Jurnal: TEKNODIK No. 17

Page 1


ISSN: 0854-915X No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

JURNAL

Website: http://www.pustekkom.go.id

TEKNODIK • E-dukasi.Net • Web untuk Pendidikan

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL PUSAT TEKNOLOGI KOMUNIKASI DAN INFORMASI PENDIDIKAN No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

11


Daftar Isi: DAFTAR ISI ............................................................................

2

EDITORIAL ............................................................................

3

• • • • • • • •

• •

Studi Pemanfaatan E-dukasi.Net (Drs. Ade Koesnandar, M.Pd., Uwes A. Chaeruman, S.Pd., dan Ika Kurniawati, M.Pd.) .................................................. 5 Graphical User Interface (GUI) dan Pemanfaatannya dalam Perangkat Lunak (Gatot Pramono, MPET.) .................................................... 31 Mudahnya Memiliki Potal web Sendiri (Dwi Sumarwanto, S.Si., S.Kom.) ......................................... 53 Seputar Pembelajaran Elektronik (e-Learning) (Drs. Sudirman Siahaan, M.Pd.) .......................................... 63 Kebutuhan dan Perilaku Pencarian Informasi (Sebuah Tinjauan Hasil Penelitian) (Zulfah Larisu, M.Si.) .......................................................... 81 Masyarakat Peduli Siaran Televisi (Drs. Oos M. Anwas, M.Si.) .................................................. 97 Pengajaran Berfikir: Suatu Proses Pengembangan Proses Belajar Mengajar (Asep Saepudin, M.Pd.) ...................................................... 111 Hubungan antara Keterbacaan Modul dan Motivasi Berprestasi dengan Hasil Belajar Pelajaran Sejarah (Studi Korelasi pada SMA Terbuka) (Dr. Nurdin Ibrahim, M.Pd.) .................................................. 134 Kompetensi Pamong Belajar dalam Implementasi program Pembelajaran Pendidikan Luar Sekolah (Sudirman, SE., M.Pd.) ....................................................... 156 Hasil Belajar, Model Evaluasi Hasil Belajar, Model Evaluasi dan Bentuk Tes (Rini Susanti, M.Pd. ) ......................................................... 176

Acuan Penulisan ..................................................................... 199

2

Website: http://www.pustekkom.go.id


Editorial khir tahun 2005 ini Jurnal Teknodik kembali hadir. Topik utama kami masih menyajikan tentang perkembangan ICT untuk pendidikan. Ade Koesnandar, Uwes A. Chaeruman, dan Ika Kurniawati melaporkan hasil penelitian pemanfaatan portal pendidikan EduksiNet di sekolah-sekolah rintisan. Hasil penelitian ini menunjukan ada peningkatan pengunjung (user hit) yang siginfikan, namun portal ini masih belum dimanfaatkan secara optimal oleh guru dan siswa. Yang menarik hasil studi ini ditemukannya pemanfaatan portal yang terintergrasi dengan kegiatan siswa dalam memberikan penugasan, presentasi dan diskusi, serta praktikum di laboratorium komputer.

A

Masih terkait dengan ICT, Gatot Pramono mengkaji aplikasi komputer Graphical User Interface (GUI) sebagai salah satu aplikasi pembelajaran terutama aspek kegunaan dan pemanfaatanya. Sementara itu Dwi Sumarwanto melakukan kajian tentang kemudahan membuat portal sendiri. Menurut Dwi kini banyak jenis aplikasi portal web yang instan dan siap pakai baik yang komersil atau gratis ditemukan di internet. Misalnya dengan CMS siapapun bisa menjadi pemilik sekaligus pengelola sebuah portal web. Sebagai hasil inovasi, pembalajaran berbasis internet (e-learning) yang dapat menjadi alternatif pembelajaran tatap muka menimbulkan pro dan kontra. Menurut Sudirman Siahaan, dalam hal ini yang penting adalah koordinasi berbagai pihak terkait sehingga e-learning memberikan manfaat dalam meningkatkan mutu pendidikan. Zulfah Larisu menulis hasil penelitian tentang kebutuhan dan perilaku pencarian informasi pada kelompok orang yang berpotensi membutuhkan informasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebutuhan informasi dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan dan pekerjaannya. Sedangkan perilaku pencarian informasi banyak dilakukan di perpustakaan. Kebutuhan dan perilaku pencarian informasi ini ditentukan oleh ketersediaan dan kemudahan mengakses informasi. Editorial

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

3


Oos M. Anwas melakukan pengkajian tentang perlunya kepedulian masyarakat terhadap siaran televisi. Menurut Anwas, di era global ini hanya melalui sikap dan perilaku peduli masyarakat dampak negatif gencarnya tayangan televisi bisa dibendung terutama terhadap perkembangan anak-anak. Di sini ia memberikan beberapa alternatif real bentuk kepedulian tersebut. Asep Saefudin mengkaji tentang pengajaran berpikir (teaching of thinking) sebagai suatu konsep pengajaran yang bersifat student centred. Menurut Asep pengajaran berpikir lebih mengutamakan keterampilan berpikir pemecahan masalah dan analisis isu (problem solving and issues analisis). Nurdin Ibrahim menulis hasil penelitian di SMA Terbuka. Menurutnya Terdapat hubungan yang signifikan antara motivasi berprestasi dengan hasil belajar Sejarah, keterbacaan modul dengan hasil belajar Sejarah, secara bersama-sama terdapat hubungan yang signifikan antara motivasi berprestasi dan keterbacaan modul dengan hasil belajar Sejarah. Sudirman melakukan pengkajian tentang kompetensi pamong belajar dalam implementasi program pembelajaran pendidikan luar sekolah. Menurut Sudirman interaksi yang kuat, hangat, dan bermakna antara Pamong Belajar dan peserta didik menimbulkan dampak terhadap pembelajaran berkualitas dan efektif. Untuk itu kompetensi pamong harus memiliki nilai dan sikap, penguasaan konsep dan kecakapan mengaplikasiskan materi yang baik. Rini Susanti melakukan pengkajian terhadap evaluasi hasil belajar. Menurut Rini evaluasi diperlukan untuk melihat apakah tujuan yang direncanakan sudah tercapai dalam hasil belajar. Bentuk tes berupa objektif atau esai, sedangkan jenisnya dapat berupa esai terbatas, esai bebas, pilihan ganda, benar salah, menjodohkan dan sebagainya. Penggunaan bentuk tes ini sangat dipengaruhi oleh pandangan tentang belajar, hasil belajar dan model evaluasi yang digunakan. Selamat membaca (os). 4

Editorial

Website: http://www.pustekkom.go.id


STUDI PEMANF A ATAN PEMANFA E-DUK ASI.NET DI SEK OL AH E-DUKASI.NET SEKOL OLAH oleh: Kusnandar, Uwes A. Chaeruman, dan Ika Kurniawati *)

Abstrak Internet mempunyai potensi yang besar dalam pembelajaran, baik sebagai sumber belajar, media, maupun pendukung pengelolaan proses belajar mengajar. Berdasarkan asumsi tersebut, Pustekkom telah mengembangkan sebuah portal bahan belajar yang diberi nama EdukasiNet. Portal ini berisi bahan belajar, forum diskusi komunitas pendidikan, serta web sekolah. Guna mengoptimalkan pemanfaatan EduksiNet, telah dilakukan studi pengembangan terhadap sekolah-sekolah rintisan pada 18 sekolah di 16 lokasi kabupaten/kota yang tersebar di seluruh Indonesia. Studi dilaksanakan dalam rangka menjawab pertanyaan, antara lain: 1. Bagaimana guru/siswa telah memanfaatkan EdukasiNet dalam pembelajaran? 2. Bagaimana pola pemanfaatan EdukasiNet tersebut? dan 3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pemanfaatan EdukasiNet? Responden terdiri dari 18 orang kepala sekolah, 190 orang guru, serta 136 siswa. Hasil analisis data menunjukkan bahwa pengunjung (user hit) mengalami peningkatan yang cukup siginfikan dari bulan ke bulan. Sampai Februari 2006, tercatat telah mencapai 671.591 orang dan anggota aktif (registered user) telah mencapai 6.934 orang. Dari sisi pemanfaatan di sekolah, baik guru maupun siswa belum memanfaatkan EdukasiNet secara optimal. Hanya 62% guru dan 45% siswa yang memanfaatkan EdukasiNet. Sedangkan frekuensi pemanfaatan dalam satu bulan Âą 99% responden menjawab < 5

*)

Drs. Kusnandar, M.Pd., Uwes A. Chaeruman, dan Ika Kurniawati adalah staf Pustekkom Diknas. No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

5


kali. Pola pemanfaatan EdukasiNet menggunakan strategi yang terpisah, dan ada juga yang terintegrasi. Penerapan strategi terintegrasi antara lain melalui penugasan sebesar 50%, presentasi dan diskusi 17%, dan pada saat kegiatan praktikum di laboratorium komputer sebesar 33%. Ditemukan pula beberapa kendala dalam pemanfaatan EdukasiNet antara lain fasilitas yang kurang memadai, kesulitan dalam pengaturan jadwal, serta koneksi ke internet.

Kata Kunci: Portal EdukasiNet, Bahan Belajar, materi pokok, modul online, uji kompetensi, pengetahuan populer, interaksi komunitas, forum, chatting, milis, info, berita, artikel, event, web sekolah.

LATAR BELAKANG Saat ini, dunia telah berada dalam era komunikasi instan atau dikenal pula sebagai era informasi. Era informasi dipengaruhi oleh pesatnya perkembangan dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK), khususnya komputer dan internet. Internet merupakan jaringan global yang menghubungkan beribu bahkan berjuta jaringan komputer (local/ wide areal network) termasuk komputer pribadi (stand alone), yang memungkinkan setiap komputer yang terhubung kepadanya bisa saling melakukan komunikasi satu sama lain. Sebenarnya, internet awalnya lahir untuk suatu keperluan militer di Amerika Serikat. Pada awal tahun 1969 Advanced Research Project Agency (ARPA) dari Departemen Pertahanan Amerika Serikat, membuat suatu eksperimen jaringan yang diberi nama ARPAnet untuk mendukung keperluan penelitian (riset) kalangan militer. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya jaringan ini dipergunakan untuk keperluan riset perguruan tinggi, yang dimulai dengan University of California, Stanford Research Institute dan University of Utah (Cronin, 1996). Fasilitas aplikasi Internet cukup banyak sehingga mampu memberikan dukungan bagi keperluan militer, kalangan media massa, kalangan bisnis, maupun kalangan pendidikan. 6

Kusnandar, Uwes A. Chaeruman & Ika Kurniawati: Studi Pemanfaatan E-dukasi.Net

Website: http://www.pustekkom.go.id


Teknologi komunikasi dan informasi yang meng-global ini telah mengubah pola kehidupan, pola belajar, dan pola kerja pada saat ini. Dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam proses pembelajaran, negara-negara di Asia seperti Korea Selatan, Malaysia, Singapura, dan Thailand telah terbukti sukses memperbaiki mutu pembelajaran di tingkat pendidikan dasar sampai dengan peguruan tinggi. Bahkan, telah terbukti dapat meningkatkan persaingan ekonomi global dalam dunia internasional. Sebagai suatu institusi yang memiliki tugas pokok merancang, mengembangkan dan membina kegiatan di bidang teknologi komunikasi dan informasi pendidikan, Pustekkom telah berusaha mengembangkan berbagai inovasi penerapan teknologi komunikasi dan informasi untuk pendidikan di Indonesia. Salah satu upaya yang dikembangkan antara lain sebuah portal bahan belajar yang diberi nama EdukasiNet. Portal ini selain berisi bahan belajar, juga menyediakan forum diskusi sebagai wadah interaksi komunitas pendidikan, informasi pendidikan, serta web sekolah. Dalam upaya pemanfaatan portal EdukasiNet, Pustekkom telah mengadakan penelitian pengembangan yang dimulai dari studi kelayakan untuk memilih sekolah yang memenuhi syarat untuk dijadikan sekolah perintisan. Kriteria sekolah antara lain telah memiliki sejumlah komputer yang terkoneksi ke internet, memiliki tenaga teknis komputer, serta ada dukungan dari kepala sekolah untuk memanfaatkan komputer sebagai media belajar. Studi dilakukan pada 18 lokasi di 16 propinsi yaitu: Nangroe Aceh Darussalam, Riau, Kepulauan Riau, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat (2 lokasi), Jawa Tengah (2 lokasi), DI Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Bali, Maluku, dan Papua. Dari 18 lokasi tersebut dipilih masing-masing satu sekolah (baik SMA, MA, maupun SMK) yang dianggap paling memenuhi syarat di kota tersebut. Selanjutnya, kepada kepala sekolah, guru, serta tenaga teknis komputer pada setiap sekolah diberikan pelatihan orientasi pemanfaatan EdkusiNet. Pada pelatihan orientasi ini, antara lain diperkenalkan potensi internet dalam pembelajaran, pemanfaatan fitur-fitur EdukasiNet, serta pengintegrasian internet dalam pembelajaran. Orientasi masing-masing Kusnandar, Uwes A. Chaeruman & Ika Kurniawati: Studi Pemanfaatan E-dukasi.Net

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

7


diberikan sekali, yaitu 8 sekolah diberikan orientasi pada bulan Oktober tahun 2004 dan 10 sekolah pada bulan september 2005. Pada bulan Desember 2005, secara serempak dilakukan studi terhadap 18 sekolah tersebut. Tujuan studi, antara lain untuk menjawab pertanyaan: 1. Bagaimana guru/siswa telah memanfaatkan EdukasiNet dalam pembelajaran? 2. Bagaimana pola pemanfaatan EdukasiNet tersebut? 3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pemanfaatan EdukasiNet (baik pendukung maupun penghambat)? Data dan informasi yang diperoleh dari lapangan diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan dalam memperbaiki dan menyempurnakan portal EdukasiNet.

PEMANFAATAN INTERNET DALAM PENDIDIKAN Dengan pertumbuhan teknologi komunikasi dan informasi yang pesat, internet telah menjadi suatu medium belajar dan mengajar yang perlu diperhitungkan kemanfaatannya. Menurut Kamarga (2002), internet merupakan jaringan yang terdiri dari ribuan bahkan jutaan komputer, termasuk di dalamnya jaringan lokal yang terhubung melalui saluran (satelit, telepon, kabel) dan jangkauannya mencakup seluruh dunia. Internet memiliki banyak fasilitas yang telah dipergunakan dalam berbagai bidang termasuk dalam bidang pendidikan. Fasilitas tersebut antara lain: e-mail, Telnet, Internet Relay Chat, News groups, Mailing List (Milis), File Transfer Protocol (FTP), atau World Wide Web (WWW). Ada lima aplikasi stpenggunar internet yang dapat digunakan untuk keperluan pendidikan, yaitu e-mail, Mailing List (milis), News groups, File Transfer Protocol (FTC), dan World Wide Web (WWW) (Onno W. Purbo, 2002). World Wide Web atau sering disebut Web merupakan kumpulan dokumentasi terbesar yang tersimpan dalam berbagai server yang terhubung menjadi suatu jaringan (internet). Dokumen ini 8

Kusnandar, Uwes A. Chaeruman & Ika Kurniawati: Studi Pemanfaatan E-dukasi.Net

Website: http://www.pustekkom.go.id


dikembangkan dalam format hypertext dengan menggunakan Hypertext Markup Language (HTML). Melalui format ini dimungkinkan terjadinya link dari satu dokumen ke dokumen atau bagian yang lain (http:// www.livinginternet.com). Dalam kaitan pemanfaatannya untuk pendidikan, Ashby (1972) seperti dikutip oleh Miarso (2004), menyatakan bahwa dunia pendidikan telah memasuki revolusinya yang kelima. Revolusi pertama terjadi ketika orang menyerahkan pendidikan anaknya kepada seorang guru. Revolusi kedua terjadi ketika diguanakannya tulisan untuk keperluan pembelajaran. Revolusi ketiga terjadi seiring dengan ditemukannya mesin cetak sehingga materi pembelajaran dapat disajikan melalui media cetak. Revolusi keempat terjadi ketika digunakannya perangkat elektronik seperti radio dan televisi untuk pemerataan dan perluasan pendidikan. Revolusi kelima, seperti saat ini, dengan dimanfaatkannya teknologi komunikasi dan informasi mutakhir, khususnya komputer dan internet untuk pendidikan. Revolusi ini memberi dampak terhadap beberapa kecenderungan pendidikan masa depan. Beberapa ciri tersebut, menurut Ashby seperti dikutip oleh Miarso (2004) adalah sebagai berikut: • Berkembangnya pembelajaran di luar kampus sebagai bentuk pendidikan berkelanjutan. • Orang memperoleh akses lebih besar dari berbagai sumber belajar. • Perpustakaan sebagai pusat sumber belajar menjadi ciri dominant dalam kampus. • Bangunan kampus berserak (tersebar) dari kampus inti di pusat dengan kampus satelit yang ada di tengah masyarakat. • Tumbuhnya profesi baru dalam dalam bidang media dan teknologi. • Orang dituntut lebih banyak belajar mandiri. Kecenderungan lain, seperti diungkapkan oleh Ryan et al (2000) adalah sebagai berikut: • Teknologi yang ada saat ini dapat mentransformasi cara pengetahuan dikemas, disebarkan, diakses, diperoleh dan diukur. Sehingga merubah cara produksi dan penyampaian materi dari cetak dan analog ke dalam bentuk digital dalam bentuk DVD, CD-ROM, maupun bahan belajar on-line berbasis web lainnya. Kusnandar, Uwes A. Chaeruman & Ika Kurniawati: Studi Pemanfaatan E-dukasi.Net

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

9


Orang akan lebih memilih metode belajar yang lebih luwes (flexible), mudah, dan sesuai dengan kebutuhan dan kondisinya masingmasing. Sehingga memicu terjadinya pergeseran pola pendidikan dari tatap muka (konvensional) kearah pendidikan yang lebih terbuka.

Dengan adanya teknologi internet ini sistem penyampaian dan komunikasi (delivery system and communication) antara siswa dengan guru, guru dengan guru atau siswa dengan siswa dapat dilakukan dengan berbagai bentuk dan cara, baik secara bersamaan (synchronous) maupun (asynchronous). Beberapa bentuk komunikasi yang dapat dilakukan antara lain adalah sebagai berikut (Purbo, 1997): • Dialog elektronik (chatting); dialog elektronik adalah percakapan berbasis teks yang dapat dilakukan secara online dalam waktu bersamaan (synchronous) antara dua atau lebih pengguna internet. Contoh aplikasi dalam konteks pendidikan tinggi, dialog elektronik dapat digunakan untuk proses komunikasi antara dosen dengan beberapa orang mahasiswanya dalam mendiskusikan suatu omin perkuliahan tertentu. • Surat elektronik (e-mail); surat elektronik merupakan suatu bentuk komunikasi tidak bersamaan (asynchronous) yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara mahasiswa dengan dosen atau mahasiswa dengan mahasiswa lain melalui surat yang disampaikan secara elektronik melalui internet. Berbeda dengan chatting, dengan cara ini umpan balik yang diperoleh mungkin tertunda. • Konferensi kelompok melalui surat elektronik (mailing list); Mailing list merupakan perluasan dari e-mail dimana seseorang dapat mengirim pesan kepada sekelompok orang tertentu yang telah terdaftar untuk bergabung dalam kelompok diskusi. Sebagai contoh, seorang dosen memiliki daftar mahasiswa yang tergabung dalam kelompok mata kuliah tertentu. Pemberian tugas dan diskusi dapat dilakukan melalui fasilitas seperti ini. Konferensi jarak jauh (teleconference); konferensi jarak jauh dapat berupa konferensi audio maupun konferensi video. Kedua konferensi ini dapat dilakukan dengan cara “point to point” atau “multi point”. Cara pertama dilakukan dalam dua tempat. Sedangkan cara kedua dilakukan dalam lebih dari dua tempat. Sebagai contoh, seorang 10

Kusnandar, Uwes A. Chaeruman & Ika Kurniawati: Studi Pemanfaatan E-dukasi.Net

Website: http://www.pustekkom.go.id


guru dari sekolah tertentu dapat mendiskusikan suatu topik tertentu kepada siswa di beberapa sekolah lain dalam waktu bersamaan. Untuk memanfaatkan EdukasiNet sebagai media pembelajaran di sekolah, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar pemanfaatan EdukasiNet bisa berhasil, antara lain: • Faktor lingkungan yang meliputi institusi penyelenggara pendidikan (dalam hal ini sekolah). • Siswa/peserta didik/pebelajar, meliputi usia, latar belakang sosial ekonomi dan budaya, penguasaan bahasa maupun IT literacy, serta berbagai gaya belajar. • Guru/pendidik/pembelajar, meliputi latar belakang, usia, gaya mengajar, pengalaman, dan personalitinya. • Faktor teknologi meliputi computer, perangkat lunak, jaringan koneksi internet dan berbagai kemampuan yang dibutuhkan berkaitan dengan penerapan EdukasiNet di lingkungan sekolah.

