Haluan 30 Jan 2011

Page 17

17

Panggung MINGGU, 30 JANUARI 2011 M / 24 SHAFAR 1432 H

SETELAH KEPERGIAN TEUNGKU H ADNAN P.M.T.O.H

Teater Tutur Aceh Terancam Punah OLEH: SULAIMAN JUNED

Dosen Seni Teater Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang

LIMA PULUH tahun bersolo karier, (almarhum) Teungku H Adnan P.M.T.O.H berusaha mencari penggantinya agar kesenian Aceh yang disebut teater tutur ini memiliki penerusnya. Namun sayang sampai, dengan Teungku Adnan menghadap sang khalik (meninggal dunia dalam usia 75 tahun, pada tanggal 4 Juli 2006), belum mampu menemukan penggantinya seperti beliau. Kesenian teater tutur berasal dari peugah haba yang berarti berbicara dengan bercerita semacam bakaba di Minangkabau. Sering juga disebut masyarakat Aceh poh tem berarti orang yang pekerjaannya bercerita. Ada juga yang menyebutnya dangderia seperti drama monolog atau berbicara sendiri. Teater tutur ini menjadi menarik setelah dikembangkan Teungku Adnan dengan mempergunakan alat musik rapa'i, pedang, suling (flute), bansi (block flute) dan mempergunakan properti mainan anak-anak, serta kostum. Properti dan alat musik serta kostum memperkaya tekhnik pemeranan seperti metode Brechtian yang memakai teknik multiple set (properti tangan yang banyak fungsinya), dan efek alinasi (memisahkan penonton dari peristiwa panggung, sehingga mereka dapat melihat

panggung dengan kritis). Teknik ini sekaligus memberi kekuatan dan dapat mengubah kejadian-kejadian peran menjadi seolah-olah, serta adanya intrupsi dari penonton. Teungku Adnan dikenal juga sebagai seorang tokoh ulama oleh masyarakat pendukungnya, sedangkan pekerjaannya di samping sebagai seniman adalah penjual obat keliling Aceh. Kesenian (teater tutur) ini dinamakan P.M.T.O.H oleh Teungku Adnan. "Asal muasal nama itu berangkat dari peristiwa yang sangat berkesan bagi saya. Saya sering menaiki bus P.M.T.O.H ketika berpergian ke seluruh Aceh untuk berdagang obat, lalu bunyi klakson bus tersebut membuat saya terkesan. Maka dalam pertunjukan saya untuk selingan jual obat saya tampilkan poh tem, peugah haba, dangderia. Sembari memamerkan kebolehannya berteater itu,

saya memulainya dengan menirukan bunyi klakson bus P.M.T.O.H. Masyarakat Aceh sangat senang dengan penampilan saya itu. Setiap saya jual obat, penonton pasti ramai, dagangan saya laris tapi saya harus menampilkan Hikayat Malem Dewa. Akhirnya masyarakat Aceh setiap ketemu saya sering memanggil nama saya dengan sebutan Teungku Adnan P.M.T.O.H. Setelah saya pikirkan sepertinya nama teater tutur saya ini adalah P.M.T.O.H"," ketika penulis mewawancara Tengku Adnan, pada 14 April 1999 di Blang Pidie, Aceh Selatan Ternyata nama teater tutur P.M.T.O.H itu merupakan pemberian oleh masyarakat pendukungnya. Ini bukti bahwasannya sejak tahun 1970-an nama itu telah dilekatkan kepada Teungku Adnan, dan ia diterima sebagai pembaharu teater tutur dangderia yang pemanggungannya hanya ada satu bantal, pedang dari pelepah kelapa hanya mengandalkan kekuatan ekspresi dan kekayaan vokal dalam menyampaikan hikayat. Sementara Teungku Adnan diterima oleh masyarakat pendukungnya, sehingga dimanapun masyarakat mendengar tentang kehadiran Teungku Adnan, mereka pasti ramairamai mendatanginya karena ingin menyaksikan pertunjukan P.M.T.O.H. Teks Hikayat Andaikan membicarakan tentang teater tutur Aceh, yang tampak adalah seorang penutur cerita penuh dengan nuansa teaterikal. Hal yang termaktub dalam teater tutur itu merupakan eksistensi kesusastraan Aceh 'hikayat' yang tidak dapat lepas dari subtansinya. Bahkan, teks sastra hikayat menjadi dasar penceritaannya. Sama halnya dengan teater modern yang tidak terlepas dari teks naskah drama yang akan digarap sutradara menuju realita teater (pertunjukan). "Hikayat dalam bahasa Aceh tidak diartikan arti asli yaitu 'kisah' (cerita). Bukan saja roman-roman, dongeng keagamaan, pelajaran adat. Bahkan, buku bacaan serta cerita lainnya juga dinamakan hikayat jika bahan-bahannya telah dituliskan dalam bentuk sajak (puisi)

