InfoJambi Koran Edisi 12

Page 8

8

OPINI

EDISI 12 MARET 2013

Mengoreksi Kebijakan Tunjangan Kesejahteraan Daerah Oleh : H. Mursyid Sonsang SUDAH jamak diketahui di lingkungan Pemerintah Provinsi Jambi, bagi PNS yang melanjutkan pendidikan S2 dan S3 ke luar daerah diharuskan untuk melepaskan jabatannya. Konsekuensi pelepasan jabatan tersebut bagi PNS bersangkutan adalah penghen�an tunjangan jabatan yang nilainya berkisar Rp 540 ribu untuk pejabat eselon IV dan Rp 1,2 juta untuk pejabat eselon III. Kehilangan pemasukan uang sebanyak itu cukup terasa di saat si PNS membutuhkan dana banyak di tempat kuliah. Namun tak ada pilihan lain,

jabatan harus dilepas karena tak mungkin bisa melaksanakan kewajiban sesuai jabatan pada saat bersamaan. Ternyata kehilangan incom PNS yang menjalani tugas belajar, tidak dari sisi tunjangan jabatan saja. Tunjangan Kesejahteraan Daerah alias TKD yang nilainya bervariasi antara Rp 800 ribu sampai Rp 2 jutaan pun akan dipotong separuhnya. Konon tunjangan ini dihitung berdasarkan kehadiran di kantor. Pertanyaan muncul, apakah bila seorang PNS melanjutkan pendidikan maka dia �dak butuh dukungan dana

dari pemerintah daerahnya untuk kesejahteraan keluarga dan dirinya ? Benarkah dirinya tak lagi memiliki kinerja atau tak memberi kontribusi untuk Pemerintah Daerah ? Bukankah apa yang dipelajari selama 2 tahun (bagi PNS tugas belajar S2) dan 4 tahun (bagi PNS tugas belajar S3) diperuntukkan untuk meningkatkan kapasitasnya sebagai PNS di kemudian hari ? Kinerja PNS yang mengiku� studi sebenarnya tetap ada, yakni prestasinya selama mengiku� tugas belajar tersebut. Thesis atau disertasi yang mereka hasilkan, yang mengkaji masalah pembangunan di Jambi atau Indonesia, juga merupakan sumbangan yang bernilai pen�ng. Bahkan, dibandingkan dengan PNS yang

melakukan perjalanan dinas secara berbondong-berbondong, apa yang dilakukan oleh PNS yang mengiku� tugas belajar lebih jelas manfaatnya untuk pemerintah daerah. Menilai secara terbatas kinerja PNS berdasarkan kehadiran di kantor sungguh tak memiliki argumen kuat, karena kita melihat dengan mata kepala sendiri, hanya sebagian PNS yang benar-benar bekerja selama jam kerja tersebut, sedangkan sisanya nyaris tak berkontribusi sama sekali. Bila mereka yang sekedar datang meneken absensi berhak menerima TKD penuh, alangkah lebih baik PNS berstatus tugas belajar diberi hak serupa agar beban mereka di rantau menjadi lebih ringan. Toh, mereka memegang surat tugas dari kepala daerah, tugas untuk

menjalani pendidikan. Kebijakan untuk memotong TKD menjadi setengahnya agaknya perlu di�njau kembali. Jangan sampai kebijakan ini menjadi disinsen�f bagi PNS muda untuk meningkatkan kompetensinya. Apalagi untuk mendapatkan beasiswa prosesnya tak mudah, mereka harus bertarung ketat dengan kandidat lain. Jika Pemerintah Provinsi Jambi belum mampu memberi beasiswa memadai, seperti beasiswa yang dikucurkan provinsi kaya semacam Riau dan Kalimantan Timur kepada anak-anaknya, Gubernur Jambi patut memper�mbangkan pemberian TKD penuh kepada mereka. (Penulis adalah Alumni Lemhannas RI PPSA XVIII)

fungsional di instansi dimana dia didudukkan. Dengan kondisi begitu, bagaimana dia akan dapat memahami lingkungan kerjanya? Dalam keadaan seper� itu, wajar jika banyak pejabat fungsional yang putus asa dengan karirnya. Ada yang pindah dan ikut berkompe�si merebut jabatan struktural yang lebih menggiurkan, bahkan dengan menggadaikan idealisme dan harga diri. Sebagian yang tetap konsisten di jalur fungsional, harus menerima nasib menjadi warga kantor kelas dua, bahkan kelas �ga. Pejabat fungsional yang semes�nya bertanggungjawab langsung kepada Kepala Lembaga/ instansi dikerdilkan, diposisikan sebagai staf biasa. Salah satu indikasinya, mereka mengikut saja ketika penilaian kinerja tahunan atau DP3 mereka dinilai oleh pejabat setara eselon IV. Sungguh ini sebuah penistaan yang harus segera dihentikan dan dikembalikan ke