Institusi Penyelenggara (Sekolah) Peranan institusi penyelenggara dalam hal ini sekolah, diwujudkan dalam bentuk kebijakan dan komitmen. Kebijakan atau komitmen sekolah sangat menentukan terselenggaranya pemanfaatan EdukasiNet di sekolah. Kebijakan ini terutama berkaitan dengan penggunaan teknologi tinggi yang menyangkut keharusan menyediakan sejumlah dana untuk penyediaan peralatan (komputer dan perangkatnya), jaringan telepon (koneksi ke ISP), biaya berlangganan ke internet service provider (ISP), biaya penggunaan telepon, dan sebagainya.

Siswa/Peserta Didik/Pebelajar Usia, latar belakang baik sosial ekonomi, penguasaan bahasa maupun IT Literacy, serta gaya belajar siswa berbeda satu sama lain. Dengan adanya perbedaan ini akan mempengaruhi mereka dalam memanfaatkan EdukasiNet. Sekolah ataupun guru perlu memperhatikan karakteristik peserta didik agar pemanfaatan EdukasiNet di sekolah berhasil.

Kusnandar, Uwes A. Chaeruman & Ika Kurniawati: Studi Pemanfaatan E-dukasi.Net

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

11


•

Guru Pemanfaatan EdukasiNet banyak sangat ditentukan oleh karakteristik guru. Karena tiap guru memiliki karakteristik yang berbeda, untuk mengatasinya perlu diadakan sosialisasi dan orientasi tentang pemanfaatan program tersebut dengan memperhatikan halhal berikut: 1) guru perlu diberikan pemahaman tentang keuntungan dan manfaatkan menggunakan EdukasiNet untuk pembelajaran sehingga para guru memiliki motivasi dan komitmen yang tinggi; 2) guru perlu dibekali dengan kesadaran, wawasan, pengetahuan dan ketrampilan tentang pemanfaatan EdukasiNet.

•

Teknologi Selain ketiga faktor diatas, faktor teknologi juga merupakan faktor yang sangat menentukan pemanfaatan EdukasiNet di sekolah. Faktor teknologi merupakan faktor yang harus ada dengan memenuhi stpenggunar minimal yang dipersyaratkan baik berkaitan dengan peralatan, infrastruktur, pengoperasian dan perawatannya.

SEKILAS TENTANG EDUKASINET EdukasiNet hadir sebagai upaya memberdayakan potensi internet untuk kebutuhan pendidikan. Lebih tepatnya, EdukasiNet hadir sebagai sebagai salah satu media jaringan sekolah (schoolnet) di Indonesia. Jaringan sekolah adalah suatu kegiatan komunitas sekolah (guru, siswa, atau tenaga pendidik dan kependidikan lain) yang dimediasi oleh internet sebagai sarana komunikasi atau bertukar informasi satu sama lain. Terjadinya pertukaran informasi yang mudah dan cepat tanpa terbatas ruang dan waktu melalui program jaringan sekolah ini memungkinkan terjadinnya komunitas masyarakat informasi (knowledge-based society) dalam lingkup sekolah. Dengan demikian, jaringan sekolah dapat dikatakan sebagai salah satu wahana untuk meningkatkan wawasan, pengetahuan, dan keterampilan komunitas sekolah yang pada akhirnya dapat membantu meningkatkan mutu pendidikan. Itulah sebabnya, program jaringan sekolah menjadi salah satu program yang menjadi fokus

12

Kusnandar, Uwes A. Chaeruman & Ika Kurniawati: Studi Pemanfaatan E-dukasi.Net

Website: http://www.pustekkom.go.id


utama UNESCO untuk diterapkan di berbagai negara di dunia. Bahkan ke depan diharapkan terjadi jaringan sekolah yang tidak hanya terjadi dalam skala lokal (nasional), tapi dalam skala yang lebih luas, yaitu regional dan internasional. Jadi, EdukasNet adalah program jaringan sekolah yang dikembangkan oleh Pustekkom yang berfungsi sebagai 1) wahana komunikasi lintas sekolah; 2) wadah sumber belajar; dan 3) wahana berbagii informasi antar sekolah di Indonesia. Sebagai portal pendidikan, EdukasiNet dapat diakses oleh siapa saja, dimana saja dan kapan saja melalui url: http://www.e-dukasi.net. Dengan tiga peran utama tersebut, maka EdukasiNet dapat berfungsi atau dikatakan pula sebagai jaringan sekolah (schoolnet). Dengan demikian, EdukasiNet dapat berperan atau memilki manfaat sebagai berikut: 1. Sebagai Sumber Bahan Belajar: a. guru dan siswa dapat memperoleh berbagai sumber bahan belajar yang meliputi bahan belajar yang berkaitan dengan semua mata pelajaran untuk SD, SMP dan SMA, modul online, pengetahuan populer, berita serta artikel pendidikan dengan cara mendownload atau memanfaatkannya langsung dalam kelas; b. siswa dapat menguji kemampuan/kompetensi semua mata pelajaran yang dipelajarinya secara online; c. guru dapat memperoleh informasi mengenai teknik dan tips dalam belajar dan membelajarkan siswa d. guru dapat berbagi ilmu dengan guru lain dengan cara mengirimkan karyanya berupa bahan belajar berbasis web ke administrator EdukasiNet untuk di-upload; 2. Sebagai Sarana Komunikasi dan Kolaborasi Lintas Sekolah - Sekolah memperoleh ruang (space) untuk menampilkan web site sekolahnya masing-masing sebagai sub domain EdukasiNet; - Guru dapat berkomunikasi, berbagi ide dan pengalaman dengan sesama guru dari sekolah lain di Indonesia secara online dengan memanfaatkan fasilitas forum guru (melalui e-mail, millist atau chatting);

Kusnandar, Uwes A. Chaeruman & Ika Kurniawati: Studi Pemanfaatan E-dukasi.Net

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

13


-

-

Guru dapat mengirimkan ide, pengalaman, karya ilmiah atau berita pendidikan ke adminstrator EdukasiNet untuk dipublish dalam feature artikel dan news EdukasiNet; Siswa dapat berkomunikasi, berbagi ide dan pengalaman dengan sesama siswa dari sekolah lain dengan memanfaatkan fasilitas forum siswa.

FASILITAS/FITURE EDUKASINET Sebagai upaya untuk memenuhi perannya sebagai jaringan sekolah, EdukasiNet dilengkapi dengan fIture seperti digambarkan dalam diagram berikut: Bahan Belajar

Info

•

14

Interaksi K omunita s

Fiture Sta ndar

Sumber Bahan Belajar (Learning Resource) EdukasiNet menyediakan sumber belajar yang dirancang secara khusus dan dapat diakses dan atau download secara gratis. Sumber belajar ini terdiri dari materi pokok, modul online, pengetahuan populer, serta uji kompetensi. - Materi Pokok, yaitu bahan belajar yang meliputi semua mata pelajaran untuk SD, SMP, SMA atau yang sederajat dan sesuai dengan kurikulum yang berlaku. - Modul Online ini dirancang untuk siswa dan guru SMP-SMA Terbuka dalam versi digital, sehingga mereka dapat mengambil/ mencetak modul sesuai dengan kebutuhan. Namun siapapun Pengguna dapat memanfaatkan modul ini seperti mereka. Kusnandar, Uwes A. Chaeruman & Ika Kurniawati: Studi Pemanfaatan E-dukasi.Net

Website: http://www.pustekkom.go.id


-

-

Pengetahuan Populer, berisikan informasi praktis yang dikemas dengan gaya yang khas dan ringan. Topik yang disajikan dipilih yang populer dan bermanfaat bagi masyarakat. Uji Kemampuan, berupa soal-soal latihan yang disusun berdasarkan stpenggunar kompetensi yang ada pada kurikulum sekolah. Di sini Pengguna (khususnya siswa SD, SMP dan SMA atau yang sederajat) dapat berlatih mencoba sejauhmana penguasaan materi pelajaran di sekolah.

•

Interaksi Komunitas Forum komunitas ini dirancang sebagai wahana tukar informasi antar pengguna EdukasiNet. Guru, siswa, mahasiswa, orang tua, pakar/ praktisi atau siapapun yang peduli dengan pendidikan dapat bergabung secara aktif di sini. Interaksi komunitas ini dapat dilakukan dalam berbagai bentuk sebagai berikut: - Forum Interaksi didalam forum ini dirancang untuk komunikasi antar guru dengan guru lain, siswa dengan siswa lain, guru dengan siswa dalam bentuk diskusi atau tukar informasi, pemikiran, saran, mata pelajaran, dan lainnya. - Chatting Fasilitas ini memungkinkan pengguna dapat melakukan dialog secara elektronik (chatting) secara langsung dengan pengguna lain di tempat yang berbeda secara real time.

•

Info Fitur ini menyediakan layanan berupa artikel, news, event, dan web sekolah. secara lebih rinci, berbagai layanan dalam fitur ini dapat dijelaskan sebagai berikut: - Artikel Fitur ini menyediakan layanan artikel yang lebih difokuskan pada topik pendidikan dan informasi lainnya yang terkait dengan pendidikan. Melalui fasilitas ini pengguna tidak hanya berkesempatan membacanya, tetapi juga dapat mendownloadnya secara bebas dan gratis. Pengguna juga bisa menyumbangkan buah pikiran/tulisan ini dan dikirim melalui administrator EdukasiNet.

Kusnandar, Uwes A. Chaeruman & Ika Kurniawati: Studi Pemanfaatan E-dukasi.Net

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

15


-

News EdukasiNet menyediakaan fasilitas berita (news) yang dirancang dari, oleh, dan untuk pengguna. Oleh karena itu partisipasi pengguna sangat menentukan dinamika feature ini.

-

Kalender Kegiatan (Event) Fitur ini menyajikan informasi/berita tentang kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh pengelola, ataupun oleh komunitas EdukasiNet khususnya sekolah.

-

Web Sekolah EdukasiNet menyediakan fasilitas informasi tentang sekolah yang merupakan anggota (pengguna member) dari EdukasiNet. Informasi ini tersimpan dalam aplikasi dan server EdukasiNet serta dapat diisi atau diedit oleh sekolah yang menjadi anggota.

Disamping itu, EdukasiNet juga menyediakan fasilitas/feature stpenggunar seperti download, search engine, frequently asked question (FAQ), kontak kami (contact us), polling, webstat, dan lainlain.

METODOLOGI Menurut Borg and Gall (1983), penelitian pengembangan merupakan usaha untuk mengembangkan dan memvalidasi produk-produk yang digunakan dalam pendidikan. Sementara itu Ibnu Suhadi (2001) mendefinisikan penelitian pengembangan sebagai jenis penelitian yang ditujukan untuk menghasilkan suatu produk hardware atau software melalui prosedur yang khas yang biasanya diawali dengan analisis kebutuhan, dilanjutkan dengan proses pengembangan dan diakhiri dengan evaluasi. Mengikuti prosedur tersebut, sebagai langkah awal Pustekkom telah mengadakan analisis kebutuhan akan bahan belajar berbasis web untuk sekolah. Dari hasil analisis kebutuhan ini, maka mulai dikembangkan portal EdukasiNet yang tidak hanya berisi bahan belajar, tetapi juga menyediakan forum komunikasi dan layanan info. 16

Kusnandar, Uwes A. Chaeruman & Ika Kurniawati: Studi Pemanfaatan E-dukasi.Net

Website: http://www.pustekkom.go.id


Untuk pemanfaatannya di sekolah, studi kelayakan dilaksanakan terlebih dahulu guna memilih sekolah rintisan yang nantinya akan memanfaatkan portal ini. Selanjutnya pada sekolah rintisan tersebut Pustekkom mengadakan orientasi pemanfaatan EdukasiNet. Sebagai tindak lanjut dari kegiatan orientasi ini, Pustekkom melaksanakan studi ke sekolah tersebut untuk mengetahui pemanfaatan EdukasiNet di sekolah serta kendala-kendala yang mungkin dihadapi dalam memanfaatkan agar dapat dicarikan solusi pemecahannya. Dari studi ini akan terjaring pula data tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan EdukasiNet di sekolah. Instrumen yang digunakan meliputi kuesioner, pedoman wawancara dan survey elektronik. •

Angket Instrumen ini digunakan untuk menjaring data dari guru dan siswa tentang: 1) Pemanfaatan fitur-fitur yang ada dalam EdukasiNet. 2) Cara pemanfaatan bahan belajar (termasuk di dalamnya strategi, frekuensi, dan kendala). 3) Manfaat dan keuntungan yang diperoleh guru serta siswa dalam memanfaatkan EdukasiNet. 4) Kendala-kendala yang dihadapi guru maupun siswa dalam memanfaatkan EdukasiNet. 5) Harapan guru dan siswa pada masa yang akan datang terhadap pemanfaatan EdukasiNet.

•

Pedoman Wawancara Instrumen ini digunakan untuk menjaring data dari Kepala Sekolah/ Wakasek dan staf teknis (staf laboratorium komputer) tentang: 1) Kebijakan/komitmen sekolah dalam memanfaatkan sumber belajar (termasuk di dalamnya EdukasiNet). 2) Manfaat dan keuntungan yang diperoleh sekolah. 3) Kendala yang dihadapi dalam memanfaatkan EdukasiNet, disamping menyangkut masalah kebijakan, fasilitas, software, kesiapan SDM, dan kendala dari aspek teknis (dengan tenaga teknis/unit IT sebagai sumber data).

Kusnandar, Uwes A. Chaeruman & Ika Kurniawati: Studi Pemanfaatan E-dukasi.Net

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

17


4) Harapan sekolah pada masa yang akan datang terhadap pemanfaatan EdukasiNet. •

Survey Elektronik EdukasiNet dirancang sedemikian rupa agar dapat melakukan survey langsung secara elektronik. Dengan sistem seperti ini, perkembangan EdukasiNet dapat terpantau secara otomatis.

Studi pemanfatan EdukasiNet secara langsung ke sekolah dilakukan dengan cara petugas dari Pustekkom dengan didampingi petugas daerah mengumpulkan data dan informasi dengan menggunakan instrumen angket dan pedoman wawancara di sekolah tersebut.

HASIL STUDI PEMANFAATAN EDUKASINET DI SEKOLAH Hasil studi pemanfaatan EdukasiNet di sekolah dapat dideskripsikan berdasarkan beberapa aspek temuan, yang meliputi: 1) perkembangan jumlah pengunjung (pengguna hit) dan anggota (member); 2) perkembangan jumlah bahan belajar; 3) topik yang paling disukai pengguna; 4) pendapat pengguna tentang EdukasiNet; 5) pemanfaatan EdukasiNet oleh Guru/Siswa; 6) pola pemanfaatan bahan belajar EdukasiNet di sekolah; dan 7) faktor-faktor pendukung dan penghambat pemanfaatan EdukasiNet di sekolah •

18

Perkembangan Jumlah Pengunjung (User Hit) dan Anggota Sampai dengan bulan Februari 2006, pengunjung EdukasiNet telah mencapai 671.591 orang. Sementara anggota terdaftar telah mencapai 6.934 orang, seperti digambarkan dalam diagram di bawah ini:

Kusnandar, Uwes A. Chaeruman & Ika Kurniawati: Studi Pemanfaatan E-dukasi.Net

Website: http://www.pustekkom.go.id


800000 700000 671591

600000 550235

500000 400000

599600

428824 343542

300000 200000 100000

142836

Agust 05

Okt 05

Nop 05

Des 05

Jan 06

Feb 06

User Hit Diagram Perkembangan Jumlah Pengunjung (user hit)

8000 6934

7000

6195

6000

5430

5000

4282

4000

3391

3000

2477

2000

1042

1000 0

14

14

17

2004

Feb

Mar

154

467

April Mei

1569

813

Juni Juli Agust Sept

Okt

Nop Des

Jan

2005

Feb

2006

Member Diagram Perkembangan Jumlah Anggota (Registered User)

Kusnandar, Uwes A. Chaeruman & Ika Kurniawati: Studi Pemanfaatan E-dukasi.Net

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

19


•

Perkembangan Jumlah Bahan Belajar Sampai dengan tahun 2005, jumlah bahan belajar yang terdapat dalam portal EdukasiNet berjumlah 335 judul, seperti digambarkan dalam diagram batang berikut: 60

60 50

50

50 40

40

40

40

40 30

30

25

20 10 0

0

0

•

Materi Pokok

Modul Online

Peng Populer

0

Uji Kompetensi

Pendapat Pengguna tenang EdukasiNet Berdasarkan hasil polling elektronik, pengguna memberikan appresiasi yang cukup positif terhadap EdukasiNet, seperti digambarkan dalam diagram pie di bawah ini: Diagram Pendapat User 10%

37%

20%

33%

Buruk 20

Cukup

Kusnandar, Uwes A. Chaeruman & Ika Kurniawati: Studi Pemanfaatan E-dukasi.Net

Baik

Baik Sekali

Website: http://www.pustekkom.go.id


Seperti terlihat dalam diagram di atas, pendapat pengguna tentang portal EdukasiNet sebagian besar adalah baik (37%), baik sekali (33%), cukup (20%) dan buruk (10%). •

Pemanfaatan EdukasiNet oleh Guru / Siswa di Sekolah - Komitmen/kebijakan sekolah dalam memanfaatkan sumber belajar (termasuk EdukasiNet); Sekolah pada umumnya telah memanfaatkan berbagai sumber belajar antara lain media cetak, media audio, VCD pembelajaran, CD Interaktif, dan ada juga diantaranya yang telah memanfaatkan layanan internet. Namun untuk pemanfaatan EdukasiNet belum banyak diprogramkan oleh sekolah. Sekolah masih dalam tahapan baru memperkenalkan EdukasiNet kepada para guru dan siswa. - Pemanfaatan fitur-fitur EdukasiNet; Fitur yang banyak dimanfaatkan adalah bahan belajar terutama materi pokok. Fitur lainnya seperti interaksi komunitas dan info belum begitu banyak dimanfaatkan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada diagram berikut.

Perbandingan pemanfaatan Fitur EdukasiNet

Kusnandar, Uwes A. Chaeruman & Ika Kurniawati: Studi Pemanfaatan E-dukasi.Net

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

21


Dari perbandingan pemanfaatan fitur EdukasiNet juga nampak sekolah yang telah optimal memanfaatkan, cukup optimal, dan tidak memanfaatkan sama sekali dengan alasan tertentu. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:

Dari tabel tersebut sekolah yang memanfaatkan EdukasiNet secara optimal hanya 5 sekolah dari 17 sekolah rintisan yang dipantau, 2 sekolah tidak memanfaatkan dengan alasan teknis, dan 10 sekolah pemanfaatannya cukup optimal. Pemanfaatan EdukasiNet oleh sekolah juga kebanyakan masih dimanfaatkan oleh guru daripada siswa. Dari total responden guru (170 responden) baru 105 orang responden (Âą 62%), responden siswa hanya 61 orang responden (Âą45%) yang telah memanfaatkan dari total responden siswa sebanyak 136 orang. Perbandingan guru yang memanfaatakan EdukasiNet dan perbandingan siswa yang memanfaatkan EdukasiNet dapat digambarkan dalam diagram pie seperti di bawah ini:

22

Kusnandar, Uwes A. Chaeruman & Ika Kurniawati: Studi Pemanfaatan E-dukasi.Net

Website: http://www.pustekkom.go.id


Perbandingan Guru yang Memanfaatkan EdukasiNet

38%

62% Ya

Tidak

Pemanfaatan EdukasiNet oleh Siswa 45%

55% Ya

Tidak

Rendahnya pemanfaatan EdukasiNet terutama oleh siswa karena kurangnya sosialisasi terhadap mereka tentang EdukasiNet. Sebagai akibat banyaknya responden siswa yang belum tahu tentang EdukasiNet, maka data tentang motivasi dan minat siswa memanfaatkan EdukasiNet belum banyak terjaring. Namun apabila dilihat dari frekuensi pemanfaatan EdukasiNet, dapat sedikit ditarik kesimpulan bahwa minat dan motivasi siswa dalam memanfaatkan EdukasiNet masih terbilang kurang. •

Pola pemanfaatan bahan belajar dalam EdukasiNet (strategi dan frekuensi) Cara pemanfaatan bahan belajar belum dijadwalkan secara khusus. strategi yang digunakan ada yang terpisah (43%) dan terintegrasi (57%). Penerapan strategi yang terpisah antara lain kalau ada waktu/ jam belajar kosong siswa diminta untuk memanfaatkan EdukasiNet di laboratorium komputer.

