METAKRITIK UNTUK SUBAGIO SASTROWARDOYO

Page 4

mahasiswa sastra – sebagian besar pemangku kepentingan sastra Indonesia pada masa depan. Kita tentu bisa berdebat sampai pagi kenapa sepuluh buku itu yang dipilih, tapi fakta dicantumkannya dan diulasnya buku-buku tersebut dalam buku teks akademis jelas memiliki signifikansi strategis bahkan “politis” tertentu.5 SPdS, yang berisi empat kajian puisi, dinilai oleh Yudiono sebagai “contoh kritik sastra Indonesia bergaya populer yang terbilang unggul”, dan “dapat diharapkan dari buku tersebut akan terpetik inspirasi penulisan kritik sastra yang bergaya populer yang mutunya terjamin”. Menurutnya, signifikansi SPdS terletak pada

“pandangan

Subagio

Sastrowardoyo

yang

menyarankan

pentingnya

pengalaman estetik atau pengalaman menulis sastra bagi seorang kritikus”. Ia mengutip pendapat Rachmat Djoko Pradopo dalam Kritik Sastra Indonesia Modern (2002): Orientasi ekspresif Subagio dalam teori dan prakteknya itu dapat diperkirakan berhubungan dengan diri pribadinya sebagai seorang penyair. Bahkan ia mengharapkan (malah mengharuskan) bahwa seorang kritikus sastra itu haruslah juga mempunyai pengalaman menulis sastra meskipun karangan yang ditulisnya itu sedikit atau tidak berhasil (tidak bernilai). Pengalaman itu akan cukup berharga untuk menjadi topangan bagi pandangan kritikus itu mengenai kesusastraan, setidak-tidaknya mengenal proses kejadiannya. Dengan demikian, ia akan mengakui adanya unsur-unsur yang rasional dalam karya sastra, yang subjektif dan bersuasana “misteri”.

5 Sayangnya, signifikansi strategis dan “politis” dari inkorporasi buku-buku sastra tertentu ke dalam kurikulum pendidikan nasional, di tingkat universitas atau sekolah lanjutan, cenderung diabaikan atau disepelekan oleh kalangan sastrawan non-akademik atau di luar koneksi birokrasi. Mungkin karena mereka kelewat percaya-diri, “politik sastra” kalangan ini setahu saya tidak pernah mempersoalkan, misalnya, buku apa oleh sastrawan siapa yang “layak” diajarkan di sekolah. Akibatnya, tidak mustahil bahwa “kanon sastra Indonesia” yang dikenal masyarakat luas (lewat sistem pendidikan) pada masa mendatang, mungkin satu-dua generasi ke depan, hanya ditentukan oleh sekelompok elit sastra yang secara faktual tidak besar pengaruhnya atau kontribusinya kepada sastra nasional, tapi dekat dengan birokrat. 3


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.