berkaitan dengan kepentingan masyarakat, sedapat mungkin melibatkan masyarakat secara aktif baik secara langsung maupun tidak langsung; b. Informasi tentang pertimbangan hasil-hasil keputusan secara aktif dapat diakses langsung oleh masyarakat; c. Pemberlakuan kebijakan di tingkat BUMD berupa aspek-aspek prosedur pengambilan keputusan, harus disampaikan secara terbuka kepada masyrakat oleh pimpinan BUMD, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mekanisme pengambilan kebijakan dalam lingkungan instansi vertikal yang berkaitan dengan program kerja, penganggaran dan hasil kerja yang pembiayaannya bersumber dari dana bantuan APBD, secara aktif dapat diakses langsung oleh masyarakat. Mekanisme pengambilan kebijakan dalam lingkungan Organisasi Non Pemerintah yang berkaitan dengan program kerja, penganggaran dan hasil kerja yang pembiayaannya bersumber dari APBD dan atau sumbar daya lainnya, secara aktif diakses langsung oleh masyarakat. Mekanisme pengambilan kebijakan dalam lingkungan BUMN yang berdampak langsung terhadap kondisi lingkungan, sedapat mungkin melibatkan masyarakat secara langsung maupun tidak langsung.

BAB III ASAS, TUJUAN DAN PELAKSANAAN PARTISIPASI Bagian Pertama Asas dan Tujuan Partisipasi Pasal 12 (1) Partisipasi berasaskan kepada : a. Kepentingan umum, yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan secara aspiratif, akomodatif dan selektif; b. Proporsional, yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggaraan pemerintah; c. Akuntabilitas, yang mengutamakan tanggungjawab yang dilaksanakan Badan Publik atas kebijakan-kebijakan yang ditetapkan. (2) Partisipasi bertujuan untuk : a. Meningkatkan daya tanggap Badan Publik akan makna penting keterlibatan masyarakat pada proses pengambilan keputusan/kebijakan publik dalam penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis dan partisipatif; b. Meningkatkan kesadaran masyarakat akan makna penting peran serta dan tanggung jawabnya terhadap proses penyelenggaraan pemerintahan;


c. d.

Ikut serta menentukan arah masa depan dan kehidupan sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya dengan cara mengajak pada kebaikan dan mencegah kemunkaran. Mendorong implementasi peran Badan Publik sebagai fasilitator, katalisator, dan mediator.

Bagian Kedua Bidang-bidang Partisipasi yang Dilakukan Pasal 13 (1) Partisipasi dapat dilaksanakan dalam bentuk keterlibatan masyarakat sebagai mitra Badan Publik dalam proses kebijakan publik dalam penyelenggaraan pemerintah di Kabupaten Bandung. (2) Keterlibatan masyarakat sebaimana dimaksud ayat ( I ) pasal ini,dalam bentuk ; a. Mencari, memperoleh dan memberikan informasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintah; b. Menyampaikan saran dan pertimbangan secara bertanggung jawab.

Bagian Ketiga Tata Cara Partisipasi Pasal 14 (1) Partisipasi dapat dilakukan secara langsung dan atau tidak langsung baik secara perorangan maupun kelompok atau perwakilan. (2) Usulan partisipasi sebagaimana dimaksud ayat ( I ) pasal ini, dapat disampaikan kepada Pimpinan Badan Publik. Bagian Keempat Jadwal Penyampaian partisipasi Pasal 15 Badan Publik mengumumkan dan mensosialisasikan bentuk-bentuk rencana/program kerja yang akan melibatkan partisipasi masyarakat secara terbuka, sebelum pelaksanaan suatu proses pembahasan pengambilan keputusan/kebijakan publik dilaksanakan.

(1)

(2) (3)

(4)

BAB IV KEBERATAN DAN PENOLAKAN ATAS INFORMASI DAN PARTISIPASI Bagian Pertama Keberatan Pasal 16 Setiap pemohon informasi dan partisipasi dapat mengajukan keberatan dalam hal ; c. Tidak diidentifikasinya kebijakan publik dan tahapan perumusan kebijakan publik; d. Ditolaknya permohonan informasi berdasarkan alasan pengecualian sebagaimana diatur dalam pasal 10 Peraturan Daerah ini; e. Tidak disediakannya informasi berkala tanpa permintaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Peraturan Daerah ini; f. Tidak dipenuhi dan atau ditanggapinya informasi maupun yang dimohon; g. Pengenaan biaya yang tidak wajar untuk memperoleh informasi; Keberatan diajukan ke Pimpinan Badan Publik. Pimpinan Badan Publik sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 2 ) Pasal ini, segera memberikan tanggapan atas keberatan yang diajukan oleh pemohon dalam jangka waktu secepatnya sejak diterimanya keberatan secara tertulis. Alasan-alasan atas keberatan sebagaimana dimaksud ayat ( I ) Pasal ini, dapat diselesaikan secara musyawarah.

Pasal 17 Apabila Pimpinan Pejabat Badan Publik tetap pada sikap dan putusannya, maka tanggapan harus disertai dengan alasan tertulis.


Bagian Kedua Penolakan Pasal 18 (1) Pimpinan Badan Publik menyampaikan penolakan secara tertulis alasan-alasan tidak diberikannya kesempatan atau keberatan, sepanjang mengenai informasi dan partisipasi yang dikecualikan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Alasan-alasan tidak diberikan kesempatan atau penolakan informasi dan partisipasi sebagaimana dimaksud pada ayat ( I ) Pasal ini, keberatan segera diajukan Pemohon ke atasan Pejabat Badan Publik dan disampaikan secepatnya sejak diterimanya penyampaian pikiran dan pendapat untuk berpartisipasi.

(1) (2) (3) (4)

Bagian Ketiga Mekanisme Keberatan Pasal 19 Apabila penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 2 ) Pasal 18 tidak terpenuhi, maka pemohon berhak dan dapat mengajukan keberatan yang disampaikan kepada Pimpinan Badan Publik. Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat ( I ) Pasal ini, diajukan selambat- lambatnya 7 ( tujuh ) hari kerja sejak penolakan. Setelah diterimanya pernyataan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 2 ) Pasal ini, segera Pimpinan Badan Publik meneliti isi keberatan tersebut. Dalam waktu selambat-lambatnya 7 ( tujuh ) hari kerja berikutnya Pimpinan Bnadan Publik menyampaikan tanggapan atas keberatan tersebut.

BAB V HAK DAN KEWAJIBAN Pasal 20 (1) Setiap orang baik secara langsung maupun tidak langsung berhak mendapatkan informasi dan berkewajiban berpartisipasi dalam menunjang proses penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Hak dan kewajiban sebagaimana yang dimaksud ayat ( I ) Pasal ini, agar berjalan dengan baik, perlu ditunjang dengan bentuk pelayanan dan penyediaan informasi publik secara transparan oleh Badan Publik melalui upaya menumbuhkembangkan dan merespon partisipasi yang disampaikan oleh masyarakat sebagai bentuk keterlibatannya. (3) Masyarakat dan Badan Publik berhak memperoleh perlindungan hukum dalam hal memberikan, memperoleh dan menyebarluaskan informasi publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. BABVI PENGAWASAN Bagian Pertama Fungsi Pengawasan Pasal 21 Fungsi Pengawasan yang dilakukan terhadap Badan Publik, meliputi Pengawasan Fungsional, Pengawasan Legislatif dan Pengawasan Publik. Pasal 22 (1) Pengawasan Fungsional, dilakukan oleh Bupati. (2) Pengawasan Fungsional sebagaimana dimaksud ayat ( I ) Pasal ini, dilaksanakan oleh Badan Pengawasan Daerah (BAWASDA) yang menyangkut pemerintah, Pembangunan dan Kemasyarakatan maupun evaluasi. Pasal 23 DPRD melakukan pengawasan Legislatif atas pelaksanaan kebijakan Pemerintah Daerah.


Pasal 24 Publik melakukan pengawasan terhadap penyelenggaran kebijakan publik yang dilakukan oleh Badan Publik. Pasal 25 Fungsi Pengawasan sebagaimana dimaksud Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24, dapat dilaksanakan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 26 Dalam melaksanakan pengawasan fungsional sebagaimana dimaksud pada pasal 22, Bupati Cq. Bawasda, dapat ; a. Meminta, menerima dan mengusahakan untuk memperoleh bahan-bahan dan atau keterangan dari pihak-pihak yang dipandang perlu; b. Melakukan pemeriksaan dan atau memerintahkan melakukan penyidikan atau pemeriksaan di tempattempat pekerjaan; c. Menerima, mempelajari dan melakukan pemeriksaan atas kebenaran pengaduan publik; d. Memanggil pejabat-pejabat yang diperlukan untuk diminta keterangan dengan memperhatikan jenjang jabatan yang berlaku; e. Memerintahkan kepada Pejabat yang berwenang mengenai langkah-langkah yang bersifat preventif maupun represif terhadap segala bentuk pelanggaran; f. Menunjuk akuntan publik untuk melaksanakan kegiatan pemeriksaan perbendaharaan. Pasal 27 ( I ) DPRD melakukan Pengawasan Legislatif, melalui : a. Pemandangan Umum Fraksi-fraksi dalam Rapat Paripurna DPRD ; b. Rapat Pembahasan dan Sidang Komisi; c. Rapat Pembahasan dalam Panitia-panitia yang dibentuk berdasarkan tata tertib DPRD; d. Rapat Dengar Pendapat dengan Pemerintah Daerah dan Pihak- pihak lainnya yang diperlukan. ( 2 ) Dalam melaksanakan Pengawasan Legislatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini, DPRD dapat : a. Mengundang Pejabat di Lingkungan Pemerintah Daerah untuk diminta keterangan, pendapat dan saran; b. Menerima, meminta dan mengusahakan untuk memperoleh keterangan dari pejabat/pihak-pihak terkait; c. Memberi saran mengenai langkah-langkah preventif dan represif kepada pejabat yang berwenang; d. Hak untuk melaksanakan penyelidikan; e. Hak untuk menyelenggarakan penyelidikan. Pasal 28 (1) Masyarakat dapat melakukan pengawasan atas penyelenggaraan kegiatan Badan Publik, melalui : a. Pemberian informasi adanya indikasi terjadinya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dilingkungan Badan Publik; b. Penyampaian pendapat dan saran mengenai perbaikan, penyempurnaan baik bersifat preventif maupun represif atas masalah yang disampaikan; c. Melakukan kontrol sosial terhadap penyelenggaraan kebijakan publik oleh Badan Publik; d. Memantau dan atau mengamati Perilaku Pejabat Badan Publik dalam menjalankan tugasnya. Bagian kedua Tindak Lanjut Pengawasan Pasal 29 Tindak Lanjut dari Hasil Pengawasan, adalah : a. Tindakan administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. Tuntutan Perbendaharaan atau Tuntutan Ganti Rugi; c. Tuntutan/Gugatan Perdata; d. Tuntutan Pidana.


BAB VII SANKSI Pasal 30 Pejabat Badan Publik, yang tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini, selain akan dikenakan Sanksi Administratif dapat dikenakan Sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB VIII KETENTUAN LAIN-LAIN DAN PENUTUP Pasal 31 (1) Setiap orang yang memberikan informasi mengenai pelanggaran ketentuan dalam Peraturan Daerah wajib dilindungi sesuai ketentuan yang berlaku. (2) Setiap orang yang termasuk dalam ketentuan ayat (1) Pasal ini, memiliki hak-hak sebagaimana diatur dalam undang-undang yang mengatur mengenai perlindungan saksi. Pasal 32 Dengan ditetapkannya Peraturan Daerah ini, maka segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah ada sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan daerah ini dinyatakan tetap berlaku. Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Bupati. Pasal 34 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Bandung.

Ditetapkan di Pada tanggal

Soreang 20 Agustus 2004

BUPATI BANDUNG Ttd, OBAR SOBARNA Diundangkan di Soreang Pada tanggal 20 Agustus 2004 SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN BANDUNG Cap / Ttd Drs. H. ABUBAKAR, M.Si. Pembina Tk I NIP. 010 072 603 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2003 NOMOR 29 SERI D


LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG

NOMOR : 4

TAHUN 2005

SERI : D

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG Menimbang

: a. bahwa untuk terselenggaranya pembangunan daerah yang efektif, efisien dan tepat sasaran diperlukan perencanaan pembangunan daerah; b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut dan dalam rangka pelaksanaan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan pembangunan Nasional perlu adanya pengaturan tentang tata cara penyusunan perencanaan pembangunan daerah;

Mengingat

c.

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Tata Cara Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah.

: 1.

Undang-undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Jawa Barat (Berita Negara Tahun 1950);

2.

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4287);

3.

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4389);

4.

Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4221);

5.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437);


6.

Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4438);

7.

Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4155);

8.

Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4405);

9.

Keputusan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2002 tentang Pedoman Administrasi Desa;

10.

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 48 Tahun 2002 tentang Tata Cara Penyusunan Peraturan Desa dan Keputusan Kepala Desa;

11.

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 158 Tahun 2004 tentang Pedoman Organisasi Kecamatan

12.

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 159 Tahun 2004 tentang Pedoman Organisasi Kelurahan;

13.

Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 20 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pembentukan dan Teknik Penyusunan Peraturan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Bandung Tahun 2000 Nomor 35 Seri D);

14.

Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pembentukan Organisasi Sekretariat Daerah dan Sekretariat DPRD Kabupaten Bandung Tahun 2002 Nomor 36 Seri D);

15.

Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 9 Tahun 2002 tentang pembentukan Organisasi Dinas Daerah Kabupaten Bandung (Lembaran Daerah Kabupaten Bandung Tahun 2002 Nomor 37 Seri D);

16.

Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 10 Tahun 2002 tentang Pembentukan Organisasi Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Bandung (Lembaran Daerah Kabupaten Bandung Tahun 2002 Nomor 38 Seri D);

17.

Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 6 Tahun 2004 tentang Transparansi dan Partisipasi Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah di Kabupaten Bandung (Lembaran Daerah Kabupaten Bandung Tahun 2004 Nomor 29 Seri D). Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANDUNG dan BUPATI BANDUNG MEMUTUSKAN : Menetapkan

:

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH


BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: 1. Daerah adalah Kabupaten Bandung; 2. Bupati adalah Bupati Bandung; 3. Pemerintah Daerah adalah Bupati beserta Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pernerintahan Daerah.; 4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pernerintahan Daerah; 5. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut azas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD Republik Indonesia Tahun 1945; 6. Bappeda adalah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bandung; 7. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disebut SKPD terdiri dari Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan dan Kelurahan; 8. Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat masyarakat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI); 9. Pemerintah Desa adalah Kepala Desa dan Perangkat Desa; 10. Pemerintah Desa adalah kegiatan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa; 11. Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain yang selanjutnya disebut BPD adalah sebagai lembaga yang berfungsi menetapkan peraturan desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat; 12. Peraturan Desa adalah peraturan perundang-undangan Permusyawaratan Desa bersama dengan Kepala Desa;

yang

dibuat

oleh

Badan

13. Kecamatan adalah wilayah kerja Camat sebagai Perangkat Daerah Kabupaten Bandung; 14. Kelurahan adalah wilayah kerja Lurah sebagai Perangkat Daerah Kabupaten dibawah Kecamatan; 15 Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia; 16. Delegasi Masyarakat adalah peserta Musrenbang yang berasal dari kelompok masyarakat yang dipilih secara musyawarah untuk mengikuti tahap selanjutnya dalam proses perencanaan dan penganggaran Daerah; 17. Pembangunan Daerah adalah upaya yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam rangka mencapai tujuan daerah; 18. Tata Cara Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah adalah tata cara untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan


tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara pemerintah daerah dan masyarakat di tingkat Kabupaten dan Desa; 19. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah, yang selanjutnya disingkat RPJPD, adalah dokumen perencanaan untuk periode 20 (dua puluh) tahun; 20. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, yang selanjutnya disingkat RPJMD, adalah dokumen perencanaan untuk periode 5 (lima) tahun; 21. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Satuan Kerja Perangkat Daerah, yang selanjutnya disebut Renstra-SKPD, adalah dokumen perencanaan Satuan Kerja Pemerintah Daerah untuk periode 5 (lima) tahun; 22. Rencana Pembangunan Tahunan Daerah, yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD), adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode 1 (satu) tahun; 23. Rencana Pembangunan Tahunan Satuan Kerja Perangkat Daerah, yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat daerah (Renja-SKPD), adalah dokumen perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk periode 1 (satu) tahun; 24. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa, yang selanjutnya disingkat RPJM Desa, adalah dokumen perencanaan desa untuk periode 6 (enam) tahun; 25. Rencana Pembangunan Tahunan Desa yang selanjutnya disebut Rencana kerja Pembangunan Desa (RKP Desa) adalah dokumen perencanaan Desa untuk periode 1 (satu) tahun; 26. Visi adalah rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan pada akhir periode perencanaan; 27. Misi adalah rumusan umum mengenai upaya-upaya yang akan dilaksanakan untuk mewujudkan visi; 28. Strategi adalah langkah-langkah berisikan program-program indikatif untuk mewujudkan visi dan misi; 29. Kebijakan adalah arah/tindakan yang diambil oleh Pemerintah untuk mencapai tujuan; 30. Fungsi adalah perwujudan tugas kepemerintahan di bidang tertentu yang dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan daerah; 31. Rancangan plafon anggaran indikatif merupakan ancar-ancar pagu anggaran yang diberikan kepada SKPD dan desa yang dimuat di dalam Rancangan Awal RKPD; 32. Program adalah instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh SKPD untuk mencapai sasaran dan tujuan serta memperoleh alokasi anggaran, atau kegiatan masyarakat yang dikoordinasikan oleh SKPD; 33. Kegiatan adalah bagian dari program yang dilaksanakan oleh satu atau beberapa satuan kerja sebagai bagian dari pencapaian sasaran terukur pada suatu program dan terdiri dari sekumpulan tindakan pengerahan sumber daya baik yang berupa personil (sumber daya manusia), barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana atau kombinasi dari beberapa atau kesemua jenis sumber daya tersebut sebagai masukan (input) untuk menghasilkan keluaran (out put) dalam bentuk barang/jasa; 34. Sasaran (target) adalah hasil yang diharapkan dari suatu program atas keluaran yang diharapkan dari suatu kegiatan; 35. Keluaran (out put) adalah barang atau jasa yang dihasilkan oleh kegiatan yang dilaksanakan untuk mendukung pencapaian sasaran dan tujuan program dan kebijakan;


36. Hasil (outcome) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran dari kegiatan-kegiatan dalam satu program; 37. Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah yang selanjutnya disingkat Musrenbangda adalah forum antar pelaku dalam rangka menyusun rencana pembangunan; 38. Partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan dalam mengontrol terhadap proses penyusunan rencana, penetapan rencana, pelaksanaan rencana dan evaluasi rencana; 39. Konsultasi publik adalah proses pertukaran pikiran atau pendapat antara pemerintah daerah yang telah menyiapkan suatu rancangan RPJP dan RPJMD dengan masyarakat yang akan memberikan masukan terhadap rancangan tersebut sebagai bahan untuk Musrencang Jangka Panjang dan Jangka Menengah; 40. Sosialisasi publik adalah penyebarluasan rancangan akhir RPJPD dan RPJMD oleh Pemerintah Daerah baik langsung maupun melalui media massa; 41. Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi perencanaan pembangunan di Daerah Kabupaten adalah Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah yang selanjutnya disebut Kepala Bappeda; 42. Masyarakat adalah orang perorangan atau badan hukum yang berkepentingan dengan kegiatan dan hasil pembangunan baik sebagai penanggung biaya, pelaku, penerima manfaat, maupun penanggung resiko. BAB II RUANG LINGKUP PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH Pasal 2 (1) Perencanaan Pembangunan Daerah mencakup penyelenggaraan perencanaan makro semua fungsi pemerintahan yang meliputi semua bidang kehidupan secara terpadu dalam Wilayah Kabupaten Bandung; (2) Perencanaan Pembangunan Daerah terdiri atas perencanaan pembangunan yang disusun secara terpadu oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan oleh Pemerintah Desa sesuai dengan kewenangannya; (3) Perencanaan Pembangunan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menghasilkan: a. rencana pembangunan jangka panjang; b. rencana pembangunan jangka menengah; dan c. rencana pembangunan tahunan. Pasal 3 (1) Perencanaan Pembangunan Desa mencakup penyelenggaraan perencanaan makro semua fungsi pemerintahan Desa yang meliputi semua bidang kehidupan secara terpadu dalam lingkungan Desa; (2) Perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menghasilkan : a. Rencana pembangunan jangka menengah; dan b. Rencana pembangunan tahunan.


Pasal 4 (1) RPJP Daerah memuat visi, misi, dan arah pembangunan Daerah yang mengacu pada RPJP Nasional. (2) RPJM Daerah merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Kepala Daerah yang penyusunannya berpedoman pada RPJP Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional, memuat arah kebijakan keuangan Daerah, strategi pembangunan Daerah, kebijakan umum, dan program Satuan Kerja Perangkat Daerah, lintas Satuan Kerja Perangkat Daerah, dan program kewilayahan disertai dengan rencana-rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif; (3) RKPD merupakan penjabaran dari RPJM Daerah dan mengacu pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP), memuat rancangan kerangka ekonomi Daerah, prioritas pembangunan Daerah, rencana kerja, dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat. Pasal 5 (1) RPJM Desa merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Kepala Desa yang penyusunannya memperhatikan RPJM Daerah, memuat arah kebijakan keuangan Desa, strategi pembangunan Desa, kebijakan umum, dan program Satuan Kerja Perangkat Desa; (2) RKP Desa merupakan penjabaran dari RPJM Desa yang memuat rancangan kegiatan yang merupakan kewenangan Desa dan di luar kewenangan Desa; (3) Kegiatan dalam RKP Desa yang merupakan bagian dari kewenangan Desa akan didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; (4) Kegiatan dalam RKP Desa yang merupakan bagian di luar kewenangan Desa akan diajukan ke Musrenbang Kecamatan. Pasal 6 (1) Renstra-SKPD memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan yang disusun sesuai dengan tugas dan fungsi Satuan Kerja Perangkat Daerah serta berpedoman kepada RPJM Daerah dan bersifat indikatif; (2) Renja-SKPD disusun dengan berpedoman kepada Renstra SKPD dan mengacu kepada RKPD, memuat kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat. BAB III TAHAPAN PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH Pasal 7 Tahapan Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah meliputi : a. penyusunan rencana; b. penetapan rencana; c.

pengendalian pelaksanaan rencana; dan

d. evaluasi pelaksanaan rencana.