Kusnandar, Uwes A. Chaeruman & Ika Kurniawati: Studi Pemanfaatan E-dukasi.Net

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

23


Pemanfaatan EdukasiNet di Sekolah 43%

57%

Terintegrasi

Terpisah

Di samping itu, untuk bahan pengayaan, siswa diminta mencari bahan berkenaan dengan materi yang sedang dipelajari di internet, salah satunya di EdukasiNet. Frekuensi pemanfaatan dalam sebulan juga cukup rendah. Hampir seluruh responden (Âą 99%) memanfaatkan dalam sebulan < 5 kali. Siswa dalam memanfaatkan EdukasiNet juga apabila ada tugas dari guru. Penerapan strategi yang terintegrasi antara lain dengan penugasan (sebesar 50%), presentasi dan diskusi (sebesar 17%), dan pada saat praktikum di laboratorium komputer (sebesar 33%). Pola penugasan yaitu dengan memberikan tugas kepada siswa dimana bahannya mereka diminta untuk mencarinya di EdukasiNet. Penerapan pola presentasi dan diskusi, guru mendownload materi yang ada di EdukasiNet dan mempresentasikannya di depan siswa. Setelah itu, guru meminta siswa untuk mendiskusikan materi yang baru dipelajarinya itu. Penerapan di laboratorium komputer, pada saat praktikum mata pelajaran TI di laboratorium komputer, guru sekalian menugaskan mereka untuk membuka EdukasiNet. Pola pemanfaatan EdukasiNet secara terintegrasi dapat digambarkan seperti dalam diagram dibawah ini:

24

Kusnandar, Uwes A. Chaeruman & Ika Kurniawati: Studi Pemanfaatan E-dukasi.Net

Website: http://www.pustekkom.go.id


Pola Pemanfaatan Terintegrasi 17%

33%

50% Presentasi

•

Penugasan

Lab

Faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan EdukasiNet (pendukung maupun penghambat) Banyak faktor yang mempengaruhi pemanfaatan EdukasiNet di sekolah, antara lain faktor lingkungan (institusi penyelenggara pendidikan dalam hal ini sekolah), faktor siswa, faktor guru, dan faktor teknologi (meliputi komputer dan perangkatnya serta jaringan internet). Faktor-faktor tersebut bisa mendukung, bisa juga menjadi penghambat pemanfaatan EdukasiNet di sekolah. Pengaruh faktor-faktor tersebut berdasarkan hasil studi dapat dijelaskan sebagai berikut: -

Faktor lingkungan (institusi penyelenggara pendidikan dalam hal ini sekolah) Dari hasil studi ke sekolah rintisan, hanya 5 sekolah yang telah memanfaatkan secara optimal. Hal ini karena didukung oleh kebijakan dan komitmen dari masing-masing sekolah tersebut. Sekolah mulai memprogramkan pemanfaatan EdukasiNet sebagai salah satu sumber belajar. Sekolah mengusahakan jalinan kerjasama dengan instansi terkait agar fasilitas komputer di sekolahnya terkoneksi dengan internet. Beberapa sekolah yang pemanfaatannya kurang optimal, karena mereka kurang mensosialisasikan pemanfaatan EdukasiNet

Kusnandar, Uwes A. Chaeruman & Ika Kurniawati: Studi Pemanfaatan E-dukasi.Net

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

25


kepada guru maupun siswa. Di samping itu sekolah masih menganggap pemanfaatan internet khususnya EdukasiNet masih dianggap barang mahal karena membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sementara itu pada sekolah yang tidak memanfaatkan disebabkan karena kerusakan teknis, pihak sekolah kurang mengupayakan perbaikan pada kerusakan tersebut dengan alasan kurangnya SDM yang bisa menangani tentang IT, ataupun alasan biaya perbaikan yang tinggi. - Siswa Siswa belum banyak yang memanfaatkan EdukasiNet disebabkan karena kurangnnya sosialisasi kepada mereka tentang EdukasiNet. - Guru Guru berperanan penting dalam pemanfaatan EdukasiNet. Sebagai contoh, siswa masih belum banyak yang memanfaatkan EdukasiNet, karena kurangnya sosialisasi guru kepada siswa tentang EdukasiNet. Di samping itu kesadaran guru tentang manfaat EdukasiNet masih kurang. Hal ini kemungkinan juga masih banyak guru yang belum bisa mengoperasikan komputer apalagi internet. Bahkan dari hasil studi diketahui juga beberapa kasus di sekolah, guruguru senior belum bisa menerima bahan belajar jenis ini. Mereka sulit menerima perubahan. Bagi mereka yang telah memanfaatkan, karena mereka merasakan adanya manfaat dalam menggunakan EdukasiNet. Manfaat tersebut, menurut pendapat guru/siswa antara lain adalah sebagai beirkut: • memudahkan guru maupun siswa dalam mencari sumber belajar alternatif, • bagi siswa dapat memperjelas materi yang telah disampaikan oleh guru, karena disamping disertai gambar juga ada animasi yang menarik, • dapat berlatih soal dengan memanfaatkan uji kompetensi, 26

Kusnandar, Uwes A. Chaeruman & Ika Kurniawati: Studi Pemanfaatan E-dukasi.Net

Website: http://www.pustekkom.go.id


• • • • • •

-

cara belajar lebih efisien, wawasan bertambah, meringankan dalam membuat contoh soal, mengetahui dan mengikuti perkembangan materi dan infoinfo lain yang berhubungan dengan bidang studi, membantu siswa dalam mempelajari materi secara individu selain di sekolah, membantu siswa melek TIK.

Teknologi Selain ketiga faktor diatas, faktor teknologi juga merupakan faktor yang sangat menentukan pemanfaatan EdukasiNet di sekolah. Faktor teknologi merupakan faktor yang harus ada dengan memenuhi stpenggunar minimal yang dipersyaratkan baik berkaitan dengan peralatan, infrastruktur, pengoperasian dan perawatannya. Beberapa sekolah yang kurang optimal dan sekolah yang tidak memanfaatkan EdukasiNet disebabkan juga oleh faktor ini. Fasilitas komputer yang terkoneksi dengan internet jumlahnya belum memadai bila dibandingkan dengan jumlah siswa maupun guru. Disamping biaya yang mahal, SDM yang menanganinya masih kurang, terutama berkaitan dengan kerusakan/gangguan pada peralatan maupun jaringan. Secara umum dapat disimpulkan bahwa dalam pemanfaatan EdukasiNet di lapangan (sekolah) ditemui beberapa kendala dari sisi teknologi antara lain adalah sebagai berikut: • akses lama, dan apabila bisa dibuka terkadang hanya muncul judulnya saja, isi tidak berhasil ditampilkan, • kesulitan mengatur waktu pemanfaatan, karena jam belajar terlalu padat, • biaya untuk jaringan masih mahal, • jaringan sering terganggu,

Kusnandar, Uwes A. Chaeruman & Ika Kurniawati: Studi Pemanfaatan E-dukasi.Net

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

27


• • •

pada saat download materi sering tidak dapat dilakukan dengan sempurna karena ada frame-frame yang tidak berhasil diambil/dicetak, kemauan belajar guru senior untuk memanfaatkan EdukasiNet agak kurang terutama dalam menerima ilmu baru, masih ada yang belum terbiasa menggunakan internet, masih terbatasnya fasilitas komputer yang terkoneksi dengan internet di beberapa sekolah, kurangnya tenaga IT, bahkan ada yang masih tergantung teknisi dari luar, hal ini berakibat apabila terjadi kerusakan pada jaringan (seperti yang terjadi di 2 sekolah: SMAN 2 Tenggarong dan SMAN 5 Makassar), tidak cepat tertangani.

KESIMPULAN Pemanfaatan EdukasiNet di sekolah; Walaupun presentasinya masih rendah (62%), responden telah memanfaatkan portal EdukasiNet dalam pembelajaran. Namun sebagian besar responden siswa (55%) mengaku belum memanfaatkan EdukasiNet. Rendahnya pemanfaatan EdukasiNet disebabkan oleh berbagai hal, antara lain, karena kurangnya sosialisasi. Di lihat dari grafik peningkatan jumlah pengunjung, member serta pendapat user, EdukasiNet mempunyai peluang menjadi portal pembelajaran terkemuka di tanah air. Pola Pemanfaatan; Sekolah-sekolah yang telah memanfaatkan EdukasiNet menggunakan tiga pola pemanfaatan yaitu pola penugasan, presentasi dan diskusi, serta praktikum di laboratorium. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan EdukasiNet di sekolah; Faktor-faktor pendukung dalam pemanfatan EdukasiNet antara kebijakan kepala sekolah, ketersediaan akses, antusiasme guru dan siswa, serta adanya dukungan tenaga TI di sekolah. Sedangkan kendala yang ditemukan antara lain: 28

Kusnandar, Uwes A. Chaeruman & Ika Kurniawati: Studi Pemanfaatan E-dukasi.Net

Website: http://www.pustekkom.go.id


-

akses dan download materi yang lamban sering terganggunya jaringan internet, biaya jaringan internet masih relatif mahal, kurangnya tenaga IT terbatasnya fasilitas komputer di beberapa sekolah, beberapa guru ada yang masih belum terbiasa memanfaatkan internet, kurangnya sosialisasi kepada siswa tentang pemanfaatan EdukasiNet.

SARAN Beberapa saran yang dapat diajukan dari hasil studi untuk perbaikan dan penyempurnaan EdukasiNet pada masa yang akan datang antara lain: • Bahan belajar agar dilengkapi yang meliputi semua mata pelajaran dan jenjang sekolah. Perlu ditambah juga materi untuk SMK. • Tampilan dibuat lebih menarik. • Sosialisasi tidak hanya dilakukan terhadap guru, tetapi juga kepada siswa, karena banyak siswa yang belum tahu tentang EdukasiNet. Pada saat sosialisasi terhadap guru maupun siswa perlu ditekankan pentingnya pemanfaatan EdukasiNet dalam rangka meningkatkan mutu pembelajaran. • Akses dan proses download materi agar lebih dipermudah dan cepat. • Lebih interaktif, dan bila memungkinkan menyediakan laboratorium maya sehingga siswa dapat melakukan percobaan sendiri. • Perlu ditambah contoh soal-soal untuk Ujian Nasional dan SPMB berikut penyelesainnya. • Untuk meningkatkan keoptimalan pemanfaatan EdukasiNet baik oleh sekolah, guru, dan siswa ada semacam take and give. Misalnya saja ada perlombaan penyusunan bahan belajar atau penulisan artikel. Bagi yang memenangkan perlombaan tersebut, selain mendapatkan insentif, bahan belajar dan artikelnya dimuat di EdukasiNet. Bisa juga sering diadakan pertemuan bagi pengguna EdukasiNet untuk mendiskusikan hal-hal berkaitan dengan penyempurnaan EdukasiNet.

Kusnandar, Uwes A. Chaeruman & Ika Kurniawati: Studi Pemanfaatan E-dukasi.Net

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

29


DAFTAR PUSTAKA Borg W.R. and Gall M.D. (1983). Educational Research: An Introduction, 4 th edition. London: Longman Inc. Ibnu Suhadi. (2001). Kebijakan Penelitian Perguruan. Malang: Lemlit UNM. Kamarga, Hanny. (2002). Belajar Sejarah melalui e-learning; Alternatif Mengakses Sumber Informasi Kesejarahan. Jakarta: Inti Media. Purbo, Onno W. (2002). Teknologi e-learning Berbasis PHP dan MySQL: Merencanakan dan Mengimplementasikan Sistem e-learning. Jakarta: Gramedia. Pustekkom, Depdiknas. (2005). Buku Panduan Pemanfaatan Edukasi.Net. Jakarta: Pustekkom. Pustekkom, Depdiknas (2005). Hasil Lokakarya Edukasi.Net, Bogor 23 – 25 November 2005. uuuuuuuuuuuuuuuuu

30

Kusnandar, Uwes A. Chaeruman & Ika Kurniawati: Studi Pemanfaatan E-dukasi.Net

Website: http://www.pustekkom.go.id


GR APHIC AL USER INTERF ACE GRAPHIC APHICAL INTERFA (GUI) D AN PEMANF A ATANNY A DAN PEMANFA ANNYA DAL AM PER ANGK AT LUNAK ALAM PERANGK ANGKA Oleh: Gatot Pramono *)

Abstrak Antar muka grafis atau yang sering disebut Graphical User Interface (GUI) merupakan suatu komponen utama dari suatu aplikasi komputer. GUI berfungsi untuk memudahkan pengguna dalam menggunakan suatu aplikasi komputer, selain itu juga untuk memperindah tampilan suatu aplikasi. Tulisan ini akan mencoba untuk memaparkan komponen-komponen GUI yang terkadang disebut widget (window gadget), kegunaannya dan juga bagaimana memanfaatkannya dengan tepat. Porsi terbanyak dari tulisan ini adalah masalah pemanfaatan GUI. Penulis akan mencoba menyoroti hal ini karena pemanfaatan GUI dalam beberapa aplikasi komputer (terutama aplikasi pembelajaran dengan komputer produksi Pustekkom) belumlah optimal. Kata-kata Kunci: Graphical User Interface, window gadget,

1. PENGANTAR Dunia komputer (baca perangkat lunak) modern adalah dunia yang penuh warna, keindahan dan yang terpenting kemudahan. Istilah click and drag , yang menggambarkan bagaimana mudahnya menggunakan suatu perangkat lunak, sudah menjadi suatu jargon yang harus diimplementasikan dalam suatu perangkat lunak. Berbagai sistem operasi maupun perangkat-perangkat lunak lainnya berlomba tidak hanya dalam memberikan kemudahan tetapi juga *)

Gatot Pramono, MPET., adalah Staff pada Studio Multimedia Pustekkom Departemen Pendidikan Nasional. No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

31


menawarkan keindahan (eye-catching) yang membuat mata pengguna tak bosan ketika menggunakan perangkat lunak. Bagi mereka yang pernah mengalami jaman DOS1 tentu akan merasakan perbedaan yang sangat jauh- baik dalam kemudahan dan keindahanantara perangkat lunak pada era DOS dan era jaman sekarang (misal Windows). Tidak hanya Mac atau Microsoft yang menawarkan berbagai kemudahan dan keindahan dalam sistem operasinya, bahkan beberapa sistem operasi yang open source (kadang-kadang bahkan gratis) seperti yang dihasilkan oleh proyek GNU-Linux juga memberikan kemudahan dan keindahan yang setara dengan apa yang diberikan oleh Mac atau Windows. Kemajuan di atas disamping merupakan hasil dari rekayasa perangkat lunak yang canggih juga merupakan hasil dari studi tentang bagaimana meng-aplikasikan GUI (Graphical User Interface) yang optimal. Mengimplementasikan suatu GUI yang memudahkan pengguna bahkan telah menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri. Ilmu ini disebut Human Computer Interaction (HCI). Menurut Hewett et.al (1996) definisi dari HCI adalah: “Human-computer interaction is a discipline concerned with the design, evaluation and implementation of interactive computing systems for human use and with the study of major phenomena surrounding them�. Tujuan dari ilmu ini meningkatkan apa yang disebut usability. Mencoba untuk tidak terlalu literer, penulis menerjemahkan usability sebagai kemudahan bagi pengguna ketika menggunakan suatu perangkat lunak. Semakin tinggi usability suatu perangkat lunak berarti semakin mudah perangkat lunak tersebut dimanfaatkan. Dengan kata lain usability meningkatkan user-friendliness. Perkembangan dari HCI bahkan telah merambah jauh dengan melibatkan ilmu lain diluar ilmu komputer atau desain grafis seperti psikologi. Ilmu baru tentunya menghasilkan profesi baru pula. Professional yang menguasai HCI disebut sebagai pendesain antarmuka (interface designer). Perlu dibedakan di sini antara graphics 32

Gatot Pramono: Graphical User Interface

Website: http://www.pustekkom.go.id


designer dengan interface designer. Yang pertama menekankan bagaimana membuat tampilan suatu perangkat lunak (hal ini bisa jadi mencakup juga pembuatan GUI) seindah mungkin, sementara yang kedua menekankan bagaimana merancang suatu antar-muka yang memudahkan pengguna. Sinergi antara kedua profesi ini tentu saja menghasilkan GUI yang selain indah juga meningkatkan usability. GUI (penulis mencoba menerjemahkannya sebagai antar muka grafis) adalah penghubung, yang direprentasikan dalam gambar (grafis), yang memudahkan pengguna ketika memanfaatkan suatu perangkat lunak. Dalam suatu pengolah kata (word processor) anda pasti sudah familiar dengan berbagai ikon seperti ikon-ikon berbentuk disket (mewakili tool untuk menyimpan suatu berkas atau file) atau gunting (mewakili tool untuk menghapus atau memotong kata atau kalimat). Ikon-ikon tersebut merupakan contoh dari button yang merupakan salah satu komponen dari sekian banyak komponen yang dimiliki oleh suatu GUI. Komponen-komponen suatu GUI sering disebut sebagai widget (window gadget). Selain button masih banyak komponen-komponen GUI lainnya seperti : toggle button, check box, radio button, combo box, dan lainnya yang nanti akan dibahas. Suatu perangkat lunak bisa datang dengan GUI bawaannya sendiri atau menggunakan GUI yang telah disediakan oleh Sistem Operasi. Yang terakhir ini disebut GUI yang native. GUI native memiliki beberapa keunggulan dibandingkan GUI non native, pertama GUI native memudahkan pengguna beradaptasi dengan program karena pengguna sudah familier dengan GUI dari OS; kedua pengembang tak perlu repot-repot membuat GUI sendiri (suatu pekerjaan yang sulit, menyita waktu dan hasilnya belum tentu sebaik GUI yang telah ada). Dengan menggunakan GUI bawaan OS pengembang cukup memanfaatkan pustaka-pustaka yang ada pada OS. Pustakapustaka ini pada OS seperti Unix atau Linux disebut library sementara pada Windows disebut DLL (Dynamic Link Library). Penggunaan GUI native juga mengimplementasikan suatu jargon yang sering didengungkan di dalam rekayasa perangkat lunak yakni : “Don’t Gatot Pramono: Graphical User Interface

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

33


reinvent the wheel�. Arti jargon ini adalah bila suatu program atau pustaka telah dibuat dan berjalan dengan baik maka lebih baik menggunakannya daripada membuat sesuatu serupa yang baru. Suatu istilah dalam GUI adalah apa yang disebut theme. Theme adalah suatu kesatuan visual (menyangkut bentuk, warna maupun teks) yang unik yang dimiliki oleh suatu GUI. Suatu OS atau perangkat lunak bisa saja memiliki beberapa theme, sebagai contoh Windows XP selain memiliki theme khas Windows XP juga menyediakan theme Windows klasik (theme Windows 98 dan versi-versi sebelumnya). GNU-Linux (baik untuk desktop KDE maupun GNOME) menyediakan theme-theme yang banyak sehingga ketika pengguna bosan dengan suatu theme, ia dapat mengganti dengan theme yang lain. Java selain menyediakan theme native untuk Windows juga menyediakan theme ciri khas Java yang disebut Metal , bahkan bagi penggemar Motif (GUI pada Unix) Java juga menyediakan theme yang mirip dengan Motif. Sebagian orang kadang-kadang menyebut theme dengan istilah Look And Feel (LAF).