jalur yang benar. Kondisi pejabat fungsional di lembaga litbang daerah Provinsi Jambi juga miris. Para peneliti yang diantaranya bergelar S3 dan S2 diberi ruang kerja yang kurang layak dan fasilitas kerja jauh dari memadai. Untunglah pemerintah pusat mengeluarkan Peraturan Presiden RI No. 100/2012 yang menaikkan tunjangan fungsional peneliti yang nominalnya sangat mengagetkan, mendekati 300%. Berkah inilah yang membuat komitmen pejabat fungsional peneliti untuk meningkatkan profesionalismenya semakin kuat. Mudah-mudahan rekan-rekan di jalur fungsional lainnya juga akan disentuh pemerintah pusat lewat kebijakan baru yang mengangkat harkat dan martabat pekerja fungsional di Indonesia. (Penulis adalah Peneliti pada Balitbangda Provinsi Jambi)

Nasib Pejabat Fungsional dan Kekhilafan Jokowi Oleh : Hj. Asnelly Ridha Daulay M ENELISIK kehidupan pekerja pemerintah khususnya mereka yang telah mentasbihkan dirinya menjadi pejabat fungsional, akan banyak ironi yang ditemukan. Pejabat fungsional bukanlah “pejabat” dalam ar� sebenarnya apabila kita mau melengok sebentar ke kesejahteraan dan penghargaan yang diperolehnya. Pejabat fungsional kelasnya jauh rendah dibanding pejabat struktural, di�mbang dari segi besaran tunjangan, beban kerja, kondisi ruang kerja dan insen�f lainnya. Keberadaannya hanya diperhitungkan ketika ada pekerjaan teknis yang mendesak diselesaikan. Setelah itu mereka dibiarkan, �dak dihiraukan, bahkan kalau bisa dibungkam agar tak terlalu kri�s. Bahkan Kepala Daerah sepopuler dan diharapkan membawa perubahan di negeri yang suntuk masalah ini, Jokowi, pun khilaf dalam memahami jabatan fungsional. Beberapa waktu lalu dia menggeser Wali Kota Jakarta Selatan, Anas Effendi, menjadi Kepala Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD), seorang

pejabat yang awam masalah perpustakaan. Padahal menurut Undang-Undang No. 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan, pada Pasal 30 tercantum : Perpustakaan Nasional, perpustakaan umum Pemerintah, perpustakaan umum provinsi, perpustakaan umum kabupaten/kota, dan perpustakaan perguruan �nggi dipimpin oleh pustakawan atau oleh tenaga ahli dalam bidang perpustakaan. Kekhilafan Jokowi ini sudah sepantasnya disesali banyak orang, khususnya kalangan Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia (ISIPII) yang sudah menyatakan keberatannya secara resmi. Tidak hanya Jokowi, banyak Kepala Daerah di level provinsi, kabupaten dan kota hingga kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) belum memahami esensi jabatan fungsonal. Pejabat fungsonal dan pekerjaan fungsionalnya merupakan ruh dari sebuah instansi/lembaga, seperti dosen yang merupakan ruh perguruan �nggi, pustakawan adalah ruhnya perpustakaan, peneli� merupakan

ruh lembaga litbang atau penyuluh yang menjadi nafas Badan Koordinasi Penyuluhan (Bakorluh) dan instansi teknis lain yang membutuhkan layanan mereka. Pejabat fungsional tidak sama dengan pejabat struktural, karena mereka akan menetap atau stay di lembaga teknis dimana kefungsionalannya melekat, sementara pejabat struktural dengan gampangnya dimutasi ke instansi/lembaga lain. PNS yang memilih jalur struktural bisa terbang dan hinggap di mana saja, dan gerakan sikut menyikutnya semakin menjadi-jadi di era euforia otonomi daerah seper� saat ini. Karena mudah berpindah-pindah itu, pejabat struktural yang kebetulan hinggap di lembaga/instansi fungsional (kalau term tersebut boleh digunakan untuk lembaga semacam perpustakaan, litbang dan Bakorluh), �dak berusaha memahami tupoksinya di tempat itu. Mohon maaf, ada pejabat struktural �nggi yang belum pernah membaca Undang-Undang atau perangkat peraturan lain tentang jabatan