Pasal 8 (1) Penyusunan Penyusunan RPJP Daerah dilakukan melalui urutan : a. penyiapan rancangan awal rencana pembangunan daerah; b. musyawarah perencanaan pembangunan daerah, dan c.

penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan daerah.

(2) Penyusunan RPJM Daerah dilakukan melalui urutan kegiatan : a. penyiapan rancangan awal rencana pembangunan daerah; b. musyawarah perencanaan pembangunan daerah, dan c.

penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan daerah.

(3) Penyusunan RKPD dilakukan melalui urutan kegiatan : a. Penyusunan dan penetapan Fungsi Pembangunan Prioritas; b. Penyusunan dan penetapan rancangan plafon anggaran indikatif untuk SKPD dan Desa; c.

Penyiapan rancangan rencana kerja;

d. Penyusunan rancangan akhir rencana kerja pemerintah daerah. BAB IV PENYUSUNAN DAN PENETAPAN RENCANA Bagian Pertama Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Pasal 9 (1) Kepala Bappeda menyiapkan rancangan awal RPJP Daerah; (2) Kepala Bappeda menyelenggarakan konsultasi publik untuk menerima masukan terhadap rancangan awal RPJP Daerah; (3) Rancangan RPJP Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi bahan utama bagi Musrenbang Daerah untuk pembahasan RPJP. Pasal 10 (1) Musrenbangda diselenggarakan dalam rangka menyusun RPJP dan diikuti oleh unsurunsur penyelenggara pemerintahan daerah dengan mengikutsertakan masyarakat; (2) Unsur masyarakat yang terlibat dalam Musrenbang Jangka Panjang Daerah adalah : a. Organisasi masyarakat di tingkat Kabupaten; b. Forum warga di tingkat kecamatan; c.

Organisasi kepemudaan di tingkat Kabupaten;

d. Organisasi perempuan di tingkat Kabupaten; e. Perguruan Tinggi; f.

Asosiasi profesi; dan

g. Media massa.


(3) Kepala Bappeda menyelenggarakan Musrenbang Jangka Panjang Daerah; (4) Musrenbang Jangka Panjang Daerah dilaksanakan paling lambat 1 (satu) tahun sebelum berakhirnya periode RPJP yang sedang berjalan; (5) Keputusan Musrenbang Jangka Panjang Daerah ditandatangani oleh unsur pemerintahan Kabupaten dan perwakilan masyarakat yang dipilih dalam Musrenbang. Pasal 11 (1) Kepala Bappeda menyusun rancangan akhir RPJP Daerah berdasarkan hasil Musrenbang Jangka Panjang Daerah berdasarkan hasil Musrenbang Jangka Panjang daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3); (2) Kepala Bappeda menyelenggarakan sosialisasi publik untuk menerima masukan terhadap rancangan akhir RPJP Daerah. Pasal 12 RPJP Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Bagian Kedua Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Pasal 13 (1) Kepala Bappeda menyiapkan rancangan awal RPJM Daerah sebagai penjabaran dari visi, misi, dan program Kepala Daerah ke dalam strategi pembangunan Daerah, kebijakan umum, program prioritas Kepala Daerah, dan arah kebijakan keuangan Daerah; (2) Kepala Bappeda menyelenggarakan konsultasi publik dalam rangka menerima masukan untuk rancangan awal RPJMD; (3) Konsultasi publik diikuti oleh peserta sebagaimana diatur dalam pasal 10 ayat 2. Pasal 14 (1) Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah menyiapkan rancangan Renstra-SKPD sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dengan berpedoman pada rancangan awal RPJM Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13; (2) Kepala Bappeda menyusun rancangan RPJM Daerah dengan menggunakan rancangan Renstra-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan berpedoman pada RPJP Daerah. Pasal 15 (1) Rancangan RPJM Daerah menjadi bahan bagi Musrenbang Jangka Menengah. (2) Musrenbang Jangka Menengah diselenggarakan dalam rangka menyusun RPJM Daerah diikuti oleh unsur-unsur penyelenggara pemerintahan daerah dan unsur-unsur masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat 2. (3) Kepala Bappeda menyelenggarakan Musrenbang Jangka Menengah Daerah; (4) Keputusan Musrenbang Jangka Menengah daerah ditandatangani oleh Unsur Pemerintahan Kabupaten dan perwakilan dari unsur masyarakat yang dipilih dalam Musrenbang Jangka Menengah Daerah.


Pasal 16 Musrenbang Jangka Menengah Daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 15, dilaksanakan paling lambat 2 (dua) bulan setelah Kepala Daerah dilantik. Pasal 17 (1) Kepala Bappeda menyusun rancangan akhir RPJM Daerah berdasarkan hasil Musrenbang Jangka Menengah Daerah; (2) Kepala Bappeda menyelenggarakan sosialisasi publik untuk mendapatkan masukan terhadap rancangan akhir RPJM Daerah. Pasal 18 (1) RPJM Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah paling lambat 3 (tiga) bulan stelah Kepala Daerah dilantik; (2) Renstra-SKPD ditetapkan dengan peraturan pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah setelah disesuaikan dengan RPJM Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Ketiga Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Pasal 19 Kepala Desa menyiapkan rancangan awal RPJM Desa sebagai penjabaran dari visi, misi, dan program Kepala Desa yang penyusunannya berpedoman pada RPJM Daerah ke dalam strategi pembangunan Desa, kebijakan umum program prioritas Kepala Desa dan arah kebijakan keuangan Desa. Pasal 20 (1) Rancangan RPJM Desa menjadi bahan bagi Musrenbang Jangka Menengah Desa; (2) Musrenbang Jangka Menengah Desa diselenggarakan dalam rangka menyusun RPJM Desa diikuti oleh unsur-unsur penyelenggara pemerintahan desa dan unsur-unsur masyarkarakat; (3) Unsur masyarakat yang terlibat dalam Musrenbang Jangka Menengah Desa yaitu : a. Lembaga Pengembangan Masyarakat Desa (LPMD); b. Organisasi masyarakat; c.

PKK atau organisasi perempuan;

d. Ketua RW; e. Tokoh masyarakat desa; f.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Desa;

g. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Desa. (4) Kepala Desa menyelenggarakan Musrenbang Jangka Menengah Desa; (5) Keputusan Musrenbang Jangka Menengah Desa ditandatangani oleh unsur pemerintah desa dan perwakilan dari unsur masyarakat yang dipilih dalam Musrenbang Jangka Menengah Desa.


Pasal 21 Musrenbang Jangka Menengah Desa sebagaimana dimaksud dalam pasal 20, dilaksanakan paling lambat 2 (dua) bulan setelah Kepala Desa dilantik. Pasal 22 Kepala Desa menyusun rancangan akhir RPJM Desa berdasarkan hasil Musrenbang Jangka Menengah Desa. Pasal 23 RPJM Desa ditetapkan dengan Peraturan Desa. Bagian Keempat Rencana Pembangunan Tahunan Daerah Pasal 24 (1) Kepala Bappeda menyiapkan Prioritas Fungsi dan Rancangan Plafon Anggaran Indikatif untuk tiap SKPD dan Desa. (2) Prioritas Fungsi dan Rancangan Plafon Anggaran Indikatif untuk SKPD dan Desa dimuat dalam rancangan awal RKPD. (3) Prioritas Fungsi dan Rancangan Plafon Anggaran Indikatif untuk SKPD dan Desa ditetapkan berdasarkan nota kesepakatan antara DPRD dengan Kepala Daerah; (4) Kepala Bappeda menyiapkan rancangan awal RKPD tahun yang akan datang sebagai penjabaran dari RPJM Daerah. Pasal 25 (1) Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah menyiapkan Renja-SKPD tahun yang akan datang sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dengan mengacu kepada rancangan awal RKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan berpedoman pada Renstra-SKPD sebagaimana dimaksud dalam pasal 14; (2) Kepala Bappeda mengkoordinasikan penyusunan rancangan RKPD tahun yang akan datang dengan menggunakan Renja-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 26 (1) Musrenbang dalam rangka penyusunan RKPD yang akan datang diikuti oleh unsur-unsur penyelenggara pemerintah daerah, delegasi masyarakat kecamatan, dan peserta dari unsur masyarakat sebagaimana diatur dalam pasal 10 ayat 2; (2) Musrenbang Kabupaten dalam rangka menyusun RKPD menghasilkan : a) kesepakatan tentang program; b) kesepakatan tentang kegiatan; c) kesepakatan tentang alokasi biaya untuk kegiatan, dan d) kesepakatan tentang delegasi masyarakat yang akan terlibat dalam proses pembahasan RAPBD dan Musrenbang Propinsi. (3) Kepala Bappeda menyelenggarakan Musrenbang penyusunan RKPD yang akan datang.


Pasal 27 Musrenbang penyusunan RKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dilaksanakan paling lambat Bulan Maret tahun berjalan. Pasal 28 Kepala Bappeda menyusun rancangan akhir RKPD berdasarkan hasil Musrenbang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27. Pasal 29 (1) RKPD sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 menjadi pedoman penyusunan RAPBD; (2) Pembahasan RAPBD melibatkan tiga pihak yaitu : a) DPRD yang memiliki hak budget; b) Pemerintah Kabupaten yang akan menjalankan APBD; dan c) Delegasi Masyarakat yang dipilih dari peserta Musrenbang Kabupaten. Pasal 30 RKPD ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah. Bagian Kelima Rencana pembangunan Tahunan Desa Pasal 31 Kepala Desa menyiapkan penjabaran dari RPJM Desa.

rancangan awal RKP Desa tahun yang akan datang sebagai Pasal 32

Kepala Desa mengkoordinasikan penyusunan rancangan RKP Desa tahun yang akan datang. Pasal 33 (1) Musrenbang dalam rangka penyusunan RKP Desa yang akan datang diikuti oleh unsurunsur penyelenggara pemerintahan desa dan unsur masyarakat sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat 3. (2) Kepala Desa menyelenggarakan Musrenbang penyusunan RKP Desa yang akan datang. Pasal 34 (1) Musrenbang penyusunan RKP Desa sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 dilaksanakan paling lambat bulan Januari tahun berjalan; (2) Musrenbang Desa dalam rangka penyusunan RKP Desa menghasilkan : a. kesepakatan tentang program; b. kesepakatan tentang kegiatan; c.

kesepakatan tentang alokasi biaya untuk kegiatan; dan

d. kesepakatan tentang delegasi masyarakat desa yang akan terlibat dalam Musrenbang Kecamatan.


Pasal 35 Keputusan Musrenbangdes mengenai RKP Desa sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 ditandatangani oleh Kepala Desa, Ketua BPD dan perwakilan dari unsur masyarakat yang dipilih dalam Musrenbangdes. Pasal 36 Kepala Desa menyusun rancangan akhir RKP Desa berdasarkan hasil Musrenbangdes sebagaimana dimaksud dalam pasal 35. Pasal 37 RKP Desa sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 menjadi pedoman penyusunan RAPB Desa. Pasal 38 RKP Desa ditetapkan dengan Peraturan Kepala Desa. Pasal 39 Bagian yang berisi usulan kegiatan di luar kewenangan Desa dalam RKP Desa diajukan kepada pemerintah Kabupaten melalui Musrenbang Kecamatan. Bagian Keenam Musrenbang Kecamatan Pasal 40 (1) Camat menyelenggarakan musrenbang kecamatan tahunan dalam rangka penyusunan Rekapitulasi Usulan Desa-desa di kecamatan yang akan disampaikan dalam Musrenbang Kabupaten dan Forum SKPD; (2) Musrenbang Kecamatan diikuti oleh unsur-unsur pemerintahan daerah, instansi pemerintah tingkat kecamatan, delegasi masyarakat desa, dan wakil dari kelompokkelompok masyarakat yang beroperasi dalam skala kecamatan. Pasal 41 (1) Musrenbang penyusunan rekapitulasi usulan desa-desa di kecamatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 dilaksanakan paling lambat bulan Pebruari tahun berjalan; (2) Musrenbang Kecamatan menghasilkan : a. kesepakatan tentang program; b. kesepakatan tentang kegiatan; c.

kesepakatan tentang alokasi biaya untuk kegiatan; dan

d. kesepakatan tentang delegasi masyarakat kecamatan yang akan terlibat dalam Musrenbang Kabupaten dan Forum SKPD. Pasal 42 (1) Keputusan Musrenbang Kecamatan mengenai rekapitulasi usulan Desa di Kecamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ditandatangani oleh Camat, perwakilan instansi Pemerintah tingkat kecamatan, para ketua delegasi masyarakat desa, dan representasi kelompok-kelompok masyarakat yang beroperasi dalam skala kecamatan yang menjadi peserta Musrenbang Kecamatan;


(2) Keputusan Musrenbang Kecamatan mengenai rekapitulasi usulan Desa di Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada anggota DPRD dari wilayah pemilihan kecamatan. Bagian Ketujuh Forum SKPD Pasal 43 (1) Bappeda selaku fasilitator menyelenggarakan forum SKPD dan/atau gabungan SKPD dalam rangka menyelaraskan hasil Musrenbang Kecamatan Tahunan yang dibawa oleh delegasi Masyarakat Kecamatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 ayat (2) dengan Rancangan Renja-SKPD (2) Hasil forum SKPD atau gabungan SKPD digunakan sebagai bahan penyempurnaan rancangan Renja-SKPD; (3) Kepala Bappeda menyempurnakan Rancangan Awal RKPD menjadi Rancangan RKPD dengan menggunakan Renja-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 44 Peserta Forum Kabupaten terdiri dari para Delegasi Masyarakat Kecamatan dan delegasi dari kelompok-kelompok masyarakat di tingkat kabupaten yang berkaitan langsung dengan fungsi SKPD atau gabungan SKPD yang bersangkutan. Pasal 45 Forum-SKPD Kabupaten menghasilkan : a. Rancangan Renja-SKPD berdasarkan hasil forum SKPD yang memuat kerangka regulasi dan kerangka anggaran SKPD; b. Prioritas kegiatan yang sudah dipilah menurut sumber pendanaan dari APBD Kabupaten, APBD Propinsi maupun APBN yang termuat dalam rancangan Renja-SKPD disusun menurut kecamatan dan desa/kelurahan; c.

Kesepakatan delegasi dari Forum SKPD yang berasal dari organisasi kelompok-kelompok masyarakat skala kabupaten untuk mengikuti Musrenbang Kabupaten.

d. Berita Acara Forum SKPD Kabupaten. BAB V PENGENDALIAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN RENCANA Pasal 46 (1) Pengendalian pelaksanaan rencana pembangunan dilakukan oleh masing-masing Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah. (2) Kepala Bappeda menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan dari masing-masing Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah sesuai dengan tugas dan kewenangannya.


Pasal 47 (1) Kepala Satuan Perangkat Daerah (2) Kepala Bappeda (3) Hasil evaluasi Pasal 48 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan diatur dengan Peraturan Bupati. BAB VI DATA DAN INFORMASI Pasal 49 (1) Perencanaan pembangunan daerah didasarkan pada data dan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. (2) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup : a. Penyelenggaraan pemerintahan daerah; b. Organisasi dan tata laksana pemerintahan daerah; c.

Kepala Daerah, DPRD, perangkat daerah, dan PNS Daerah;

d. Keuangan daerah; e. Potensi sumber daya daerah; f.

Produk hukum daerah;

g. Kependudukan; h. Informasi dasar kewilayahan; dan i.

Informasi lain terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah.

(3) Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, untuk tercapainya daya guna dan hasil guna, pemanfaatan data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikelola dalam sistem informasi daerah yang terintegrasi secara nasional. BAB VII KELEMBAGAAN Pasal 50 (1) Bupati menyelenggarakan dan bertanggungjawab atas perencanaan pembangunan daerah di daerahnya; (2) Dalam menyelenggarakan perencanaan pembangunan daerah, Bupati dibantu oleh Kepala Bappeda; (3) Kepala Satuan Perangkat Daerah menyelenggarakan perencanaan pembangunan daerah sesuai dengan tugas dan kewenangannya; (4) Bupati menyelenggarakan koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan sinergi perencanaan pembangunan antar desa.


BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 51 (1) Sebelum RPJP Daerah menurut ketentuan dalam peraturan daerah ini ditetapkan, penyusunan RPJM daerah tetap mengikuti ketentuan pasal 4 ayat (2) dengan mengesampingkan RPJP daerah sebagai pedoman, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Penyusunan Dokumen RPJPD dapat berlanjut dengan mengikuti ketentuan pasal 4 ayat (1) dengan mengesampingkan RPJP Nasional dan RPJPD Propinsi sebagai pedoman, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Sebelum RPJMD menurut ketentuan dalam peraturan daerah ini ditetapkan, penyusunan RKPD Kabupaten Bandung Tahun 2006 mengacu kepada Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2001 tentang Rencana Strategis Daerah Kabupaten Bandung 2001 – 2005. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 52 Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya akan diatur dengan Peraturan Bupati. Pasal 53 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar semua orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Bandung Ditetapkan di Soreang pada tanggal 22 Juli 2005 BUPATI BANDUNG, ttd OBAR SOBARNA Diundangkan di Soreang pada tanggal 22 Julii 2005 SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN BANDUNG, ttd Drs. H. ABUBAKAR, M.Si Pembina Utama Muda NIP. 010 072 603 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2005 NOMOR 4 SERI D


Kegiatan 2 Tujuan

Mengoptimalkan Ruang Partisipasi Publik Di Tingkat Desa    

Partisipan memahami arena kegiatan atau wadah atau ruang partisipasi masyarakat di tingkat desa/di dalam pemerintahan desa. Partisipan mengetahui dan memahami tentang cara melembagakan dan mengoptimalkan ruang partisipasi publik di tingkat desa. Partisipan dapat mendiskusikan bersama mengenai cara melembagakan dan mengoptimalkan ruang partisipasi publik di tingkat desa. Partisipan mampu mengembangkan wadah atau ruang partisipasi masyarakat di tingkat desa.

Metode

  

Paparan Diskusi kelompok Presentasi

Alat dan Bahan

   

White board Kertas plano Spidol Selotip kertas

Bahan Bacaan

 

Hari Hak Untuk Tahu Internasional Tanggung Gugat Sebagai Bentuk Transparansi Pemerintahan Desa

Waktu

100 menit

Proses Fasilitasi 1. Fasilitator kelas menyiapkan judul, tujuan, dan waktu yang diperlukan untuk melaksanakan materi ini (5 menit). 2. Fasilitator/narasumber menjelaskan tentang materi cara melembagakan dan mengoptimalkan ruang partisipasi publik di tingkat desa (10 menit). 3. Fasilitator meminta klarifikasi dari peserta mengenai materi yang disampaikan (10 menit). Misalnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: a. Arena kegiatan apa saja yang memungkinkan masyarakat untuk berperan serta? b. Pada tahap apa saja masyarakat berperan serta (mengambil keputusan, melaksanakan, menerima manfaat, dan mengevaluasi)? Bagaimana cara keterlibatannya? c. Hasil pembahasan diatas kemudian digambarkan dan dilengkapi dengan menggunakan Lembar Kegiatan Arena Kegiatan Partisipasi. 4. Fasilitator membagi partisipan dalam 5 kelompok (5 menit). 5. Fasilitator meminta partisipan untuk mendiskusikan tentang cara melembagakan dan mengoptimalkan ruang partisipasi publik di tingkat desa (15 menit). a. Menurut anda, apakah lembaga pemerintahan desa memberi kesempatan kepada masyarakat untuk berperan serta? b. Bagaimana cara masyarakat menyampaikan aspirasi dalam pengambilan kebijakan desa?


c. Bagaimana sebaiknya agar proses perencanaan pembangunan desa semakin banyak melibatkan berbagai kelompok masyarakat? Seterusnya, Lihat Bahan Bacaan d. Mengapa harus melembagakan partisipasi? e. Kemudian perlihatkan Kasus “Kompetisi Memanfaatkan Anggaran Desa” f. Apa pendapat kelompok mengenai kasus ini yang berhubungan dengan partisipasi di desa? g. Jelaskan pelajaran-pelajaran pentingnya dengan menggunakan kata kunci yang tertera di bawah kasus! h. Tuliskan hasil diskusi kelompok dalam kertas plano untuk dipresentasikan. 6. Fasilitator mempersilakan masing-masing kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya (45 menit). 7. Kaji ulang proses dan hasil dari sessi ini (10 menit). Konsep Kunci • Pada hakekatnya anggaran publik merupakan amanat yang diberikan rakyat kepada penyelenggara negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun kenyataannya, masih sedikit dari masyarakat yang bisa memahami anggaran. Bahkan sebagian masyarakat masih menyederhanakan pemahaman tentang anggaran yang diartikan sebagai uang pemerintah. • Pemahaman demikian akan membawa akibat masyarakat menyerahkan sepenuhnya pengelolaan uang itu kepada pemerintahan karena masyarakat merasa tidak memiliki hak mencampuri pengelolaan uang negara. • Berdasarkan esensi dasar dari kebijakan anggaran adalah pengelolaan uang masyarakat untuk kesejahteraan masyarakat, maka peran masyarakat mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan anggaran sangat penting. • Gagasan partisipasi publik dalam pengawasan anggaran pada dasarnya adalah satu ide untuk memungkinkan keterlibatan masyarakat dalam proses politik, terutama dalam implementasi anggaran publik. Partisipasi masyarakat ini merupakan kontrol sosial dan upaya untuk melakukan pembatasan kekuasaan penggunaan anggaran sehingga sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. • Selama ini proses-proses tersebut hanya menjadi wahana bagi eksekutif, tentu saja termasuk para birokrat yang terlibat dalam proses perencanaan dan penganggaran, dan legislatif. Melalui instrumen hukum yang ada, masyarakat sipil sudah dipersilakan masuk dalam proses tersebut. Untuk itu sudah saatnya bagi masyarakat sipil untuk segera merebut ruang tersebut. Ini bukan untuk kepentingan masyarakat sipil saja, melainkan untuk kepentingan demokrasi, keadilan sosial, dan peningkatan kinerja pemerintahan.