2. PRINSIP-PRINSIP DESAIN GUI Di dalam berbagai perangkat elektronik interface memegang peranan penting dalam menghasilkan usability. Interface yang baik dan konsisten akan memberikan kenyamanan dalam penggunaannya. Ketika seorang pengembang menginginkan suatu perubahan baik perubahan tampilan, bentuk atau layout suatu interface maka hal yang perlu dipertimbangkan adalah apakah perubahan ini tetap mampu mempertahankan usability. Penulis ingin memberikan suatu contoh sederhana bagaimana perubahan interface dari sesuatu yang baku sering menimbulkan kebingungan bagi pengguna. Anda mestinya telah terbiasa menggunakan ponsel. Perhatikan baik-baik umumnya tombol (keypad) dari ponsel memiliki layout yang terdiri dari 4 baris dan 3 lajur. Bagaimana bila anda menggunakan ponsel yang memiliki layout yang sedikit berbeda yakni memiliki 3 baris dan 4 lajur seperti Xplore G-88 ? Awalnya mungkin anda akan bingung; anda membutuhkan waktu untuk beradaptasi 34

Gatot Pramono: Graphical User Interface

Website: http://www.pustekkom.go.id


dengan layout yang sedikit berbeda. Mungkin saja setelah sekian lama menggunakannya anda akan terbiasa, tetapi bukan tidak mungkin pula anda tetap merasakan ketidaknyamanan dan anda lebih memilih layout yang baku. Contoh perubahan kecil diatas ternyata memberikan pengaruh yang besar dalam hal kenyamanan, bagaimana lagi bila perubahan yang dilakukan cukup besar atau radikal. Perubahan pada GUI yang notabene lebih kompleks daripada perubahan pada layout keypad suatu ponsel tentu saja memerlukan pertimbangan yang mendalam. Demikian pentingnya suatu interface (baca GUI) suatu perangkat lunak komputer sehingga perancangannya memerlukan suatu disiplin khusus yang disebut HCI, seperti telah disampaikan sebelumnya. Beberapa orang bahkan berpendapat bahwa perancangan GUI harus dilakukan sebelum program suatu perangkat lunak ditulis. Untuk mengetahui aspek-aspek apa saja yang diperlukan dalam perancangan GUI maka di sini penulis akan menyinggung beberapa aspek tersebut. Materi ini merupakan ringkasan dari beberapa penulis seperti Nielsen, Toganizzini dan lain-lain yang ada di beberapa website (lihat daftar acuan).

a. Kenali Audiens Mengetahui audiens atau pengguna merupakan langkah pertama yang penting dalam perancangan GUI. Paling tidak kita mengetahui kemampuan rata-rata calon pengguna dalam memanfaatkan komputer. Bila calon pengguna adalah para siswa SMA maka kita usahakan GUI yang akan kita buat dimengerti oleh rata-rata muid SMA. Sebagai contoh kita akan membuat suatu perangkat lunak untuk berlatih menggambar maka GUI yang kita berikan tentulah buakn GUI secanggih (dan serumit) GUI milik Photoshop2 karena belum tentu semua siswa SMA pernah menggunakan Photoshop.

b. Metaphor Dalam pengimplementasiannya GUI banyak menggunakan simbol-simbol grafis yang mewakili suatu aksi atau obyek, Gatot Pramono: Graphical User Interface

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

35


sebagai contoh gambar berbentuk disket mewakili aksi menyimpan file, gambar berbentuk gunting mewakili aksi memotong suatu kata,kalimat atau gambar. Hal ini disebut metaphor di mana suatu simbol merepresentasikan suatu obyek atau aksi. Disini pentingnya seorang pendesain GUI menentukan metaphor yang tepat agar pengguna tidak bingung dalam menerjemahkan arti suatu simbol. Mac (Apple), sebagai salah satu pelopor GUI pada PC, telah berhasil memberikan suatu contoh metaphor yang tepat yakni dengan menggunakan simbol berbentuk keranjang sampah sebagai tempat untuk membuang file-file yang tidak diperlukan.

Simbol berupa keranjang sampah yang digunakan oleh Mac baik sebagai tempat untuk membuang file maupun sarana untuk mengeluarkan disket dari drivenya.

Pengguna dengan mudah memahami simbol tersebut karena dalam kenyataan keranjang sampah memang tempat untuk membuang hal-hal yang tak diperlukan lagi. Pemilihan metaphor harus berada diantara 2 titik yang berseberangan : yang pertama terlalu literer dan yang kedua penggunaan metaphor yang berlebihan (over use). Sebagai contoh yang pertama untuk aksi mencari (search) digunakan simbol dengan gambar seorang polisi. Contoh yang kedua, yakni penggunaan berlebihan, adalah apa yang ditunjukkan oleh Mac yakni dengan menggunakan keranjang sampah sebagai sarana untuk mengeluarkan disket. Pengguna (terutama yang baru) pasti akan bingung mengasosiasikan keranjang sampah dengan aksi pengeluaran disket. 36

Gatot Pramono: Graphical User Interface

Website: http://www.pustekkom.go.id


c. Hukum Fitt Ada suatu prinsip yang selayaknya mendapat perhatian penuh bagi para perancang GUI yakni apa yang disebut Hukum Fitt. Bunyi hukum ini sebenarnya sederhana saja, yiatu “The time to acquire a target is a function of the proximity and size of the target�. Atau, Waktu untuk mencapai target (dalam hal ini widget) merupakan fungsi dari kedekatan dan ukuran dari target tersebut. Hukum Fitt mengimplikasikan bahwa semakin besar dan semakin dekat suatu obyek maka semakin mudah obyek tersebut dicapai dengan mouse. Dengan demikian ikon yang lebih besar tentu lebih mudah dicapai dibandingkan ikon yang lebih kecil. Konsekuensi berikutnya dari Hukum Fitt yakni ujung-ujung atau tepi-tepi jendela (window) adalah tempat yang ideal bagi penempatan ikon-ikon penting. Menemukan atau mencapai suatu ikon yang berada di ujung atau tepi pastilah lebih mudah daripada mencari ikon yang berada di tengah-tengah, sebagai ilustrasi dengan menggeser mouse ke ujung atau ke tepi secara sambil lalu anda akan menemukan ikon yang anda cari, sebaliknya bila ikon berada di tengah anda harus menggeser mouse dengan lebih teliti untuk mendapatkan ikon yang dimaksud. Sebagai analogi anda pasti lebih mudah menemukan rumah yang terletak di ujung blok dibandingkan rumah yang terletak di tengah blok. Sekalipun kedengarannya sederhana namun tak semua perangkat lunak mampu mengimplementasikannya dengan baik. Salah satu contoh adalah sebuah web browser yang paling populer saat ini yakni Firefox.

Gatot Pramono: Graphical User Interface

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

37


(a)

(b)

Lihat gambar a. Firefox menempatkan tombol back, salah satu tombol yang paling sering digunakan oleh pengguna internet, pada tepi dari jendela Firefox. Hal ini sebenarnya sudah tepat sesuai dengan Hukum Fitt, yakni menempatkan ikon penting (atau yang sering digunakan) pada tepi atau ujung dari jendela. Sayangnya ikon ini ukurannya tidak lebih besar dibandingkan ikon-ikon lain yang frekuensi pemakaiannya lebih kecil. Bila saja ukuran ikon untuk tombol back lebih besar (lihat gambar b) maka tombol ini akan lebih mudah untuk di akses. Contoh lain adalah apa yang ditunjukkan oleh Konqueror (web browser default untuk KDE3). Kesalahan yang dilakukan oleh Konqueror lebih parah (lihat gambar), yakni menempatkan tombol up (tombol yang jarang diakses oleh pengguna internet) justru pada tepi sementara tombol back ,yang lebih sering diakses, pada posisi lebih ke tengah

Beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa pada perangkat lunak tingkat dunia sekalipun terkadang GUI tidak diimplementasikan dengan tepat.

38

Gatot Pramono: Graphical User Interface

Website: http://www.pustekkom.go.id


d. Konsistensi Suatu perangkat lunak yang baik mestilah konsisten baik dalam layout , tampilan maupun pengaturan fungsi dari GUI. Konsistensi sangat krusial karena ia menentukan bagaimana seorang pengguna mendapatkan kemudahan. Sebagai contoh bila suatu tombol (button) memiliki label berupa kata kerja (verb) misal Copy, Cut, atau Paste maka button-button yang lain juga menggunakan label berupa kata kerja. Penggunaan label berupa kata benda misalnya akan menghasilkan inkonsistensi. Jika suatu button diaktifkan dengan 1 kali click maka button-button yang lain juga dengan 1 kali click, bukan double-click.

e. Informasikan Apa yang Terjadi pada Pengguna Pengguna komputer atau internet umumnya tidak sabar (Nielsen) ketika menggunakan komputer. Bila pengguna mengaktifkan suatu tombol dan komputer beraksi lambat maka umumnya mereka akan mengklik tombol berulang-ulang. Alih-alih mendapatkan hal yang mereka inginkan seringkali komputer justru mengalami hang. Reaksi semacam ini adalah reaksi spontan yang sering dilakukan pengguna komputer. Untuk memberikan informasi kepada pengguna bahwa komputer sedang memproses sesuatu maka sebaiknya suatu penanda diberikan. Penanda tersebut bisa berupa jam pasir yang berputar-putar atau suatu progress bar yang tengah berproses. Penanda ini akan membuat pengguna mengerti bahwa mereka hasus menunggu sampai proses selesai. Contoh lain adalah bila pengguna diminta untuk memberikan suatu input. Kadang input yang diberikan pengguna tidak sesuai dengan input yang diharapkan program. Dalam hal ini informasikan (berikan feedback) bahwa input dari pengguna adalah salah. Contoh dari f e e d b a c k semacam itu diperlihatkan pada gambar. Gatot Pramono: Graphical User Interface

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

39


f. Buat Interface yang Simpel Sesuatu yang sederhana biasanya lebih mudah dipahami, demikian pula halnya dengan GUI. Perangkat lunak yang memiliki GUI terlalu rumit mungkin saja akan ditinggalkan oleh penggunanya. Berikan informasi secara sederhana dan tidak bertingkat-tingkat karena hal ini akan mengaburkan perhatian dari pengguna. Contoh di bawah ini adalah suatu tool bertingkat dari Photoshop. Rectangular Marquee Tool pada Photoshop sebenarnya memiliki beberapa sub tool (lihat gambar), tetapi sub tool ini tidak dengan serta merta muncul ketika pengguna menempatkan mouse di atas tool tersebut.

Sub Tool baru muncul ketika pengguna melakukan klik di atas Rectangular Marquee Tool . Pembuat Photoshop mungkin berasumsi bahwa pengguna photoshop adalah mereka yang telah terbiasa menggunakan pengolah gambar yang umumnya memang memiliki GUI yang komplek. Bila hal semacam ini ingin kita terapkan pada perangkat lunak buatan kita maka pastikan bahwa pengguna perangkat lunak kita juga perangkat lunak yang telah terbiasa dengan GUI yang rumit. Bila tidak maka tool yang kita rancang dengan sulit akan menjadi sia-sia.

g. Jadikan Pengguna sebagai Pengontrol Menjadi sifat dasar manusia untuk lebih suka mengatur atau menguasai daripada diatur atau dikuasai. Memberikan sentuhan “pengguna sebagai pengatur� dalam suatu perangkat lunak akan memberikan nilai tambah pada perangkat lunak tersebut. Kesan 40

Gatot Pramono: Graphical User Interface

Website: http://www.pustekkom.go.id


bahwa perangkat lunak tersebut memberikan keleluasaan akan disenangi oleh pengguna. Salah satu program multimedia Pustekkom yang akan direlease mencoba melakukan pendekatan ini.

Program berjudul Transformasi ini adalah program multimedia untuk geometri (matematika). Topik yang diambil adalah transformasi . Salah satu bagian dari program ini membahas pencerminan (refleksi). Di sini pengguna dapat memilih obyek yang diinginkan (garis, segitiga, segiempat atau poligon). Dengan menentukan persamaan garis refleksi maka akan diperoleh bayangan dari obyek. Alih-alih menyediakan fungsi-fungsi tertentu (built-in function) untuk persamaan garis refleksi, program memberikan keleluasaan bagi pengguna untuk menuliskan sendiri persamaan yang ia kehendaki (asal berbentuk persamaan linier) pada isian yang telah disediakan. Dengan cara ini diharapkan pengguna merasakan kebebasan dengan menuliskan persamaan yang ia inginkan dan seketika melihat bagaimana bayangan terbentuk setelah obyek dicerminkan oleh garis tersebut.

Gatot Pramono: Graphical User Interface

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

41


Program yang menekankan simulasi seperti contoh program transformasi di atas seyogyanya memberikan banyak kebebasan bagi pengguna untuk mengeksplor program dengan berbagai kemungkinan yang luas sehingga program menjadi lebih menarik.

3. KOMPONEN-KOMPONEN GUI DAN FUNGSINYA Beberapa perangkat lunak menggunakan istilah yang berbeda untuk GUI, Java dan Macromedia Flash misalnya menggunakan istilah Component, sementara WxWidget menggunakan istilah widget. Demikian pula komponen-komponen dari GUI kadang-kadang memiliki nama yang berbeda-beda pada beberapa perangkat lunak. Sebagai contoh untuk tabbed panel, yaitu sekumpulan panel yang masing-masing memiliki header dengan label di dalamnya, Java menggunakan nama tabbed pane sementara GTK (GUI yang digunakan pada Gnome4) menggunakan nama notebook. Perbedaan penamaan ini tak menjadi masalah sepanjang kita mengetahui fungsi masing-masing. Pemrogram komputer di jaman serba window ini boleh bergembira karena untuk mengembangkan suatu aplikasi yang memerlukan GUI pemrogram tidak perlu membuatnya dari nol (from scratch) karena bahasa/ perangkat lunak modern umumnya telah menyediakan GUI. Pemrogram tinggal memilih bahasa/ perangkat lunak yang dikehendaki dan GUI yang diinginkan telah tersedia. Ingin mengembangkan aplikasi dengan perangkat lunak komersial seperti Visual Basic atau Delphi ? Pilihan yang baik karena kedua perangkat lunak ini memiliki GUI yang komplet. Flash yang sebenarnya dirancang untuk membuat animasi pada web juga menyediakan GUI yang memadai sekalipun tidak selengkap seperti yang dimiliki Visual Basic atau Delphi. Ingin yang gratis ? Java atau Wx Widget (menggunakan bahasa C++) bisa menjadi pilihan yang tepat. Masalah kelengkapan GUI kedua bahasa ini tidak kalah dengan Visual Basic atau Delphi. Ingin mengembangkan aplikasi di Linux dan menggunakan perangkat lunak yang gratis ? Pilihannya sangat beragam, ada GTK, QT, Wx Widget, TkInter dan lain-lain.

42

Gatot Pramono: Graphical User Interface

Website: http://www.pustekkom.go.id


Setelah kita mengetahui bagaimana kesiapan bahasa pemrograman atau perangkat lunak dengan GUInya maka saatnya sekarang kita mengenal satu-persatu (sekalipun tidak semua) komponen-komponen GUI. Yang pertama tentu saja adalah button sebagai komponen GUI yang paling dikenal dan paling banyak digunakan. Sesederhana apapun suatu aplikasi berbasis GUI rasa-rasanya komponen yang satu ini selalu ada.

a. Button

Fungsi dari button adalah untuk membangkitkan suatu aksi (action).

b. Toggle Button

Sekumpulan toggle button dengan label.

Sekumpulan toggle button dengan ikon dalam suatu toolbar Toggle Button mirip seperti button tetapi memiliki fungsi yang berbeda. Jika button membangkitkan suatu aksi maka toggle button untuk mengganti suatu keadaan. Perubahan keadaan suatu toggle button (aktif atau tidak aktif) dapat diikuti oleh suatu aksi atau tidak diikuti suatu aksi. Toggle Button dapat disertai label atau ikon. Toggle button dengan ikon dapat digunakan sebagai komponen-komponen dari suatu toolbar. Gambar di atas adalah sekumpulan toggle button dengan label yang Gatot Pramono: Graphical User Interface

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

43


disatukan dalam satu grup. Ketika toggle button ft dipilih maka toggle button ini melesak ke dalam sementara yang lainnya dalam keadaan timbul. Posisi melesak ini menunjukkan bahwa keadaan yang diwakili oleh toggle button tersebut yang aktif. Pada contoh di atas berarti satuan yang digunakan (yakni feet) yang aktif. Perubahan keadaan toggle button pada contoh pertama ini tidak membangkitkan suatu aksi. Pada gambar sekumpulan toggle button menjadi bagian dari toolbar. Perubahan keadaan dari toggle button akan membangkitkan suatu aksi, yang dalam contoh ini adalah perubahan isi dari program. Perhatikan bahwa setiap saat hanya satu toggle button (keadaan) yang aktif sementara yang lainnya non-aktif. Toggle Button memang digunakan dalam satu grup. Penggunaan toggle button tunggal adalah contoh penggunaan GUI yang tidak tepat. Analogi dari toggle button adalah tombol-tombol pada tape player di mana hanya satu tombol yang aktif pada setiap saat. Bukankah tidak mungkin menggunakan tombol play dan stop secara bersamaan?

c. Radio Button

Radio Button mirip seperti toggle button yakni untuk mengubah suatu keadaan tertentu diantara beberapa pilihan keadaan, selain itu selalu terkumpul bersama radio button lainnya dan pada tiap saat hanya satu radio button yang aktif. Perbedaannya adalah pertama, jika toggle button dapat disertai ikon (gambar) atau label, radio button hanya disertai label. Kedua, umumnya pengubahan keadaan radio button (aktif atau tidak) tidak serta merta disertai suatu aksi. Ketiga, radio button umumnya menjadi bagian suatu kotak dialog dimana pengguna akan menentukan pilihannya, dan tidak pernah ditempatkan dalam suatu toolbar. 44

Gatot Pramono: Graphical User Interface

Website: http://www.pustekkom.go.id


d. Check Button

Check Button umumnya digunakan untuk mengubah atau menunjukkan suatu setting. Keadaan aktif ditunjukkan dengan keadaan dimana check button tertandai (checkmark). Contoh di atas adalah check button yang digunakan untuk mengubah setting dari tampilan program, dalam hal ini apakah grid dan angka pada grafik ditampilkan atau tidak. Jika radio button tak digunakan dalam bentuk tunggal maka check button dapat digunakan dalam bentuk tunggal.

e. Combo Box

Combo Box berfungsi untuk mengubah suatu nilai (baik nilai numerik atau non numerik) dimana pengguna memilih satu diantara beberapa nilai yang ada atau memasukkan suatu nilai baru. Combo box berbentuk daftar (list) yang akan muncul seluruhnya saat pengguna melakukan klik di atas tombol yang tersedia. Jika tombol tersebut tidak aktif maka yang ditampilkan hanya satu nilai (nilai yang aktif). Umumnya combo box berisi teks.