Lelang Jabatan ala Jokowi Oleh : Suhaili LANGKAH Joko Widodo melempar wacana untuk melelang jabatan Camat dan Lurah di lingkungan Pemprov DKI Jakarta cukup mengejutkan banyak orang. Hal ini tentu wajar, mengingat selama ini penentuan pengisian jabatan struktural di lingkungan pemerintahan secara yuridis formil merupakan kewenangan Tim Baperjakat (Badan Per�mbangan Jabatan dan Kepangkatan) yang diketuai oleh Sekretaris Daerah, dibantu beberapa pejabat SKPD terkait, bahkan ada pula yang dengan otoriter mengklaimnya sebagai hak prerogatif kepala daerah. Kebijakan lelang jabatan sebenarnya bukan hal baru dalam birokrasi kita, karena substansinya telah diatur dalam Surat Edaran Menpan dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2012 tentang tata-cara pengisian ja-

batan struktural yang masih lowong secara terbuka di lingkungan instansi pemerintah. Sebagai jabatan karier bagi seorang PNS, tentu ada berbagai syarat untuk melaksanakan kebijakan lelang ini, seper� kepangkatan dan jenjang jabatan sebelumnya yang telah dipenuhi oleh seorang kandidat, sebagaimana diatur dalam PP Nomor 13 Tahun 2002 tentang perubahan PP Nomor 100 Tahun 2000. Dengan diakomodirnya ketentuan formal dalam lelang jabatan Camat dan Lurah ala Jokowi, sesungguhnya hal yang terlihat baru adalah terobosannya untuk memberi varian dengan memasukkan orang-orang independen di luar birokrasi ke dalam Tim Baperjakat serta diberikannya kesempatan kepada se�ap PNS yang memenuhi syarat formal untuk ikut berkompe�si tanpa harus menunggu diusulkan Tim Baperjakat. Dengan kebijakan ini pesan yang ingin disampaikan Jokowi menjadi amat jelas, yaitu suatu kekecewaan terhadap hasil kerja Tim Baperjakat yang telah merekomendasikan

orang-orang yang �dak tepat untuk menduduki berbagai jabatan di pemerintahannya, sekaligus Jokowi menunjukkan bahwa ia bukan orang yang ototiter dengan melangkahi lembaga dan aturan yang ada. Jika saja lelang jabatan ala Jokowi (sebelumnya Kemenpan RB dan Kemenkeu pernah menerapkan untuk eselon I dan II) ini segera pula diterapkan di se�ap daerah, tentu memberi harapan baru, terutama bagi jenjang karir PNS. Pesimisme karena ke�adaan akses ke pengambil kebijakan yang selama ini dianggap sebagai hal yang “memustahilkan” seorang PNS untuk dipromosikan, jelas perlahan akan terbantahkan. Kompe�si berdasarkan kompetensi akan lebih dominan. Dipas�kan para PNS potensial akan berlomba-lomba mengasah kemampuan. Paling �dak sesuai bidang yang akan disasarnya jika kelak ada pelelangan. Bisa dibayangkan, betapa besar semangat PNS yang bertugas di kelurahan dan kecamatan.Se�daknya mereka yang pangkatntya cukup jadi

punya harapan untuk terpilih jadi Lurah atau Camat. Yang lazim selama ini, Camat/Lurah selalu didrop dari luar. Tentu ini bukan hal tabu. Hanya saja dipastikan jauh dari efisien, apalagi efek�f. Si Camat/Lurah harus berjuang keras “menguasai” wilayahnya. Dengan pola lelang ini akan terbalik, calon Lurah atau Camat harus “menguasai” wilayahnya terlebih dahulu, sehingga ke�ka terpilih, dia bisa lagsung ac�on sesuai konsep dan rencana kerja yang ditawarkan saat pelelangan. Di sisi lain, para PNS yang tadinya hanya mengandalkan kedekatan pada pimpinan, dipas�kan “terpaksa” turut terpacu dengan sistem baru itu. Tak bisa lagi mereka “berlindung” di balik rekomendasi Baperjakat yang rada tertutup. Bagi kepala daerah sendiri cukup hanya dengan mengawasi konsistensi kerja mereka. Jika kelak si Camat atau Lurah terpilih namun akhirnya mengecewakan masyarakat, toh yang dipersalahkan tentu si Camat atau Lurah yang dianggap mengkhiana� komitmen saat pelelangan. Bayangan

akan sanksi moral dari masyarakat yang dihadapi si Lurah atau Camat atas ketidak-konsistennya menjalankan amanah. Jika kebijakan ini dijalankan, rasanya tak perlu lagi seorang Bupa� atau Walikota khawa�r salah memilih pejabat yang pada akhir muara tanggungjawab kembali padanya. Ada fakta integritas yang mengikat mereka yang lulus. Disisi lain, jika kelak ada calon pejabat yang direkomendasikan oleh “�m sukses” dan kemudian memang terpilih, tak perlu pula risau dianggap KKN. Toh, si calon pejabat secara objek�f memang mumpuni. John Fitzgerald Kennedy (JFK) ke�ka menjabat Presiden AS ke-35 (1963) memilih Robert F Kennedy (RFK) sebagai Jaksa Agung, sekaligus penasehat terpercaya. Sebuah keputusan yang telah menyulut kontroversi publik Amerika kala itu. Namun dengan mantap JFK menjawab, “Jika dia orang lainpun saya akan memilihnya, apalagi dia adik saya’’. (Penulis adalah Ak�vis Pamong Ins�tute Biro Jambi)


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.