Lembar Kerja

ARENA KEGIATAN PARTISIPASI DI DESA No

Arena Kegiatan )*

Siapa Yang Yang Tidak Terlibat Telibat

Siapa yang Mengambil Keputusan

Pelajaran Penting tentang Partisipasi

1 2 3 4 5 6 7 8 9

)*Isilah kolom ini dengan kegiatan-kegiatan seperti rapat RT, rapat RW, musbangdus, musbangdes, musrenbang, musyawarah ADD, rapat BPD untuk penyusunan Perdes atau APBDes, dsb. Yang merupakan kegiatan-kegiatan yang terjadi di desa.

CATATAN Pelembagaan Partisipasi (institutionalizing participation) di Desa adalah proses Menjadikan Partisipasi sebagai...... 1. Mekanisme dan cara kerja kelembagaan di desa, termasuk dalam pengambilan keputusan. Misalnya : • Melaksanakan konsultasi publik sebelum penetapan kebijakan oleh pemerintah desa; • Melaksanakan dengar pendapat umum (public hearing) sebelum penetapan APBDes oleh BPD. 2. Isi dalam peraturan dan kebijakan di tingkat desa. Misalnya: • Muatan prinsip partisipasi misalnya dalam Perdes pengelolaan sumberdaya alam; • Muatan prinsip partisipasi dalam peraturan mengenai proses perencanaan dan penyusunan APBDes. 3. Sikap, nilai yang diyakini, serta perilaku individu dan organisasi yang ada di desa. Misalnya: • Kepala desa tidak anti kritik dan terbuka terhadap masukan warga; • Anggota dan pengurus BPD aktif menjaring aspirasi warga dalam menjalankan kegiatan; • Warga memiliki kebutuhan untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan desa.


Bahan Bacaan

KASUS ”KOMPETISI MEMANFAATKAN ANGGARAN DESA” Setiap tahun desa-desa di Kabupaten Sleman, Yogyakarta selalu menyusun APBDes. Dana pembangunan dusun, seperti prasarana jalan, disediakan dalam APBDes tersebut, dan dusun-dusun berkompetisi mengajukan proposal. Alokasi dana pembangunan itu ternyata lebih sering diraih oleh dusun-dusun tertentu yang proposalnya dinilai baik. Yaitu dusun-dusun yang mengajukan anggaran yang layak dan menunjukkan tingginya dana swadaya dan gotong-royong masyarakatnya. Uniknya dusun-dusun yang mampu mengakses dana pembangunan adalah dusundusun yang memiliki penduduk dengan tingkat ekonomi yang baik dibandingkan dengan dusun lainnya. Ekonomi yang baik membuat banyak warga mampu menyumbangkan dana swadaya. Sebaliknya dusun yang penduduknya miskin cenderung kurang mampu mengakses dana pembangunan dari APBDes. Mungkin dusun ini memiliki semangat gotong royong yang tinggi, dan penyusunan anggaran pun dilakukan secara partisipatif. Tetapi karena dusundusun ini tidak mampu mengembangkan dana swadaya sebagaimana disyaratkan oleh desa, dana pembangunan pun tidak berhasil diakses.

KATA KUNCI • • • • • • • • • •

Partisipasi; Swadaya; Gotong Royong; Dusun Kaya Versus Dusun Miskin; APBDes; Alokasi Dana Pembangunan Desa Untuk Dusun; Sumberdaya terbatas; Musyawarah; Dilakukan bertahap; Berbagi (sharing).


Bahan Bacaan

HARI HAK UNTUK TAHU INTERNASIONAL Cobalah tanya kepada tetangga di sebelah rumah Anda, apakah mereka tahu tentang rincian penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) pemerintah desanya? Apakah mereka tahu berapa jumlah anggaran yang diperuntukkan bagi kesehatan ibu dan anak, pendidikan, perekonomian, dan berbagai kepentingan publik lainnya? Meskipun masyarakat berhak memperoleh informasi APBD, hanya sedikit saja yang mungkin mengetahuinya. Misalnya saja ternyata alokasi anggaran untuk kesehatan ibu dan anak jumlahnya sangat kecil dibandingkan dengan alokasi anggaran untuk perbaikan jalan. Berdasarkan kasus-kasus tersebut, pada tanggal 28 September 2006 lalu diperingati oleh sejumlah negara sebagai Intenational Right To Know Day atau HARI HAK UNTUK TAHU INTERNASIONAL. Peringatan tahun 2006 ini adalah yang keempat kalinya menyusul penetapannya pada tanggal 28 September 2002 di Sofia, Bulgaria, pada saat acara workshop keterbukaan informasi yang diikuti sejumlah organisasi yang bergerak dalam bidang media, pembangunan, dan hak asasi manusia (HAM) dari seluruh dunia. Hari Hak Untuk Tahu Internasional dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran adanya hak-hak individual di negara mana pun untuk memperoleh hak bertanya dan mengetahui segala urusan yang terkait dengan kepentingan publik. Hak semacam ini diharapkan mendorong pemberdayaan dan partisipasi dalam masyarakat dan pemerintahan yang demokratis. Hak atas informasi yang terbuka menjadi pembuka jalan bagi terjaminnya pelaksanaan hak-hak asasi lainnya, seperti hak atas pendidikan, hak untuk hidup sejahtera, hak untuk hidup aman, dan sebagainya. Pada pelaksanaannya tahun ini, Hari Hak Untuk Tahu diperingati sedikitnya di 36 negara di seluruh dunia. Selain menggelar konferensi dengan tema keterbukaan informasi, kampanye, dan demonstrasi, dilakukan pula penganugerahan penghargaan ”Kunci Emas” untuk institusi yang menjamin kebebasan untuk memperoleh informasi, dan sebaliknya pernghargaan ”Gembok Emas” untuk institusi yang menghalangai keterbukaan informasi. Ada pula penghargaan ”Kunci Terikat” bagi institusi yang mengeluarkan kebijakan ”konyol” dan tidak masuk akal menyangkut keterbukaan informasi. Sebenarnya, hak untuk memperoleh informasi telah jauh-jauh hari, dicanangkan dalam pertemuan umum PBB pada tahun 1946 sebagai Hak Atas Informasi. Tapi hingga kini baru 65 negara yang memberi pengakuan hukum (ratifikasi) atas pernyataan tersebut. Selebihnya malah ada yang mengembangkan Undang-Undang Kerahasiaan (Official Secrecy Act), seperti misalnya yang diberlakukan di Inggris dan Amerika, yang menentang asas keterbukaan informasi untuk kepentingan publik. Hingga tahun ini, Indonesia belum termasuk sebagai negara yang mendukung Hari Hak Untuk Tahu Internasional. Meski pada praktiknya di negara kita tak kurang pihak yang menuntut dan mengupayakan adanya keterbukaan informasi yang berdimensi kepentingan publik.


Bahan Bacaan

TANGGUNG GUGAT SEBAGAI BENTUK TRANSPARANSI PEMERINTAHAN DESA Oleh : Biduk Rohmani

Pernahkah terbayang di benak Anda, di negeri ini akan terbentuk pemerintahan yang bersih dan transparan kepada rakyatnya? Jika pertanyaan ini anda lontarkan kepada warga desa Wiladeg, tentu saja mereka akan menjawab, ”pasti bisa!” Wiladeg yang terletak di Kecamatan Karangmojo itu memang hanyalah sebuah desa kecil di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak pernah diperhitungkan dalam kancah percaturan politik di republik ini. Namun, justru di desa yang berjarak kurang lebih 40 KM dari ibu kota propinsi dan 6 KM dari kabupaten itu berhasil menerapkan good governance. Tidak hanya bagus, tapi juga benar-benar transparan. Transparansi itu terlihat ketika Kepala Desa yang membawahi 10 pedukuhan itu melaksanakan laporan pertanggungjawaban (LPJ) Desa Wiladeg di hadapan warganya. Pembacaan LPJ Kades yang dilakukan setahun sekali itu selalu bertepatan dengan pelaksanaan tradisi Rasulan yang identik dengan ritual budaya bersih desa. Tradisi yang telah berlangsung sejak desa ini berdiri itu merupakan tanggung gugat aparat desa kepada rakyatnya. Kebiasaan yang diterapkan di Wiladeg ini memang belum lazim terjadi di wilayah lain, bahkan di tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi di Indonesia. ”Di Wiladeg, ini sudah menjadi tradisi turun temurun sejak jauh sebelum saya menjadi pemimpin di desa ini, saya hanya meneruskan. Warga tidak akan pernah berani mengubah ritual tanggung gugat ini, kalau sampai ada pemimpin desa yang berani menghentikan kebiasaan ini tentu saja warga akan benar-benar menggugat kades itu,”ujar Kepala Desa Wiladeg Sukoco. Dulu, pelaksanaan tanggung gugat direalisasikan dalam bentuk rembuk warga dalam mekanisme rapat umum warga (RUW). Saat Rasulan, semua Warga Wiladeg akan berkumpul di pendopo balai desa guna menyimak pembacaan LPJ oleh Kades. Kepala Desa Wiladeg akan menyampaikan pertanggungjawaban secara langsung kepada rakyat dengan cara melaporkan pelaksanaan program pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan setelah sebelumnya dilaporkan kepada Badan Perwakilan Desa (BPD). Namun, sejak sebuah Radio Komunitas yang diberi nama Radio Komunitas Wiladeg (RKW FM) didirikan di desa berpenduduk 4240 jiwa. Dengan 1281 Kepala Keluarga (KK) pada tahun 2002, mekanisme pembacaan LPJ diubah, meskipun kebiasaan rembuk warga tetap dilangsungkan. Mulai pada tahun 2003, pembacaan LPJ Kepala Desa Wiladeg disiarkan secara langsung melalui radio ”jadi warga tidak lagi berkumpul di balai desa melainkan mereka cukup mendengarkan radio pada jam yang telah diumumkan sebelumnya. Warga saru dukuh akan berkumpul di satu lokasi (biasanya di rumah Kepala Dukuh), terus radio itu dikasih pengeras suara supaya semua warga bisa menyimak dengan jelas, ”terang Sukoco. Kehadiran radio memang dirasakan Sukoco dan Warga Desa Wiladeg sebagai mukjizat bagi desa tersebut. Pasalnya, sebelum radio berdiri, Sukoco mesti menghabiskan banyak waktu untuk berkeliling ke 10 pedukuhan yang menjadi wilayah administratifnya.


Kewajiban yang harus dilakukannya yaitu guna membacakan draft awal LPJ sebelum diserahkan kepada BPD agar warga dapat memberikan masukan, kritikan, dan mengajukan berbagai macam pertanyaan tentang pelaksanaan program pemerintahan desa selama setahun sebelumnya. Sebab, saat rembuk warga digelar sudah menjadi kebiasaan pada pemimpinpemimpin sebelumnya, ia tidak akan melayani pertanyaan tentang pelaksanaan program di desa itu. ”Dalam semalam saya hanya sanggup berkeliling maksimal ke lima dukuh. Itu pun saya nggak mampu bisa membacakan satu per satu isi LPJ kepada sekian banyak dukuh, itu tidak efektif. Jadi saya minta ke Pak Dukuh tolong dibacakan ini, nanti kalau ada pertanyaan atau masukan ya silahkan dicatat. Saya akan selalu menerima semua program yang diusulkan warga. Tapi kan gak semuanya bisa diakomodasi. Maka lantas saya membuat skor berdasarkan prioritas, contohnya jalan ke Puskesmas itu aksesnya berbeda dengan jalan menuju makam, atau skornya berbeda dengan jalan menuju sawah,”ungkapnya. Maka dengan adanya radio, ia cukup memberi pengumuman kepada para kepala dukuh dan warga agar standby pada waktu yang telah ditentukan untuk mendengarkan pembacaan draft awal LPJ itu. ”Radio benar-benar efektif sebagai alat yang lebih praktis dan menjangkau ke seluruh wilayah Wiladeg,”imbuhnya. Tidak hanya dalam forum tersebut Sukocodan warganya memanfaatkan radio untuk bersiaran secara langsung. Bahkan saat terjadi penggodokan LPJ oleh BPD Wiladeg pun, akan di-life-kan melalui radio. Juga saat hari ”H” pembacaan LPJ setelah melewati mekanisme pelaporan kepada BPD. ”Biasanya saat BPD bersidang, kita akan menaruh beberapa buah mik di ruangan itu. Entah digunakan atau tidak pokoknya kita on-kan saja. Sebab dengan adanya mik yang aktif itu, meskipun sidangnya tertutup untuk umum tapi warga tetap bisa mengikuti semua proses yang terjadi di dalam ruangan itu dapat diketahui publik,”jelas Tanto, salah seorang pengelola RKW FM. Sejak ada radio komunitas di Wiladeg, aparat desa berusaha mengoptimalkan pemanfaatannya guna kepentingan warga. ”Semua hal yang menyangkut kepentingan masyarakat dilaporkan secara life melalui radio, entah itu sidang pertanggungjawaban APBDes, RAPBDes, termasuk anggaran-anggaran, bahkan hingga pungutan yang ditarik oleh Pemerintah Desa ke rakyatnya,”tutur Sri Sayekti, 61 tahun, warga Dukuh Kerdon. Hal senada diamini oleh Sukoco yang telah menjabat sebagai Kepala Desa Wiladeg selama 10 tahun (dua periode, sejak 1995 – 2003 dan 2003 – 2013. Menurutnya selama ini ada enam dinamika desa yang disiarkan secara langsung kepada publik melalui radio. Yakni desa melakukan pungutan, desa menentukan program, desa menentukan anggaran, desa membuat perubahan anggaran, desa membuat perhitungan anggaran, serta desa melakukan jalin program.

Alokasi Anggaran Tidak Jelas

Lain halnya dinamika yang harus dialami Desa Timbulharjo, Kecamatan Sewon, Bantul. Mulanya warga berinisiatif ingin menyiarkan secara langsung LPJ Kepala Desa Timbulharjo yaitu Yapidi Faturohman pada Juli 2004 melalui Radio Komunitas Angkringan FM. Namun sayangnya niat baik itu ditolak mentah-mentah oleh aparat desa, justru beberapa jam sebelum acara dilangsungkan dengan alasan daerah lain tidak mempunyai radio seperti di Timbulharjo. ”Alasan itu saya kira merupakan alasan yang dicari-cari. Padahal kami sudah mengumumkan soal siaran langsung itu jauh-jauh hari sebelumnya. Lantas kami


menyiasatinya dengan membuat buletin dinding yang berisi soal LPJ itu dan ditempelkan ke seluruh kawasan Timbulharjo,� tutur Jawasdi, Ketua Umum Radio Angkringan FM. Beruntung BPD Timbulharjo merekomendasikan Kepala Desa agar merevisi LPJ tersebut dalam kurun waktu dua minggu. �Kami mengajukan surat permohonan lagi untuk bisa menyiarkan secara langsung pembacaan LPJ Kedua, dan akhirnya dikabulkan. Malahan dalam RAPBDes Timbulharjo tahun berikutnya pendanaan biaya tagihan listrik radio komunitas ini menjadi tanggung jawab pihak desa�, kata Jaswadi. Sayangnya, menurut Saryanto, 36 tahun, warga Dusun Kepek, dalam LPJ Kades yang dibacakan secara langsung itu Pak Lurah tidak merinci alokasi anggaran pembangunan selama setahun masa pemerintahannya. Justru yang dilaporkan hanya melulu soal rencana anggaran hingga lima tahun ke depan. �LPJ life itu harus! Warga itu kan juga ingin tahu selama setahun kemarin anggaran itu habisnya berapa dan buat apa saja, tapi selama ini belum terlihat alokasi dana itu untuk apa. Saya berharap Pak Lurah lebih banyak melibatkan warga dalam dialog, semacam rembuk warga itu lho, supaya warga itu bisa kasih masukan dan langsung merevisi kalau ada kesalahan dalam pelaporan. Selama ini yang dilibatkan hanya aparat desa, RT, Dukuh, dan tokoh-tokoh masyarakat saja, di Timbulharjo belum pernah dilakukan rembuk warga.


MODUL 4.2. MEWUJUDKAN PERAN WARGA DAN KOMUNITAS DALAM PROSES PENGELOLAAN KEUANGAN DESA Kegiatan 1

Pengantar Pengorganisasian Komunitas

Tujuan

Peserta memahami kaidah-kaidah dalam pengorganisasian komunitas

Metode

  

Ceramah Diskusi Kelompok Presentasi

Alat dan Bahan

  

Spidol Kertas Plano Lembar Kerja: Menggerakkan Mobil Mogok

Bahan Bacaan

Dasar-dasar Pengorganisasian

Waktu

190 menit

Proses Fasilitasi

1. Fasilitator menjelaskan proses dan tujuan yang ingin dicapai dalam sessi ini (5 menit). 2. Bagi peserta dalam 4 kelompok dan bagikan Lembar Kerja: Menggerakkan Mobil Mogok (5 menit). 3. Minta kelompok untuk memilih salah satu posisi. Jika mengalami kesulitan, pembagian posisi kelompok berdasarkan “hom-pim-pah”. Setelah peragaan, persilakan kelompok mendiskusikan:  Kelompok mana yang paling mungkin menggerakkan mobil tersebut?  Apa syarat utama agar mobil bisa bergerak?  Apakah jumlah penggerak sebagai satu-satunya faktor yang menentukan?  Jika faktor tenaga sebagai syarat mutlak, apa yang harus dilakukan agar kendaraan bergerak?  Faktor apa lagi yang harus diperhitungkan? (20 menit). 4. Persilakan masing-masing kelompok mempresentasikan hasil diskusi ( 30 menit). 5. Bahas dan tarik kesimpulan utama dari hasil diskusi tersebut. Gunakan bahan panduan fasilitator sebagai kerangka (30 menit). 6. Ilustrasikan proses mendorong mobil di atas sebagai upaya mendorong perubahan. Gali dari pengalaman peserta dan diskusikan bersama mengenai:  Dimana letak pengorganisasian komunitas dalam


proses mendorong perubahan tersebut? Apa yang kemudian dimaksud sebagai pengorganisasian komunitas?  Hal-hal apa saja yang semestinya diperhatikan dalam pengorganisasian komunitas?  Hambatan-hambatan yang mereka alami dalam pengorganisasisan komunitas (45 menit). 7. Rumuskan aspek-aspek yang menjadi kaidah serta hambatan-hambatan yang muncul dalam pengorganisasian komunitas melalui pengkategorian, misalnya prinsip, tujuan, proses, teknik, hambatan budaya, politik, dll (30 menit). 8. Bagikan Bahan Bacaan: Pengorganisasian dan persilakan peserta untuk membaca serta menggarisbawahi hal-hal yang menurut mereka penting. 9. Diskusikan bersama tentang hal-hal yang ditanyakan peserta (20 menit). 10. Kaji ulang tujuan, proses dan hasil sessi ini (5 menit). 

Konsep Kunci

 Pengorganisasian komunitas dalam konteks pemberdayaan bagi perubahan sosial merupakan upaya untuk peningkatan kemampuan dan kekuatan komunitas melalui suatu proses transformatif yang berpijak pada komunitas sebagai pelaku utama, mengedepankan yang terabaikan, proses saling belajar.  Pengorganisasian komunitas merupakan upaya yang langkah-langkah di dalamnya bertujuan menjawab masalah mendasar, yaitu:  Membangun kapasitas dan kekuatan  Mengelola kapasitas dan kekuatan  Mengembangkan kapasitas dan kekuatan untuk sampai pada tujuan yang di dalamnya mencakup pula aspek keberlanjutan gerakan  Transformasi dalam pengorganisasian komunitas berlangsung melalui satu proses saling-belajar yang mensyaratkan adanya analisis sosial sebagai kerangka berpikir pembelajaran kesadaran kritis.  Simulasi Mendorong Mobil Mogok bertujuan untuk memperoleh kesimpulan:  Bahwa mobil hanya bisa digerakkan bila kekuatan pendorong lebih besar dari beban yang ada: Gerakan hanya akan bisa mencapai tujuannya jika bisa mengatasi kekuatan anti perubahan. Oleh karena itu, pengorganisasian komunitas merupakan upaya


Catatan untuk Fasilitator

menjawab masalah mendasar, yaitu membangun kekuatan. Bahwa kekuatan belumlah cukup jika tidak dikelola dengan baik; meskipun dengan orang yang cukup, kecil kemungkinan mobil dapat bergerak jika semua orang mendorong dari sisi samping. Oleh karena itu, pengorganisasian komunitas merupakan upaya menjawab masalah mendasar, yaitu mengelola kekuatan dengan suatu strategi tertentu agar kekuatan mencapai batas optimum. Jika mobil hendak didorong dalam jarak yang jauh, ketahanan stamina merupakan syarat. Oleh karena itu, pengorganisasian komunitas merupakan upaya untuk menjawab masalah mendasar, yaitu mengembangkan kekuatan yang di dalamnya mencakup keberlanjutan gerakan dalam mencapai tujuan.