Gatot Pramono: Graphical User Interface

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

45


f. List

List berfungsi untuk menampilkan beberapa nilai atau keadaan dalam bentuk daftar(list). Tidak seperti combo box yang hanya menampilkan satu nilai saat tombol combo box tidak diaktifkan, list menampilkan beberapa nilai dalam suatu daftar. Untuk melihat seluruh nilai dari list pengguna dapat melakukannya dengan menggeser scroolbar yang terletak ditepi kanan list. List dapat terdiri dari 2 kolom atau lebih, dan dapat berisi teks , gambar atau kombinasi keduanya.

g. Tree

46

Gatot Pramono: Graphical User Interface

Website: http://www.pustekkom.go.id


Tree adalah sekumpulan data yang diatur secara hirarkis. Fungsi dari tree adalah agar pengguna dapat mengakses informasi yang bersangkutan dengan data pada tree dengan cepat dan untuk menunjukkan pengelompokan dari data-data yang sejenis. Tree dapat terdiri dari 2 kolom dan dapat berisi data berupa teks, gambar atau kombinasi keduanya. Kebanyakan help atau petunjuk cara menggunakan program dari suatu perangkat lunak ditampilkan dalam bentuk tree sehingga pengguna mudah melihat pengelompokan dari informasi yang ingin dilihat.

h. Slider

Slider adalah tampilan berbentuk seperti penggeser dimana pengguna dapt menggesernya ke kanan atau ke kiri, ke atas atau ke bawah. Slider berfungsi untuk memberikan akses bagi pengguna mengubah suatu nilai dengan cepat. Slider umumnya memiliki nilai dalam suatu range tertentu. Ada kalanya nilai yang ditunjukkan slider ditampilkan ada kalanya tidak. Pada gambar di atas dimana slider digunakan untuk mengaktifkan speaker kiri atau kanan nilai yang ditunjukkan slider tidak diperlihatkan karena nilai tersebut tidaklah terlalu penting.

i. Spin Box

Spin box adalah suatu box atau kotak yang berisi nilai-nilai (numerik) dimana selalu tersedia dua tombol (satu untuk menaikkan nilai dan satu lagi menurunkan nilai). Spin box berfungsi untuk memberikan akses bagi pengguna dalam mengubah suatu nilai tertentu. Keuntungan spin box dibandingkan Gatot Pramono: Graphical User Interface

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

47


combo box adalah bentuknya yang ringkas dan tidak memakan tempat. Sayangnya, saat ini, mungkin tak banyak pengguna yang familiar dengannya dibandingkan dengan combo box.

j. Tabbed Panel (Tabbed Notebooks)

Tabbed Panel adalah beberapa panel yang ditampilkan dalam satu window dimana umumnya informasi pada panel yang satu memiliki hubungan dengan informasi pada panel lainnya. Setiap saat hanya satu panel yang aktif. Untuk mengaktifkan salah satu panel pengguna umumnya melakukan klik pada header yang berupa teks (penggunaan gambar pada header tidak disarankan) atau memilih dengan bantuan tombol Tab pada keyboard. Tabbed panel dapat digunakan pada dialog untuk menset sautu nilai seperti pada contoh di atas (gambar ) atau untuk memilih menu (gambar).

k. Progress Bar

48

Gatot Pramono: Graphical User Interface

Website: http://www.pustekkom.go.id


Progress bar adalah suatu tampilan yang berbentuk batang (bar) yang panjangnya (nilainya) berubah sesuai dengan status dari suatu proses yang tengah berlangsung. Umumnya progress bar diberi label berupa prosentase untuk menunjukkan besarnya prosentase dari proses yang tengah berlangsung. Progress bar sangat ideal digunakan saat program pertama kali berjalan (loading) untuk menunjukkan bahwa program tengah melakukan loading file-file tertentu atau tengah melakukan suatu inisialisasi. Tanpa progress bar bisa jadi pengguna mengira program hang atau macet padahal program tengah melakukan inisialisasi.

l. Status bar

Status bar adalah informasi (berupa teks) terletak di bagian bawah jendela. Status bar berfungsi untuk menampilkan informasi singkat mengenai status atau keadaan aplikasi saat itu.

4. SARAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN BERBASIS KOMPUTER. Pembelajaran Berbasis Komputer (PBK) adalah pembelajaran yang menggunakan komputer sebagai mediumnya. Umumnya PBK bersifat suplementary terhadap pembelajaran melalui buku atau pembelajaran di kelas (Hannafin & Peck, 1988). Karena sifatnya ini beberapa orang menggunakan istilah CAI (Computer Assisted Instruction), CAL (Computer Assisted Learning). CAI sendiri, secara umum, bermakna instruksi pembelajaran melalui komputer yang memiliki karakteristik yang khas : menekankan belajar mandiri, interaktif, dan menyediakan bimbingan (Steinberg, 1991). Istilah-istilah ini tentu saja berbeda tujuannya dengan istilah seperti CBL (Computer Based Learning). Gatot Pramono: Graphical User Interface

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

49


Pada yang terakhir ini kandungan dari pembelajaran (the bulk of the content) memang dilakukan melalui medium komputer (Rieber, 2000). CBL cocok diberikan pada kasus pendidikan jarak jauh. PBK yang selama ini dikembangkan oleh Pustekkom mengacu pada CAI atau CAL. Sayangnya PBK di Pustekkom disebut dengan program multimedia. Istilah yang terakhir ini menurut hemat penulis tidak tepat karena multimedia adalah istilah generik yang mengacu pada suatu paket program yang terdiri dari berbagai macam media (teks, audio, video, animasi). Multimedia bisa saja menggunakan komputer, televisi, bahkan ponsel atau PDA(Personal Digital Assistant). Istilah multimedia tidak memberikan gambaran mengenai karakteristik dari PBK. Multimedia tidak mengindikasikan keharusan adanya suatu instruksi pembelajaran (instruction). Ada atau tidaknya suatu instruction suatu paket tetap dapat disebut multimedia sepanjang ia mengandung gabungan dari berbagai macam media. Berbeda dengan PBK yang didalamnya harus mengandung instruction dan tidak harus mengandung semua media (teks,audio, video, animasi). PBK tentu saja dikembangkan melalui tahap-tahap yang sesuai dengan IDS (Instructional Design System) seperti analysis, design, implementation dan evaluation (Fenrich, 1997). Pada tahap design beberapa langkah dilakukan. Pertama adalah GBIPM (Garis-Garis Besar Isi Program Media) dimana garis besar dari materi yang akan diberikan ditentukan. Kedua adalah penulisan naskah dimana naskah ditulis oleh orang yang menguasai mata pelajaran tertentu (contohnya guru). Di sini seorang pengkaji materi, yang bertugas memeriksa (dan mensupervisi) kebenaran dari materi, dan seorang pengkaji media, yang bertugas memilih media yang cocok, membantu penulis menyelesaikan naskahnya. Setelah naskah selesai barulah tahap berikutnya yakni implementation (produksi) dari PBK dimulai. Secara khusus penulis ingin mengulas tahap design di atas. Pada tahap ini cetak biru dari suatu program PBK dilakukan. Sayangnya justru pada tahap ini rancangan interface (GUI) tidak dilakukan secara memadai. Komponen-komponen GUI yang dieksplor oleh penulis, 50

Gatot Pramono: Graphical User Interface

Website: http://www.pustekkom.go.id


pengkaji dan team leader hanya sebatas pada button, menu dan toggle button. Pengintegrasian rancangan GUI jelas akan berpengaruh besar terhadap cetak biru yang dihasilkan dan pada gilirannya terhadap produk PBK (dalam bentuk program komputer). Seperti telah diuraikan di atas GUI yang baik akan meningkatkan kenyamanan dan kemudahan pengguna atau meningkatkan usability. Tanpa rancangan GUI yang baik tidak heran bila produk PBK dari Pustekkom kurang menarik dan tidak intuitive. Kekurangan ini tentu saja bukan kesalahan mutlak pada penulis, pengkaji naskah ataupun team leader. Permasalahanya adalah kurangnya pembekalan pengetahuan tentang pentingnya GUI pada suatu aplikasi komputer. Oleh karena itu penulis mengajak mereka baik yang berhubungan langsung dengan produksi PBK di Pustekkom maupun pihak luar (universitas misalnya) yang tertarik dengan pengembangan PBK untuk bersama-sama mendalami dan melakukan berbagai studi tentang HCI untuk melihat bagaimana pemanfaatan komputer pada anak didik kita. Bukankah ini membuka suatu cakrawala baru, bahkan profesi baru? Harapan penulis rekan-rekan yang memiliki latar belakang Teknologi Pendidikan tertarik untuk menggeluti HCI. HCI sendiri bersifat multi disiplin sehingga nampaknya sinergi antara ilmu komputer dengan ilmu-ilmu lain seperti psikologi (cognitive psychology) atau teknologi pendidikan akan menghasilkan produk PBK yang lebih baik.

Gatot Pramono: Graphical User Interface

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

51


KEPUSTAKAAN Fenrich, P. (1997). Practical Guidelines For Creating Instructional Multimedia Applications. Fort Worth: The Dryden Press. Hannafin, M., & Peck, K. (1988). The design, development, and evaluation of instructional software. New York: MacMillan. Hewett. Et. al (2002). ACM SIGCHI Curricula for Human-Computer Interaction. http://sigchi.org/ Nielsen, J. useit.com: Jakob Nielsen’s Website. Resource.http:// www.useit.com/ Rieber, L.P. (2000). Computers, Graphics, & Learning. Madison : Brown & Benchmark. Steinberg, E.R. (1991). Computer-Assisted Instruction : A Synthesis Of Theory, Practice, And Technology. New Jersey : Lawrence Erlbaum Associates. Tognazinni, B. Interaction Design Solutions for the Real World. Resource.http://www.asktog.com/ __________. GNOME Human Interface Guidelines. Resource.http:// developer.gnome.org/projects/gup/hig/ __________. KDE User Interface Guidelines. Resource.http:// developer.kde.org/documentation/design/ui/

uuuuuuuuuuuuuuuuu

52

Gatot Pramono: Graphical User Interface

Website: http://www.pustekkom.go.id


MUD AHNY A MEMILIKI MUDAHNY AHNYA PORT AL WEB SENDIRI PORTAL Oleh: Dwi Sumarwanto *)

Abstrak Pesatnya perkembangan teknologi informasi membawa kemudahan bagi penggunanya. Sejak www, http dan html dikenalkan, babak baru dalam penyebaran informasi global dimulai. Seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan gerakan open source di dunia, perkembangan web yang dahulu statis dan memerlukan sumber daya yang banyak dan kemampuan pemrograman web yang tinggi untuk mengembangkannya, saat ini sudah tergantikan dengan berbagai jenis aplikasi Portal Web yang instan dan siap pakai. Berbagai jenis aplikasi portal web baik yang komersil dan gratis banyak ditemukan di internet, mulai dengan dukungan teknologi dan fasilitas yang sederhana hingga yang kompleks. CMS (Content Management System) merupakan salah satu bagian dari portal web yang berperan sebagai pusat kendali dalam sebuah portal. Dengan aplikasi CMS pada sebuah portal web, siapapun bisa menjadi pemilik sekaligus pengelola sebuah portal web. Kata kunci : portal web, internet, open source, CMS

PENDAHULUAN Perkembangan teknologi informasi khususnya internet hampir semuanya dimulai dari hasil riset yang panjang, hingga saat inipun berbagai hal seputar dunia internet masih dilakukan untuk memperoleh hal-hal baru. Sejak komputer ditemukan pertama kali, tidak bisa dibayangkan *)

Dwi Sumarwanto , S.Si, S.Kom., adalah Staf PUSTEKKOM DEPDIKNAS No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

53


lompatan-lompatan teknologi yang menyertainya, bahkan bisa dikatakan perkembangan teknologi informasi batasnya adalah sejauh mana batas otak dan pikiran manusia itu untuk terus berpikir. Internet dengan banyaknya data dan informasi yang ada didalamnya, mampu menciptakan dunianya sendiri, bahkan bisa dikatakan kekayaan digital didalamnya telah menjadikannya benua informasi. Ada satu bagian dari internet yang kadang orang tidak perhatikan yaitu hadirnya teknologi WWW (World Wide Web) sebagai media untuk berbagai data, hubungan antara WWW dan Internet tidak bisa dilepaskan satu persatu walaupun konsep keduanya tidaklah sama. Perkembangan teknologi informasi yang pesat berhasil merevolusi internet khususnya web, dari desain web yang sederhana dan menggandalkan halaman statis dengan HTML hingga menjadi sebuah teknik pengembangan website yang mutakhir. Karena terlalu cepatnya perubahan yang terjadi, tidak semua orang dapat mengikuti perkembangan yang terjadi. Salah satu perkembangan teknologi rancang bangun dari website yang cukup menarik untuk diikuti adalah munculnya model-model web portal yang menawan dan mampu memberikan fungsionalitas yang tinggi bagi penggunanya, selain mudah digunakan bahkan gratis untuk memperolehnya.

A. Sejarah WWW Ibarat sebuah jalan raya tanpa kendaraan yang melaluinya, jalan tersebut terlihat sepi dan tidak nampak fungsinya. Demikian juga halnya dengan internet, jaringan komputer global ini menghubungkan jutaan komputer yang tersebar diseluruh dunia menjadi satu kesatuan tak ubahnya seperti jalan raya. Pertama kali hadir internet merupakan saluran komunikasi milik Riset Pertahanan Amerika (DARPA), seiring perkembangan waktu jaringan tersebut mulai digunakan secara luas. Pada tahun 1980 seseorang bernama Tim Berners Lee mengubah dunia menjadi dunia maya lewat internet dengan penemuan WWW. Saat itu Tim bekerja pada sebuah laboratorium fisika partikel milik Eropa (CERN). Dengan posisi sebagai software engineer, Tim

54

Dwi Sumarwanto: Memiliki Portal Web Sendiri

Website: http://www.pustekkom.go.id


mencoba membuat sebuah aplikasi yang dapat digunakan untuk berbagi data dan informasi bagi para peneliti CERN yang tersebar diberbagai negara sehingga pekerjaan mereka menjadi lebih efisien. Aplikasi buatan Tim tersebut diberi nama Enquire (web browser) yang kemudian dibawa keluar dari CERN agar dapat digunakan oleh peneliti-peneliti lainnya. Akhirnya pada tahun 1991, Tim meluncurkan browsernya, sampai suatu saat, seseorang bernama Marc Andressen meluncurkan browser yan diberi nama Mosaic yang kemudian berkembang menjadi Netscape. Meskipun tidak berhasil menjadi orang tenar seperti halnya Bill Gates, Tim telah meletakkan sebuah penemuan besar bagi perkembangan internet hingga dirinya dinobatkan sebagai 100 dari orang yang berpengaruh pada abad ini versi majalah TIME. Lewat penemuannya, sekarang kita mengenal WWW (World Wide Web), HTTP (Hyper Text Transfer Protocol), URL (Uniform Resource Locator) dan HTML (Hyper Text Markup Language) dimana kita dapat berbagai file, gambar, suara, musik dan informasi.

B. Sejarah Portal Web Internet dengan layanan WWW (World Wide Web) mengalami banyak pengembangan dari isi dan teknologinya, diantaranya adalah web portal. Seperti sebuah web, portal web tak ubahnya sebuah web biasa tetapi memiliki kelebihan pada isinya. Dalam suatu portal web akan banyak dijumpai fasilitas yang jarang kita jumpai pada web pribadi atau web sekelasnya. Portal web mulai populer sejak tahun 1999 dan menjadi aplikasi internet yang hangat untuk diperbincangkan pada tahun 2000. Saat mulai dirintis, komunitas IT sudah kenal dengan portal kecil atau “micro portal� seperti slashdot (www.slashdot.org) dan proyek weblog, yang didalamnya menyajikan berbagai informasi dan link yang terkait yang dibuat dengan struktur dan anatomi web yang khas. Micro portal itulah yang kemudian menjadi cikal bakal tumbuhnya portal sekarang ini dengan dukungan teknologi yang besar dan content yang melimpah serta maraknya gerakan open source diseluruh dunia.

Dwi Sumarwanto: Memiliki Portal Web Sendiri

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

55


C. Portal Web Secara fisik portal dapat diasumsikan sebuah gerbang atau pintu masuk untuk menuju ke suatu tempat. Adapun berbagai definisi yang ada, portal secara umum dapat diartikan sebuah website yang menjadi pintu masuk untuk menuju ke sebuah situs lain di internet. Berdasarkan fungsionalnya, portal dibagi menjadi beberapa jenis yaitu: 1. Portal Informasi (news, weblogs, customer support) 2. Portal Transaksi (sales) 3. Portal Kolaborasi (weblogs, news) + discussion Sebuah portal mempunyai kelebihan-kelebihan, yang mana kelebihan ini merupakan perbedaan utama dari sebuah web biasa, kelebihan tersebut antara lain : 1. Mudah, administrasi portal berbasis web hanya membutuhkan pengalaman menggunakan komputer yang minimal untuk mengelola isi sebuah portal web. 2. Pengaturan layout yang fleksibel, perubahan layout (tampilan, ukuran) web tanpa harus mengubah keseluruhan halaman yang ada. 3. Isi yang interaktif, pengunjung portal web dapat mengirimkan komentar, artikel, pengumuman dan weblink. 4. Halaman yang bisa mengimpor atau ekspor headline berita dari web portal yang lain (via RSS/RDF imports). 5. Halaman tambahan untuk informasi, pada halaman utama pengunjung hanya dapat melihat bagian (sinopsis) dari berita atau informasi tersebut. Untuk melihat lebih lanjut, pengunjung cukup mengklik link, misal link “more details�. 6. Adanya survey atau jajak pendapat yang menyediakan quick view, dimana kita dapat langsung melihat hasil survey atau polling tersebut. 7. Fasilitas untuk upload atau download file 8. Adanya fasilitas multibahasa sehingga memungkinkan pengunjung menyesuaikan dengan bahasa negara mereka. Banyak hal komponen dari sebuah portal, selain infrastruktur (teknologi), juga SDM didalamnya, semisal pencari berita pada portal 56

Dwi Sumarwanto: Memiliki Portal Web Sendiri

Website: http://www.pustekkom.go.id


www.detik.com yang mempunyai kontributor berita diberbagai daerah dan manager (CEO) yang berperan mengelola portal tersebut. Awal-awal demam portal web dimulai, hampir semua orang atau perusahaan berlomba-lomba untuk membangunnya, mulai dari yang kelas bawah hingga yang enterprise. Saat itu banyak portal web bermunculan dan tidak sedikit pula yang tutup, berbagai upaya dilakukan mulai merubah orientasi bisnisnya hingga melakukan merger (Geocities.com dengan Yahoo.com). Saat itu untuk membuat sebuah portal web yang lengkap dengan berbagai layanan serta aplikasi yang canggih sangatlah sulit, disamping kendala biaya juga sedikitnya pilihan teknologi yang dipakai.

D. Perkembangan Portal Web Dahulu untuk membuat sebuah portal web minimal dibutuhkan sebuah tim yang terdiri dari web programmer yang menguasai skrip pemrograman web dan database (PHP, ASP, Perl, HTML, MySQL, Postgree) dan desainer grafis (Adobe Photoshop, CorelDraw, Macromedia Fireworks). Sedangkan dari sisi waktu, dibutuhkan waktu yang cukup relatif lama jika dimulai dari menentukan kebutuhan (requirement capture) untuk apa portal dibuat, programming hingga tahap implementasi. Saat ini untuk membuat dan memiliki sebuah portal web bisa dapat dinikmati oleh semua orang dengan tidak perlu memperhatikan keahlian orang tersebut, bukan seorang programmer web atau ahli dibidang grafis pun dapat memiliki dan mengelola sebuah portal web yang menakjubkan dan dapat disejajarkan dengan portal web lain yang sudah mapan. Sejak fenomena gerakan open source didengungkan beberapa tahun silam, seolah membalikkan kondisi dunia komputer (Internet). Banyak aplikasi portal web yang dikembangkan dan didistribusikan oleh perorangan atau sekelompok penggiat TI, disamping gratis dan bebas memperolehnya aplikasi portal web tersebut juga memiliki berbagai fitur dan layanan yang sangat baik dan yang lebih utama kode Dwi Sumarwanto: Memiliki Portal Web Sendiri

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

57


program/source code dari aplikasi tersebut disertakan sehingga mudah untuk diatur sesuai selera kita. Sesuai dengan karakter dari sebuah portal web, dengan sedikit keahlian dari penggunanya maka kendali dari portal web tersebut mudah dapat dilakukan. Untuk mengatur semua kendali dari portal web mulai dari tampilan muka hingga isi informasinya, semua dilayani oleh aplikasi yang umum dikenal dengan CMS (Content Management System). CMS menjadi back end dari seluruh pengelolaan portal dalam menjalankan tugasnya, dengan CMS semua pengaturan content dapat dilakukan secara instan, cepat dan multi entry (dapat diupdate oleh banyak pihak/user). Berikut ini adalah berbagai portal web dengan aplikasi CMS mulai dari yang didesain untuk pendidikan hingga bisnis:

No.

58

Nama CMS Portal Web

Alamat URL

Keterangan

1

Mambo

www.mamboserver. com

Free, pemenang Linux User & Developer Awards 2004 sebagai “Best Linux or Open Source Software�, tampilan perwajahannya bagus.

