Merumuskan arah reformasi kebijakan Hutan

Page 152

masyarakat adat itu adalah bagian dari HMN yang hanya bisa dikelola oleh masyarakat adat setelah dikuasakan oleh Negara kepada masyarakat adat yang bersangkutan. Bahkan ayat ini jelas-jelas mengandung pemikiran untuk membatasi hak-hak masyarakat adat hanya untuk “sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”. Hal ini bisa menunjukkan bahwa UUPA tidak sepenuhnya mampu menjabarkan amanat UUD 1945 untuk menjamin perlindungan hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumberdaya alam yang ad adi wilayah adat. Tetapi di lain pihak UUPA ini cukup kuat memberi landasan hukum bagi pelaksanaan redistribusi sumber-sumber agraria kepada petani dan buruh tani melalui “land reform”. Sayangnya, UUPA ini tidak sempat dilaksanakan dengan efektif oleh Presiden Soekarno sampai akhirnya mandul dengan muncul berbagai UU agraria/SDA sektoral di masa Rejim Kapitalis Otoritarian Orde Baru. Di sektor kehutanan, mala petaka ini terjadi dengan keluarnya UU No. 5/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan (UUPK) yang mengadopsi sepenuhnya HMN dalam UUPA tetapi hanya diberlakukan di semua hutan yang ada wilayah Republik Indonesia (Ps. 5 ayat (1) UUPK). Dalam penjabaran HMN yang mengacu pada Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, UUPK sama sekali tidak mengakui keberadaan hak ulayat atau jenis hak adat lainnya di kawasan hutan dan menutup akses penduduk lokal terhadap kawasan hutan. Pemberlakukan UUPK ini dibarengi juga dengan makin kuatnya cengkeraman Jenderal Soeharto dalam pengusahaan hutan melalui pengusaha yang menjadi kroni keluarga dan para pembantu dekatnya. Negara dipersempit menjadi hanya Pemerintah dan HMN dimanipulasi menjadi Hak Milik Pemerintah. Pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehutanan saat itu, telah menjadi “satu-satunya tuan tanah” yang berkuasa atas 133 juta ha luas daratan Indonesia yang dinyatakan sebagai kawasan hutan, tidak peduli ada hutan atau tidak di atas kawasan yang ditunjuk itu. Untuk mempertahankan luasan yang tetap atas kawasan hutan dan menjamin control yang sentralistik atas kayu sebagai nilai ekonomi hutan paling tinggi saat itu, Rejim ini juga menerapkan hukum yang represif untuk mengabaikan atau bahkan untuk menggusur hak-hak masyarakat adat dan hak rakyat lainnya yang menghalangi proyek pembangunan kehutanan yang demikian agresif berupa penebangan kayu di wilayah-wilayah adat yang berhutan. Berbagai peraturan perundangan di sektor ini dibuat untuk melindungi korporasi dan menghukum (mengkriminalisasi) rakyat yang menghalangi operasi korporasi yang sudah mendapat ijin konsesi dari Pemerintah. Ketimpangan akses dan pengusahaan atas sumberdaya hutan antara segelintir pengusaha pemegang hak konsesi dengan masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan sudah sangat memprihatinkan. Pada tahun 1995 paling sedikit ada 586 konsesi HPH dengan luas keseluruhan 63 juta ha, atau lebih separuh dari luas hutan tetap, baik yang dieksploitasi perusahaan swasta maupun BUMN, dan jumlah ini masih terus meningkat sampai berakhirnya kekuasaan Soeharto. DEPHUTBUN bulan Juli 2000 mencatat ada 652 HPH dengan luas keseluruhan areal konsesi mencapai 69,4 juta hektar. Sebagian besar dari kawasan hutan produksi yang dikonsesikan oleh pemerintah ini berada di dalam wilayah-wilayah adat. Wilayah adat berhutan lainnya sebagian 140


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.