Harian Nasional

Page 6

SENIN, 25 NOVEMBER 2013 | Nomor 85 Tahun I

HARIAN NASIONAL

A6 OPINI editorial

PANGKI T HIDAYAT Alumni PGSD FIP Universitas Negeri Yogyakarta

Selamatkan Hutan Indonesia

H

utan di Indonesia diperkirakan hilang sekitar 1,8 juta hektare setiap tahun. Ini sama artinya dengan hilangnya hutan global sekitar 14 persen. Penebangan secara ilegal dan perambahan hutan dituding sebagai biang dari hilangnya paru-paru dunia itu. Kementerian Kehutanan mencatat, luas hutan Indonesia 130,68 juta hektare. Luas tersebut terbagi ke dalam dua fungsi, hutan sebagai konservasi alam dan pelindung keseimbangan bumi. Secara makro, 41 juta hektare bertutupan hutan, baik hutan lindung maupun hutan konservasi dan 57 juta hektare intensif menjadi hutan produksi. Kehilangan 1,8 juta hektare hutan setiap tahun bukan angka yang kecil. Ini tidak bisa dibiarkan. Jika tidak ada upaya antisipasi yang sungguhsungguh, bukan tidak mungkin angka pengurangan hutan setiap tahun lebih besar dari yang tercatat saat ini. Penebangan hutan secara ilegal harus segera dihentikan. Keharusan yang sama diberlakukan kepada perambah hutan. Karena itu Kementerian Kehutanan harus aktif melakukan langkah antisipasi. Langkah itu dapat dilakukan dengan melibatkan pemerintah. Itu karena pemerintah memiliki aparat hingga di tingkat desa dan kampung. Lebih penting dari itu adalah pemberian sanksi yang berat bagi perambah hutan dan penebangan yang dilakukan secara ilegal. Pelaku penebangan hutan ilegal harus ditindak tegas. Bila perlu – sebagaimana halnya para koruptor yang menggerogoti uang negara – pelaku penebangan ilegal yang bertujuan komersial perlu dimiskinkan sehingga diharapkan ­dapat melahirkan efek jera. Tindakan tegas harus diberlakukan kepada siapa pun, tanpa pandang bulu. Tidak terkecuali bila ditemukan “orang kuat” di balik cara-cara ilegal tersebut. Hanya dengan begitu hutan di Indonesia bisa diselamatkan. Pada saat yang sama, kita ikut memperkecil semakin berkurangnya hutan global.

wisdom

Jangan biarkan rasa takut kalah lebih besar ketimbang rasa senang karena menang.

ROBERT KIYOSAKI (1947—)

M

Misorientasi Profesi Guru

asih ingat jelas bagi pe­ nulis lirik pilu ­Winarno Surahmat, “Apakah arti­ nya bertugas mulia, ketika kami hanya terpinggirkan, tanpa di­ tanya, tanpa disapa.” Perlahan namun pasti, ironi seperti itu pun mulai pupus. Pada awal 2009, pemerintah akhirnya memenuhi amanat Un­ dang-Undang Dasar 1945 dengan mengalokasikan anggaran pen­ didikan sebesar 20 persen dari to­ tal jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal itulah yang menjadi awal mula tonggak perubahan kesejahtera­ an bagi profesi guru. Menjadi guru sudah tidak lagi menjadi pilihan yang dilematis, melainkan telah menjadi pilihan yang prestisius. Presitius karena di tengah sulitnya mencari lahan pekerjaan, gelimangan gaji guru yang saat ini jauh lebih dari men­ janjikan. Jika dulu guru berjalan dalam kesunyian, kini guru ber­ jalan dengan tubuh tegak berdiri, seolah ingin berkata, “Saya ada­ lah guru.” Maka tidak heran jika di pergu­ ruan tinggi yang menyediakan fa­ kultas keguruan dan ilmu pendi­ dikan (FKIP), ribuan orang kemu­ dian berlomba-lomba mendaftar. Tujuan mereka hanya satu, men­ jadi seorang guru. ­Meski begitu, tak semua guru mempunyai na­ sib yang sama. Ratusan bahkan ribuan guru honorer nasibnya te­ tap saja masih mempri­hatinkan. Hidup sehari dengan gaji sebu­ lan, tentu menjadi cermin buram guru-guru honorer kita. Guru adalah profesi yang te­ lah eksis sejak sejarah ­peradaban manusia ada. Guru ­diyakini se­ bagai salah satu penjamin ke­ berlangsungan peradaban itu ­sendiri. Henri Adam, seorang se­ jarawan terkemuka pernah me­ ngatakan, “A techer effect eternity, he can never tell where his