2

Joomla

www.joomla.org

Free, open source, setara dengan mambo

3

Drupal

http://drupal.org

Free, opensource, kaya modul dan template/skin, kaya plugins

4

Nukleus

http://nukleuscms.org

Ada versi free dan bayar, opensource, kaya modul dan template, komunitas cukup aktif

5

ModX

http://modxcms.com

Free, open source, tampilan bercorak minimalis tapi elegan dan kuat

6

TextPattern

http://textpattern.com

Free, open source, untuk situs yang dominan teks, tampilan minimalis tapi elegan dan kuat

7

BitFLUX

http://wiki.bitflux,org

Free, open source, mudah digunakan, bercorak wiki

Dwi Sumarwanto: Memiliki Portal Web Sendiri

Website: http://www.pustekkom.go.id


8

TYPO3

www.typo3.com

Free dan open source, untuk enterprise dan intranet

9

Midgard

www.midgard-project. org

Free dan open source

10

Lucid

http://lucidcms.net

Free, open source, untuk situs yang tidak terlalu besar, tampilan sederhana

11

Plume

www.plume-cms.net

Free, open source, sederhana tapi power full

12

Blue Shoes

www.blueshoes.org

Free, tapi kode program/ source code tidak disertakan

13

Caravel

www.caravelcms.org

Free dan open source

14

CMS Made Simple www.cmsmadesimple. Free dan open source org

15

Dragon Fly

http://dragonflycms.org Free dan open source

16

Free Styler

http://datalink.com.au

Komersial

17

Bandits

http://freshmeat.net/ projects/cms-bandits

Free dan open source

18

PHP Nuke

www.phpnuke.org

Free, open source dan power full

19

Moodle

www.moodle.org

Free, open source, portal learning manajemen yang handal

20

Aura

www.ayo.kliksini.com/ auracms

Free, open source, buatan Indonesia

21

Pangsit

www.sentralweb.com

Free, open source, buatan Indonesia

E. Portal Web Mambo Dari berbagai aplikasi portal di atas, Mambo adalah salah satu jenis CMS portal web yang sangat mudah diinstalasi dan simpel pengaturannya. Mambo dengan motto Power is Simplicity membuat penggunanya yang awam akan dunia pemrograman web menjadi percaya diri sebagai administrator web dengan dukungan aplikasi Dwi Sumarwanto: Memiliki Portal Web Sendiri

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

59


yang menawan dan tangguh. Adapun langkah-langkah membangun sebuah web portal dengan mambo adalah sebagai berikut : 1. Mengambil file mambo di www.mamboserver.com 2. Instalasi untuk kondisi offline : - Memasang aplikasi pendukung yang terdiri dari PHP 4.2.x atau lebih tinggi (www.php.net), MySQL 3.23.x atau lebih tinggi (www.mysql.com) dan Apache 1.13.19 atau lebih tinggi (www.apache.org). Dari ketiga aplikasi diatas dapat digantikan dengan aplikasi yang bernama PHP Triad yang berisi 1 bendel dari ke-3 aplikasi pendukung tersebut, dengan cukup sekali instal, semua aplikasi akan terpasang pada komputer Anda yang befungsi sebagai lokal web server. PHP Triad dapat diambil dari berbagai sumber di Internet. - Mengekstrak file mambo pada folder yang telah disediakan (umumnya terletak dibawah folder htdocs) - Menjalankan file mambo yang dimulai dari folder bernama installation/index.php file bernama index.php di bawah folder mambo, setelah hanya melewati 4 tahapan, portal web Anda siap digunakan. 3. Instalasi kondisi online : Instalasi ini ditujukan bagi pengguna yang telah mempunyai nama domain dan tempat hosting untuk menaruh file-file mambo. Dengan mengupload file-file mambo ke web server dan mengikuti langkah-langkah instalasi (folder installation/index.php) maka portal web mambo sudah online di internet. Aplikasi portal web Mambo mempunyai kemampuan dasar antara lain : 1. Melakukan update halaman utama, halaman berita, artikel dan gambar 2. Mudah menambahkan meu baru 3. Melihat file Ms. Word, Excel dan PDF 4. Mempunyai kemampuan mengatur banner iklan 5. Memiliki fasilitas polling 6. Kemampuan mengatur weblink 7. Kemampuan mengatur FAQ 60

Dwi Sumarwanto: Memiliki Portal Web Sendiri

Website: http://www.pustekkom.go.id


8. 9. 10. 11. 12.

Kemampuan mengatur news flash Kemampuan mengatur arsip dan menampilkan kembali Kemampuan mengatur halaman kontak dan form email Kemampuan mengatur user dengan akses level yang berbeda Kemampuan menambah komponen, modul dan template

Selain fasilitas diatas, dengan sedikiti pengetahuan teknik pemrograman web kita juga dapat menambahkan sendiri tools dan layanan lain sesuai kebutuhan.

F. Penutup 1. Kesimpulan a. Perkembangan teknologi internet menjadi luas setelah Tim Berners Lee menemukan teknologi www (world wide web), HTTP (Hyper Text Transfer Protocol), URL (Uniform Resource Locator) dan HTML (Hyper Text Markup Language) dimana kita dapat berbagai file, gambar, suara, musik dan informasi. b. Era perkembangan portal web dimulai sekitar tahun 1999 dengan adanya proyek micro portal slashdot dan weblog. c. Portal web mengalami perkembangan yang pesat sejak adanya gerakan open source, yaitu banyaknya aplikasi CMS Portal Web yang dikembangkan dan disebarkan oleh komunitas TI dengan sumber kode/source code yang dibuka sehingga memudahkan pengembangannya. d. Mambo merupakan salah satu CMS Portal Web yang baik untuk digunakan, dengan dukungan aplikasi yang baik serta banyaknya komunitas penggunanya.

2. Saran a. Pilihlah Portal Web sesuai dengan kebutuhan Anda b. Pertimbangkan dukungan berbagai macam web browser kepada portal web Anda c. Pertimbangkan kecepatan akses dari portal web yang dipilih d. Navigasi yang mudah dan jelas bagi pengunjung e. Kekayaan koleksi modul dan plugins dari portal web f. Kemampuan manajemen akses Dwi Sumarwanto: Memiliki Portal Web Sendiri

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

61


g. Dukungan manual/dokumentasi dari aplikasi CMS Portal Web h. Banyak sedikitnya komunitas pengguna portal web yang dipilih, berguna sebagai tempat bertanya dan mengetahui kekurangan dari aplikasi portal web yang dipilih i. Dukungan pengamanan portal web yang dipilih.

DAFTAR PUSTAKA www.mamboserver.com http://tecfa.unige.ch www.phpnuke.org www.tabloidpcplus.com www.ilmukomputer.com www.w3c.com

uuuuuuuuuuuuuuuuu

62

Dwi Sumarwanto: Memiliki Portal Web Sendiri

Website: http://www.pustekkom.go.id


SEPUT AR PEMBEL AJAR AN ELEKTRONIK SEPUTAR PEMBELAJAR AJARAN (e-Lear ning) (e-Learning) Sudirman Siahaan*)

Abstrak Setiap kemajuan yang berhasil dicapai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi hendaklah senantiasa dipandang sebagai suatu instrumen untuk peningkatan kualitas hidup manusia. Demikian juga halnya dengan “e-learning” sebagai salah satu wujud kemajuan yang dicapai di bidang teknologi komunikasi dan informasi haruslah juga disikapi secara positif sekalipun harus diakui ada sisi negatifnya. Dipandang secara positif, artinya, sejauh mana “e-learning” dapat dioptimalkan pemanfaatannya sehingga menjadi kontributor yang positif terhadap berbagai aspek kehidupan manusia pada umumnya dan bagi dunia pendidikan dan pembelajaran pada khususnya. Dalam kaitan ini, kerjasama dan koordinasi antara berbagai institusi/ organisasi yang mempunyai keterkaitan misi, tugas dan fungsi di bidang teknologi komunikasi dan informasi perlu disinergikan agar kemajuan yang ada dapat memberikan manfaat yang sebesarbesarnya terutama di bidang pendidikan dan pembelajaran. Berkaitan dengan respons terhadap “e-learning”, ada yang pro dan kontra. Masing-masing dari kedua pihak ini didukung oleh berbagai argumentasi. Sejauh lembaga-lembaga pendidikan tertentu merespons “e-learning” secara positif karena memberikan nilai tambah bagi peningkatan kualitas lulusannya, maka lembaga pendidikan tersebut perlu didukung sebagai pionir. Lembagalembaga pendidikan lainnya dapat menjadikan pengalaman lembaga pionir ini sebagai rujukan apakah akan memanfaatkan “e-learning” atau akan menunda untuk jangka waktu tertentu. Kata-kata Kunci:

*)

e-learning,website, pembelajaran, kegiatan belajar secara tatap muka

Drs. Sudirman Siahaan, M.Pd., adalah tenaga fungsional peneliti bidang pendidikan pada Pustekkom Depdiknas. No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

63


A. PENDAHULUAN Semakin banyak orang, baik tenaga kependidikan maupun peserta didik, membicarakan kegiatan “e-learning”. Semakin banyak juga lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan yang mulai menerapkan “e-learning” dalam kegiatan pembelajarannya. Namun dalam perkembangannya, banyak pihak yang pro dan kontra terhadap “elearning”. Terjadinya kelompok pro dan kontra terhadap “e-learning” dapat disebabkan berbagai faktor, tergantung dari sudut pandang yang digunakan. Pihak yang pro “e-learning” dapat saja mengatakan bahwa kalau menunggu sampai semuanya sudah tersedia dan siap, kapan kita akan maju-maju. Kita akan tertinggal terus apabila kita tidak mau memulai dengan apa adanya. Karena itu, dengan kondisi apa adanya, kita harus memulai sekalipun itu baru dalam skala yang kecil. Artinya, lembaga-lembaga pendidikan dan atau pelatihan perlu didorong terusmenerus sehingga mereka dapat memulai sesuai dengan keberadaannya masing-masing. Sedangkan pihak yang kontra “e-learning” dapat saja mengajukan berbagai pertanyaan yang memperlihatkan siap-tidaknya sekolah menerapkan “e-learning”. Misalnya, mengapa harus “e-learning”? Apakah tidak ada metode pembelajaran lain yang lebih sederhana yang mudah dilaksanakan guru di kelas? Apakah para guru kita sudah memiliki kesiapan untuk menerapkan “e-learning”? Bukankah sebagian besar guru kita masih “gatek” (gagap teknologi)? Bagaimana dengan peralatan yang dibutuhkan untuk menerapkan “e-learning”? Bagaimana dengan piranti lunaknya? Kalaupun seandainya piranti keras dan lunaknya disediakan, bagaimana dengan keberlanjutannya (sustainability)? Masih ada sederetan pertanyaan lainnya yang dapat diajukan sebagai perisai untuk menyimpulkan sikap kontra terhadap “e-learning”. Kenyataannya memang tetap selalu pihak yang pro dan kontra. Sekalipun demikian, yang juga menjadi kenyataan adalah bahwa 64

Sudirman Siahaan: Seputar Pembelajaran Elektronik (e-Learning)

Website: http://www.pustekkom.go.id


berbagai lembaga pendidikan sekolah atau pelatihan yang memandang penting pemanfaatan “e-learning dan telah melakukan berbagai persiapan yang pada akhirnya telah mulai menerapkan “elearning. Tidaklah juga perlu memaksakan berbagai pendidikan sekolah atau pelatihan lainnya untuk segera memanfaatkan “elearning”. Dalam hal ini, pengelola lembaga pendidikan sekolah atau pelatihan yang cepat dan sigap untuk memanfaatkan kemajuan teknologi, biarlah mereka lakukan dengan cepat. Senaliknya, pengelola lembaga pendidikan sekolah atau pelatihan yang menilai belum saatnya untuk ber”e-learning”, biarlah juga mereka menyusul kemudian. Terlepas dari pro dan kontra terhadap penerapan “e-learning”, maka tulisan ini dimaksudkan sebagai suatu sumbang pemikiran untuk melihat berbagai aspek yang berkaitan dengan “e-learning” yang dapat menambah perluasan wawasan. Atau setidak-tidaknya, sebagai bahan perbandingan namun bukan untuk memihak pada pihak yang pro atau kontra terhadap “e-learning”.

B. PEMBAHASAN 1. Pengertian “e-Learning” Pertama-tama perlu disepakati terlebih dahulu tentang pengertian istilah “e-learning” (pembelajaran elektronik). Beberapa istilah lain yang digunakan untuk “e-learning” adalah: “internet-based learning” (belajar berbasis internet), “virtual learning” (belajar melalui lingkungan maya), “web-based learning” (belajar berbasis web). Dalam kaitan dengan pengertian “e-learning”, Mark Nichols mengemukakan bahwa “e-learning” merupakan kegiatan pendidikan/pembelajaran yang memanfaatkan berbagai sarana teknologi, baik yang berupa “web-based”, “web-distributed”, maupun “web-capable” (Nichols, 2003). Beberapa ahli mengemukakan bahwa istilah “e-learning” mengacu pada penggunaan teknologi internet untuk menyajikan sejumlah pilihan solusi yang sangat luas (a broad array of solution) yang Sudirman Siahaan: Seputar Pembelajaran Elektronik (e-Learning)

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

65


mengarah pada peningkatan pengetahuan dan performans. Sedangkan Mary Daniels Brown dan Dave Feasey mengemukakan bahwa “e-learning” merupakan satu bentuk kegiatan pembelajaran yang memanfaatkan jaringan, seperti: internet, Local Area Network (LAN), atau Wider Area Network (WAN) sebagai metode penyampaian, interaksi, dan fasilitasi serta didukung oleh berbagai layanan belajar lainnya (Brown, 2000; Feasey, 2001). Di dalam Newsletter of ODLQC dikemukakan bahwa setidaktidaknya dapat ditarik 3 (tiga) hal penting sebagai persyaratan kegiatan belajar elektronik (e-learning) atau disebut juga metode pembelajaran melalui pemanfaatan media elektronik, yaitu: (a) kegiatan pembelajaran dilakukan melalui pemanfaatan jaringan (“jaringan” dalam uraian ini dibatasi pada penggunaan internet. Jaringan dapat saja mencakup LAN atau WAN). (Website eLearners.com), (b) tersedianya dukungan layanan belajar yang dapat dimanfaatkan oleh peserta belajar, misalnya CD-ROM, atau bahan cetak, dan (c) tersedianya dukungan layanan tutor yang dapat membantu peserta belajar apabila mengalami kesulitan. Di samping ketiga persyaratan tersebut di atas masih dapat ditambahkan persyaratan lainnya, seperti adanya: a. lembaga yang menyelenggarakan/mengelola kegiatan eLearning, b. sikap positif dari peserta didik dan tenaga kependidikan terhadap teknologi komputer dan internet, c. rancangan sistem pembelajaran yang dapat dipelajari/ diketahui oleh setiap peserta belajar, d. sistem evaluasi terhadap kemajuan atau perkembangan belajar peserta belajar, dan e. mekanisme umpan balik yang dikembangkan oleh lembaga penyelenggara (Newsletter of ODLQC, 2001). Berkaitan dengan pengertian tentang “e-learning”, Arief Rachman mengemukakan bahwa ada 3 kriteria mendasar yang perlu 66

Sudirman Siahaan: Seputar Pembelajaran Elektronik (e-Learning)

Website: http://www.pustekkom.go.id


dipahami dalam mendiskusikan “e-learning”, yaitu bahwa “elearning”: a. merupakan jaringan yang memungkinkan dilakukannya pemutakhiran secara instan, penyimpanan/pengambilan, distribusi dan berbagi informasi atau materi pembelajaran; b. menggunakan perangkat komputer sebagai sarana penyajian dengan menerapkan standar teknologi internet; c. berfokus pada keluasan pandangan tentang belajar termasuk tentang solusi belajar yang melampaui paradigma pelatihan yang tradisional. (Rachman, 2002).

2. Awal Perkembangan “e-learning” di Indonesia Dari berbagai referensi dapat diketahui bahwa beberapa institusi di berbagai negara telah menyelenggarakan secara penuh kegiatan pembelajaran yang dikelolanya melalui media elektronik (e-learning). Artinya, “e-learning” benar-benar berfungsi sebagai pengganti kegiatan pembelajaran yang disajikan secara tatap muka di sekolah normal (konvensional). Berbagai kepentingan untuk konsultasi dan diskusi dengan dosen atau penyerahan tugas-tugas dilakukan secara elektronik, melalui fasilitas telepon, atau fax. Apabila dalam keadaan yang sangat diperlukan, memang disediakan peluang untuk bertatap muka antara mahapeserta didik dan dosen. Lulusan yang dihasilkan melalui “e-learning” dihargai sama dengan hasil kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan secara tatap muka. Bagaimana “e-learning” di Indonesia? Tampaknya, belum ada institusi pendidikan di Indonesia yang menerapkan “e-learning” sebagai substitusi atau pengganti kegiatan pembelajaran yang disajikan secara tatap muka di sekolah konvensional. Dengan demikian, tidak ada alternatif bagi peserta didik apakah akan mengikuti kegiatan pembelajaran secara tatap muka atau melalui media elektronik. Perkembangan lain yang dapat diamati adalah berbagai institusi telah merintis penyelenggaraan kegiatan “e-learning” untuk mendukung kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan secara tatap muka Sudirman Siahaan: Seputar Pembelajaran Elektronik (e-Learning)

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

67


(konvensional). Atau dapat dikatakan bahwa “e-learning” masuk ke sekolah-sekolah untuk mendukung kegiatan pembelajaran tatap muka yang diselenggarakan guru di dalam kelas. Dalam hal ini, fungsi “e-learning” adalah sebagai pelengkap, pengayaan, tutorial, atau umpan balik. Kegiatan pembelajaran secara elektronik atau singkatnya disebut “e-learning” telah dimulai pada tahun 1970-an. Namun di Indonesia, barulah pada akhir tahun 1990-an, berbagai institusi pendidikan dan pelatihan mulai memperlihatkan perhatian untuk memanfaatkan “elearning”. Pembahasan tentang “e-learning” tidak terlepas dari ketersediaan infrastruktur telekomunikasi yang memungkinkan dilakukannya koneksi ke internet. Dalam kaitan ini, PT Pos Indonesia melalui kantor pos yang terdapat di ibukota kabupaten/kota menyediakan fasilitas koneksi ke internet bagi masyarakat luas. Sejauh ini, penyediaan fasilitas internet melalui PT Pos Indonesia telah masuk ke-116 kota di seluruh Indonesia (Hardhono, 2002). Keberadaan berbagai perguruan tinggi di kabupaten/kota turut mempercepat peningkatan jumlah pengguna internet. Demikian juga halnya dengan jumlah institusi penyelenggara kegiatan pembelajaran elektronik, yaitu tercatat sekitar 150 institusi penyelenggara perkuliahan elektronik untuk program sarjana muda dan 200 institusi untuk program sarjana (Pethokoukis, 2001) Inisiatif lembaga untuk berperanserta dalam penyediaan fasilitas koneksi ke internet diikuti juga oleh kalangan masyarakat secara perseorangan yang ditandai dengan pesatnya perkembangan Warung Internet (WARNET) di kalangan masyarakat khususnya di daerah perkotaan. Peranserta masyarakat perkotaan yang menyediakan fasilitas koneksi internet kepada publik, yaitu yang berupa Warung Internet (WARNET) terus meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun. Jumlah berbagai lembaga dan perseorangan yang mengembangkan website yang antara lain berisikan berbagai referensi tentang ilmu pengetahuan, baik untuk konsumsi umum maupun secara khusus untuk peserta didik, mahapeserta 68

Sudirman Siahaan: Seputar Pembelajaran Elektronik (e-Learning)

Website: http://www.pustekkom.go.id


didik, guru/dosen, dan kaum profesionals. Selain itu, hadirnya berbagai penyedia jasa internet yang memberikan kemudahan kepada publik untuk menjadi pelanggan internet (internet subscribers) secara gratis turut mempercepat pemanfaatan internet di Indonesia. Sebagai satu catatan bahwa pengguna internet di Indonesia pada tahun 1995 berjumlah sekitar 10.000 pengguna, kemudian terus meningkat menjadi sekitar 2,4 juta pengguna pada tahun 2001 dengan rincian: 550.000 pengguna dari rumah, 26.000 pengguna dari perusahaan, 2.000 sekolah dengan rata-rata 500 pengguna setiap sekolah, 500 perguruan tinggi dengan rata-rata 1.000 mahapeserta didik setiap perguruan tingginya, dan 2.500 warung internet dengan rata-rata 100 pelanggan dari setiap warung internet (Hardjito, 2002). Kemudian, berbagai lembaga pendidikan dan pelatihan telah mulai melakukan perintisan penerapan “e-learning” dalam kegiatan belajar-mengajar. Dalam hal ini, fungsi “e-learning” dapat sebagai tutorial, pengayaan, atau remedial bagi peserta didik. Beberapa di antara lembaga pendidikan dan pelatihan ini adalah sekolah-sekolah di lingkungan BPK Penabur Jakarta, Universitas Bina Nusantara, UGM, Universitas Pelita Harapan, Universitas Terbuka, Universitas Trisakti.

