Merumuskan arah reformasi kebijakan Hutan

Page 180

mengenai hutan negara. Namun, persoalan lain muncul terkait dengan hutan-hutan yang ada di atas tanah-tanah masyarakat adat (disebut dalam UU No. 41 tahun 1999 sebagai hutan adat). UU ini menyebutkan bahwa hutan adat termasuk ke dalam golongan hutan negara (Pasal 5 ayat 2). Banyak kritik terhadap ketentuan ini telah diajukan. Dalam makalah ini saya hanya akan menegaskan bahwa ketentuan Pasal 5 ayat 2 ini telah mendahului perdebatan yang belum selesai terkait dengan pandangan UUPA mengenai kedudukan tanah-tanah komunal yang dikuasai oleh masyarakat adat. Apakah tanah-tanah itu termasuk ke dalam kategori tanah dengan hak-hak privat sebagaimana tersirat dalam Pasal 3 UUPA atau tanah dengan hak publik (sebagai pendelegasian hak menguasai negara yang tercantum dalam Pasal 2 ayat 4 UUPA)? Tanpa melihat ini, UU No. 41 tahun 1999 memasukkan begitu saja hutan adat ke dalam kategori tanahtanah publik karenanya absah untuk dijadikan sebagai hutan negara. Kerangka hukum pertanahan di Indonesia belum menegaskan mengenai status tanah-tanah komunal masyarakat adat ini. Ketentuan-ketentuan dalam UUPA perlu diperjelas, apakah memasukkan tanah-tanah itu sebagai tanah publik atau privat. Setelah itulah maka legislasi kehutanan dapat menentukan apakah akan meneruskan untuk memasukkan hutan adat ke dalam hutan negara atau mengeluarkannya. Andaikanpun tanah-tanah komunal masyarakat adat pada akhirnya dikategorikan sebagai tanah-tanah publik, ini tidak berarti bahwa hutan adat itu berada di bawah penguasaan Kementerian Kehutanan. Di bagian sebelumnya, saya menyampaikan bahwa Kementerian Kehutanan mempunyai hak untuk menguasai tanah-tanah di dalam kawasan hutan (negara) yang secara hukum berada di bawah penguasaannya. Untuk dapat menguasai tanah-tanah itu maka sesuai dengan kerangka hukum pertanahan yang ada, Kementerian Kehutanan perlu mempunyai hak pengelolaan atas tanah-tanah dimaksud (lihat kembali penjelasan pada bagian 2 paragraf 7). Sayangnya hingga kini hak pengelolaan itu belum ada. Kembali kepada persoalan status hutan adat, jikapun pada akhirnya legislasi pertanahan yang ada akan menetapkannya sebagai tanah publik maka dapat saja hutan adat itu menjadi hutan negara (artinya hutan yang dikuasai negara dan didelegasikan kepada masyarakat adat, lihat Pasal 2 ayat 4 UUPA) namun bukan hutan negara yang ada di bawah hak pengelolaan Kementerian Kehutanan. Mengakhiri bagian ini, saya ingin menegaskan sekali lagi bahwa konsep-konsep, ketentuan dan tafsir terhadap kerangka hukum pertanahan dan kehutanan di Indonesia masih belum sempurna. Hal-hal yang dipaparkan di atas menunjukkan bagaimana persoalan kepastian hukum penguasaan kawasan hutan baik oleh pemerintah ataupun masyarakat, terutama masyarakat adat, belum dapat diselesaikan akibat situasi ini. Penguasaan Kementerian Kehutanan terhadap seluruh kawasan hutan adalah sebuah kesalahkaprahan penafsiran terhadap UU No. 41 tahun 1999. Dasar hukum penguasaan Kementerian Kehutanan terhadap kawasan hutan yang tergolong hutan negara belum dibahas dengan tuntas. Opsi hak pengelolaan yang semestinya dirujuk tidak pernah dilakukan. Status publik dan privat dari tanah-tanah komunal masyarakat adat belum terselesaikan dalam legislasi pertanahan yang ada. Seluruh kondisi ini berimplikasi pada persoalan hukum yang serius terkait dengan kepastian penguasaan pemerintah dan masyarakat  168


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.