di sebut hikayat, dan ini merupakan hasil sastra yang sangat luas dalam khazanah kesenian Aceh karena menjadi seni pertunjukan" (Budiman Sulaiman, Kesusasteraan Aceh, Banda Aceh: Unsyiah Perss, 1988). Hikayat ketika dipertunjukan oleh Teungku Adnan dengan menghadirkan berbagai karakter tokoh di atas pentas, baik perubahan suara (vokal), kostum. Dialog-dialog yang memperagakan cara-cara berperang, jika dalam cerita tersebut terjadi peperangan antar kerajaan. Sementara itu, sastra Aceh menyimpan peristiwa budaya, hampir setiap keluarga di Aceh mengetahui secara tradisional cerita-cerita dalam hikayat. Biasanya seorang ibu dari etnis Aceh pada masa lalu merasa berkewajiban untuk menceritakan hikayat-hikayat itu kepada anak-anaknya: "Adapun hikayat yang menyimpan peristiwa sejarah, di antaranya, Hikayat Malem Dewa, Prang Sabi, Malem Budiman, Raja Si Ujud, Malem Dagang dan lain-lain. Ada pula hikayat yang disebut dengan hikayat undang-undang seperti, sarakata Poteumeureuhom Meukuta Alam. Hikayat keagamaan, seperti, Nalam, Sipheut Dua Ploh. Tentang adat istiadat, Sanggamara. Hikayat tentang dongeng, Hikayat Gumbak Meueh, Indra Budiman, Raja Jeumpa" (Muhammad Nur, Apa dan Bagaimana Lagu Pop Aceh, Jurnal Palanta, Nomor 6 Maret 2000). Adnan P.M.T.O.H melakukan pengembangan menakjubkan lewat teater tutur yang awalnya peugah haba atau dangderia . Ia sanggup menghafal 9 (sembilan) buah hikayathikayat Aceh, lalu dituturkan kembali selengkapnya. Kalimat demi kalimat mengalir deras, seperti benang dibentangkan tak pernah habis. Teungku Adnan jika ada undangan lalu mempertunjukan P.M.T.O.H satu hikayat seperti Malem Dewa baru selesai dipertunjukan dalam durasi waktu 7 (tujuh) malam berturut-turut. Tuhan memang Maha Kuasa, Teungku Adnan diberikan kekuatan pada ingatan. Beliau mampu menyampaikan pertunjukan yang sama di tempat yang berbeda, namun beliau melaku-

