Jalan Terjal Edi Siswadi

Page 7

MINGGU 27JANUARI 2013

>7

INILAH GRUP : INILAH KORAN PORTAL NEWS : WWW. INILAH.COM, WWW. INILAHKORAN.COM, WWW.YANGMUDA.COM, WWW. JAKARTAPRESS.COM MAJALAH INILAH REVIEW

Ritual Maulid Nabi di Bumi Alit INILAH/DICKY ZULFIKAR NAWAZAKI

Setiap peringatan Maulid, kami selalu berkumpul dan berdoa di rumah adat ini. Selain warga setempat, banyak juga orang-orang yang awalnya berasal dari sini dan sekarang di luar, sengaja datang tiap tahun.

MATAHARI belum sepenuhnya tampak ketika ribuan warga Kampung Batukarut, Kecamatan Arjasari, berbondong-bondong menuju rumah adat Bumi Alit, yang terletak di tepi jalan desa.

B

erbeda dengan biasanya, mereka datang dengan pekaian terbaik yang wangi. Di tangannya terlihat baskom berisi hidangan nasi tumpeng. Entah kenapa, wajah mereka begitu semringah, menyapa, dan bersalaman ketika bertemu orang lain, menunjukkan persaudaraan dalam ikatan tali silaturahmi yang hangat dan penuh makna. Rupanya mereka sengaja datang pagi buta untuk memperingati Maulud Nabi di rumah adat Bumi Alit, yang telah berlangsung sejak ribuan tahun lalu.

“Setiap peringatan Maulid, kami selalu berkumpul dan berdoa di rumah adat ini. Selain warga setempat, banyak juga orang-orang yang awalnya berasal dari sini dan sekarang di luar, sengaja datang tiap tahun,” kata Endang Tarmana, salah seorang warga yang juga sekertaris Sasaka Waruga Pusaka, Kamis (24/1). Begitu datang, warga langsung duduk dengan khusu dan rapi. Sedangkan di dalam ruangan, para sesepuh kampung memboyong seperangkat gamelan jenis goong renteng yang dinamai Mbah Bandong. Gamelan ber­umur ribuan tahun ini, dimandikan (ngeubak) dengan air yang berINILAH/DICKY ZULFIKAR NAWAZAKI

asal dari tujuh sumber mata air. Goong ini hanya dikeluarkan setahun sekali untuk dimandikan dan ditampilkan kepada warga. Sebagai bagian dari prosesi ritual Maulidan. Diperkirakan usia gamelan goong renteng ini, awal zaman perunggu dan hingga saat ini masih terawat dan berfungsi dengan baik. Sedangkan di dalam rumah adat Bumi Alit, sesepuh kampung lainnya, juga terlihat sibuk mengganti lembaran kain kafan pembungkus berbagai pusaka. Pusaka-pusaka ini adalah peninggalan leluhur warga pendiri kampung Batukarut dan Lebak Wangi. Usai seorang pinisepuh (sesepuh kampung) membuka acara dalam bahasa Sunda. Alunan lagu instrumen berjudul Kebo Jiro dan Sodor dar Goong Renteng Mbah Bandong mengawali prosesi acara. Disusul shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW dan pembacaan ayat suci Al Quran diikuti semua hadirin di tempat itu. Selesai pembacaan Sholawat Nabi ayat suci Al

Quran dan puji-pujian, dilanjutkan dengan tausiah dan pepatah atau nasihat kehidupan oleh pini sepuh kampung lainnya. Sekretaris Sasaka Waruga Pusaka, Endang Tarmana menjelaskan, upacara adat ini dilakukan setiap memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad untuk menauladani dan mencontoh keteladanannya. Bumi Alit adalah rumah tempat penyimpanan barang-barang pusaka milik para leluhur pendiri Kampung Batu Karut dan Lebak Wangi. Rumah berukuran 4X4 meter persegi tersebut terbuat dari kayu dan bambu. Rumah ini berdiri di atas 118 tumbak. Selain rumah, tanah tersebut ditanami tanaman obat dan pohon berumur ratusan tahun. Gamelan goong rentang Mbah Bandong ini memiliki laras (nada) berbeda dengan lagu-lagu Sunda pada umumnya. Gamelan ini tak cocok jika dipadukan dengan laras salendro, pelog, dan laras-laras yang biasa digunakan saat ini.