influence stops” (seorang guru itu berdampak abadi, ia tidak pernah tahu di mana pengaruh­ nya itu berhenti). Mengingat demikian penting­ nya keberadaan guru dalam membangun sebuah ­peradaban bangsa, maka tak heran jika Kaisar Jepang bertanya bera­ pa jumlah guru yang tersisa di negeri­ nya pasca-peristiwa bom atom tahun 1945. Dengan kata lain, untuk mengumpulkan puing-puing peradaban Jepang yang hancur pasca terkena bom atom, maka guru dirangkul dan diposisikan secara terhormat dan ­bermartabat. Tak heran jika dalam perkem­ bangannya kemudian, n ­ egeri Dai Nippon itu mampu menjadi ­salah satu ‘Macan Asia’, bahkan d ­ unia. Kemudian muncul per­ tanyaan, bisakah Indonesia menyamai atau bahkan melebihi prestasi Jepang dengan cara yang sama, yakni dengan menempatkan guru pada posisi yang bermarta­ bat dan terhormat? Sampai sejauh ini usaha pe­ merintah untuk menempatkan guru pada posisi yang bermarta­ bat dan terhormat memang sedang diupayakan. Salah ­satunya dengan merealisasikan UU N ­ omor 14 Tahun 2005 (UU Guru dan Dosen) tentang tun­ jangan profesi sebesar satu kali gaji pokok. M ­ eski begitu, nyatanya sampai detik ini tak tampak sedikit pun mutu dan kua­ litas ­pendidikan In­ donesia menjadi le­ bih baik dari se­ belumnya. Jika ­menilik kebelakang, guru tempo dulu adalah sosok yang benar-­ benar berdedikasi tinggi pada pendi­ dikan dan

­ arakter. ­Dengan segala keterba­ k tasan mereka mampu mengha­ silkan insan-­insan yang berkua­ litas. Mereka sering kali abai ter­ hadap gaji. Mereke pun rela tidak ­digaji demi pendidikan anak bangsa, sebagaimana tergambar pada sosok Bu Mus dalam novel Las­ kar Pelangi karya Andrea Hirata. Namun, sekarang banyak guru tergiur kemewahan. Mereka rela melakukan apa pun demi men­ dapat selembar surat lulus ser­ tifikasi. Kerja-kerja instan pun sering­ kali dilakukan demi hal itu. Tidak aneh jika kualitas guru saat ini jauh dari harapan. Mereka tidak memutakhirkan teknik mengajar dan bacaan, sehingga kegiatan pembelajaran seringkali menjadi membosankan. Semua itu tentu berimbas ke­ pada siswa. Di luar hal-hal yang terkait bidang akademik, p ­ restasi guru sekarang juga bisa dikata­ kan kurang bagus. Contoh nya­ tanya yakni semakin masifnya in­ tensitas tawuran di kalangan pe­

£ Rp$ ¥$ Rp £ € £ € $¥

Wi-Fi Gratis di Halte TransJakarta WI-FI gratis di halte bus Trans­ Jakarta yang disediakan Peme­ rintah Provinsi DKI Jakarta se­ buah ide bagus. Ini memungkin­ kan calon penumpang tidak me­ rasa bosan menunggu bus. Apa­ lagi selama ini bus TransJakarta masih belum lancar. Selama ini waktu menunggu di halte masih cukup lama, terutama sore hari

saat jam pulang kantor. Sayangnya, belum semua halte TransJakarta memiliku ja­ ringan untuk berselacar di inter­ net. Seperti ditulis koran ini pe­ kan lalu, jaringan WI-FI di halte TransJakarta baru di koridor 1, koridor 6, dan koridor 9. Itu pun tidak di semua halte sinyalnya lancar.

lajar dan kenakalan-kenakalan pelajar lainya. Inilah akibat dari misorientasi yang terjadi pada profesi guru saat ini. Menjadi seorang guru tak lagi murni karena keinginan untuk mengabdi dan mendidik g­enerasi bangsa, melainkan sudah terkon­ taminasi oleh keinginan yang kuat untuk memperkaya diri. Akibat­ nya, banyak guru yang kemudi­ an muncul ke permukaan tanpa memiliki filosofi m ­ engajar se­orang guru. Mereka hanya meng­ajar se­ adanya tanpa didasari dengan rasa tanggung jawab dan peng­ abdian seperti yang bisa kita ­lihat pada guru-guru zaman dulu. Filosofi luhur itulah yang kini tergerus oleh arus deras konsu­ merisme pendidikan kita. Oleh ka­ rena itu, sudah s­ elayaknya guru kembali pada k ­ hittah guru yang sebenarnya yakni m ­ enjadi guru yang digugu lan ditiru. Tidak­kah kita pikirkan, ­generasi apa yang akan terbentuk oleh orang-orang yang termotivasi menjadi guru hanya karena persoalan reward semata? Huallah Hualam.

Saya mengusulkan kepada Pemerintah DKI Jakarta agar mem­perbanyak penyediaan fasi­ litas WI-FI di halte-halte yang lain. Selain mengurangi kebosan­ an menunggu bus di halte, juga bisa mendorong warga meng­ gunakan bus TransJakarta. Bukankah Pemerintah DKI Jakarta mendorong warga ber­

suara pembaca alih menggunakan kendaraan umum sehingga penggunaan kendaraan pribadi berkurang? Jika banyak orang beralih ke ang­kutan umum, tentu akan me­ ngurangi kemacetan di jalan-ja­ lan Jakarta. Terima kasih. BAMBANG JAKARTA

Redaksi menerima tulisan suara pembaca maupun artikel opini. Kirimkan via surat atau e-mail dilengkapi identitas diri yang masih berlaku. Untuk artikel opini, panjang tulisan maksimal 4.500 karakter. Selain identitas diri yang masih berlaku, lengkapi juga foto diri untuk keperluan artistik. Kirimkan surat Anda ke REDAKSI HARIAN NASIONAL Jalan Teuku Cik Di Tiro 77 Menteng, Jakarta Pusat 10310, Telp: 021-3672 8477, Faks: 021-3151 668 e-mail: redaksi@harian-nasional.com


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.