kan pertunjukan persis sama dengan pertunjukan sebelumnya, cerita yang sama dengan kata-kata yang relatif sama pula. Luar biasa. Guru Teungku Adnan adalah Mak Lapee, generasi kedua Teungku Ali Meukek. Namun pada masa itu, penyajian hikayat secara bertutur tak dapat dikategorikan seni pertunjukan (teater tutur), karena yang disajikan hanya membaca hikayat (peugah haba). Properti yang digunakan hanya sebilah pedang dan batal. Penampilan nyaris tanpa akting, dan agak sulit mengikuti alur cerita karena tidak terjadi perubahan karakter tokoh. Lain halnya dengan Teungku Adnan, berangkat dari ilmu yang diterima dari gurunya Mak Lapee (seorang ulama di Aceh Selatan yang lumpuh), lalu dikembangkan menjadi sebuah seni pertunjukan yang sangat menarik dan unik dengan improvisasi yang sangat-sangat kaya. Menyaksikan teater tutur P.M.T.O.H, menyaksikan pentas yang dipenuhi aktor secara imajiner, padahal ia bermain sendiri. Teungku Adnan, andai membawakan Hikayat Malem Dewa yang menceritakan tentang anak raja yang mempersunting putri dari khayangan, yaitu Puteri Bungsu. Tengku Adnan bermain dengan teknik duduk, bermain musik sendiri. Meletakkan kotak (tong) di kiri dan di sebelah kanan, di dalam tong ada pakaian (kostum) serta senjata mainan. Ketika menjadi raja, langsung memakai baju ala kerajaan yang telah tersusun di dalam kotak disesuaikan dengan alur cerita. Seketika pula Teungku Adnan menjadi raja dengan karakter watak dan karakter bahasa yang berbeda. Begitu pula ketika menjadi tentara (panglima), puteri, ahli nujum, rakyat kampung, sambil berimprovisasi dengan nyanyian teungku Adnan menggantikan kostum, sehingga penonton tidak bosan. Setiap peran yang berubah, ekspresi wajahnya berubah (tipikalnya), vokalnya juga berubah sehingga penonton dengan mudah mengidentifikasi tokoh yang diperankan Teungku Adnan. Kemampuan ini yang tidak dimiliki oleh tukang cerita yang lain seperti, Zu-

lkifli, Muda Belia bahkan Agus Nuramal. Kemampuan Teungku Adnan tak pernah tergantikan oleh siapapun. Seorang juru bicara "penyihir" yang mampu memberikan pesona seni peran. Suatu hari dalam Hikayat Malem Dewa ia berubah peran dengan sigap. Lima detik pertama ia mengekspresikan wajah genit, matanya berkedip-kedip. Mengenakan sepotong selendang, sebuah wig, ia pun menjelma menjadi tokoh Puteri Bungsu, putri yang jelita dari khayangan. Lima detik kemudian, ia berganti peran menjadi pemuda gagah siap bertempur memperebut puteri Bungsu. Sepotong pedang terhunus di tangan, topi baja melekat di kepala. Sementara mulutnya tak putus-putus ia derukan kisah pemuda bernama Malem Dewa yang harus berangkat ke negeri di atas awan untuk menemui kekasihnya. Berbagai karakter dengan cepat saling berganti di tubuh dan suara Teungku Adnan. Ia dapat menjadi Hulubalang, laskar Aceh, jadi nenek penjaga gubuk Buntul Kubu, pemuda yang mencuri baju sang puteri atau seorang anak yang merindukan sang ibu. Daya Improvisasi Kekuatan yang paling mendasarkan dalam teater tutur P.M.T.O.H adalah daya improvisasi penyaji yang sangat tinggi. Gaya komedikalnya membawakan hikayat masa lalu dikaitkan dengan peristiwa masa kini. Kemampuan Teungku Adnan menyiasati pertunjukan ternyata dapat menghadirkan sejumlah tokoh di atas pentas dengan vokal yang berubah-ubah. Kini Sang Maestro, seniman 'Traubador Dunia' meninggal dunia dalam usia 75 tahun, tanpa ada pengganti. Suatu waktu, ketika penulis masih di Aceh sempat berdiskusi dengan beliau. "Soel, saya pernah tawarkan program regenerasi kepada Gubernur kita, dan Kakanwil Depdikbud Aceh, kita cetak buku tentang hikayat-hikayat Aceh yang belum tersebar itu. Lalu kita tuliskan bagaimana persiapan menjadi aktor P.M.T.O.H, setelah itu kita sebarkan ke sekolah dasar. Di SD ada mata pelajaran hikayat dan P.M.T.O.H, lalu setiap tahun