INILAH/DICKY ZULFIKAR NAWAZAKI

Lagu-lagu gamelan Mbah Bandong, berceritera tentang keadaan alam zaman dulu, terutama saat Gunung Sunda Purba masih kokoh berdiri. Seperti lagi Ganggong yang menceritakan kebesaran, kelebatan, dan kehebatan Gunung Sunda Purba. Lalu dalam lagu berjudul Gonjing Patala, berceritera saat kekuatan letusan Gunung Sunda Purba dan juga setelah hancur atau kerusakan alam pasca letusannya. Lalu, setelah letusan, ada sebuah lagu berjudul Galumpit, bercerita tentang tanah yang acak-acakan dan berbukit-bukit, serta beberapa lagu lainnya. “Uniknya, lagu-lagu ini selalu dimainkan secara berurutan. Tidak pernah dimainkan secara acak,” Peneliti Sasaka Waruga Pusaka, Itang Wismana Bin Adjud. Instrumennya sendiri, sambung Itang, terdiri dari saron, bonang, beri, keucrek, dan goong. Biasanya dimainkan oleh sekitar 15 orang personil. (dani r nugraha/ren) INILAH/DICKY ZULFIKAR NAWAZAKI

Malam Bertuah, Cirebon Dibentengi Lautan Manusia

T

IADA celah leluasa untuk menapakkan kaki. Di tiap sudut jalan, jutaan manusia dari berbagai penjuru Indonesia berjejer. Ramai. Kemudian, kebul kemenyan, dan gema rapal babad Cerbon yang dibaca Kuncen, mengantar suasana kembali pada ratusan abad silam. Inilah malam sakral Perayaan Maulid Nabi Muhamad Saw di Keraton Kanoman Cirebon. Bukan hanya bagi masyarakat Cirebon, perayaan maulid Nabi Muhamad SAW di Keraton Kanoman Cirebon digandrungi jutaan manusia berbagai daerah. Tak luput, tiga keraton lainnya, Kasepuhan, Kacirebonan, dan Kaprabonan, menjadi incaran para pengunjung. Mereka mengikuti puncak acara yang diberi nama Panjang Jimat atau Pelal dengan sangat khidmat. Pada prosesi puncak pelal, aura religi dan mistik saling bersentuhan. Benda pusaka berupa gong

sekati peninggalan abad ke 14 dikeluarkan dan ditabuh Sultan Keraton Kanoman Cirebon Sultan Raja Moch Emirudin. Menjadi tradisi, gong sekati dibunyikan selama 3 hari berturut-turut hingga malam puncak peringatan maulid Nabi Muhammad Saw. Ratu Raja Arimbi Nurtina, Juru Bicara Kesultanan Keraton Kanoman Cirebon menjelaskan, gong sekati merupakan prosesi pembunyian gamelan sekati sebagai simbol, malam puncak pelal segera menghampiri. Rangkain ritual berjejer menghampiri puncak acara. Nyiram Panjang, sebuah prosesi pemandian atau pembersihan Panjang, Ambeng, Pi­ ring Pusaka berjumlah 7 buah Panjang Utama dan 6 buah Panjang Pengiring yang akan digunakan pada Pelal Ageng, dengan menggunakan abu dan air sumur kejayaan. Dengan berpakaian kuning,

INILAH/MUHAMAD SYAHRI ROMDHON

perempuan abdi dalem itu tak hentinya menggumamkan shalawat sambil membawa lilin-lilin besar, obor, benda-benda pusaka, piring keramik besar berumur ratusan ta-

hun yang disebut Panjang, dan juga yang dikenal dengan Ambeng Rasul. Berbagai jenis senjata, gerabah (keramik) berbagai bentuk dan ukiran, juga makanan dengan penutup

kain merah dan putih dijunjung abdi dalem pria dengan kostum hitam. Ada di antara mereka, pasukan pembawa perangkat untuk menyambut kelahiran manusia. Di barisan depan, pria gagah, bak prajurit perang, memanggul dan merentangkan bendera hijau lambang Keraton Kanoman, bergambar Macan Ali. Kini, acara itu masih dan terus menjadi magnet yang menyedot berbagai lapisan masyarakat, pejabat negara Republik Indonesia, hinga pejabat daerah setempat. Bahkan, pengunjung asal Malaysia, Brunei, dan lainnya tersebar di empat Keraton di Cirebon menyaksikan acara sakral tersebut. Bahkan konon, di luar batas manusia, nenek moyang berbagai lapisan keturunan, memenuhi tiap rongga ruang acara panjang jimat mauludan keratonkeraton kerajaan Cirebon. (muhamad syahri romdhon/ren)


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.