Merumuskan arah reformasi kebijakan Hutan

Page 168

Hutan adat atau hutan desa belum tentu hutan negara karena UUPA belum tegas mengatur tentang itu. Pada permen BPN 5/99, hak adat diberikan hak kepunyaan. Tapi tidak didefinisikan dengan jelas. Seperti hak milik, tetapi tidak jelas. Izin tukar-menukar hanya dapat dilakukan pada hutan negara yang dapat dilakukan kemenhut dengan dasar hak kelola. Hak kelola diberikan oleh BPN kepara kemenhut, pemda, desa dan masyarakat adat. Selain itu masih ada wilayah abu-abu0 yang belum diberi tapal batas. Bukan hutan hak, dan juga bukan hutan negara yang telah ditetapkan. Total 108 juta hektare hutan. Untuk pembenahan kebijakan, saya coba kaitkan dengan desentralisasi, karena pada posisi manusia sebagai subyek, sulit untuk melaksanakan sentarisasi, tapi harus dengan desentralisasi. Untuk pembenahan organisasi, seharusnya penguatan BPN sentralistis, dan secara bertahap melakukan desentralisasi, untuk administrasi pertanahan di indonesia. Termasuk menerbitkan izin hak pengelolaan. Selain itu kemenhut bisa fokus bekerja di lapangan untuk mengembangakan KPH-KPH ini bekerjasama dengan pemda dalam format terdesentralisasi. Laksmi A. Savitri menyampaikan tanggapannya, bahwa dalam dalam logika agraria, hutan adalah obyeknya. Ketika bicara tentang subyek, kita mencoba membaca tentang hubungan dan pengaturan hubungan antara institusi pemerintahan terkait dengan korporasi dan komunitas. Dari hubungan antar subyek ini, didapatkan gambaran bahwa permasalahannya bukan pada teksnya. Tapi pada interpretasi atau yang disebut mbak Myrna dengan kesalahpahaman tafsir. Pertanyaan mendasarnya adalah apakah teks itu bisa menjawab pertanyaan “siapa memiliki apa?” “siapa melakukan apa?” “siapa mendapatkan apa?” “apa yang mereka lakukan terhadap apa yang didapat itu?” dan “apa yang mereka lakukan terhadap orang lain untuk mendapatkannya?” Pak Hariadi melihat pengaturan tenurial diletakkan pada pengaturan izin dan hak. Sehingga menjadi kunci dari proses akses dan eksklusi. Yang menarik adalah dari mana kewenangan Kemenhut untuk mendefinisikan izin dan hak tersebut? Dari bang Martua, ada satu cara pandang tentang teritorialisasi yang menyatukan antara pengelolaan dan kewenangan atas suatu wilayah. Yang terdapat dalam ilmu kehutanan, dimana untuk mengelola suatu wilayah kita harus munguasai wilayah tersebut. Dan itu mendarah-daging di dalam Kemenhut, dan kemudian menjadi konsep untuk mengarahkan bagaimana mereka berlaku. Pertanyaannya, apakah di dalam kemenhut ada politik klan? Karena ketika pandangan teritorialisasi membentuk property regim dan memberikan ruang kepada politik klan dalam Kemenhut, bisa jadi ini menjadi suatu cara untuk menjaga aliran keuntungan. Boleh jadi pandangan teritorialisasi dan politik klan ini mempengaruhi rezim hukum yang terjadi. Sampai pada tingkat izin dan pemberian hak. Bisa jadi inilah praktik institusionalisasi dari pengelolaan SDA kita. Hasilnya, yang terjadi dalam reforma agraria adalah redistribusi atau rekonsentrasi kekayaan dan kekuasaan atas pemberian akses dan izin tersebut. Dapat dilihat apakah terjadi redistribusi atau rekonsentrasi dengan mempelajari hubungan antar subyek. Selain itu juga perlu 156


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.