kita adakan festival menulis hikayat dan P.M.T.O.H. Kalau ini dilakukan pasti akan muncul dan lahir penerus atau pengganti saya. Tapi apa jawab mereka, kita pertimbangkan, hanya jawaban basa-basi". (Wawancara dengan Teungku Adnan, 20 Januari 1989 di Trieng Gadeng, Pidie, Aceh). Sekarang Teungku Adnan P.M.T.O.H telah meninggalkan kita tanpa mewariskan P.M.T.O.H kepada siapapun. Beliau tak akan berdosa dan berduka sebab beliau semasa hidupnya sudah pernah menawarkan ini kepada pihak Pemerintah Daerah Istimewa Aceh (Sekarang NAD), tapi tidak ada respon sedikitpun. Teungku Adnan, benar. Bukan hanya Aceh yang kehilangan sang "traubadur dunia". Seluruh dunia juga merasa kehilangan Teungku Adnan, teungku memang tidak rugi. Aceh khususnya dan Indonesia umumnya yang rugi, sebab tak mau merawat penerus pencerita Aceh. Abad ke-12 di Perancis Selatan lahir seorang traubadur. Lalu 900 tahun kemudian di seluruh dunia hanya di Aceh muncul kembali seorang "traubadur dunia", yakni Teungku Adnan. Sayang masyarakat dan pemerintah Aceh tidak mau peduli. Sekarang sang "traubadur" benar-benar sudah tiada, berapa ratus ribu tahun lagi kita harus menunggu untuk kelahiran seorang traubadur seni tradisi yang luar biasa itu. Entahlah, kita hanya mampu berharap.„ Padangpanjang, 4 Desember 2010

Rehal

Man Shabara Zhafira

"RANAH 3 WARNA" adalah sebuah novel lanjutan dari trilogi "Negeri 5 Menara". Buku A Fuadi sebelumnya yang telah terjual lebih dari 155 ribu eksemplar dan segera diangkat ke layar lebar. Novel ini merupakan cuplikan yang menjadi puncak penderitaan Alif, tokoh utama novel "Ranah 3 Warna" karya Ahmad Fuadi, yang tersedia di toko buku mulai 23 Januari 2011. Tiba-tiba nafasku sesak. Tulang tangannya yang kurus menjepit kerongkonganku dari belakang. Aku ingin meronta tapi urung karena sebuah benda dingin melingkari dan menekan urat leherku. "Mau leher maneh ditebas celurit atau...?" ancamnya. Perampokan tersebut menambah daftar kesengsaraan Alif yang saat itu sedang bersedih karena dagangannya berupa mukena, baju bordir, songket, parfum, hingga sabun cair yang telah ditawarkannya seharian dari rumah ke rumah tidak laku. Anak kos perantauan

yang baru ditinggal wafat ayahnya ini semakin sengsara saja dengan tibatiba pingsan begitu sampai di rumah kosnya dan terpaksa berbaring selama sebulan karena terserang tifus. Ia pun bangkrut dan banyak utang. Perjuangan Hidup Novel kedua ini meminta pembaca menyaksikan urutan jalan hidup Alif yang rinci dari mulai ujian persamaan yang harus dilakoni Alif untuk mendapatkan ijasah SMA, perjuangan Alif untuk bisa lulus dari UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri) hingga perantauannya di Bandung untuk kuliah. Alif memang anak manis yang rajin belajar dan karenanya cukup mulus menggapai keinginannya untuk kuliah. Apa lagi dia pernah dibekali mantra "man jadda wajada" atau "siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil" yang diperolehnya ketika "mondok" di Pondok Madani. Meski diawali dengan puluhan lembar paparan yang lamban dan mem-