 Perumusan kaidah-kaidah dalam pengorganisasian komunitas sebaiknya merupakan refleksi dan pelajaran dari pengalaman lapangan para peserta yang digali selama proses fasilitasi. Dengan kata lain, proses fasilitasi bertujuan untuk memberi kerangka atas pelajaran dari pengalaman peserta. Fasilitator perlu memberikan kesempatan kepada para peserta untuk menyampaikan pengalamannya serta melakukan pertanyaan penggalian, misalnya:  Untuk tujuan apa para peserta melakukan pengorganisasian di lokasi tersebut?  Perubahan-perubahan apa yang berlangsung setelah pengorganisasian dengan membandingkan pada keadaan sebelum pengorganisasian?  Hambatan-hambatan apa yang terjadi selama pengorganisasian komunitas?  Keragaman pengalaman peserta adalah kekayaan.


Lembar Kerja:

MENGGERAKKAN MOBIL MOGOK

PETUNJUK SIMULASI

Bayangkan di dekat kelompok anda ada sebuah kendaraan pick up yang memuat padi hasil panen atau sebuah sedan yang berbobot sama dengan pick up.  Mobil berada di sebuah jalan dalam keadaan mogok.  Kelompok anda datang untuk menolong. Ketentuan untuk memberikan pertolongan sebagai berikut:  Satu kelompok hanya boleh menggerakkan (mendorong atau menarik) dari satu sisi saja. Misalnya, anda dan seluruh anggota kelompok mendorong sisi samping kanan mobil saja.  Peragakan proses tersebut. 

PERTANYAAN UNTUK KELOMPOK   

Apakah kelompok anda merasa berhasil mendorong mobil tersebut? Apakah kelompok anda memerlukan alat bantu? Jika anda merasa berhasil, mengapa? Dibandingkan dengan posisi kelompok lain, posisi kelompok anda lebih baik atau tidak?


Bahan Bacaan:

PENGORGANISASIAN Disarikan dan Diubah Seperlunya Dari: Manual Kursus Intensif Gerakan Pembaruan Agraria, KPA, 2000

Pengorganisasian dalam konteks perubahan sosial menjadi titik strategis yang harus mendapat perhatian lebih seksama. Keberhasilan mencapai titik perubahan akan sangat ditentukan oleh pekerjaan pengorganisasian ini. Tanpa suatu pengorganisasian yang memadai, kuat dan sistematik, maka agenda pengembangan komunitas akan senantiasa bergantung kepada niat baik kekuasaan, pasar politik, atau situasi lain yang tidak pasti. Satu-satunya faktor yang akan memastikan bahwa pembangunan komunitas berjalan dalam rel yang benar adalah kehendak dan kemampuan komunitas sendiri untuk memperbaiki keadaan. Asumsi Dasar Melakukan pengorganisasian masyarakat dengan maksud memperkuat (memberdayakan) sehingga masyarakat mampu mandiri dalam mengenali persoalan-persoalan yang ada dan dapat mengembangkan jalan keluar (upaya mengatasi masalahtersebut) berangkat dari asumsi: 1. bahwa masyarakat punya kepentingan terhadap perubahan (komunitas harus berperan aktif dalam menciptakan kondisi yang lebih baik bagi seluruh masyarakat); 2. bahwa perubahan tidak pernah datang sendiri melainkan membutuhkan perjuangan untuk dapat mendapatkannya; 3. bahwa setiap usaha perubahan (sosial) pada dasarnya membutuhkan daya tekan tertentu, dimana usaha memperkuat (daya tekan) juga memerlukan perjuangan. Arah Pengorganisasian tidak mengabdi pada dirinya sendiri. Atau hendak dikatakan bahwa pengorganisasian bukan untuk pengorganisasian, melainkan untuk mengembangkan apa yang disebut sebagai peningkatan kapasitas dan daya tawar masyarakat (komunitas). Pemikiran ini bermuara pada prinsip demokrasi, yang menegaskan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, atau suatu proses dari, oleh dan untuk rakyat. Secara mendasar pengorganisasian diarahkan untuk meningkatkan kesadaran kritis masyarakat dan disisi lain mempersiapkan basis sosial bagi tatanan dan situasi yang baru dan lebih baik yang ingin diciptakan. Urgensi Pengorganisasian Letak Penting pengorganisasian komunitas pada: 1. kenyataan bahwa masyarakat pada kebanyakan berposisi dan berada dalam kondisi lemah, sehingga diperlukan wadah yang sedemikian rupa dapat dijadikan wahana untuk perlindungan dan peningkatan kapasitas “bargaining�; 2. kenyataan masih adanya ketimpangan dan keterbelakangan, dimana sebagian kecil memilki akses dan asset untuk bisa memperbaiki keadaan, sementara sebagian besar yang lain tidak. Kenyataan ini menjadikan perubahan pada posisi sebagai jalan yang paling mungkin untuk memperbaiki keadaan. Tentu saja pengorganisasian tidak selalu bermakna persiapan melakukan “perlawanan� terhadap tekanan dari pihak-pihak tertentu, tetapi juga dapat bermakna sebagai upaya bersama dalam menghadapi masalah-masalah bersama seperti bagaimana meningkatkan produksi, memperbaiki tingkat kesehatan masyarakat, dan lainlain.


Substansi Pengorganisasian Suatu pengorganisasian merupakan usaha untuk membangun kekuatan (keberdayaan) masyarakat, sehingga dapat secara optimal memanfaatkan potensi yang dimiliki, dan disi lain masyarakat dapat memahami secara kritis lingkungannya serta mampu mengambil tindakan yang mandiri, independen dan merdeka (tanpa paksaan) dalam rangka mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi. Harus diakui bahwa pada kebanyakan masyarakat tidak berada dalam keadaan kritis. Oleh sebab itu pengorganisasian memikul beban mendorong peningkatan kesadaran kritis masyarakat. Bagi organisator dan atau fasilitator pekerjaan ini berarti suatu usaha untuk “memenangkan hati dan pikiran� masyarakat. Inti Kerja Mengorganisasi Masyarakat 1. Membangun dan mengembangkan kesadaran kritis masyarakat dalam melihat persoalanpersoalan yang menghambat pencapaian keadaan yang lebih baik dan bermakna, seperti masalah mengapa posisi masyarakat lemah dan kondisi mereka “kurang beruntung�. 2. Mendorong dan mengembangkan organisasi yang menjadi alat dalam melakukan perjuangan kepentingan masyarakat; 3. Melakukan usaha-usaha yang mengarah kepada perbaikan keadaan dalam kapasitas yang paling mungkin, dan dengan kalkulasi kekuatan yang cermat, serta melalui pentahapan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan tahap-tahap perkembangan masyarakat yang dinamis. Prinsip Pengorganisasian Segi-segi yang perlu dipikirkan mengenai pengorganisasian: 1. mengutamakan yang terabaikan (pemihakan kepada yang lemah dan miskin); 2. merupakan jalan memperkuat masyarakat, bukan sebaliknya; 3. masyarakat merupakan pelaku, pihak luar hanya sebagai fasilitator; 4. merupakan proses saling belajar; 5. sebagai bagian dari upaya mengoptimalkan capaian; 6. bersedia belajar dari kesalahan; 7. terbuka, bukan merupakan usaha pembentukan kelompok eksklusif. Dua Level Masyarakat pada dasarnya memiliki pengalaman yang kaya dalam melakukan pengorganisasian diri. Lihat kasus kegiatan-kegiatan hajatan, bencana alam dan lain-lain, yang kesemuanya menunjukkan dengan sangat jelas bagaimana masyarakat berinisiatif mengorganisasi diri. Oleh karena itu, proses pengorganisasian dapat dilakukan pada dua level: 1. memfasilitasi atau membangun organisasi masyarakat yang sama sekali baru, dengan citacita perbaikan kondisi dan posisi masyarakat; 2. mengembangkan organisasi-organisasi yang telah ada, tentu dengan kinerja, prinsip dan garis kerja yang sama sekali baru. 3. mengambil salah satu tersebut tentu memiliki resiko dan keuntungan masing-masing, namun demikian keduanya tidak perlu dipertentangkan. Metoda Kerja Suatu metode pengorganisasian tidak lain dari langkah-langkah yang harus ditempuh dalam mempersiapkan suatu organisasi masyarakat. Adapun langkah yang harus ditempuh: 1. melakukan penyelidikan sosial, mendapatkan informasi secara lengkap (baik yang khusus maupun yang umum). Dalam investigasi ini data tentang subyek dan relasi-relasi ekonomipolitik-sosialnya juga harus diperoleh. Hasil dari pengorganisasian ini disusun sebagai pedoman dalam melakukan kerja-kerja pengorganisasian lebih lanjut; 2. membangun kontak, dengan subyek-subyek khusus yang dinilai layak dan bakal mendukung pekerjaan lebih lanjut, yakni pihak-pihak yang membantu bukan yang bakal menghambat;


3. melakukan pendidikan pada taraf tertentu, yang dimaksudkan untuk mengembangkan kesadaran kritis kontak tersebut. Pendidikan tidak berarti selalu formal, melainkan dapat dilakukan secara informal, baik melalui kegiatan biasa seperti obrolan, pemberian bahan bacaan, atau secara bersama mendiskusikan masalah yang berkembang, untuk menemukan jawaban yang kreatif dan mungkin dilakukan; 4. melakukan kegiatan di lapangan dengan kelompok-kelompok sasaran, suatu perencanaan kegiatan yang partisipatif. Mengembangkan kegiatan, sangat penting artinya. Kegiatan yang sering akan meningkatkan intensitas hubungan antara aktivis dengan rakyat. Dengan intensitas yang tinggi maka proses penguatan akan bisa berjalan lebih efektif. Bagaimana mengembangkan kegiatan di tingkat masyarakat. Tahap apa yang perlu dilalui: 1. identifikasi kebutuhan dan prioritas. Pada bagian ini perlu diketahui tentang (a) peta politik setempat; (b) struktur sosial setempat; dan (c) memahami peta persoalan dan isu setempat. 2. menyusun arah dan tujuan, serta menemukan cara terbaik untuk melaksanakannya; 3. mengidentifikasi sumber daya; 4. menyusun cara mengevaluasi; 5. menetapkan rencana;dan 6. melaksanakan rencana. Letak penting penerapan tahap ini lebih kepada kebutuhan untuk memastikan bahwa aktivitas yang dilakukan bukan merupakan paket dari atas, melainkan hal yang memang dibutuhkan masyarakat, mendapat dukungan mereka dan memastikan bahwa masyarakat adalah penikmat pertama hasil dari kegiatan yang dikembangkan. Bagaimana mempertahankan organisasi yang sudah ada? penting disadari bahwa setiap organisasi yang dikembangkan akan melalui siklus: 1. masa pembentukan; 2. masa pergolakan, penuh konflik; 3. penyamaan norma; 4. peningkatan kinerja kerja.

Agar organisasi yang telah terbentuk tidak segera hancur, maka diperlukan langkah-langkah: 1. usaha-usaha pendidikan internal yang sistematik, agar seluruh anggota bisa memiliki landasan yang sama; 2. agar setiap perkembangan organisasi, seperti penambahan anggota dan peningkatan beban kerja diikuti oleh perbaikan kinerja dan kualitas kesadaran anggota; 3. menetapkan tujuan yang jelas sehingga setiap pihak dapat memahami tahaptahap perkembangan organisasi.


Kegiatan 2

Tujuan

Membangun Institusi Baru atau Mengembangkan yang Sudah Ada?  

Mendiskusikan indikator yang menjadi pertimbangan dalam memutuskan untuk membuat institusi baru atau mengembangkan yang sudah ada di komunitas? Peserta memahami keuntungan dan kerugian bagi kerja pengorganisasian komunitas dari dua pilihan tersebut

Metode

 

Diskusi Kelompok Sharing Pengalaman

Alat dan Bahan

 

Kertas plano Spidol

Bahan Bacaan

Bikin Baru atau Kembangin yang Lama?: Menetapkan Pilihan Institusi Komunitas yang Akan Dikembangkan

Waktu

160 menit

Proses Fasilitasi

1. Fasilitator menjelaskan tujuan yang ingin dicapai dan proses yang akan dilalui (5 menit). 2. Ajukan pertanyaan kepada peserta:  Secara umum, bagaimana kita dan komunitas memandang institusi yang ada di komunitas saat ini? Diskusikan secara singkat dan catat pendapat para peserta (15 menit) 3. Bagikan Bahan Bacaan: Bikin Baru atau Kembangin yang Lama? 4. Persilakan peserta menggarisbawahi hal-hal yang menurut peserta penting (10 menit). 5. Buka sessi diskusi untuk hal-hal yang penting tersebut dengan meminta tanggapan dari peserta lain (25 menit). 6. Kembangkan pembahasan dengan menggali pengalaman peserta atau dengan meminta 1-2 orang peserta untuk menceritakan pengalamannya terhadap hal-hal yang berkaitan dengan membentuk baru atau mengembangkan yang sudah ada. Pandu dengan pertanyaan:  Apakah membangun institusi baru atau mengembangkan yang sudah ada?  Apa yang menjadi pertimbangan untuk menentukan pilihan tersebut?  Bagaimana kemudian pola dan mekanisme hubungan institusi tersebut dengan komunitas dan pemerintah? (30 menit). 7. Lakukan pembahasan untuk Membentuk Institusi Baru.


Pandu dengan pertanyaan: Untuk kepentingan apa institusi dibuat?  Siapa yang akan diuntungkan dengan pembentukan tersebut?  Siapa saja yang akan terlibat dalam institusi baru tersebut?  Bagaimana proses dan langkah-langkah pembentukannya?  Bagaimana peluang peningkatan daya tawar dan peningkatan kapasitas komunitas dalam institusi baru tersebut?  Bagaimana peluang penerapan nilai-nilai seperti keberpihakan, demokratis, transparansi, akuntabilitas dapat tercerminkan dalam struktur dan mekanisme institusi?  Bagaimana peluang keberlanjutan institusi tersebut? Darimana pendanaan institusi tersebut selanjutnya? ( 20 menit). 8. Lakukan pembahasan untuk Mengembangkan Institusi yang Sudah Ada. Pandu dengan pertanyaan:  Untuk kepentingan apa institusi dibuat?  Siapa yang diuntungkan dengan pembentukan tersebut?  Siapa saja yang terlibat dalam institusi tersebut?  Bagaimana proses pelibatan komunitas dalam institusi tersebut?  Bagaimana peluang peningkatan daya tawar dan peningkatan kapasitas komunitas dalam institusi tersebut?  Bagaimana peluang penerapan nilai-nilai seperti keberpihakan, demokratis, transparansi, akuntabilitas dapat tercerminkan dalam struktur dan mekanisme institusi?  Darimana institusi tersebut didanai?  Bagaimana pola dan mekanisme hubungan institusi dengan komunitas dan pemerintah? (20 menit). 9. Tarik satu benang merah untuk menemukan suatu gagasan dasar tentang nilai-nilai yang semestinya ada dalam institusi komunitas. Catat hasil temuan tersebut dan minta pendapat peserta. Gali dengan pertanyaan:  Nilai-nilai apa lagi yang semestinya ada?  Institusi komunitas macam apa yang kita dan 


komunitas inginkan? Catat pendapat para peserta (20 menit). 10. Strukturkan keseluruhan pembahasan dalam bagan yang memuat:  Hal-hal Mendasar yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan pilihan  Kelebihan dan kelemahan masing-masing pilihan (10 menit). 11. Tutup sessi dengan menyampaikan kembali point-point penting pembahasan dan mengkaji ulang proses serta tujuan yang telah dicapai (5 menit). Konsep Kunci

 Institusi komunitas merupakan sarana bagi anggota suatu komunitas yang di dalamnya berlangsung suatu proses belajar bagi komunitas, antara lain dalam hal berdemokrasi, serta sekaligus untuk meningkatkan daya tawar dan kapasitas komunitas. Dengan kata lain, institusi tersebut adalah kendaraan komunitas untuk menuju arah perubahan yang lebih baik dengan berjalan pada nilai, antara lain:  Memihak pada kepentingan komunitas  Demokratis  Transparans  Akuntabilitas

Catatan untuk Fasilitator

 Proses fasilitasi bertujuan untuk membangun kerangka pemahaman peserta terhadap keuntungan dan kerugian, kelebihan dan kelemahan membentuk institusi baru atau mengembangkan yang sudah ada. Oleh karena itu, dalam proses fasilitasi, fasilitator perlu melakukan pembahasan dan pembandingan terhadap dua pilihan tersebut. Pembahasan bisa dilakukan dengan cara:  Penggalian pengalaman peserta  Fasilitator perlu mengetahui peserta yang memiliki pengalaman dalam membentuk institusi baru dan peserta yang mengembangkan institusi yang ada di komunitas. Fasilitator perlu menggali pengalaman keduanya.  Jika hanya terdapat peserta yang memiliki pengalaman satu jenis saja, misalnya hanya membentuk institusi baru, pembahasan untuk Mengembangkan Institusi yang Sudah Ada dilakukan dengan mengambil studi kasus, misalnya membahas institusi yang dibentuk oleh pemerintah, seperti LKMD atau Lembaga pengganti LKMD.


Bahan Bacaan:

“BIKIN BARU ATAU KEMBANGIN YANG LAMA�: Menetapkan Pilihan Institusi Komunitas yang Akan Dikembangkan Dalam kerja pengorganisasian di lapangan, seorang fasilitator atau organisator masyarakat hampir selalu dihadapkan pada situasi dimana dirinya dan masyarakat yang diorganisir harus memilih apakah akan membentuk sebuah institusi atau organisasi yang baru, ataukah memanfaatkan institusi yang sudah ada, sebagai wadah mengakomodasikan upaya perubahan yang diinginkan. Pilihan ini, pertama-tama akan sangat dipengaruhi oleh sikap dan cara pandang si fasilitator sendiri terhadap organisasi masyarakat yang dianggap “baik�; hasil investigasi dan analisis mengenai peta pelaku dan institusi yang ada di komunitas tersebut; dan terutama pandangan masyarakat sendiri mengenai institusi yang telah ada di komunitasnya (apakah bentukan mereka sendiri, bentukan pemerintah, institusi adat, organisasi program/proyek, dll.); dan pandangan masyarakat tentang peluang untuk membentuk dan mengembangkan institusi yang baru. Para organisator dan fasilitator pengembangan masyarakat, tidak sedikit yang memandang bahwa sebuah organisasi masyarakat yang paling baik adalah organisasi atau institusi yang memang lahir dari kebutuhan dan kesadaran masyarakat sendiri, dikelola dan dikembangkan dengan menggunakan terutama sumber daya yang ada di masyarakat tersebut, mengembangkan nilai-nilai demokrasi, kebersamaan, kritis, terbuka, transparan, keadilan sosial, dan sebagainya. Cara pandang ini kerapkali juga diikuti dengan sikap apatis, ragu bahkan anti dengan sebagian atau semua institusi di masyarakat yang ada sekarang karena sifatnya yang semu, lebih merupakan akibat tekanan atau paksaan dari pemerintah untuk kepentingan penyeragaman dan pengendalian terhadap masyarakat itu sendiri. Satu hal yang pada rezim Orde Baru khususnya, sangat gencar dan massif dilakukan. Yang tergolong terakhir ini dapat kita sebut macam satuan pemerintahan desa, KUD, PKK, Posyandu, Karang Taruna, Hansip, RT/RW, dan lainnya. Ujungnya adalah, dalam konteks pengorganisasian masyarakat, dipandang (bahkan diyakini?) jauh lebih baik untuk membuat institusi masyarakat yang sama sekali baru, yang dapat lebih menjamin terlaksananya prinsip dan nilai-nilai seperti di atas tadi. Apakah harus selalu demikian? Tentu saja tidak. Pilihan tersebut terutama sangat dipengaruhi oleh penilaian, keinginan dan kesiapan masyarakat sendiri. Fasilitator dapat mengajak masyarakat untuk bersama-sama menilai kondisi dan kinerja lembaga-lembaga yang ada dan membandingkannya dengan nila-nilai yang menjadi acuan tadi. Bila lembaga yang ada dinilai tidak sejalan dengan nilai-nilai yang diinginkan, sangat mungkin untuk mulai memikirkan peluang membangun institusi yang baru. Tetapi bila dinilai ada peluang untuk melakukan intervensi atau mempengaruhi lembaga yang ada untuk dapat merubah dirinya, sangat mungkin untuk coba merevitalisasi lembaga-lembaga tersebut. Menentukan sikap dan pilihan dalam hal ini, memang perlu terlebih dahulu melakukan pemetaan terhadap institusi atau lembaga yang selama ini ada di komunitas.


Kegiatan 3 Tujuan

Melakukan Pertemuan Warga 

Peserta memahami berbagai aspek yang perlu diperhatikan dalam melakukan pertemuan atau rembug warga. Peserta mampu mempraktikkan pertemuan atau rembug warga.

Metode

  

Ceramah Diskusi Kelompok Presentasi

Alat dan Bahan

  

Tansparansi matrik identifikasi partisipatif Spidol Kertas Plano

Bahan Bacaan

Rembug Warga

Waktu

120 menit

Proses Fasilitasi

1. Berikan pengantar bahwa pada berbagai tahap pekerjaannya Fasilitator akan banyak melakukan pertemuan bersama warga. Kemukakan contoh berbagai jenis pertemuan, baik pertemuan untuk berbagi dan mempelajari informasi, untuk berembug dan merencanakan pekerjaan, konsolidasi, evaluasi, dst. Ungkapkan tujuan dari sessi ini (10 menit). 2. Minta peserta untuk membaca Bahan Bacaan: Rembug Warga selama 10 menit dan minta peserta untuk memberikan tanda khusus pada konsep penting berkaitan dengan FGD yang baik dan tidak. 3. Setelah membaca bahan bacaan, tanya peserta tentang apa yang didapatnya dari bahan bacaan dan pimpin diskusi selama 20 menit. 4. Bagi peserta dalam kelompok-kelompok beranggota 5-7 orang dalam dua kategori. Perintahkan kelompok kategori pertama untuk mendiskusikan pemetaan wilayah obyek investigasi dengan menunjuk seorang ketua dengan wewenang penuh. Perintahkan kelompok kedua mendiskusikan topik yang sama dengan menunjuk seorang koordinator yang tidak lebih berwenang dibandingkan lainnya (30 menit).