3. Apakah “E-learning” atau Metode Belajar lewat Internet telah Menjadi Kebutuhan? Untuk dapat menjawab apakah “e-learning” atau metode pembelajaran melalui internet telah menjadi suatu kebutuhan, maka perlu terlebih dahulu dilakukan studi. Ada beberapa studi yang telah dilakukan di antaranya adalah (a) studi penjajagan tentang kemungkinan pemanfaatan internet untuk kegiatan pembelajaran di SMU dan SMK (Siahaan, 2002), dan (b) studi perbandingan tentang kegiatan pembelajaran tutorial secara tatap muka dengan kegiatan pembelajaran tutorial melalui pemanfaatan internet (Simanjuntak dan Siahaan, 2003). Sudirman Siahaan: Seputar Pembelajaran Elektronik (e-Learning)

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

69


Ada beberapa kesimpulan dari kedua studi tersebut di atas yang relevan untuk dikemukakan, yaitu: (a) jumlah sekolah (SMU dan SMK) yang dilengkapi dengan perangkat komputer semakin meningkat jumlahnya, (b) jumlah sekolah yang dilengkapi dengan fasilitas Local Area Network (LAN) juga turut meningkat, (c) pengelola sekolah yang telah memiliki laboratorium komputer tetapi belum memiliki fasilitas LAN menyatakan akan melengkapi sekolah dengan LAN, (d) para peserta didik dan guru menyambut positif gagasan untuk merintis penyelenggaraan kegiatan pembelajaran melalui internet (e-learning), (e) tidak ada perbedaan signifikan prestasi belajar para peserta didik yang mengikuti kegiatan tutorial melalui tatap muka dengan para peserta didik yang mengikuti tutorial lewat pemanfaatan internet. Dengan demikian, terbuka peluang bagi sekolah (dalam hal ini para guru) untuk mempersiapkan materi tutorial yang akan disajikan secara elektronik. Namun, yang menjadi permasalahannya sekarang bukanlah terletak pada apakah metode belajar lewat internet atau “elearning� sudah menjadi kebutuhan atau belum, tetapi cenderung pada apa yang perlu dilakukan sehingga fasilitas internet dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan pendidikan/ pembelajaran yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia. Dengan terbukanya peluang bagi peserta didik untuk mengakses bahan-bahan pembelajaran secara elektronik di samping yang mereka peroleh di dalam kelas, maka para peserta didik dapat memperkaya pemahamannya, memperluas wawasannya, dan pada akhirnya bermuara pada peningkatan prestasi belajar mereka. Dengan demikian, tidak perlu harus menunggu sampai semua sekolah sudah benar-benar siap dalam arti telah dilengkapi dengan fasilitas lab komputer dan LAN, baru kemudian kita memikirkan untuk memulai menerapkan “e-learning�. Peningkatan jumlah pengguna internet sangat menakjubkan di berbagai negara, terutama di lingkungan negara-negara 70

Sudirman Siahaan: Seputar Pembelajaran Elektronik (e-Learning)

Website: http://www.pustekkom.go.id


berkembang. Alexander Downer, Menteri Luar negeri Australia, mengemukakan bahwa jumlah pengguna internet dalam kurun waktu 1998-2000 meningkat dari 1,7 juta menjadi 9,8 juta orang (Brazil), dari 3,8 juta menjadi 16,9 juta orang (China), dan dari 3.000 menjadi 25.000 orang (Uganda) (Downer, 2001). Sebagai perbandingan dapat dikemukakan bahwa prosentase jumlah warga negara di kawasan Asia Tenggara yang telah memanfaatkan internet atau telah terkoneksi dengan internet adalah: Singapore (49%), Malaysia (17%), Filippina (2.46%), Thailand (1,86%), Brunei Darussalam (1,19%), dan disusul oleh Indonesia (0,88%), Lao PDR (0,11%), Vietnam (0,13%), dan Cambodia (0,05%). (Pascual dan Sulaiman, 2003). Dalam kaitan ini, tentunya kita harus bekerja lebih keras lagi agar semakin banyak warga negara kita yang melek internet sehingga tidak tertinggal/terlindas oleh persaingan kehidupan global, semakin banyak lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan yang menerapkan “e-learning�, dan semakin banyak pula anggota masyarakat yang menyediakan layanan fasilitas koneksi internet sehingga mempermudah publik untuk memanfaatkannya bagi berbagai kepentingan.

4. Bagaimana Kemungkinan Keberhasilan Penerapan Sistem Belajar secara Elektronik? Ya, memang sangat berat untuk mengubah kebiasaan yang telah berkembang di masyarakat. Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang lebih cenderung “suka mendengar� (listening society). Dalam kaitan ini, yang menjadi masalah adalah bagaimana memotivasi masyarakat agar mulai membudayakan kebiasaan membaca?. Memang tidak mudah. Jika tidak mudah dilakukan, apakah memang harus diabaikan atau dibiarkan saja demikian? Jawabannya, tentulah tidak. Berbagai upaya haruslah dilakukan agar masyarakat secara bertahap terkondisi untuk mulai mengembangkan budaya membaca. Masyarakat luas memang perlu bukti dan hal inilah yang sangat sulit dilakukan. Meyakinkan masyarakat memang sulit apabila belum ada buktibukti yang pendukung. Sudirman Siahaan: Seputar Pembelajaran Elektronik (e-Learning)

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

71


Berkaitan dengan hal tersebut di atas, ada satu contoh pengalaman empirik sewaktu mengintroduksi sebuah inovasi atau pembaharuan di bidang pendidikan, yaitu: perintisan Sekolah Menengah Pertama Terbuka (SMP Terbuka) pada tahun 1979. Sewaktu gagasan untuk merintis penyelenggaraan SMP Terbuka dilontarkan, berbagai issue atau pemikiran berkembang. Salah satu di antaranya adalah bagaimana mungkin anak-anak usia SMP harus belajar secara mandiri dengan kondisi harus banyak membaca. Kemudian, ditekankan juga bahwa kegiatan membaca para mahasiswa saja disinyalir masih belum terlalu menggembirakan, apalagi di kalangan para siswa. Sesuai dengan rancangan sistemnya, para peserta didik SMP Terbuka memang menghabiskan sebagian besar waktu belajarnya untuk belajar mandiri, baik secara individual maupun kelompok. Kegiatan membaca memang sangat dominan. Pertemuan peserta didik secara tatap muka dengan guru sangat terbatas, yaitu hanya sekali seminggu. Karena itu, memang para penggagas SMP Terbuka dituntut untuk melakukan berbagai persiapan sebelum kegiatan perintisan dilakukan, termasuk antara lain: penyiapan bahan-bahan belajar, penyiapan daerah yang akan dijadikan sebagai lokasi perintisan, pelatihan para guru dan tutor, sampai dengan pengelolaan penyelenggaraan kegiatan pembelajarannya. Dari berbagai hasil penelitian yang telah dilakukan oleh berbagai pihak, baik yang bersifat individual maupun institusional (perguruan tinggi dan lembaga penelitian), ternyata prestasi belajar para lulusan SMP Terbuka tidak kalah jauh dengan lulusan SMP biasa atau konvensional. Para lulusan SMP Terbuka juga tidak kalah bersaing dalam mengikuti pendidikan lanjutan di Sekolah Menengah. Dewasa ini, SMP Terbuka dapat dijumpai di semua propinsi di Indonesia dan telah dijadikan sebagai salah satu pola wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun.

72

Sudirman Siahaan: Seputar Pembelajaran Elektronik (e-Learning)

Website: http://www.pustekkom.go.id


Persoalan tentang kesiapan menerima atau menerapkan sistem pembelajaran melalui pemanfaatan internet atau “e-learning”, maka tidak perlu harus menunggu atau menundanya dengan berbagai dalih tetapi justru memulainya dengan berbagai ragam kesiapan yang ada. Bahkan sekarang ini, beberapa sekolah sudah berinisiatif memulai penerapan “e-learning” sekalipun dalam skala yang masih relatif kecil. Artinya, kesiapan untuk menerapkan “e-learning” dapat dimulai dengan jumlah sekolah yang sedikit sebagai pionir. Secara bertahap, sekolah-sekolah lainnya akan dapat belajar dari pengalaman yang telah dimiliki oleh sekolahsekolah pionir (rintisan). Pentahapan yang demikian ini akan berjalan seiring dengan perkembangan kesiapan sekolah-sekolah lainnya. Infrastruktur teknologi telekomunikasi yang telah tersedia akan terus ditingkatkan. Demikian juga dengan jumlah sekolah yang melengkapi dirinya dengan lab komputer dan fasilitas LAN akan semakin banyak dan terus meningkat, berbagai situs yang menyajikan materi pembelajaran mulai tersedia sehingga dapat diakses oleh para peserta didik, pelatihan para guru di bidang pengembangan dan pemanfaatan internet untuk pembelajaran juga terus dilakukan, jumlah warga masyarakat yang menyediakan layanan fasilitas koneksi internet terus bertambah banyak, maka tidak ada alasan untuk berdiam diri atau menunggu, tetapi melakukan sinergi antara berbagai institusi atau organisasi yang memiliki misi, tugas dan fungsi yang berkaitan dengan teknologi komunikasi dan informasi untuk mempercepat pemasyarakatan pemanfaatan internet untuk pembelajaran.

5. Bagaiman Kualitas Lulusan Sekolah yang Menerapkan “E-learning”? Pertanyaan mengenai kualitas ini memang sangat menarik dan selalu menggelitik. Demikian juga pertanyaan yang berkaitan dengan kemungkinan peluang beredarnya ijazah palsu. Ada kekhawatiran berbagai pihak terhadap lembaga pendidikan yang menyelenggarakan “e-learning” dalam hal pengeluaran ijazah Sudirman Siahaan: Seputar Pembelajaran Elektronik (e-Learning)

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

73


palsu. Kedua pertanyaan atau pemikiran ini akan dicoba diuraikan pada bagian berikut. Banyak contoh yang dapat kita pelajari dari berbagai lembaga pendidikan di berbagai negara yang telah lebih dahulu melaksanakan “e-learning”. Belajar dari pengalaman berbagai lembaga pendidikan yang lebih dahulu menerapkan “e-learning”, maka “kesalahan atau kekurangan/ kelemahan” yang pernah terjadi dan dialami oleh berbagai institusi terdahulu tidak perlu kita ulangi. Dalam kaitan ini, ada beberapa variasi yang dilakukan oleh berbagai institusi dalam menerapkan “e-learning”. Pertama-tama, guru hanya memulai penggunaan email dan alat komunikasi sejenisnya untuk berkomunikasi dengan para peserta didiknya, baik dalam menyampaikan tugas-tugas maupun informasi penting lainnya yang berkaitan dengan materi pelajaran. Para peserta didik juga menggunakan fasilitas komunikasi yang sama untuk merespons gurunya. Dapat saja kegiatan ini sebagai kegiatan awal untuk menuju pada pemanfaatan internet untuk pembelajaran. Selain itu, guru juga dapat menugaskan para peserta didiknya untuk melakukan “browsing” mengenai tugastugas tertentu. Guru, tentunya dengan dukungan sekolah dan orangtua peserta didik serta berbagai pihak lainnya, mulai merintis penggunaan “perangkat lunak (software)” tertentu di dalam merancang dan menyajikan materi pelajarannya kepada peserta didik. Porsi waktu peserta didik untuk melakukan koneksi ke internet semakin meningkat. Sangat ideal apabila para peserta didik dapat melakukan koneksi internet di sekolah setelah jam pelajaran sekolah usai. Artinya, peserta didik berada di sekolah lebih lama. Pertemuan di kelas dengan guru semakin lebih terfokus pada pembahasan berbagai kesulitan yang dihadapi para peserta didik sewaktu melakukan akses internet. Artinya, terjadi pembagian “tanggungjawab” antara guru dan fasilitas internet dalam kegiatan pembelajaran. 74

Sudirman Siahaan: Seputar Pembelajaran Elektronik (e-Learning)

Website: http://www.pustekkom.go.id


Manakala berbagai kondisi yang dibutuhkan dinilai sudah kondusif untuk memulai kegiatan pembelajaran secara elektronik, maka lembaga pendidikan dapat saja memulai kegiatan pembelajaran melalui pemanfaatan internet (internet-based learning) sebagai pengganti kegiatan pembelajaran secara tatap muka. Tentunya, keputusan untuk memulai kegiatan pembelajaran secara elektronik penuh dilakukan secara bertahap. Sebagai contoh misalnya, penerapan “e-learning” dapat dimulai dari pemanfaatan fasilitas email sebagai media komunikasi antara peserta didik dengan guru di samping untuk berbagai penugasan. Kemudian, tahapan berikutnya dapat saja dilakukan dengan pemanfaatan internet untuk kegiatan tutorial, pengayaan, atau remedial. Setelah itu, barulah dimulai penerapan “e-learning” sebagai substitusi kegiatan pembelajaran secara tatap muka di kelas. Pola pembelajaran “e-learning” sebagai substitusi terhadap kegiatan pembelajaran secara tatap muka telah diterapkan oleh berbagai institusi di berbagai negara. Para peserta didik yang lulus melalui “e-learning” dengan peserta didik yang lulus melalui kegiatan belajar tatap muka diberikan penghargaan yang sama. Tentu timbul pertanyaan, bagaimana di Indonesia?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas ada baiknya kita telaah penyelenggaraan sistem pendidikan SMP Terbuka. Peserta didik SMP Terbuka belajar secara mandiri dengan menggunakan bahan-bahan belajar mandiri yang disebut modul. Pertemuan dengan Guru Bina (guru mata pelajaran) hanya sekali seminggu. Kegiatan belajar sepenuhnya diserahkan kepada peserta didik itu sendiri. Mekanisme penilaian yang berlaku di SMP reguler (konvensional) diberlakukan juga di SMP Terbuka. Secara singkat dapat dikatakan bahwa perbedaan SMP Terbuka dengan SMP reguler hanya terletak pada strategi pembelajaran. Dengan demikian, lulusan SMP Terbuka adalah juga sama dengan lulusan SMP reguler.

Sudirman Siahaan: Seputar Pembelajaran Elektronik (e-Learning)

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

75


Analogi dengan model pendidikan SMP Terbuka di atas, maka pada kegiatan pembelajaran secara elektronik dapat diterapkan hal yang sama. Artinya, apabila kegiatan pembelajaran melalui pemanfaatan internet atau “e-learning� menerapkan kurikulum, kompetensi dan materi ujian yang sama dengan yang digunakan pada kegiatan pembelajaran yang bersifat tatap muka (lembaga pendidikan reguler), maka tentunya tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa para peserta didik yang lulus melalui kegiatan pembelajaran yang memanfaatkan internet “tidak sama dengan yang lulus melalui model pendidikan reguler�. Karena perbedaan yang ada hanyalah menyangkut strategi kegiatan pembelajaran. Hal teknis yang mungkin perlu mendapat perhatian pada kegiatan pembelajaran secara elektronik adalah yang menyangkut dengan pelaksanaan ujian. Banyak pihak yang mempertanyakan kualitas pelaksanaan dan hasil ujian bagi peserta didik yang mengikuti kegiatan pembelajaran secara elektronik. Dalam kaitan ini, para ahli pembelajaran elektronik telah menyiasati kemungkinan terbukanya peluang bagi peserta didik untuk melakukan berbagai kecurangan dalam mengikuti ujian. Model ujian yang ditempuh adalah mengumpulkan semua peserta didik yang akan mengikuti ujian di tempat tertentu yang dilengkapi dengan perangkat komputer yang terkoneksi ke jaringan internet. Soal-soal ujian tetap disajikan secara elektronik. Dengan teknikteknik tertentu, peserta didik hanya boleh mengubah pilihan jawabannya sebanyak 2 kali misalnya dan soal-soal ujian akan terkunci apabila waktu yang dialokasikan untuk mengerjakannya telah habis. Di samping itu, tempat penyelenggaraan ujian juga diawasi oleh petugas tertentu. Dengan demikian, peserta didik yang mengikuti ujian tidak akan mempunyai kesempatan untuk saling bekerjasama. Di samping kekhawatiran tentang kualitas pelaksanaan dan hasil ujian bagi peserta didik yang mengikuti kegiatan pembelajaran

76

Sudirman Siahaan: Seputar Pembelajaran Elektronik (e-Learning)

Website: http://www.pustekkom.go.id


secara elektronik, masih ada kekhawatiran banyak pihak yaitu yang berkaitan dengan peluang “komersialisasi ijazah�. Yang namanya jual beli apa saja termasuk ijazah dapat terjadi kapan saja dan di mana saja, baik dalam kegiatan pembelajaran di sekolah reguler maupun kegiatan pembelajaran melalui pemanfaatan internet (“e-learning�). Berbagai media massa pada waktu-waktu yang lampau banyak menyoroti tentang adanya sinyalemen kepemilikan atau penggunaan ijazah aspal (asli tetapi palsu). Tidak akan ada asap apabila tidak ada api. Terjadinya ijazah palsu ini tentunya disebabkan karena ada pihak yang membutuhkan dan ada pihak yang menawarkan. Pada umumnya pihak yang menawarkan ini adalah oknum yang tidak bertanggung-jawab. Kemudian, berbagai media massa juga mengekspos tentang ijazah palsu yang digunakan oleh berbagai pihak dan konsekuensi yang diakibatkannya. Mereka yang menggunakan ijazah palsu yang dapat terungkap, tentulah pertama-tama akan menjadi malu. Sanksi sosial atau moral ini tentunya akan dirasakan jauh lebih berat oleh mereka yang menggunakan ijazah palsu. Apalagi perbuatan yang tidak terpuji ini dilanjutkan dengan proses hukum. Memperhatikan adanya kecenderungan pembuatan ijazah palsu, maka diperlukan berbagai upaya antisipasi agar kondisi yang memungkinkan terjadinya jual-beli ijazah dapat diminimalkan atau ditiadakan.

C. KESIMPULAN DAN SARAN Adalah hal yang lumrah apabila setiap gagasan pembaharuan senantiasa disertai pendapat yang pro dan kontra. Masing-masing pihak, baik yang pro maupun yang kontra, akan mengajukan sejumlah rasional yang mendukung sikapnya. Hal yang sama juga terjadi pada bidang-bidang lainnya termasuk di bidang pendidikan. Salah satu

Sudirman Siahaan: Seputar Pembelajaran Elektronik (e-Learning)

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

77


kemajuan yang mengemuka dan menarik perhatian banyak pihak adalah teknologi internet. Kemajuan teknologi internet dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan/pembelajaran. Kegiatan pembelajaran dapat dilaksanakan melalui pemanfaatan internet. Kegiatan pembelajaran melalui pemanfaatan internet disebut dengan berbagai istilah, seperti: “e-learning”, “internet-based learning”, virtual learning”, atau “web-based learning”. Dipandang secara positif, artinya, sejauh mana “e-learning” dapat dioptimalkan pemanfaatannya sehingga menjadi kontributor yang positif terhadap berbagai aspek kehidupan manusia pada umumnya dan bagi dunia pendidikan dan pembelajaran pada khususnya. Dalam kaitan ini, kerjasama dan koordinasi antara berbagai institusi/ organisasi yang mempunyai keterkaitan misi, tugas dan fungsi di bidang teknologi komunikasi dan informasi perlu disinergikan agar kemajuan yang ada dapat memberikan manfaat yang sebesarbesarnya terutama di bidang pendidikan dan pembelajaran. Istilah “e-learning” diartikan sebagai kegiatan pendidikan/pembelajaran yang memanfaatkan berbagai sarana teknologi. Berbagai lembaga pendidikan dan pelatihan telah menerapkan “e-learning” dalam kegiatan pembelajarannya. Lembaga pendidikan dan pelatihan ini telah melewati beberapa tahapan. Bahkan beberapa di antara lembaga pendidikan dan pelatihan telah menerapkan “e-learning” sebagai substitusi dari kegiatan pembelajaran secara tatap muka. Berkaitan dengan kegiatan pembelajaran secara elektronik (“elearning”), banyak kekhawatiran yang dilontarkan, misalnya tentang kualitas lulusannya, pelaksanaan ujiannya, atau peluang untuk jualbeli ijazah. Dalam kaitan ini, perlu dilakukan keseriusan dalam menerapkan “e-learning”. Berbagai kelemahan atau kekhawatiran masyarakat akan model pembelajaran “e-learning” perlu disiasati sehingga dapat menjadi satu alternatif kegiatan pembelajaran yang dibutuhkan dengan memperoleh pengakuan yang sama dengan kegiatan pembelajaran secara tatap muka.