bosankan di awal novel, setelah bab "Bordir Kerancang" novel ini semakin menarik saja dengan riak-riak kisah hidup Alif. Alif digambarkan sempat benar-benar terpuruk dan segera menambahkan semangat baru dengan mantra berikutnya yakni "man shabara zhafira" atau "siapa bersabar akan beruntung" sehingga mampu melewati jalan hidupnya yang terjal. Alif pun ditawari mengajar les privat hingga menjualkan perlengkapan wanita agar ia bisa sedikit membiayai hidupnya di perantauan, namun menjadi penulis opini di media massa lokal lebih dipilihnya. Novel ini sebagian besar bercerita tentang masa kuliah Alif sebagai mahasiswa jurusan Hubungan Internasional di Universitas Padjajaran, Bandung dan semangatnya bertahan hidup, melanjutkan episode di buku sebelumnya ketika Alif berguru di sebuah pesantren. Tokoh utamanya memang anak perantauan

yang serba kekurangan, namun pembaca jangan banyak berharap nuansa melankolik di novel ini, karena penulisnya Ahmad Fuadi tidak terlalu mengeksplorasi lebih banyak kenestapaan untuk Alif. Novel ini meskipun merupakan fiksi, namun dilandasi oleh kisah hidup nyata penulisnya, karena itu jalan hidup Alif tidak akan jauh berbeda dari penulisnya yang asal Sumatera Barat, lulusan Pondok Gontor, lulusan jurusan Hubungan Internasional Unpad dan memiliki minat menulis. Dengan demikian, alur novel ini memang bukan rekaan yang dilebihlebihkan untuk membuat pembaca terkoyak hatinya dengan penuturan seputar nestapa Alif, justru sebaliknya membuat pembaca mengagumi usaha Alif menggapai keberuntungannya. Kering Emosi Namun tampaknya penulisnya yang mantan wartawan Tempo dan Voice of America (VOA) ini tak ingin membiarkan kisahnya terjebak pada pemaparan ala

wartawan yang datar, miskin dialog dan kering emosi. Fuadi pun menguraikan dalam pecahan dialog bagaimana sedihnya ketika pertemanan akrabnya dengan sahabat semasa kecil sekaligus teman sekamar kosnya, Randai, rusak, karena persoalan sepele, pinjammeminjam komputer. "Aku mendengar lidahku bergerak terburuburu. "Dai, wa'ang (kamu) bilang apa? Ngomong yang jelas." Darahku rasanya merupa dan mulai menjalar deras naik ke kepala." Pembaca akan terpukau betapa beruntungnya Alif yang menyedihkan itu ternyata tak sulit meraih mimpi melanglang buana ke Yordania dan Kanada dengan gratis. Namun tentu saja semua keberuntungan itu bukannya tanpa usaha. Fuadi membeberkan kegigihan Alif berjuang mendapatkannya serta membuka mata soal banyaknya akses menuju kepada kesuksesan itu bagi siapa saja. Semua ini membuat novel tersebut menjadi

Judul Karangan Penerbit Cetakan I

: Ranah 3 Warna (Buku Kedua dari Trilogi Negeri 5 Menara) : A Fuadi : PT Gramedia Pustaka Utama : Januari 2011

sangat inspiratif, khususnya bagi pembaca yang membutuhkan motivasi untuk maju. Apa lagi novel ini cukup bergizi dengan petuah-petuah yang memberi semangat hidup, dan diselipkan melalui renungan-renungan Alif yang pernah "nyantri" di Pondok Madani, tanpa menggurui. Artis Ferdi Nuril yang membintangi tokoh utama di Film "Ayat-ayat Cinta"

dan hadir saat "prelaunch" novel "Ranah 3 Warna" ini menambahkan, sudah tertarik sejak novel pertama Ahmad Fuadi "Negeri 5 Menara". "Banyak yang bermakna dari buku ini. Bagi saya yang tidak sempat ikut pengajian untuk memperdalam agama, bisa dengan 'simple' belajar agama dengan membaca buku ini," katanya. (Dewanti Lestari/Antara)


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.