5. Persilakan kelompok-kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi. Kelompok-kelompok kategori pertama lebih dulu baru kelompok-kelompok kategori kedua. Beri pertanyaan: “bagaimana tingkat partisipasi peserta dalam proses pengambilan keputusan?� (20 menit). 6. Tampilkan matrik partisipatif dan tidak partisipatif di depan kelas, dan fasilitasi peserta untuk mengisi matrik dengan mengidentifikasi proses dalam diskusi yang masuk kategori partisipatif dan tidak partisipatif (20 menit). 7. Simpulkan hasil diskusi dengan menyampaikan konsekuensi-konsekuensi proses yang partisipatif dan tidak partisipatif dalam upaya pengembangan komunitas (10 menit). Konsep Kunci

ď ś Pertemuan warga bukan melulu tanggung jawab Fasilitator Komunitas, melainkan terutama merupakan tanggungjawab warga. Amat baik bila warga terlibat dalam persiapan pertemuan. ď ś Disamping membutuhkan penyiapan teknis, rembug warga dan keterampilan memfasilitasi pertemuan. Namun di atas semua itu, tanggung jawab Fasilitator Komunitas adalah membangun kesetaraaan partisipasi. ď ś Hal yang biasanya diabaikan dalam pertemuan warga adalah membuat rencana dan berbagai pengaturan agar rencana tindak lanjut dapat dilaksanakan dengan baik.


Bahan Bacaan: Rembuk Warga Dalam berinteraksi dengan komunitas, fasilitator akan banyak terlibat dalam pertemuan-pertemuan warga, dari awal pelaksanaan program di tahap investigasi komunitas dan sosialisasi program dan hasil investigasi, perencanaan dan persiapan, hingga pelaksanaan program. Pertemuan-pertemuan warga ini selain bisa untuk mendapatkan data dan informasi secara cepat dari warga juga, terutama, untuk mengkondisikan dan mengembangkan partisipasi dan keterlibatan warga dalam program community development. Seorang fasilitator harus tahu dan mampu memimpin dan memfasilitasi pertemuan warga. Pertemuan yang Efektif Rapat atau pertemuan sering kita rasakan sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Ada pertemuan bulanan organisasi, rapat evaluasi, rapat tindakan, dan sebagainya. Pertemuan memakan banyak waktu, sebab hal ini merupakan sarana atau wahana kita membuat keputusan, merencanakan tindakan, dan selama mengerjakan pekerjaan. Tapi harus diingat bahwa begitu banyak orang tidak suka pada pertemuan. Apalagi warga sebuah komunitas yang tidak biasa terlibat dalam pembuatan keputusan.Banyak warga yang punya kenangan terlibat dalam pertemuan yang tidak berguna, tidak menghasilkan keputusan, dan menghabiskan banyak waktu. Terkadang karena yang aktif interupsi sehingga membelokkan agenda, begitu banyak pendapat tanpa ujung pangkal, menghabiskan banyak waktu, dan warga pulang dengan kecewa. Mengelola dan mengadakan pertemuan warga merupakan faktor penentu partisipasi dan keterlibatan warga. Semua bagian pertemuan sama pentingnya: dari perencanaan, logistik pertemuan, maupun seting ruang dan prinsip-prinsip pertemuan. Semua faktor tersebut berpengaruh pada tingkat partisipasi dan keterlibatan warga. Semua tahap perlu diperhatikan dan dilakukan secara serius sebab pengaturan pertemuan yang baik punya arti strategis untuk membangun keterlibatan warga dalam program secara keseluruhan. Melalui pertemuan, warga dapat (atau tidak) mengerjakan sesuatu, menyelesaikan masalah, meningkatkan keterlibatan dan keamanan, serta menciptakan solidaritas warga. Mewujudkan Pertemuan Efektif Memimpin pertemuan bukan sekedar menggerakkan warga melalui agenda. Ketika memimpin pertemuan, fasilitator bertanggungjawab terhadap kesehatan kelompok warga dan warga yang terlibat. Hal ini menuntut sejumlah perhatian terhadap dinamika kelompok dan proses-proses isu lainnya. Semua yang menyentuh perasaan adalah penting. *Catatan: Menyelenggarakan pertemuan merupakan keterampilan, bukan bakat dari lahir. Hanya dengan pelatihan dan praktek keterampilan, fasilitator akan dapat meningkatkan kemampuan dan menjadi lebih percaya diri.


Pertemuan Yang Baik Ada empat fase yang harus diperhatikan oleh seorang fasilitator untuk bisa melaksanakan pertemuan yang baik, yaitu:    

Merencanakan Pertemuan Mempersiapkan Pertemuan Memimpin/Memfasilitasi Pertemuan Menindaklanjuti Pertemuan

Fase I: Merencanakan Pertemuan Perencanaan pertemuan diharapkan bisa menghindari terjadinya pertemuan yang membosankan; bertele-tele, menghabiskan waktu warga, tanpa arah, dan pertemuan hanya demi pertemuan (tidak produktif). Dalam merencanakan pertemuan ini fasilitataor harus memperhatikan beberapa langkah kritis sebagai berikut: 1. Pastikan Tujuan Pertemuan Tujuan dan agenda yang jelas akan membantu fasilitator mencapai tujuan. 2. Kerjakan PR Jika memerlukan informasi atau melakukan kajian pertemuan, sebaiknya dilakukan fasilitator sebelum pertemuan dimulai. Jika warga tahu fasilitator tidak punya informasi penting yang sangat dibutuhkan pertemuan, warga akan kehilangan gairah, setidaknya akan banyak waktu terbuang. 3. Putuskan Peserta Pertemuan Tidak semua warga bisa ikut pertemuan. Maka alangkah baiknya, sebelum undangan disebarkan, fasilitator memilah-milah mana warga yang kurang berminat. Sebab, jika pada awalnya sudah tidak peduli pada agenda pertemuan, kemungkinan besar tidak akan kembali. 4. Libatkan Warga dalam Perencanaan Ini cara strategis untuk mengembangkan pemimpin-pemimpin baru dan mendapatkan orang lain untuk banyak peduli dalam pekerjaan warga. Ajak tiga atau warga yang tertarik untuk menyusun agenda. 5. Batasi Waktu Tiap Agenda Buat daftar waktu tiap agenda. Jika orang lain mengutarakan beberapa agenda, catat juga, dan kirimkan hasilnya. Paling lambat satu minggu setelah pertemuan, warga harus tahu apa yang harus dikerjakan. Agenda ini bisa menjadi sarana bagi fasilitator untuk bekerja sama dengan warga, makan harus dicatat kemudian disosialisasikan pada semua orang. Bukan malah dirahasiakan. Fase II: Penyiapan Pertemuan 1. Mulai dan akhiri pertemuan tepat waktu


Sangat tidak baik menyia-nyiakan waktu warga. Jika terpaksa terlambat karena warga yang datang hanya tiga orang, setidaknya mintalah maaf. Tapi lebih baik mulai saja meski yang datang tiga orang, dengan harapan warga menjadi terbiasa tepat waktu. Fasilitator akan tahu warga yang datang tepat waktu atau tidak datang sama sekali. Tapi, jika tetap saja warga datang terlambat, atau tidak datang sama sekali, fasilitator perlu melakukan evaluasi dan memikirkan kemungkinan untuk merubah waktu atau pola pertemuan, atau merubah keduanya. 2. Catat Kehadiran Peserta Akan lebih baik untuk membuat daftar absen warga daripada mengumumkan siapa saja yang datang. Selain itu, absensi juga berguna untuk memperbarui daftar aktivis warga. 3. Persiapkan Ruang Ruang pertemuan harus nyaman, memusat dan terfokus, sesuai dengan jumlah peserta –tidak berdesak-desakan dan tidak terlalu longgar. Fasilitator dengan melibatkan beberapa aktivis warga menyiapkan tempat dan mengatur setting ruang berbentuk lingkaran, tidak seperti jajaran bangku kuliah atau seminar. 4. Cairkan Suasana Pertemuan Pertemuan formal, bagi banyak warga sangat membelenggu, dan membuatnya punya banyak hambatan untuk menyampaikan pikirannya. Untuk itu, fasilitator harus menyediakan waktu sebelum dan sesudah pertemuan untuk ngobrol dan bersosialisasi dengan warga. Perlu diketahui bahwa ada alasan besar warga untuk bergabung di awal pertemuan, di mana fasilitator dapat merekrut sukarelawan. Harus diperhatikan bahwa “pertemuan seusai pertemuan� merupakan tempat bagi warga untuk bergantung pada kelompok dan memberikan ide-ide terbaik mereka ke pertemuan berikutnya. 5. Buat Jadwal Pertemuan Rutin Jika punya jadwal pertemuan rutin, warga akan menyiapkan diri untuk tepat waktu (misalnya minggu pertama tiap bulan). Tapi, harus senantiasa dilakukan dengan persiapan tujuan dan agenda yang jelas. Atau tidak perlu ada pertemuan. Fase III: Pelaksanaan Pertemuan Memimpin pertemuan adalah menjalankan banyak tugas pada diri satu orang. Beberapa tugas yang harus dijalankan oleh seorang pemimpin atau fasilitator pertemuan, antara lain: 1. Membuat perkenalan Selain memperkenalkan diri, fasilitator warga harus saling memperkenalkan diri (jika warga belum saling mengenal). Demikian juga jika ada narasumber atau pembicara khusus. Selain itu pemimpin pertemuan juga


bertanggungjawab untuk menciptakan suasana menyenangkan bagi warga, dengan menyampaikan ilustrasi-ilustrasi atau lelucon. 2. Minta Persetujuan Agenda kepada Warga Bagaimanapun pertemuan adalah hajat warga. Maka warga harus tahu dan menyetujui agenda pembicaraan. Selain itu warga perlu mengusulkan agenda. Fasilitator dapat meminta tanggapan warga terhadap agenda sebelum pertemuan dimulai. 3. Menjaga Alur Diskusi Jika seseorang menyimpang terlalu jauh dari agenda atau bicara terlalu panjang, fasilitator harus bisa mengembalikan pembicaraan ke agenda. Tapi harus hati-hati, karena orang akan menghormati pertemuan dan pertemuan akan berjalan dengan baik dan mengingat semua dengan jelas jika telah diijinkan menuntaskan pendapatnya. 4. Memperhatikan Waktu Ingat tentang memulai dan mengakhiri pertemuan tepat waktu. Hormati batas waktu agenda. Jika warga ingin waktu ekstra untuk membahas sebuah isu, mintalah persetujuan peserta. “dilanjutkan beberapa menit lagi untuk masalah ini, atau kita lanjutkan ke agenda berikutnya?�. 5. Membuat Ringkasan Catat poin-poin agenda dengan meringkas kesimpulan dan sampaikan hasilnya kepada warga. Jika tidak ada yang keberatan, atau semua setuju, lanjutkan ke agenda lain. 6. Mengkondisikan Partisipasi Warga Setiap ada warga mengajukan pendapat, berikan penghormatan dan apresiasi anda dan libatkan warga lain untuk ikut memberikan tanggapan. Tidak cukup hanya diberikan tanggapan biasa. 7. Menggunakan Kekuasaan Secara Bijak Perhatikan apa yang anda katakan dan berapa banyak anda menggunakannya. Jangan berpaling pada seseorang dan lebih memperhatikan lainnya. Bersikaplah adil pada semua warga yang hadir. 8. Mengembangkan Kepemimpinan Baru Untuk jangka panjang, sangat baik jika fasilitator menggilir kepemimpinan rapat. Biarkan warga belajar dari cara fasilitataor memimpin dan memfasilitasi pertemuan, kemudian menjalankannya. Dengan menggilir kepemimpinan dalam pertemuan warga, diharapkan bisa meningkatkan partisipasi dan keterlibatan warga.

** Beberapa tips dalam mengelola pertemuan warga:


 

Buat pertemuan menyenangkan dengan humor-humor dan jangan defensif Gunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka dalam upaya menggali pengetahuan dan pendapat warga, bukan sekedar pertanyaan yang bisa dijawab cukup dengan “ya” dan “tidak”. Perhatikan situasi pertemuan dan kendalikan ritme emosi pertemuan, kapan harus cepat (dalam menghasilkan kesimpulan atau keputusan) dan kapan harus perlahan.

Fase IV: Tindak Lanjut Pertemuan Pertemuan selesai tidak lantas berarti pekerjaan beres. Keputusan-keputusan yang dihasilkan harus ditindaklanjuti. Untuk itu fasilitator harus memperhatikan beberapa hal: 1. Kumpulkan feedback Fasilitator harus mendapatkan umpan balik atau tanggapan dari warga tentang pendapat dan perasaannya terhadap pertemuan, dan apa yang bisa dikembangkan. Hal ini tidak perlu dilakukan pada setiap pertemuan, tapi paling tidak dalam satu kali pertemuan. Ini juga salah satu cara untuk makin meningkatkan keterlibatan warga. Dengan mengajukan usul penyelenggaraan pertemuan lebih baik, diharapkan warga pun lebih bertanggung jawab dalam pertemuan-pertemuan berikutnya. Pastikan warga mendapatkan tugas yang jelas, serta menyiapkan waktu pertemuan berikutnya. Penting bagi fasilitataor untuk memaksimalkan waktu “pertemuan setelah pertemuan”. 2. Buat Undangan Tindak Lanjut Sebagai pengelola pertemuan, fasilitator bisa membuat surat undangan sesuai yang disepakati warga. Aktivitas pasca pertemuan ini sering menjadi perekat warga. 3. Ringkas Hasil Pertemuan Di akhir pertemuan sampaikan catatan tentang keputusan dan tindak lanjutnya, dan umumkan poin-poin informasi dan sebagainya yang penting untuk dilaporkan. Baik keputusan maupun bukan. Membuat catatan proses pertemuan memang sangat membosankan, demikian pula membacanya. Tapi hal ini bisa dilakukan oleh seorang sekretaris yang disiapkan, atau:  

pilih sukarelawan untuk mencatat proses pertemuan. bacakan proses seperti cerita, tulis poin-poin keputusan dengan huruf tebal atau huruf besar.


MODUL 4.3. MEMBANGUN SISTEM INFORMASI DESA Kegiatan Tujuan

Sistem Informasi Desa

Peserta mengetahui dan memahami tentang Sistem Informasi Desa. Peserta dapat membuat suatu Sistem Informasi Desa.

Metode

  

Paparan Diskusi kelompok Presentasi

Alat dan Bahan

   

White board Kertas plano Spidol Selotip kertas

Bahan Bacaan

Waktu

Proses Fasilitasi

100 menit

1. Fasilitator kelas menyiapkan judul, tujuan, dan waktu yang diperlukan untuk melaksanakan materi ini (5 menit). 2. Fasilitator/narasumber menjelaskan tentang Sistem Informasi Desa (10 menit). 3. Fasilitator meminta klarifikasi dari peserta mengenai materi yang disampaikan (10 menit). 4. Fasilitator membuka sesi diskusi dan tanya jawab untuk peserta mengenai materi (45 menit). 5. Kaji ulang proses dan hasil dari sessi ini (10 menit).


MODUL 4.4. PENGUATAN KELOMPOK MARJINAL DALAM MENDORONG DEMOKRATISASI Kegiatan

Tujuan

Mewujudkan Peran dan Keterwakilan Kelompok Marjinal dalam Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif Di Desa    

Peserta mengetahui dan memahami kondisi nyata dan kondisi ideal tentang Peran dan Keterwakilan Kelompok Marjinal dalam proses perencanaan dan penganggaran partisipatif di desa. Peserta dapat mendiskusikan bersama mengenai Peran dan Keterwakilan Kelompok Marjinal dalam proses perencanaan dan penganggaran partisipatif di desa. Peserta dapat menumbuhkan motivasi dan perhatian terhadap Peran dan Keterwakilan Perempuan dalam proses perencanaan dan penganggaran partisipatif di desa. Partisipan mampu Mewujudkan dan Meningkatkan Peran dan Keterwakilan Kelompok Marjinal dalam proses perencanaan dan penganggaran partisipatif di desa.

Metode

  

Paparan Diskusi kelompok Presentasi

Alat dan Bahan

   

White board Kertas plano Spidol Selotip kertas

Bahan Bacaan

SOMPIS (Solidaritas Masyarakat Pinggiran Surakarta)

Waktu

100 menit

Proses Fasilitasi

1. Fasilitator kelas menjelaskan judul, tujuan, dan waktu yang diperlukan untuk melaksanakan materi ini (5 menit). 2. Fasilitator/narasumber menjelaskan tentang PENTINGNYA Mewujudkan Peran dan Keterwakilan Kelompok Marjinal Dalam Proses Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif Di Desa (10 menit). 3. Fasilitator meminta klarifikasi dari peserta mengenai materi yang disampaikan (10 menit). Misalnya dengan beberapa pertanyaan penggerak seperti: • Apakah pernah melihat peran dan keterlibatan kelompok marjinal dalam musyawarah di tingkat desa? • Seberapa jauh peran dan keterlibatan kelompok marjinal tersebut? • Mengapa kelompok marjinal tidak banyak yang aktif di dalam Forum Warga ataupun ketika musyawarah desa? 4. Fasilitator membagi partisipan dalam 5 kelompok (5 menit).


5. Fasilitator meminta partisipan untuk mendiskusikan tentang PENTINGNYA Mewujudkan Peran dan Keterwakilan Kelompok Marjinal Dalam Proses Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif di desa (15 menit). Beberapa hal yang bisa didiskusikan diantaranya: • Mengapa peran dan keterwakilan kelompok marjinal sangat penting dalam proses perencanaan dan penganggaran partisipatif di desa? • Apa saja peluang dan tantangan bagi kelompok marjinal untuk berpartisipasi? • Upaya apa yang harus dilakukan agar peran, partisipasi, serta keterwakilan kelompok marjinal ini dapat terwujud dalam proses perencanaan dan penganggaran partisipatif di desa? 6. Fasilitator mempersilakan masing-masing kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya (45 menit). 7. Kaji ulang proses dan hasil dari sessi ini (10 menit).

Bahan Bacaan

SOMPIS :

Solidaritas Masyarakat Pinggiran Surakarta

Mengawal Akses Pelayanan Pendidikan dan Kesehatan Di Kota Solo Tentang Solidaritas Masyarakat Pinggiran Surakarta (SOMPIS) Solidaritas Masyarakat Pinggiran Surakarta (SOMPIS) merupakan organisasi masyarakat marjinal di kota Solo yang terdiri dari berbagai komunitas sektoral yang termarjinalkan oleh kebijakan Pemkot Solo. SOMPIS bisa dikatakan merupakan pelopor organisasi marjinal yang pertama kali berdiri di Solo, karena pada waktu itu belum ada organisasi masyarakat marjinal yang berjejaring dengan sekian komunitas yang bergabung. Pada dasarnya pembentukan organisasi Solidaritas Masyarakat Pinggiran Surakarta (SOMPIS) dilatarbelakangi oleh kesadaran bersama untuk menyatukan wadah masyarakat pinggiran seSurakarta dalam rangka memperjuangkan dan meningkatkan hak-hak maupun kapasitas mereka dalam kehidupan berwarga negara. Kesadaran ini muncul ketika Konsorsium Monitoring dan Pemberdayaan Institusi Publik (KOMPIP) Solo mencoba mengadakan beberapa putaran focus group discussion dan memfasilitasi mereka untuk merumuskan berbagai permasalahan serta memformat strategi advokasi dan perjuangan kaum pinggiran di era desentralisasi dan otonomi daerah, yang makin memberi


kesempatan lebih terbuka bagi partisipasi politik publik di daerah untuk mengartikulasikan kepentingannya. Dari kesepakatan yang telah dicapai antar elemen dan kelompok masyarakat pinggiran yang terlibat secara intern dalam proses diskusi tersebut, akhirnya disepakati untuk menyelenggarakan suatu kongres warga pinggiran Surakarta. Kongres ini dimaksudkan sebagai upaya untuk lebih memantapkan SOMPIS ke depan disamping juga untuk mengajak elemen-elemen masyarakat pinggiran lainnya untuk dapat bergabung dalam SOMPIS. Organisasi ini tidak kemudian lahir begitu saja, tanpa adanya proses. Karena jalan yang dilalui seiring dengan dinamika yang ada, membutuhkan waktu yang tidak singkat. Adapun beberapa tahapan yang dilakukan antara lain: (1) dengan pengorganisiran basis, (2) lokakarya pemerintah Kota Surakarta dengan komunitas tentang pendidikan dan kesehatan, (3) pertemuan-pertemuan basis komunitas, (4) pertemuan rutin, dan (5) advokasi. Dengan pengorganisiran basis ini berdampak pada tumbuhnya pengertian pentingnya berorganisasi, tumbuhnya rasa solidaritas, dan pemaknaan tentang agenda bersama dalam menjawab kebutuhan komunitas. Inilah yang mengawali terbentuknya paguyuban-paguyuban berbasis komunitas marjinal di Kota Surakarta. Kongres Masyarakat Pinggiran Surakarta ini dilaksanakan pada tanggal 25-26 Juni 2001, di Wisma YIS, Surakarta yang difasilitasi oleh KOMPIP Solo, yang diikuti oleh 56 peserta yang mewakili 21 organisasi sektoral yang ada di Surakarta, diantaranya adalah HPBT (Himpunan Pengemudi Becak Tirtonadi), PPBS (Paguyuban Pengemudi Becak Surakarta), KOMPI (Komite Pengamen Indonesia), KOMPPAG (Kelompok Paguyuban Pedagang Pasar Gede), SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia), PKL (Pedagang Kaki Lima) ”Panca Manunggal” Banjarsari, P3S (Paguyuban Penata Parkir Surakarta), SPI (Serikat Pengamen Indonesia), KSB (Koalisi Serikat Buruh) Surakarta, Diffabel, masyarakat nirlahan (pemukiman kumuh), asongan, pemulung, masyarakat korban limbah, masyarakat penyandang cacat, dan beberapa elemen lain. Dalam kongres tersebut, disepakati bahwa format organisasi bersifat jaringan kerja dan berbentuk presidium. Selain itu dalam kongres tersebut juga dipilih koordinator presidium SOMPIS. Pada akhir kongres, dinyatakan deklarasi SOMPIS sebagai wadah bagi organisasi sektoral Surakarta yang berbasis masyarakat pinggiran, ”bahwa perjuangan masyarakat pinggiran tidak akan tercapai apabila hanya dilakukan dengan model sendiri-sendiri dan terpotongpotong, namun harus dilakukan dengan bersama-sama, dalam solidaritas antara sesama warga pinggiran, serta meningkatkan soliditas setiap elemen masyarakat pinggiran.” Bentuk organisasi SOMPIS adalah Organisasi Jejaring atau Presidium dengan visi yaitu ”terwujudnya hak-hak masyarakat khususnya kelompok pinggiran menuju masyarakat yang adil dan makmur yang berkeadilan, partisipatoris dan demokratis, dan dijabarkan dalam misinya melakukan pemberdayaan hak-hak kaum pinggiran, secara ekpolsosbudhuk. Sifat organisasi


SOMPIS adalah Aliansi Solidaritas organisasi/kelompok pinggiran yang bersifat permanen dan terbuka, dengan asas organisasi yang berasas solidaritas, berkeadilan, dan demokrasi serta independen. SOMPIS memiliki tujuan untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat pinggiran Surakarta dan kebebasan berusaha menuju terciptanya good urban governance. Saat ini SOMPIS mempunyai anggota tujuh komunitas yaitu Komunitas Pedagang Kaki Lima (PKL), becak, pengamen, PSK, PRT, asongan, dan difabel dengan data terakhir anggotanya mencapai 2.617 orang. Banyak permasalahan yang dialami oleh kelompok miskin kota ini, antara lain lemahnya SDM, akses informasi tentang arah kebijakan pemerintah kota dan persoalan ekonomi seharihari.

