Sengketa Tiada Putus: Matriarkat, Reformisme Islam, dan Koloniasme di Minangkabau

Page 227

Mendidik Anak-Anak

185

seperti menjerahkan anaknja keliang singa.”84 Keberagaman sekolah-sekolah di Sumatra Barat telah mendidik anak-anak muda Minangkabau dan dengan tidak sengaja menciptakan suatu generasi yang skeptik dan inovatorinovator. Seperti halnya Agus Salim dan Muhamad Radjab, Muhammad Natsir, yang kemudian menjadi perdana menteri dan pemimpin politik Islam, mengalami pedagogi kontradiktoris. Dia menghadiri surau dan sekolah kampung pemerintah di Maninjau, Sekolah Adabiyah di Padang, dan Madrasah Diniyah serta Sekolah Belanda-Pribumi H. I. S. (Hollandsch-Inlandsche School) yang elite di Solok. Mengenang kembali masa sekolahnya pada 1916, dia berkata, “Pada malam hari mengaji Al-Quran, pagi di HIS, sore di Diniyah”.85 Natsir muncul dari sekolahsekolah ini sebagai pemikir Islam Indonesia utama, salah satu “raksasa di antara pemimpin-pemimpin nasionalis dan politik revolusioner”.86 Selama pendidikannya, Natsir menikmati dukungan dari kedua orangtuanya. Untuk perempuan dan laki-laki Minang­ kabau lain, pilihan-pilihan skolastik dan ketidakpastian moderni­ tas mengakibatkan konflik. Seperti akan kita lihat pada bab berikut, kekhawatiran seksual dan sengketa pribadi adalah faktorfaktor pendorong di balik baik tantangan-tantangan maupun pembelaan-pembelaan terhadap moralitas keluarga dan rumah gadang Minangkabau.

84 Ibid., 2-3. 85 Dari surat-surat Natsir kepada anak-anaknya, dalam Yusuf Abdullah Puar, ed., Muhammad Natsir 70 tahun: Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan (Jakarta: Pustaka Antara, 1978), 5. 86 George McT. Kahin, “In Memoriam: Mohammad Natsir (1907[sic]-1993)”, Indonesia 56 (Oktober 1993): 158.

ISI Sengketa new.indd 185

22/09/2010 23:03:45


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.