BELAJAR BERSAMA SOMPIS SOMPIS adalah organisasi yang dibentuk berdasar pada keprihatinan

terhadap persoalan-persoalan sosial yang dihadapi oleh kelompok-kelompok pinggiran yang berada di Kota Surakarta. Pinggiran berarti mereka yang selama ini selalu dipinggirkan oleh kebijakan pemerintah, ataupun kalangan masyarakat rentan yang lain (marginalized group). Kelompok pinggiran Kota Surakarta ini didominasi oleh mereka yang termasuk kalangan sektor informal yang di dalam kacamata pandang pemerintah adalah kelompok-kelompok ilegal seperti : pedagang kaki lima, pedagang asongan, pengamen, pengemudi becak, PSK, atau juga PRT. Dalam kenyataannya mereka ini bekerja tidak untuk bisa kaya, melainkan sekedar menyambung hidup, memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tetapi mereka ini tetap Warga Negara Indonesia yang harus difasilitasi keberadaannya untuk berhak hidup dan berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya (pasal 28 a UUD 1945) jo Pasal 28 C �setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negara�. Sungguh sangat ironis apabila eksistensi pemerintah atau negara yang paling bertanggungjawab justru mengabaikan dan meminggirkan mereka dalam kebijakan-kebijakan publik yang dirumuskan. Dengan berdasar pada realitas kehidupan yang dihadapi sehari-hari dan dasar-dasar perundang-undangan yang ada, maka masyarakat Pinggiran Kota Surakarta merasa perlu bangkit dan bergerak bersama-sama. Mengakses Layanan Dasar, Pendidikan, dan Kesehatan Mulai kurun waktu tahun 2006 ini organisasi ini diarahkan pada beberapa agenda kebutuhan bersama yang menyangkut layanan dasar, yaitu pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Dari tahapan pengorganisiran yang telah dilakukan dibutuhkan kesepahaman gerak bersama untuk memperjuangkan akses pelayanan dasar ini. Oleh karena itu yang selanjutnya dilakukan adalah membuat Diskusi Kelompok Terfokus dari 7 komunitas tersebut yang berdampak pada kesadaran bersama untuk mendapatkan akses dari pemerintah kota ataupun alokasi APBD terhadap


pelayanan pendidikan dan kesehatan bagi kelompok marjinal. Dari forum ini tergali kebutuhan-kebutuhan bersama, kendala-kendala di masing-masing komunitas dan juga harapan-harapan pemecahan karena permasalahan mereka selama ini dalam hal ekonomi sehingga mereka kerap kali tidak mampu memenuhi kebutuhan pendidikan ataupun kesehatan. Tahapan berikutnya adalah mempertemukan Pemerintah Kota dengan komunitas untuk mendapatkan informasi mengenai kebijakan pemerintah dalam hal pendidikan dan kesehatan bagi kelompok miskin di Kota Surakarta. Dari lokakarya ini basis komunitas mengetahui alokasi anggaran pada APBD yang disediakan pemerintah kota seperti dianggarkannya alokasi beasiswa berprestasi dan tidak mampu dengan anggaran Rp. 3.650.600.000,- dan kemudahan akses pendidikan gratis bagi keluarga prasejahtera, dan bagaimana cara mengaksesnya, serta adanya kebijakan baru bukan hanya yang berprestasi saja tapi yang tidak mampu akan didata pada sekolah masing-masing dan mendapatkan beasiswa juga. Pada bidang kesehatan juga dialokasikan anggaran pelayanan kesehatan tahun 2006 sebesar Rp.11.314.743.000,- yang dialokasikan untuk peningkatan pelayanan kesehatan, mutu pelayanan, perbaikan gizi, dan peningkatan operasional unit pelayanan kesehatan. Menindaklanjuti program jaminan pemeliharaan kesehatan bagi keluarga miskin (JPKM) yang diambilkan dari APBD 2006 sebesar Rp.258.876.000 dan dari PT. Askes berupa pembayaran kapitalisasi perjiwa sebesar Rp.1000,-/bulan. Selanjutnya SOMPIS juga mengadakan lokakarya yang menghadirkan DPRD Komisi VI, akademisi dan 7 komunitas. Dari lokakarya ini terbangun kesadaran dan kesepakatan bersama untuk mengawal kebijakan bagi masyarakat miskin dalam hal pendidikan dan kesehatan, sehingga tercapai format strategi gerakan bersama. Karena melihat kendala-kendala di lapangan seperti terbatasnya jumlah anggaran, belum jelasnya kriteria miskin, dan lebih parah lagi kadang terjadi tidak sinkronnya antara pengambil kebijakan publik dengan pihak pelaksana ataupun dinas terkait. Untuk menjaga solidaritas dan semangat perjuangan bersama, komunitas dan paguyuban di SOMPIS selalu mengagendakan pertemuan rutin pengurus dan anggota. Salah satunya dalam memperbincangkan isu kota, program kerja, atau aktivitas yang lain seperti koperasi simpan pinjam, arisan, ataupun tabungan kelompok sebagai upaya recovery economy biarpun yang dilakukan masih kecil dan sederhana, sehingga terbangun jalinan emosional antara masing-masing komunitas dan soliditas basis komunitas. Dari tahapan kegiatan yang cukup penting bagi organisasi yaitu advokasi maupun pendampingan komunitas, karena kegiatan usaha mereka kebanyakan di sektor informal dan kerapkali berbenturan dengan kebijakan, sehingga diperlukan keterampilan advokasi untuk menyelesaikan permasalahanpermasalahan di basis komunitas yang berkaitan dengan kegiatan usahanya, ataupun bisa juga dengan mengawal komunitas dalam merebut akses beasiswa pendidikan ataupun pelayanan kesehatan.


Dalam gerakan bersama komunitas berjejaring dengan berbagai stakeholder ataupun jaringan untuk membantu kepentingan kelompok marjinal seperti dengan DPRD untuk ikut mengawal dan membantu kesulitan-kesulitan dalam mengakses layanan pendidikan, ataupun kesehatan dengan jalan audiensi ataupun jaringan personal. Media dalam hal ini bisa dengan media lokal baik elektronik untuk menekan kebijakan yang tidak pro rakyat miskin ataupun juga sebagai media propaganda. Seperti membuat release, tulisan gagasan, jadi narasumber talkshow di radio ataupun televisi lokal, dan selalu terbuka berjejaring dengan elemen masyarakat yang lain juga. Memanfaatkan jaringan ini menjadi sangat penting untuk memperkuat advokasi yang dilakukan. Terutama jaringan dengan para pengambil kebijakan baik di tingkat DPRD dan masing-masing komisi, juga dengan dinas yang terkait dengan layanan pendidikan dan kesehatan.

Sekelumit Cerita Keberhasilan Advokasi Layanan Kesehatan dan Pendidikan Bagi Anggota Komunitas Akses Pendidikan Di wilayah pendidikan banyak yang telah dicapai SOMPIS dalam mengakses pendidikan bagi kelompok miskin, antara lain: 1. Pak Danu (Paguyuban Becak PPBS) • Masalah : tidak mampu membayar biaya sekolah di salah satu SMK swasta di Kota Solo. • Strategi advokasi : dengan mempertemukan Pak Danu dengan pihak sekolah dan Dispora. • Hasil : Anak Pak Danu mendapatkan beasiswa pendidikan. 2. Paguyuban Sekar Asih • Masalah : 9 anak dari komunitas PSK tidak bisa melanjutkan sekolah ke Kejar Paket B. • Strategi advokasi : dengan melobi ke Dispora, Dewan, dan Kelurahan serta pihak sekolah. • Hasil : tanggal 5 Mei 2006, kesembilan anak PSK tersebut mendapatkan beasiswa persiswa masing-masing Rp.150.000,- sehingga total Rp.1.350.000,3. Paguyuban Sekar Asih • Masalah : 2 orang anak PSK tidak mampu masuk SMP.


• •

Strategi advokasi : dengan melobi ke Dispora, Dewan, dan Kelurahan serta pihak sekolah. Hasil : 2 orang anak PSK tersebut mendapatkan beasiswa pendidikan masing-masing sebesar Rp.950.000.

4. Paguyuban Sekar Asih • Masalah : 3 orang anak PRT tidak bisa mengikuti tes kenaikan kelas ke kelas II karena tidak bisa membayar SPP (3 bulan-1 tahun). • Strategi advokasi : dengan meminta bantuan salahsatu anggota Dewan Komisi IV. • Hasil : 3 anak tersebut bisa mengikuti ujian dan disusul 40 siswa lainnya. Akses Pelayanan Kesehatan 1. Paguyuban Sekar Asih • Masalah : 10 anggota paguyuban belum punya Askeskin. • Strategi advokasi : melobi Kelurahan, Kantor Askes, dan DKK. • Hasil : 4 anggota paguyuban mendapatkan Askeskin.

2. Paguyuban Sekar Asih • Masalah : Andi mengalami kecelakaan, namun tidak memiliki biaya untuk mengoperasi kakinya yang patah. • Strategi advokasi : melobi DKK, Dewan, dan RS Dr. Soeharso. • Hasil : Andi mendapatkan biaya operasi gratis yang seharusnya habis Rp.11.737.000,3. Paguyuban Sekar Asih • Masalah : Ibu Soeroto dari Komunitas PSK mengalami kebutaan dan harus dioperasi. • Strategi advokasi : melobi DKK, Dewan, dan RS Dr. Moewardi. • Hasil : mendapat pengobatan gratis untuk sakit matanya namun tidak jadi operasi karena syaraf matanya sudah banyak yang putus. 4. Pak Aris Ketua Paguyuban PKL RAS • Masalah : Anak Pak Aris diopname di RS karena demam berdarah. • Strategi advokasi : melobi Kelurahan, Kantor Askes, dan DKK. • Hasil : Pak Aris mendapat ganti biaya pengobatan anaknya 100%. 5. Pak Gatot Komunitas Pengamen PESTA • Masalah : Istri Pak Gatot melahirkan. • Strategi advokasi : melobi walikota, Kelurahan, dan DKK. • Hasil : Istri Pak Gatot mendapatkan pelayanan perawatan gratis.


6. Pak Sriyanto Ketua Paguyuban PKL Gotong Royong Veteran. • Masalah : Istrinya mengalami keguguran. • Strategi advokasi : melobi walikota, DKK, dan Kelurahan. • Hasil : Pak Sriyanto mendapatkan biaya pengganti operasi. 7. Pak Sumadi Ketua Paguyuban PKL Jl. Adi Sucipto • Masalah : istrinya melahirkan dan harus diberi suntikan pemercepat kelahiran di kelas II dengan alasan RS kelas II penuh. • Strategi advokasi : melobi RS dan Kelurahan. • Hasil : Pak Sumadi mendapatkan keringanan membayar Rp.1.000.000,dari jumlah yang seharusnya dibayar yaitu Rp.1.600.000,8. Paguyuban Sekar Asih • Masalah : Wahyu, anak Bu Darti dari komunitas PSK sakit tulang. • Strategi advokasi : melobi RS Dr. Soeharso, DKK, dan Dewan. • Hasil : Wahyu mendapatkan pelayanan gratis untuk terapi selama 2 x seminggu selama satu tahun.

Faktor Kelemahan

Kelemahan yang ditemukan pada advokasi ini adalah bahwa advokasi masih bersifat individu anggota komunitas yang mempunyai masalah baik di bidang kesehatan maupun pendidikan, belum dapat secara menyeluruh semua anggota organisasi. Oleh karenanya maka SOMPIS mengambil inisiatif untuk menyerahkan data yang membutuhkan akses pendidikan dan kesehatan tersebut ke walikota dan dewan. Akan tetapi pemkot punya kebijakan untuk mendata kelompok siswa tidak mampu di sekolah-sekolah.

Tantangan Ke Depan

Masih banyak tantangan yang harus dihadapi dalam akses layanan pendidikan dan kesehatan ini, diantaranya adalah: 1. Banyaknya harapan dari para anggota komunitas untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi. 2. Perbedaan persepsi mengenai kriteria miskin di BPS (Badan Pusat Statistik), DKK (Dinas Kesehatan Kota), dan Dispora (Dinas Pendidikan dan Olahraga) serta DKRPPKB (Dinas Kesejahteraan Rakyat dan Pemberdayaan Perempuan serta Keluarga Berencana). Perbedaan persepsi ini akhirnya menjadikan program kebijakan terhadap masyarakat miskin tidak merata. 3. Proyeksi pembentukan Pos Kesehatan SOMPIS. Mengingat layanan dasar kesehatan ini menjadi kebutuhan yang sangat penting, maka akan dibentuk pos kesehatan SOMPIS yang nantinya dapat memberikan layanan kesehatan murah bahkan gratis kepada masyarakat miskin.


PERENCANAAN, PENGANGGARAN, DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DESA UNTUK KEPENTINGAN KELOMPOK MARJINAL

A. PENGERTIAN DASAR PERENCANAAN, PENGANGGARAN, DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DESA Pengertian yang dipakai oleh suatu pihak, akan menentukan pendekatan, praktik, dan kesimpulan yang diperolehnya kelak. Ada berbagai pengertian tentang perencanaan, penganggaran, dan pengelolaan keuangan desa. Sebagai contoh, mengenai perencanaan. Pengertian yang paling populer dalam khasanah ilmu perencanaan adalah pengertian yang berasal dari ilmu ekonomi, yaitu: ”perencanaan adalah suatu upaya menentukan langkah yang perlu atau tidak boleh diambil pada saat ini, untuk memperbaiki masa depan, dengan menggunakan sumberdaya seefesien mungkin.” Nuansa ekonomi dalam pengertian ini sangat kental. Yaitu bahwa efisensi dan efektivitas adalah unsur mutlak dalam perencanaan. Namun demikian, tentu saja ada pengertian lain yang dapat menjadi dasar kita untuk membuat langkah pendampingan dan pelestariannya ke dalam regulasi daerah tentang desa. ”Perencanaan adalah suatu pengambilan keputusan bersama tentang tindakan yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah saat ini dan mencapai tujuan masa depan yang lebih baik, dengan memanfaatkan potensi dan sumberdaya yang ada”. Keputusan bersama, artinya urusan yang dibahas dalam proses perencanaan adalah urusan yang merupakan kepentingan dari banyak pihak di desa. Bisa berupa hajat hidup orang desa atau setidaknya sangat berpengaruh pada hajat hidup orang desa. Tindakan yang harus dilakukan, artinya adalah suatu tindakan yang diyakini -berdasarkan suatu analisis tertentu- merupakan suatu solusi atau akan mendapatkan manfaat bagi seluruh masyarakat desa, tidak terkecuali. Tindakan tersebut di atas, dapat bermanfaat langsung dalam arti menyelesaikan masalah yang dihadapi saat ini. Atau dapat pula bermanfaat tidak langsung melainkan dalam bentuk perbaikan kondisi masa depan. Baik kegiatan yang bersifat mengatasi masalah maupun mencapai tujuan masa depan, keduanya harus dilakukan dengan menggunakan potensi dan sumberdaya yang ada. Selanjutnya, kegiatan yang dimaksud dinamakan sebagai kegiatan pembangunan desa. Setelah membuat perencanaan yang baik, maka tahap berikutnya adalah melakukan penganggaran. ”Penganggaran adalah suatu pengambilan keputusan bersama tentang perkiraan sumberdaya yang dapat diperoleh desa dalam satu tahun anggaran serta alokasinya untuk membiayai kegiatan pembangunan desa”.


Oleh karena itu, penganggaran meliputi proses perkiraan pendapatan desa dalam satu tahun, serta pengalokasiannya untuk membiayai kegiatan pembangunan yang telah dirumuskan dalam proses perencanaan bersama. Bagaimana dengan pengelolaan keuangan desa? Pengelolaan keuangan desa lebih fokus pada aspek teknis dari penganggaran dan perbendaharaan kekayaan desa. Yaitu meliputi: inventarisasi asset desa, sumberdaya keuangan desa, perhitungan pembelanjaannya, dan pertanggungjawaban penggunaan sumberdaya desa.

B. URGENSI ADANYA PERENCANAAN, PENGANGGARAN, DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DESA Urgensi perencanaan desa: Tanpa perencanaan, desa akan terjebak pada: 1. selalu mengutamakan pemenuhan kebutuhan saat ini tanpa memperhitungkan arah jangka menengah dan panjang (masa depan). 2. kurang menghargai potensi desa, berharap pada pembangunan dari pemerintah (top-down) Urgensi penganggaran desa: Tanpa penganggaran, desa akan terjebak pada: 1. tidak akan memiliki kemandirian fiskal 2. tidak akan tahu hak dan kewajiban fiskalnya 3. tidak akan punya orientasi peningkatan pendapatan dengan cara usaha Urgensi pengelolaan keuangan desa: Tanpa pengelolaan keuangan, desa akan terjebak pada: 1. tidak akan tahu kemampuan sesungguhnya dari sisi keuangan 2. tidak akan ada mekanisme pertanggungjawaban publik

C. POSISI DESA DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN SAAT INI Ada dua posisi: 1. posisi sebagai bagian dari pemerintah kabupaten a. sebagai bagian dari kabupaten, maka desa akan memberikan usulan perencanaan kepada kabupaten. Misalnya melalui musrenbang. b. Desa juga akan mendapatkan hak alokasi dana perimbangan desa c. desa akan menjadi objek pengawasan dari kabupaten dalam hal perencanaan, penganggaran, dan pengelolaan keuangan 2. posisi sebagai otonom


a. desa akan memiliki kewenangan sendiri dalam mengurus pembangunan desa b. desa akan memiliki sumber pendapatan sendiri selain bagi hasil/perimbangan c. desa akan memiliki pengelolaan keuangan sendiri

D. RPJM DESA Adalah dokumen rencana selama 6 tahun yad. Menjadi arah pembangunan desa. Sinergi antar pihak yang membangun desa. Rumusan masalah Daftar potensi desa Rumusan isu pembangunan desa, hasil analisis masalah dan potensi Visi Misi Agenda pembangunan dan indikator Program Kegiatan Indikasi pembiayaan

E. RKP DESA Adalah dokumen tahunan desa. Update tahunan dari rpjmdes. Lebih berisi tentang upaya memenuhi kebutuhan. Turunan kegiatan yang diperlukan guna mencapai misi dan visi. Agenda pembangunan prioritas tahun ini Masalah yang harus diatasi Program Kegiatan Pagu anggaran

F. APB DESA Pendapatan Belanja Penerimaan pembiayaan Pengeluaran pembiayaan


MODUL 5.1. MENYUSUN RPJMDes (RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DESA) Tujuan

  

Peserta dapat mengetahui dan memahami tentang RPJMDes (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa). Peserta dapat mendiskusikan bersama mengenai RPJMDes (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa). Peserta dapat menyusun RPJMDes (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa).

Metode

  

Paparan Diskusi Presentasi

Alat dan Bahan

   

White board Kertas plano Spidol Selotip kertas

Bahan Bacaan

  

Kutipan Sebagian Pasal Dari Perda No.8 Tahun 2005 Perencanaan Desa Menurut Perda No.8 Tahun 2005 Contoh RPJMDes

Waktu

100 menit

Proses Fasilitasi 1. Fasilitator kelas menyiapkan judul, tujuan, dan waktu yang

diperlukan untuk melaksanakan materi ini (5 menit). 2. Fasilitator/narasumber menjelaskan tentang RPJMDes (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa). (45 menit). 3. Fasilitator meminta klarifikasi dari peserta mengenai materi yang disampaikan dan mengajak peserta untuk berdiskusi. (30 menit) 4. Kaji ulang proses dan hasil dari sessi ini (10 menit).


Bahan Bacaan

Kutipan Sebagian Pasal Dari Perda Kabupaten Bandung No.8 Tahun 2005 Bagian Ketiga Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Pasal 19 Kepala Desa menyiapkan rancangan awal RPJM Desa sebagai penjbaran dari visi, misi, dan program Kepala Desa yang penyusunannya berpedoman pada RPJM Daerah ke dalam strategi pembangunan Desa, kebijakan umum program prioritas Kepala Desa dana rah kebijakan keuangan Desa. Pasal 20 (1) Rancangan RPJM Desa menjadi bahan bagi Musrenbang Jangka Menengah Desa; (2) Musrenbang Jangka Menengah Desa diselenggarakan dalam rangka menyusun RPJM Desa diikuti oleh unsur-unsur penyelenggara pemerintahan desa dan unsur-unsur masyarkarakat; (3) Unsur masyarakat yang terlibat dalam Musrenbang Jangka Menengah Desa yaitu: a. Lembaga Pengembangan Masyarakat Desa (LPMD); b. Organisasi masyarakat; c. PKK atau organisasi perempuan; d. Ketua RW; e. Tokoh masyarakat desa; f.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Desa;

g. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) Desa. (4) Kepala Desa menyelenggarakan Musrenbang Jangka Menengah Desa; (5) Keputusan Musrenbang Jangka Menengah Desa ditandatangani oleh unsur pemerintah desa dan perwakilan dari unsur masyarakat yang dipilih dalam Musrenbang Jangka Menengah Desa.


Pasal 21 Musrenbang jangka Menengah Desa sebagaimana dimaksud dalam pasal 20, dilaksanakan paling lambat 2 (dua) bulan setelah Kepala Desa dilantik. Pasal 22 Kepala Desa menyusun rancangan akhir RPJM Desa berdasarkan hasil Musrenbang Jangka Menengah Desa. Pasal 23 RPJM Desa ditetapkan dengan Peraturan Desa. Bagian Kelima Rencana pembangunan Tahunan Desa Pasal 31 Kepala Desa menyiapkan rancangan awal RKP Desa tahun yang akan datang sebagai penjabaran dari RPJM Desa. Pasal 32 Kepala Desa mengkoordinasikan penyusunan rancangan RKP Desa tahun yang akan datang. Pasal 33 (1) Musrenbang dalam rangka penyusunan RKP Desa yang akan datang diikuti oleh unsur-unsur penyelenggara pemerintan desa dan unsur masyarakat sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat 3. (2) Kepala Desa menyelenggarakan Musrenbang penyusunan RKP Desa yang akan datang. Pasal 34 (1) Musrenbang penyusunan RKP Desa sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 dilaksanakan paling lambat bulan Januari tahun berjalan; (2) Musrenbang Desa dalam rangka penyusunan RKP Desa menghasilkan : a. kesepakatan tentang program; b. kesepakatan tentang kegiatan; c. kesepakatan tentang alokasi biaya untuk kegiatan; dan d. kesepakatan tentang delegasi masyarakat desa yang akan terlibat dalam Musrenbang Kecamatan.


Pasal 35 Keputusan Musrenbangdes mengenai RKP Desa sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 ditandatangani oleh Kepala Desa, Ketua BPD dan perwakilan dari unsur masyarakat yang dipilih dalam Musrenbangdes. Pasal 36 Kepala Desa menyusun rancangan akhir RKP Desa berdasarkan hasil Musrenbangdes sebagaimana dimaksud dalam pasal 35. Pasal 37 RKP Desa sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 menjadi pedoman penyusunan RAPB Desa. Pasal 38 RKP Desa ditetapkan dengan Peraturan Kepala Desa. Pasal 39 Bagian yang berisi usulan kegiatan di luar kewenangan Desa dalam RKP Desa diajukan kepada pemerintah Kabupaten melalui Musrenbang Kecamatan.


Bahan Bacaan

Perencanaan Desa Menurut Perda

Kabupaten Bandung No.8 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Daerah

Oleh : Diding Sakri

Mengapa Desa Dibahas Secara Khusus? Dalam perencanaan pembangunan daerah, khususnya Kabupaten Bandung, Desa adalah ujung tombak,. Bayangkan Kabupaten Bandung, terdiri dari sekitar 432 Desa dan hanya 8 Kelurahan saja. Ketika proses perencanaan pembangunan daerah diselenggarakan dengan pendekatan partisipatif dan bermula di desa, maka semestinya kebutuhan pembangunan beserta intervensinya dapat terumuskan dengan tepat. Dengan demikian, masalah pembangunan satu per satu dapat teratasi. Dengan membahasnya secara khusus, diharapkan Masyarakat Desa dapat melihat nilai strategis dari penyelenggaraan Musrenbang. Oleh karena itu, mereka termotivasi untuk menyelenggarakannya secara optimal. Perencanaan Desa Dalam Perda 8/2005 ada tiga kegiatan perencanaan yang diselenggarakan di desa. Pertama, penyelenggaraan Musrenbang Desa (Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa) dalam rangka menyusun RPJMDes. Kedua, Musrenbangdes dalam rangka menyusun RKPDes. Ketiga, Musrenbangdes dalam rangka menentukan usulan desa yang akan dimuat dalam RKPDes. Dari sisi waktu penyelenggaraan, kegiatan yang pertama harus berdiri sendiri dan hanya diselenggarakan sekali dalam enam tahun. Sedangkan untuk kegiatan kedua dan ketiga, pemerintah dan masyarakat desa sepakat menggabungkan waktu penyelenggaraannya yaitu di awal tahun atau sekitar bulan Januari setiap tahunnya. Perencanaan Desa untuk Menyusun RPJMDes Secara substansi, menurut Pasal 5 ayat 1, didefinisikan bahwa RPJM Desa merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Kepala Desa yang penyusunannya memperhatikan RPJM Daerah, memuat arah kebijakan keuangan desa, strategi pembangunan desa, kebijakan umum, dan program Satuan Kerja Perangkat Desa. Kemudian berdasarkan ketentuan dalam Pasal 21, Musrenbang


dalam rangka menyusun RPJMDes, dilaksanakan paling lambat 2 bulan setelah Kepala Desa dilantik. Apa manfaat substansial atau apa urgensi dari adanya RPJMDes bagi Desa di Kabupaten Bandung? Setidaknya ada dua urgensi atas hal ini. Pertama, di Kabupaten Bandung, sejak tahun 2000 desa mendapatkan dana pembangunan yang dikelola secara mandiri oleh desa sebesar Rp.50.000.000,-/desa/tahun. Dengan adanya dana tersebut, semestinya desa memiliki suatu kebijakan keuangan agar pembelanjaannya efektif dan efisien. Bahkan, pada awal tahun 2006, Bupati yang terpilih pada Pilkada akhir tahun 2005, bersama DPRD telah mengesahkan suatu Perda tentang Alokasi Dana Perimbangan Desa (ADPD). Salah satu konsep dalam Perda ini, menghendaki adanya kemampuan desa untuk mengelola dana perimbangan yang besarannya telah ditentukan dalam suatu formula fiskal, sehingga tidak flat untuk setiap desa. Kedua, menurut penelitian yang dilakukan oleh Perkumpulan Inisiatif, tentang Pusat Sumberdaya Komunitas, teridentifikasi, bahwa sesungguhnya Desa-Desa di Kabupaten Bandung memiliki potensi sumberdaya lokal yang belum dioptimalkan. RPJMDes diharapkan dapat memuat arah kebijakan dan strategi desa untuk mengoptimalkan potensi tersebut. Secara proses, RPJMDes disusun dengan urutan proses sebagaimana di bawah ini. Tabel Tahapan dan Proses Penyusunan RPJM Desa (Perda No. 8/2005) No.

Tahapan/K egiatan

1.

Kepala Desa menyiapkan rancangan RPJM Desa

RPJM Daerah

Murenbang Jangka Menengah Desa (paling lambat 2 bulan setelah Kepala Desa dilantik)

Dokumen Rancangan RPJMDes

2.

Input

Visi, Misi, dan Program Kepala Desa

Masukan dari masyarakat (usulan perubahan dan penyepakatan)

Proses

Output

Kegiatan ini dilakukan oleh Staf/Tim Kerja yang ditunjuk Kepala Desa

Dokumen Rancangan RPJMDes

Kegiatan ini diselenggarakan oleh Kepala Desa dengan tujuan untuk mendapatkan tanggapan dan masukan dari peserta. Unsur masyarakat terdiri dari:

Perubahan Dokumen Rancangan RPJMDes berdasarkan tanggapan dan masukan dari peserta Musrenbang. Kesepakatan publik mengenai

1.Lembaga Pengembangan Masyarakat Desa


(LPMD)

RPJMDes

2.Organisasi Masyarakat

Kesepakatan tentang Rancangan RPJMDes ditandatangani oleh unsur Pemerintahan Desa dan perwakilan dari unsur masyarakat desa.

3.PKK atau organisasi perempuan 4.Ketua RW 5.Tokoh Masyarakat desa 6.Majelis Ulama Indonesia (MUI) Desa 7.Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Desa 3.

Penyusunan Rancangan Akhir RPJMDes

Dokumen Rancangan RPJMDes hasil musrenbang

Kegiatan ini dilakukan oleh Kepala Desa

Dokumen Rancangan Akhir RPJMDes

4.

Penyusunan Rancangan Akhir RPJMDes

Dokumen Rancangan RPJMDes hasil sosialisasi publik

Kegiatan ini dilakukan oleh Kepala Desa dan BPD

Perdes RPJMDes dan lampirannya berupa dokumen RPJMDes

Rancangan Perdes tentang RPJMDes


MODUL 5.2. PANDUAN PROSES PENYUSUNAN RENCANA KEGIATAN PEMBANGUNAN DESA (RKPDes)

Tahapan Kegiatan Penyusunan RKPDes Rangkaian aktivitas penyusunan RKPDes di tingkat desa adalah sebagai berikut: Tahap 1. Menggali Permasalahan di Tiap RW Tujuan:  Melakukan identifikasi permasalahan desa ditingkat RW  Melakukan identifikasi potensi dan asset desa yang ada ditiap RW Output: • Daftar permasalahan desa ditiap RW • Daftar potensi dan asset desa ditiap RW Pelaku: Tenaga Pendamping Masyarakat (TPM) dikoordinir oleh Ketua-Ketua RW Waktu Pelaksanaan: ± 30 hari Langkah-Langkah: 1. Para Ketua RW membentuk TPM dan menjelaskan tugas dan ruang lingkup kerja mereka. 2. Para ketua RW mengundang secara informal beberapa orang tokoh masyarakat yang dianggap memiliki pemahaman yang cukup baik terhadap RW-nya (5-10 orang). TPM mulai menyelenggarakan diskusi informal untuk menggali permasalahan desa yang ada di RW tersebut (permasalahan desa dengan kategori lintas RW). 3. Tahapan fasilitasi diskusi pertemuan RW: a) TPM mengawali diskusi dengan memperkenalkan diri masingmasing. b) TPM mulai menjelaskan tentang tujuan acara diskusi di tingkat RW tersebut dan agenda selanjutnya yang akan dilakukan di tingkat desa. c) TPM mulai memandu diskusi penggalian permasalahan desa di tingkat RW dengan menampilkan pertanyaan pengarah kepada peserta diskusi yang telah dibuat di dalam kertas plano, yaitu:


“M asalah-m asalah apa saja yang dihadapi RW ini yang terkait dengan perbaikan kualitas ...(m isalnya: pendidikan, kesehatan, perekonom ian)?â€? d) TPM meminta peserta diskusi untuk menjawab pertanyaan tersebut dan menuliskannya pada format isian yang telah disiapkan sebelumnya dalam kertas plano agar peserta diskusi juga dapat melihat jawaban-jawaban yang telah diajukan. Format Isian Permasalahan RW: ‌ Sektor: ‌ Karena Faktor Alam

Karena Faktor Perilaku

Karena Faktor Kebijakan Pemerintah

INGAT!! jawaban yang diusulkan oleh peserta harus memiliki kategori LINTAS RW. e) Setelah semua peserta diskusi selesai memberikan jawabannya, TPM meminta peserta diskusi untuk memilih 4 (empat) atau 5 (lima) masalah yang dianggap paling penting di RW tersebut dan menyepakati permasalahan tersebut sebagai masalah yang paling penting untuk segera diselesaikan di RW tersebut. f) Setelah semua peserta diskusi selesai memberikan jawabannya, lakukan review terhadap jawaban-jawaban peserta tersebut dengan menanyakan kepada peserta apakah jawaban-jawaban tersebut benar-benar menjawab pertanyaan pengarah yang ada di dalam lembar tampilan. g) Setelah penggalian permasalahan desa ditingkat RW selesai dilakukan, ajak peserta untuk mengisi format isian potensi desa yang ada di RW tersebut. Format isian Potensi Desa: Jenis Aset & Potensi No Alam

Lokasi (RW)

Kondisi


h) Dengan selesainya pengisian format potensi desa tersebut, maka selesai pula acara diskusi ditingkat RW. Ucapkan terima kasih kepada peserta diskusi dan ajak mereka untuk terlibat dalam mengawal proses yang akan dilakukan selanjutnya ditingkat desa.

… … … … … ...SELAM AT !!!!! Tahap 2. Lokakarya Desa Pertama: Analisis Desa dan Menyusun Draft RKPD Tujuan: • Melakukan analisis permasalahan dan potensi desa • Menyusun draft RKPD • Membentuk Tim Survey Kampung Sendiri (SKS) dari perwakilan masyarakat desa yang terpilih dalam lokakarya Output: • Draft dokumen RKPD • Tim SKS Peserta Lokakarya: Perangkat desa, BPD, LKMD, PKK, Posyandu, Kelompok Perempuan, Karang Taruna, Ketua-Ketua RW, organisasi-organisasi masyarakat lainnya ditingkat desa dan tokoh-tokoh masyarakat di desa tersebut. Waktu pelaksanaan: 1 hari Peralatan dan Bahan Materi yang Dibutuhkan: • Peralatan  Spidol besar dengan 4 warna berbeda  Kertas plano 50 lembar  Kartu metaplan 200 lembar • Lembar Tampilan  Hasil tabulasi permasalahan ditiap RW  Format Analisis SWOT Langkah-Langkah: a) Pra-Lokakarya; • Persiapan Materi a) Sebelum acara lokakarya dilaksanakan, TPM telah membuat tabulasi kompilasi permasalahan di tiap RW. b) Sebelum acara lokakarya dilakukan, TPM telah menyiapkan kertas metaplan dengan menuliskan permasalahan-permasalahan yang ada ditiap RW ke dalam kartu metaplan dengan aturan bahwa satu kartu metaplan ditulis untuk satu permasalahan di masing-masing RW.


c) Sebelum acara lokakarya dilakukan, TPM menyiapkan lembar tampilan kosong yang dibuat diatas kertas plano yang berisi tentang format isian untuk analisis SWOT. i. ii.

•

Persiapan Teknis TPM melakukan penyebaran undangan bersama-sama dengan pemerintah desa. TPM bersama-sama pemerintah desa mempersiapkan tempat dan peralatan yang dibutuhkan.

b) Lokakarya; 1. Melakukan kompilasi permasalahan RW menjadi permasalahan desa: memilih isu-isu yang mewakili masalah desa.

Pertama;

a) Fasilitator menampilkan hasil kompilasi permasalahan tiap RW yang telah didapat melalui proses FGD dan wawancara ditiaptiap RW. Tampilan tabulasi kompilasi permasalahan di tingkat RW: RW 01 RW 02 RW 03 RW 04 RW ‌

b) Fasilitator kemudian melakukan klarifikasi terhadap tampilan kompilasi permasalahan di masing-masing RW tersebut kepada peserta lokakarya. c) Fasilitator meminta kesepakatan dari peserta diskusi terhadap tampilan kompilasi permasalahan di masing-masing RW.

Kedua;

a) Fasilitator menampilkan kartu-kartu metaplan yang sudah diisi dituliskan permasalahan RW didalamnya kepada peserta dan menempelkannya diatas papan tulis. b) Fasilitator memandu peserta lokakarya untuk membuat kategori permasalahan berdasarkan kelompok-kelompok isu. Pengelompokan isu tersebut didasarkan pada kesamaan permasalahan dari masing-masing RW. Media yang digunakan oleh fasilitator untuk memandu diskusi pengelompokkan isu ini adalah dengan menggunakan kartu metaplan yang sebelumnya telah dituliskan permasalahan-permasalahan RW ditiap-tiap kartu dengan satu permasalahan RW ditulis dalam satu kartu

metaplan.

c) Setelah semua kartu metaplan tersebut terkumpul kedalam kelompok-kelompok masalah/isu berdasarkan kemiripannya, fasilitator mengajak peserta untuk melihat kembali kelompokkelompok kartu tersebut dan melakukan koreksi apabila masih ada beberapa hal yang dianggap peserta masih ada yang perlu


di-regrouping kembali. d) Setelah kelompok-kelompok kartu tersebut disepakati, faislitator meminta peserta untuk memberikan judul pada masing-masing kelompok kartu tersebut. e) Setelah judul-judul tersebut disepakati, maka utarakan kepada peserta bahwa judul-judul tersebut adalah isu-isu yang mewakili permasalahan desa saat ini berdasarkan hasil masukan dari peserta sendiri. Ini disebut isu desa. 2. Membuat pohon masalah desa a) Tujuan dari membuat pohon masalah adalah untuk menemukan hubungan antar isu desa. b) Pohon masalah terdiri dari 3 kelompok besar yang berhubungan yaitu: (1) penyebab; (2) fenomena yang nampak; dan (3) dampak. Hal ini seperti tergambar dalam kerangka berikut ini: Kerangka analisis pohon masalah: Dampak Fenomena Penyebab c) Kelompokan isu-isu yang mewakili masalah desa ke dalam 3 kelompok besar sebagaimana dalam kerangka di atas. d) Diskusikan apakah hubungan logis antar tiap kelompok terlihat e) Sepakati hubungan logis tersebut sebagai pohon masalah tingkat desa. 3. Merumuskan problem statement desa a) Berdasarkan pohon masalah yang ada, susunlah pernyataan masalah (problem statement desa). b) Pernyataan masalah desa adalah suatu kesimpulan tentang fenomena masalah yang dihadapi desa, penyebabnya, dan dampak yang ditimbulkan. 4. Menyusun analisis SWOT desa Kekuatan

Kelemahan

Peluang

Ancaman


5. 6. 7. 8. 9.

a) Analisis SWOT diperlukan untuk menentukan kegiatan yang akan dilakukan guna mengatasi masalah desa. b) Caranya adalah dengan mengisi tabel di atas. Membuat pohon tujuan desa Merumuskan kriteria untuk menyusun prioritas kegiatan Merumuskan usulan prioritas kegiatan desa Menjelaskan tugas dan fungsi anggota Tim SKS Memilih anggota Tim SKS, upayakan tiap RW diwakili 1 orang anggota tim (contoh dari PKK)

Tahap 3. Survey Kampung Sendiri (SKS) Tujuan: • Melakukan klarifikasi program, indikasi kegiatan dan indikasi prioritas program serta kelayakan kegiatan Output: • Usulan prioritas kegiatan desa • Usulan sumber pembiayaan kegiatan desa Langkah-Langkah: 1. Pelatihan Tim SKS 2. Survey Kampung Sendiri Dilakukan untuk mengklarifikasi program, indikasi kegiatan dan indikasi prioritas program dan kelayakan kegiatan. 3. Rembug Tim SKS • Dilakukan untuk membahas hasil survey • Membuat usulan indikasi prioritas kegiatan • Menyusun pewaktuan selama lima tahun, terutama pada tahun pertama • Mengajukan usulan sumber pendanaan untuk kegiatan prioritas dengan mencari atau menghubungkan dengan sumber-sumber lain (contoh: P2KP, P2D, dll) Tahap 4. Lokakarya Desa Kedua: Penyepakatan RKPD Tujuan: • Menyepakati dan menetapkan dokumen RKPD Output: • Dokumen final RKPD


Peserta Lokakarya: Perangkat desa, BPD, LKMD, PKK, Posyandu, Kelompok Perempuan, Karang Taruna, Ketua-Ketua RW, organisasi-organisasi masyarakat lainnya ditingkat desa dan tokoh-tokoh masyarakat di desa tersebut. Waktu pelaksanaan: 1 hari Peralatan dan Bahan Materi yang Dibutuhkan: • Peralatan  Spidol besar dengan 4 warna berbeda  Kertas plano 50 lembar  Kartu metaplan 200 lembar • Lembar Tampilan Langkah-Langkah: • Tim SKS mempresentasikan hasil kerja dan draft prioritas desa • Tanggapan dari peserta lokakarya • Penetapan RKPD Tahap 5. MPKT/Musrenbang Desa Pertama Tujuan: • Menentukan ancar-ancar alokasi pembiayaan pembangunan desa • Melakukan review hasil RPJMDes untuk kegiatan tahun pertama (optional) • Melakukan penyepakatan kegiatan tahun pertama desa • Membuat action plan/rencana tindak desa untuk kegiatan tahun pertama Output: • Ancar-ancar alokasi pembiayaan pembangunan desa • Daftar kegiatan tahun pertama desa • Rencana tindak desa untuk kegiatan tahun pertama Peserta: Perangkat desa, BPD, LKMD, PKK, Posyandu, Kelompok Perempuan, Karang Taruna, Ketua-Ketua RW, organisasi-organisasi masyarakat lainnya ditingkat desa dan tokoh-tokoh masyarakat di desa tersebut. Langkah-Langkah: 1. Penentuan ancar-ancar alokasi pembiayaan pembangunan desa 2. Review hasil RPJM, kegiatan tahun ke-1 (optional) 3. Penyepakatan kegiatan tahun ke-1 4. Pembuatan action plan tahun ke-1 5. Penyusunan DED (Detail Engineering Design) untuk kegiatan yang


pembiayaannya berasal dari swadaya dan bantuan desa. Tahap 6. Pembuatan Detail Engineering Design (DED) Kegiatan Tahun Pertama Tujuan: • Menyusun DED untuk kegiatan-kegiatan desa yang pembiayaannya berasal dari swadaya dan bantuan desa. Output: • DED untuk kegiatan-kegiatan desa yang pembiayaannya berasal dari swadaya dan bantuan desa. Pelaku: Tim Ahli DED bersama-sama dengan Tenaga Pendamping Masyarakat dan perwakilan masyarakat


Alur Penyusunan Rencana Kegiatan Pembangunan Desa (RKPD) Lokakarya Sosialisasi Tingkat Desa: 1. Jadwal Kegiatan Per-RW 2. Sosialisasi Tujuan dan Alur RKPD

Lokakarya Perencanaan Desa 1 1. Penyusunan Draft Rencana Kegiatan Pembangunan Desa (RKPD) 2. Pembentukan Tim Survey Kampung Sendiri (SKS)

Survey Kampung Sendiri

Lokakarya Desa 2 1. Penyempurnaan RKPD 2. Penyusunan Rencana Detail Tiap Kegiatan


MODUL 5.3. MENYUSUN APBDES (ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DESA) YANG PARTISIPATIF Kegiatan Tujuan

Memahami Struktur APBDes 

Peserta mengetahui dan memahami secara benar sumbersumber pedapatan desa, pos-pos pendapatan, dan belanja dalam APBDes. Peserta dapat mendiskusikan bersama mengenai pos-pos pendapatan dan belanja dalam APBDes.

Metode

  

Paparan Diskusi kelompok Presentasi

Alat dan Bahan

    

White board Kertas plano Spidol Selotip kertas Kertas Metaplan

Bahan Bacaan

 

Kutipan Sebagian Pasal pada PP 72 Tahun 2005 Tentang Desa Struktur APBDes

Waktu

100 menit

Proses Fasilitasi 1. Fasilitator kelas menjelaskan judul, tujuan, dan waktu yang diperlukan untuk melaksanakan materi ini (5 menit). 2. Fasilitator/narasumber menjelaskan satu per satu sumbersumber pendapatan asli desa dan belanja desa (10 menit). 3. Fasilitator meminta klarifikasi dari peserta mengenai materi yang disampaikan (10 menit). Dengan beberapa pertanyaan penggerak berikut ini: • Apa yang anda ketahui tentang APBDes? • Ceritakan pengalaman anda ketika terlibat dalam proses penyusunan APBDes! 4. Fasilitator membagi partisipan dalam 3 kelompok dan membagikan contoh APBDes kepada peserta (5 menit). 5. Fasilitator meminta partisipan untuk mendiskusikan tentang : • Apa komentar anda terhadap contoh APBDes ini? • Apakah struktur dan komponen-komponen yang terdapat dalam contoh ini mencerminkan APBDes partisipatif? Mengapa?


Komponen-komponen pendapatan dan belanja apa saja yang seharusnya ada dalam APBDes partisipatif • Mengidentifikasi kegiatan-kegiatan dan hubungan antar pihak di atas di tingkat desa. • Menggambarkan (membuat diagram) hubungan antar pihak di tingkat desa. • Menganalisa pola hubungan antar pihak di tingkat desa (15 menit) 6. Fasilitator mempersilakan masing-masing kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya (45 menit). 7. Kaji ulang proses dan hasil dari sessi ini (10 menit). •

Bahan Bacaan

Kutipan Sebagian Pasal pada PP 72 Tahun 2005 Tentang Desa BAB VII KEUANGAN DESA Bagian Pertama Umum Pasal 67 (1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan desa yang menjadi kewenangan desa didanai dari anggaran pendapatan dan belanja desa, bantuan pemerintah dan bantuan pemerintah daerah. (2) Penyelenggaraan urusan pemerintah daerah yang diselenggarakan oleh pemerintah desa didanai dari anggaran pendapatan dan belanja daerah. (3) Penyelenggaraan urusan pemerintah yang diselenggarakan oleh pemerintah desa didanai dari anggaran pendapatan dan belanja negara. Bagian Kedua Sumber Pendapatan Pasal 68 (1) Sumber pendapatan desa terdiri atas : a. pendapatan asli desa, terdiri dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah;


b. bagi hasil pajak daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) untuk desa dan dari retribusi Kabupaten/Kota sebagian diperuntukkan bagi desa; c. bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk Desa paling sedikit 10% (sepuluh per seratus), yang pembagiannya untuk setiap Desa secara proporsional yang merupakan alokasi dana desa; d. bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan; e. hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat. (2) Bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf d disalurkan melalui kas desa. (3) Sumber pendapatan desa yang telah dimiliki dan dikelola oleh desa tidak dibenarkan diambil alih oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Pasal 69 Kekayaan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf a terdiri atas : a. tanah kas desa; b. pasar desa; c. pasar hewan; d. tambatan perahu; e. bangunan desa; f. pelelangan ikan yang dikelola oleh desa; dan g. lain-lain kekayaan milik desa. Pasal 70 (1) Sumber pendapatan daerah yang berada di desa baik pajak maupun retribusi yang sudah dipungut oleh Provinsi atau Kabupaten/Kota tidak dibenarkan adanya pungutan tambahan oleh Pemerintah Desa. (2) Pungutan retribusi dan pajak lainnya yang telah dipungut oleh Desa tidak dibenarkan dipungut atau diambil alih oleh Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota.


(3) Bagian desa dari perolehan bagian pajak dan retribusi daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dan pengalokasiannyaditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota. Pasal 71 (1) Pemberian hibah dan sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf e tidak mengurangi kewajiban-kewajiban pihak penyumbang kepada desa. (2) Sumbangan yang berbentuk barang, baik barang bergerak maupun barang tidak bergerak dicatat sebagai barang inventaris kekayaan milik desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Sumbangan yang berbentuk uang dicantumkan di dalam APB Desa. Pasal 72 (1) Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber pendapatan desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. (2) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat : a. sumber pendapatan; b. jenis pendapatan; c. rincian bagi hasil pajak dan retribusi daerah; d. bagian dana perimbangan; e. persentase dana alokasi desa; f. hibah; g. sumbangan; h. kekayaan. Bagian Ketiga Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa Pasal 73


(1) APB Desa terdiri atas bagian pendapatan Desa, belanja Desa dan pembiayaan. (2) Rancangan APB pembangunan desa.

Desa

dibahas

dalam

musyawarah

perencanaan

(3) Kepala Desa bersama BPD menetapkan APB Desa setiap tahun dengan Peraturan Desa. Pasal 74 Pedoman penyusunan APB Desa, perubahan APB Desa, perhitungan APB Desa, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APB Desa ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota. Bagian Keempat Pengelolaan Pasal 75 (1) Kepala Desa adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa. (2) Dalam melaksanakan kekuasaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala Desa dapat melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaannya yang berupa perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan kepada perangkat desa. Pasal 76 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan keuangan desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) diatur dengan peraturan desa. Pasal 77 Pedoman pengelolaan keuangan desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati/Walikota.


MODUL 5.4. MONITORING DAN EVALUASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DESA (MONEV APBDes) Kegiatan 1 Tujuan

Pengantar Monitoring dan Evaluasi (Monev)APBDes   

Peserta mengetahui dan memahami konsep monitoring dan evaluasi (monev) dalam APBDes. Peserta mengetahui dan memahami prinsip-prinsip pelaksanaan monitoring dan evaluasi (monev) dalam APBDes. Peserta dapat mendiskusikan bersama mengenai pelaksanaan monitoring dan evaluasi (monev) dalam APBDes.

Sub Topik

 

Prinsip umum monev (pengertian dan tujuan) Penerapan prinsip umum monev dalam pelaksanaan APBDes.

Metode

  

Paparan Diskusi kelompok Presentasi

Alat dan Bahan

    

White board Kertas plano Spidol Selotip kertas Kertas Metaplan

Bahan Bacaan

   

Pengertian dan Tujuan Monev Matriks Perbandingan Monev Konvensional Partisipatif Beberapa Cara Monev Partisipatif Panduan Melakukan DKT dalam Monev

100 menit

Waktu

dan

Monev

Proses Fasilitasi 1. Fasilitator kelas menjelaskan judul, tujuan, dan waktu yang

diperlukan untuk melaksanakan materi ini (5 menit). 2. Fasilitator/narasumber mengundang peserta untuk mencurahkan pendapat mereka tentang monitoring dan evaluasi. Pertanyaan kunci yang bisa digunakan diantaranya: • Menurut anda, apakah yang dimaksud dengan monitoring dan evaluasi? Apa perbedaan keduanya? • Apakah tujuan monitoring dan evaluasi? • Menurut anda apa pentingnya melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan APBDes? Tanggapan dan jawaban peserta dicatat oleh fasilitator ke


dalam kertas metaplan, ditempelkan dalam kertas plano, dan disusun secara topikal. (10 menit) 3. Fasilitator membagi partisipan dalam 3 kelompok dan meminta partisipan untuk mendiskusikan tentang : • Aspek-aspek apa saja dalam APBDes yang harus dimonitor dan dievaluasi? • Siapa saja pihak-pihak yang dapat melakukan monitoring dan evaluasi APBDes? • Hambatan apa saja yang mungkin muncul dalam proses monitoring dan evaluasi dan tindakan apa saja yang bisa dilakukan untuk mengatasi hambatan tersebut? (15 menit) 1. Fasilitator mempersilakan masing-masing kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya (45 menit). 2. Kaji ulang proses dan hasil dari sessi ini (10 menit). Konsep Kunci

Pengertian Monitoring dan Evaluasi (Monev) Monitoring Adalah kegiatan mengumpulkan informasi tentang perkembangan sebuah kegiatan atau pelaksanaan sebuah kebijakan. Monitoring biasanya dilaksanakan secara berkala selama proses berlangsungnya suatu kegiatan atau proyek. Evaluasi Adalah kegiatan menilai secara keseluruhan apakah sebuah kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan rencana atau ketentuan yang telah disusun sebelumnya. Evaluasi biasanya dilakukan pada akhir suatu kegiatan. Monev APBDes Adalah serangkaian kegiatan pengumpulan informasi dan penilaian tentang pelaksanaan APBDes. Fokus kegiatan dalam Monev APBDes misalnya: 1. Menilai apakah program pembangunan di desa telah dilaksanakan sesuai dengan yang direncanakan. 2. Menilai apakah dana pembangunan telah dibelanjakan sesuai dengan pos-pos anggaran yang terdapat dalam APBDes. 3. Menilai apakah ada kemungkinan indikasi penyalahgunaan penggunaan dana pembangunan desa. 4. Menilai apakah jumlah dana yang dibelanjakan untuk setiap pos pembelanjaan sesuai jumlahnya dengan


yang direncanakan. 5. Dan lain-lain hal sesuai kesepakatan warga desa. Kiat Monev yang Efektif 1. Pahami dengan jelas obyek yang akan di-monev; 2. Susun parameter diperlukan;

dan

indikator

penilaian

yang

3. Kumpulkan data dan informasi yang akurat yang berkaitan dengan obyek yang akan di-monev; 4. Crosscheck dan klarifikasi data dan informasi yang telah dikumpulkan; 5. Analisis perkembangan pelaksanaan kegiatan dan bandingkan dengan rencana atau ketentuan yang ada; 6. Rumuskan rekomendasi tindakan penanggulangan apabila ditemukan penyimpangan atau kesalahan; 7. Sampaikan hasil monev kepada para pihak yang berkaitan. Prinsip Monitoring dan Evaluasi (Monev) APBDes 1. Monitoring dan evaluasi APBDes dilaksanakan oleh BPD bersama masyarakat desa. 2. Aspek-aspek yang dimonitor dan dievaluasi adalah seluruh item anggaran yang terdapat dalam APBDes, yakni item-item yang tertera dalam Pos Pendapatan dan Pos Pengeluaran. 3. Selain mengacu kepada dokumen APBDes, monitoring dan evaluasi juga harus menilai sejauh mana prinsipprinsip pelaksanaan APBDes telah diaplikasikan dalam setiap tahapan pelaksanaannya. 4. Tolak ukur penilaian dalam evaluasi APBDes adalah Rencana Anggaran Satuan Kerja yang telah disusun dengan memperhatikan nilai dan harga dari setiap jenis pembelanjaan sesuai dengan kondisi riil yang ada. 5. Pelaksanaan monev APBDes harus mengacu pada nilai-nilai: partisipatif, terbuka, kesetaraan, kejujuran, dan fleksibel.


Bahan Bacaan

Perbandingan Monev Konvensional dan Monev Partisipatif Aspek

Konvensional

Siapa Pelaku Monev? Apa yang diMonev

Para ahli, akademisi, atau ilmuwan. Aspek dan indikator monev disusun sendiri terlebih dahulu oleh para ahli di belakang meja. Terpusat pada obyektivitas ilmiah dengan metodemetode yang “canggih�. Biasanya selama dan setengah pelaksanaan program. Lebih sebagai bentuk pertanggungjawaban akademis, atau pertanggungjawaban program.

Bagaimana caranya?

Kapan?

Alasan?

Partisipatif Masyarakat. Masyarakat memilih sendiri apa saja yang perlu di-monev beserta indikatornya.

Monev sendiri dengan cara yang sederhana sesuai dengan kondisi masyarakat. Setiap tahapan program dalam skala kecil. Selain bentuk pertanggungjawaban, juga bertujuan memberdayakan penduduk setempat.


Bahan Bacaan

Beberapa Metode Monev Partisipatif Pertemuan Kampung dan/atau Musyawarah Adat Pertemuan-pertemuan kampung atau musyawarah adat, baik informal maupun formal dapat digunakan sebagai alat untuk monev APBDes. Dalam pertemuan tersebut, pelaku Monev dapat mengajak warga untuk menilai sejauhmana program pembangunan desa bermanfaat bagi mereka.

Pertemuan Kelompok Pertemuan-pertemuan kelompok tan, kelompok nelayan, atau kelompok usaha bersama, juga alat monev yang penting. Pelaku monev dapat mengumpulkan berbagai informasi tentang kemanfaatan sebuah proyek pembangunan bagi mereka. Seringkali kelompok semacam ini mempunyai argumentasi atau informasi yang lebih obyektif, karena kelompok mereka memiliki kepentingan yang lebih jelas.

Kunjungan Lapangan dan Inventarisasi Partisipatif Untuk memperoleh gambaran yang sesungguhnya mengenai program pembangunan desa, pelaku monev dapat melakukan kunjungan lapangan secara berkala. Ketika melakukan kunjungan lapangan, pelaku monev menginventarisasi masalah-masalah yang muncul dalam program.

Studi Banding dan Kunjungan Silang Adakalanya program pembangunan di suatu desa mirip dengan desa lainnya. Jika ini terjadi, monev dapat dilakukan dengan


cara melakukan studi banding atau kunjungan silang antar desa yang bersangkutan.

Kajian Dokumen Cara lain yang bisa digunakan untuk monev APBDes adalah mempelajari dokumen, misalnya: strukur APBDes, desain perencanaan pembangunan, catatan proses kegiatan, laporanlaporan perkembangan (progress report) pembelanjaan, dan lain-lain. Dengan mempelajari dokumen ini, pelaku monev dapat menganalisis misalnya apakah sebuah program berjalan sesuai dengan rencana atau tidak, apakah dana-dana dibelanjakan sesuai dengan pos-pos anggaran yang disepakati atau tidak, dan lain-lain.

Diskusi Kelompok Terfokus (DKT) Panduan Melakukan Monev dengan Cara Diskusi Kelompok Terfokus (DKT) DKT adalah sebuah diskusi yang dirancang khusus membicarakan suatu masalah secara terfokus. DKT biasanya diarahkan oleh seorang moderator, dan dihadiri oleh peserta terpilih dalam jumlah terbatas.

Menyiapkan DKT

1. Undang peserta dari kalangan masyarakat yang dianggap dapat memberikan informasi cukup tentang masalah yang akan dibahas. 2. Peserta sebaiknya berasal dari kalangan yang berlatarbelakang sama. Jika ingin memperoleh informasi dari berbagai kelompok masyarakat dengan perbedaan latar belakang yang menyolok, sebaiknya dibuat beberapa DKT secara terpisah. 3. Pilihlah seorang moderator. Moderator sebaiknya orang yang senang bekerja dalam kelompok, menikmati berbicara dengan kelompok, mampu berpikir dan menanggapi situasi kelompok dengan cepat, peka terhadap karakter peserta, dan mau menyimak pembicaraan orang lain. 4. DKT sebaiknya hanya membahas satu topik secara detil dan menyeluruh. Karena itu tentukan terlebih dahulu aspek-aspek apa saja yang perlu diangkat dan dibahas rinci.


5. Siapkan pertanyaan-pertanyaan panduan (1-2 pertanyaan pembuka, 3-4 pertanyaan mendalam, 1-2 pertanyaan penutup). Melaksanakan DKT 1. Perkenalkan seluruh pihak yang hadir dalam diskusi, sepakati tujuan dan aturan diskusi, dan buatlah peserta merasa nyaman berbicara. 2. Rekam dengan cermat segala sesuatu yang terjadi selama proses diskusi berlangsung (informasi yang muncul dan reaksi peserta terhadap suatu masalah). 3. Jagalah agar topik diskusi tetap terfokus, dorong agar suasana diskusi berjalan seimbang dan partisipatif. 4. Gali setiap jawaban peserta hingga detail, dan pastikan setiap peserta mengeluarkan pendapat. 5. Hidupkan suasana agar diskusi tidak menjenuhkan, dan sebaiknya kendalikan suasana menjadi lebih tenang pada saat suasana diskusi menjadi terlalu riuh dan mengganggu jalannya diskusi. 6. Dorong agar setiap peserta berani menanggapi pendapat peserta lain, mendiskusikan pendapat mereka, dan jika tidak setuju, mereka dapat saling memperdebatkan pendapat masing-masing peserta. Menganalisa dan Melaporkan Hasil DKT 1. Analisislah rekaman proses diskusi dengan cara : •

Mengelompokkan moderator,

setiap

jawaban

berdasarkan

pertanyaan

•

Menandai hal yang penting di dalam catatan atau transkrip.

2. Tulis laporan atau kesimpulan singkat mengenai pendapat dan reaksi peserta terhadap topik yang didiskusikan. Laporan DKT sebaiknya hanya mengandung 3 hal yaitu: •

Gambaran peserta diskusi;

•

Kesimpulan mengenai pendapat peserta terhadap topik yang didiskusikan;


Hal-hal yang mungkin dianggap mempengaruhi hasil diskusi

Kegiatan 2 Tujuan

Monev Partisipatif : Analisis Dokumen APBDes   

Partisipan mengetahui dan memahami jenis-jenis data dan dokumen APBDes yang perlu dikumpulkan dalam monev Partisipan terampil menganalisis dokumen-dokumen APBDes Partisipan mampu mendokumentasikan dan mensosialisasikan temuan monev yang mudah diakses warga desa

Metode

  

Paparan Diskusi kelompok Presentasi

Alat dan Bahan

    

White board Kertas plano Spidol Selotip kertas Kertas Metaplan

Bahan Bacaan

Dokumen APBDes

Waktu

100 menit

Proses Fasilitasi

1. Fasilitator kelas menjelaskan judul, tujuan, dan waktu yang diperlukan untuk melaksanakan materi ini (5 menit). 2. Fasilitator mengajak peserta untuk mengidentifikasi dokumen-dokumen yang dibutuhkan dalam monev APBDes. Fasilitator menjelaskan beberapa dokumen penting yang dibutuhkan, diantaranya adalah struktur APBDes, desain perencanaan penggunaan dana dalam APBDes, serta laporan perkembangan pembelanjaan. (15 menit) 3. Fasilitator meminta peserta untuk berdiskusi kelompok. Tugas kelompok adalah menganalisis dan merumuskan : • Apakah terdapat kesesuaian antara struktur APBDes, desain perencanaan penggunaan dana, dan progress report pembelanjaan? • Ada atau tidak indikasi penyimpangan dalam penggunaan dana APBDes? • Ada atau tidak bentuk-bentuk indikasi penyimpangan dana? • Langkah-langkah apa yang perlu dilakukan untuk memverifikasi atau memeriksa kembali kebenaran


temuan penyimpangan dana? Langkah-langkah apa yang perlu dilakukan untuk menindaklanjuti penyimpangan dana APBDes? • Hasil diskusi kelompok ditulis dalam kertas plano untuk dipresentasikan. (20 menit) Fasilitator meminta setiap kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya dan mengajak peserta yang lain menanggapinya. (20 menit) Fasilitator melanjutkan sesi dengan mengajak peserta untuk mendiskusikan tentang : • Pentingnya melakukan sosialiasi temuan monev kepada seluruh warga desa, serta bentuk-bentuk laporan atau media sederhana yang bisa dijadikan sebagai alat sosialisasi tersebut. • Membahas dan membuat rancangan laporan atau media sederhana untuk mensosialisasikan temuan monev (laporan atau media sederhana ini berisi pesanpesan pokok yang menguraikan temuan monev APBDes • Merancang cara-cara menyebarkan laporan atau media tersebut. (15 menit) Fasilitator meminta setiap kelompok mempresentasikan laporan atau media sederhana mereka masing-masing. Fasilitator mengajak peserta untuk mendiskusikan setiap presentasi. Dengan pertanyaan kunci misalnya: • Apakah format seperti itu mudah dibuat dan diakses oleh warga desa? • Bagaimana cara yang paling mungkin untuk mensosialisasikan temuan monev itu? (15 menit) Fasilitator menutup sesi dengan cara mengkaji ulang halhal penting yang muncul selama diskusi. (10 menit) •

4. 5.

6.

7.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.