78

Sudirman Siahaan: Seputar Pembelajaran Elektronik (e-Learning)

Website: http://www.pustekkom.go.id


KEPUSTAKAAN Brown, Mary Daniels. (2000). “Education World: Technology in the Classroom: Virtual High Schools, Part 1, The Voices of Experiences”. Sumber: Internet <http://www.education-world.com/ a_tech/tech052.shtml> Downer, Alexander. 2001. The Virtual Colombo Plan-Bringing the Digital Divide. (sumber dari internet: http://www.ausaid.gov.au/). Feasey, Dave. 2001. E-Learning. Eyepoppingraphics, Inc. (sumber dari Internet tanggal 20 Agustus 2002: http:// eyepopping.manilasites.com/profiles/). Hardhono, A.P. 2002. ‘Potensi Teknologi Komunikasi dan Informasi dalam Mendukung Penyelenggaraan Pendidikan Jarak Jauh di Indonesia’ dalam Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh Vol. 3, No. 1 Maret 2002. Tangerang: Pusat Studi Indonesia, Lembaga Penelitian Universitas Terbuka. Hardjito. (2002). Internet untuk Pembelajaran. Artikel dalam Jurnal TEKNODIK No.: 10/VI/TEKNODIK/OKTOBER/ 2002. Jakarta: Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan-Departemen Pendidikan Nasional. Mark Nichols (Nichols, 2003). A Theory of Learning. Palmerston North, New Zealand. <http://ifets.ieee.org/periodical/6-2/1.html> Pethokoukis, James M. 2002. E-Learn and Earn. (sumber dari Internet: 20 Agustus 2002. http://www.usnews.com/edu/elearning/articles/ 020624elearning.htm Pascual, Wifredo O, Abdul Wahid Sulaiman. (2003). E-Learning Issues and Challenges in Southeast Asia. Paper disajikan pada seminar regional/internasional tentang pendidikan terbuka/jarak jauh di Universiti Pendidikan Sultan Idris, Tanjong Malim-Malaysia, 25 September 2003. Rachman, Arief. (2002). “e-Learning”. Makalah yang disajikan pada seminar e-Learning pada tanggal 2 Juli 2002 di Jakarta, diselenggarakan oleh Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan-Departemen Pendidikan Nasional.

Sudirman Siahaan: Seputar Pembelajaran Elektronik (e-Learning)

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

79


Siahaan, Sudirman. (2002). Studi Penjajagan tentang Kemungkinan Pemanfaatan Internet untuk Pembelajaran di SLTA di Wilayah Jakarta dan Sekitarnya. Artikel dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Tahun Ke-8, No.: 039, November 2002. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional. Simanjuntak, WBP dan Sudirman Siahaan. (2003). Studi Eksperimen tentang Pemanfaatan Internet untuk Belajar Remedia di SMU. Paper yang disajikan pada seminar nasional tentang teknologi pembelajaran di Yogyakarta.

uuuuuuuuuuuuuuuuuu

80

Sudirman Siahaan: Seputar Pembelajaran Elektronik (e-Learning)

Website: http://www.pustekkom.go.id


KEBUTUHAN D AN PERIL AKU DAN PERILAKU PENC ARIAN INFORMASI PENCARIAN (Sebuah Tinjauan Hasil Penelitian) Oleh: Zulfah Larisu *)

Abstrak Penelitian kebutuhan dan perilaku pencarian informasi dilakukan pada kelompok orang yang berpotensi membutuhkan informasi, baik untuk keperluan pendidikan maupun pekerjaannya. Penelitian-penelitian dilakukan untuk mengidentifikasi informasi apa yang dibutuhkan dan mengetahui bagaimana perilaku mencari informasi, serta faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan dan perilaku pencarian informasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan informasi untuk masing-masing kelompok sesuai dengan latar belakang pendidikan dan pekerjaannya. Sedangkan perilaku pencarian informasi banyak dilakukan pada perpustakaan sebagai sumber informasi dan juga sumber informasi online (internet). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan dan perilaku pencarian informasi adalah ketersediaan dan kemudahan mengakses informasi.

I. PENDAHULUAN Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, informasi seakan-akan telah menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia, bahkan dengan anggapan seperti ini lahir suatu istilah yang mengatakan “siapa yang menguasai informasi maka dialah yang akan menguasai dunia�. Senada dengan hal ini Daniel Bell (1985) juga menyebutkan bahwa pada masa-masa inilah pentingnya suatu kehidupan masyarakat informasi, karena perubahan yang terjadi akan

*)

Zulfah Larisu, M.Si., Staf Pengajar FISIP Unhalu Kendari No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

81


lebih banyak disebabkan oleh derasnya arus informasi. Dengan derasnya arus informasi tersebut, seolah-olah dunia kekurangan tempat untuk menampung informasi dan pada saat era globalisasi inilah kedudukan informasi dan penguasaannya sangat dominan. Menurut Dervin dan Nilan (1986) informasi adalah suatu benda; informasi adalah beberapa pesan, dokumen atau sumber informasi itu sendiri; informasi adalah bahan-bahan yang bersifat simbolik; dan informasi adalah data. Jadi informasi yang dimaksud di sini adalah segala bahan mentah yang nyata, yang mencakup segala data, fakta yang terstruktur dan bahan abstrak yang dapat dilihat isinya, seperti karya ilmiah yang diterbitkan atau dipublikasikan secara tercetak atau tidak (pangkalan data) dan dikomunikasikan. Begitu pentingnya nilai dan kedudukan informasi dalam kehidupan manusia menyebabkan manusia untuk selalu mencari informasi. Informasi yang dicari manusia dari yang sifatnya sederhana sampai yang sifatnya kompleks; dari yang ditujukan hanya untuk memuaskan perasaan sampai dengan untuk memecahkan masalah atau mengambil keputusan. Jadi dengan adanya kebutuhan informasi dalam kehidupan manusia mengakibatkan munculnya perilaku untuk mencari informasi tersebut. Krikeles (1983) mengemukakan bahwa kebutuhan informasi diartikan sebagai pengakuan tentang adanya ketidakpastian dalam diri seseorang untuk mencari informasi. Kebutuhan informasi juga diartikan sebagai permintaan pemakai yang disadari (Monzel dalam Pannen, 1990 :30). Jadi kebutuhan informasi yang dimaksud di sini adalah permintaan pemakai akan suatu informasi yang muncul karena adanya masalah dalam diri seseorang atau adanya kesenjangan (gap) yang terjadi dalam diri seseorang. Kebutuhan informasi dapat dilihat dari alasan membutuhkan informasi, jenis informasi yang dibutuhkan dan sumber informasi yang dipilih, serta media informasi yang digunakan. Sementara, menurut Wersig (dalam Belkin dan Vickery, 1985), perilaku pencarian informasi adalah aspek yang dapat 82

Zulfah Larisu: Kebutuhan dan Perilaku Mencari Informasi

Website: http://www.pustekkom.go.id


menggambarkan mengapa hingga bagaimana dan untuk apa pencarian informasi dilakukan oleh manusia. Ketiga gambaran aspek perilaku pencarian informasi tersebut mensyaratkan adanya alasan kebutuhan akan informasi, pilihan tindakan yang berkaitan dengan informasi, dan proses atau cara dalam pencarian informasi serta mensyaratkan makna tujuan atau kegunaan pencarian informasi yang dilakukan. Evans (1987) menyatakan bahwa seseorang mencari informasi menggunakan 2 (dua) sumber yaitu formal yang berhubungan dengan lembaga-lembaga pusat informasi dan tidak formal atau di luar lembaga pusat informasi. Perilaku pencarian informasi juga dimulai dengan adanya kesenjangan (gap) dalam diri si pencari informasi, yaitu antara informasi yang dimiliki saat itu dengan kebutuhan informasi yang harus diperlukan. Timbulnya kesenjangan tersebut akhirnya mendorong untuk mencari informasi guna mengatasi masalah yang dihadapinya (Kulthau, 1991 : 362). Wersig (dalam Belikn dan Vickery, 1985) menyatakan segala perilaku seseorang termasuk dalam pencarian informasi didasarkan pada gambaran tentang lingkungan, pengetahuan, situasi dan tujuan yang ada di dalam diri manusia. Perilaku pencarian informasi menurut Pannen (1990) adalah keadaan ketika orang berperan melewati ruang dan waktu untuk memenuhi informasi. Jadi perilaku pencarian informasi yang dimaksud di sini adalah proses dalam bentuk keterampilan yang dapat diamati dan yang tidak, yang merupakan salah satu bagian dari perwujudan sikap. Perilaku pencarian informasi dilihat dari hubungan dengan sumber informasi, strategi mencari informasi, frekuensi hubungan dengan sumber informasi dan waktu yang digunakan untuk berhubungan dengan sumber informasi. Menurut Belkin (1985) perilaku pencarian informasi dipengaruhi oleh latar belakang sosial budaya, pendidikan, tujuan yang ada pada diri manusia dan lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, kebutuhan dan perilaku pencarian informasi menjadi titik perhatian penting dalam mengkaji fenomena pengguna atau pemakai informasi di kalangan masyarakat.

Zulfah Larisu: Kebutuhan dan Perilaku Mencari Informasi

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

83


II. HASIL PENELITIAN TENTANG KEBUTUHAN DAN PERILAKU PENCARIAN INFORMASI Penelitian terhadap perilaku penemuan informasi sudah dimulai sejak lama di bidang perpustakaan, misalnya melalui berbagai survei di tahun 1916 di Inggris tentang bagaimana perpustakaan digunakan dan siapa saja yang menggunakannya. Penelitian yang mulai mengaitkan penggunaan informasi dengan kegiatan sehari-hari mulai dilakukan sejak konferensi yang diadakan the Royal Society Scientific Information tahun 1948 di Inggris. Baru sejak tahun 1960an kajian yang semula terfokus kepada dokumen beralih kepada upaya memahami kebutuhan informasi. Salah satu penelitian yang dikutip Wilson adalah penelitian di Baltimore, Amerika Serikat, pada tahun 1972 yang berupaya memahami kebutuhan informasi penduduk kota itu. Penelitianpenelitian tersebut kemudian menjadi patokan bagi penelitian kebutuhan dan perilaku informasi selanjutnya. Penelitian yang dilakukan oleh Holland dan Powell, yang dipublikasikan pada tahun 1995. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh gambaran kebutuhan dan kebiasaankebiasaan mencari informasi para Insinyur. Penelitian yang sama dilakukan pula oleh Purnomowati, yang laporannya diterbitkan pada tahun 1995. Penelitian tersebut memusatkan pada kebutuhan dan perilaku pencarian informasi para peneliti di kalangan penelitian dan pengembangan industri startegis Indonesia. Kemudian penelitian terhadap perilaku pencarian informasi mahasiswa multikultur yang dilakukan oleh Liu dan Redfern dan telah dipublikasikan pada tahun 1995. Penelitian terhadap kebutuhan dan perilaku pencarian informasi mahasiswa pada tahap penyelesaian skripsi di IKIP Malang, yang dilakukan oleh Darmono (1995). Penelitian terhadap kebutuhan dan perilaku pencarian informasi Dosen Fakultas Kedokteran Undip dan Unisula di Kodya Semarang, yang dilakukan oleh Suwanto dan dipublikasikan pada tahun 1996. Penelitian terhadap perilaku pencarian informasi Staf Pengajar Fakultas Pertanian di IPB, yang dilakukan oleh Sumarlinah pada tahun 1997. Penelitian terhadap 84

Zulfah Larisu: Kebutuhan dan Perilaku Mencari Informasi

Website: http://www.pustekkom.go.id


kebutuhan dan perilaku pencarian informasi para profesional dan staf administrasi di Universitas Western Ontario yang dilakukan oleh Wilkins dan J. Leckie (1997).

III. PERMASALAHAN PENELITIAN Penelitian terhadap kebutuhan dan perilaku pencarian informasi dalam skala besar untuk menjawab beberapa pertanyaan. Tentu saja, yang terutama adalah pola penggunaan informasi oleh berbagai kalangan. Penekanannya bukan saja pada si pengguna, melainkan pada jenisjenis bahan pustaka apa yang paling dibutuhkan dan dicari oleh pengguna. Tujuan utama kajian-kajian di bidang ini adalah untuk mencari-tahu bagaimana caranya mengefektifkan penggunaan bahan pustaka dan bagaimana cara agar pengguna lebih banyak menggunakan bahan pustaka. Secara rinci pertanyaan penelitian yang diajukan, seperti: Apa kebutuhan informasi para insinyur, peneliti, mahasiswa multikultur, mahasiswa penulis skripsi, Dosen Kedokteran, Dosen Pertanian dan para professional perguruan tinggi? Bagaimana kebutuhan informasi tersebut dipenuhi? Adakah cara yang efektif dan efisien yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan informasi tersebut? Apakah ada institusi yang berperan penting dalam memenuhi kebutuhan informasi itu secara lebih baik? Sumber-sumber informasi apakah yang banyak dan sering dipakai? Adakah hambatan psikologis, intelektual maupun institusional yang menentukan tingkat kepuasan pemakai informasi? Bagaimana cara mengatasi hambatan dalam mencari informasi?

IV. METODE PENELITIAN Menurut Wilson, kajian awal di bidang ini berfokus kepada penggunaan sistem (system use), bukan kepada perilaku pemakai (user behavior). Baru pada tahun 1980-an terjadi perpindahan perhatian sehingga kajian di bidang ini menjadi terpusat kepada persona (person-centred), bukan kepada sistem (system-centred). Wilson sendiri, bersama nama-nama lain seperti Ellis, Dervin, dan Kuhlthau, menjadi salah satu pelopor dari perpindahan perhatian ini, selain juga mulai lebih banyak memakai metode kualitatif daripada kuantitatif. Zulfah Larisu: Kebutuhan dan Perilaku Mencari Informasi

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

85


Dari beberapa penelitian tentang kebutuhan dan perilaku pencarian informasi yang telah dilakukan selama tahun 1995 – 1997, metode penelitian yang digunakan lebih banyak adalah metode survey kuantitatif. Menurut Singarimbun (1989:3) penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang pokok. Pada umumnya yang merupakan unit analisis dalam penelitian survei adalah individu. Penelitian survei dapat digunakan untuk maksud (1) penjajagan (eksplorasi), (2) deskripsi, (3) penjelasan (eksplanatory) yakni untuk menjelaskan hubungan kausal dan pengujian hipotesa, (4) evaluasi, (5) prediksi atau meramalkan kejadian tertentu di masa yang akan datang, (6) penelitian operasional, dan (7) pengembangan indikatorindikator. Dalam penelitian tentang kebutuhan dan perilaku pencarian informasi di atas, banyak ditujukan untuk mendeskripsi dan menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesis. Holland dan Powell (1995) dalam penelitiannya bertujuan untuk memperoleh gambaran kebutuhan dan kebiasaan mencari informasi dihubungkan dengan penggunaan perpustakaan; Purnomowati (1995) dalam penelitiannya bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan dan perilaku pencarian informasi tenaga peneliti; Liu dan Redfern (1995) penelitiannya ditujukan untuk memperoleh gambaran bagaimana mahasiswa multikultur mencari dan menggunakan sumber-sumber informasi dan komunikasi; Darmono (1995) penelitiannya bertujuan untuk mengetahui kebutuhan dan perilaku pencarian informasi mahasiswa pada tahap penyelesaian skripsi dihubungkan dengan latar belakang keilmuan; Sumarlinah (1997) meneliti dengan tujuan untuk mengetahui perilaku pencarian informasi staf pengajar Fakultas Pertanian dihubungkan dengan peringkat kepentingan informasi dilihat latar belakang pendidikan dan kegiatan Tridhama; serta Wilkins dan J. Leckie (1997) dalam penelitiannya bertujuan untuk mengetahui kebutuhan dan pencarian informasi tenaga profesi dan staf administrasi Perguruan Tinggi dalam hubungannya dengan pekerjaan 86

Zulfah Larisu: Kebutuhan dan Perilaku Mencari Informasi

Website: http://www.pustekkom.go.id


dan penggunaan perpustakaan. Kecuali Suwanto (1996) meneliti dengan tujuan untuk menyelidiki kemungkinan penyebab adanya perbedaan kebutuhan dan pencarian informasi bagi dosen dalam hubungannya dengan tugas mengajar.

A. Pengumpulan data Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa ciri penelitian survei salah satunya adalah kuesioner, sebagai alat pengumpulan datanya. Kuesioner adalah daftar pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan atau dijawab oleh responden. Dalam penelitian survei kuesioner sebagai sumber data primer, di samping itu terdapat juga sumber data sekunder seperti observasi dan wawancara. Data sekunder berfungsi untuk mendukung atau memperkuat data primer. Dalam penelitian tentang kebutuhan dan perilaku pencarian informasi, teknik pengumpulan data banyak diperoleh melalui kuesioner, observasi dan wawancara, yang dilakukan kepada responden yang menjadi sampel penelitian. Kecuali penelitian yang dilakukan oleh Suwanto (1996) teknik pengumpulan data melalui wawancara dan dokumenter. Penelitian survei tidak selalu dilakukan kepada populasi mengingat populasi jumlahnya sangat besar dan terbatas oleh waktu, tenaga dan biaya untuk menjangkaunya, sehingga penelitian cukup dilakukan pada bagian populasi atau sampel. Holland dan Powell (1995) dengan sampel penelitian 60 responden; Purnomowati (1995) dengan sampel 195 responden; Darmono (1995) dengan sampel penelitian 92 responden; Liu dan Redfern (1995) dengan sampel penelitian 237 responden; Suwanto (1996) dengan sampel penelitian 46 responden dan Sumarlinah (1997) dengan sampel penelitian 32 responden serta Wilkins dan J.Leckie (1997) dalam penelitiannya mengambil sampel 100 responden;

Zulfah Larisu: Kebutuhan dan Perilaku Mencari Informasi

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

87


B. Pengambilan Sampel Dalam penelitian survei terdapat beberapa teknik pengambilan sampel, yang kemungkinan dapat diterapkan. Pemilihan teknik pengambilan sampel didasarkan pada sifat-sifat bahwa : (1) dapat menghasilkan gambaran yang dapat dipercaya dari seluruh populasi yang diteliti, (2) dapat menentukan presisi dari hasil penelitian dengan menentukan standar dari taksiran yang diperoleh, (3) sederhana, mudah dilaksanakan, dan (4) dapat memberikan keterangan sebanyak mungkin dengn biaya serendah-rendahnya (Teken dalam Singarimbun, 1989 : 4). Dalam penelitian tentang kebutuhan dan perilaku pencarian informasi, teknik pengambilan sampel banyak dilakukan dengan acak/random. Pengambilan sampel secara acak/random dengan alasan setiap satuan elementer mempunyai kesempatan dan peluang yang sama untuk dipilih menjadi responden. Dan untuk penelitian survei dengan jumlah populasi yang besar, teknik ini sangat membantu sekali. Darmono (1995) memilih sampel secara acak, Holland dan Powell (1997) menggunakan sampel acak, Liu dan Redfern (1997) teknik pengambilan sampel acak sederhana. Wilkins dan J. Leckie (1997) dalam penelitiannya menggunakan teknik sampel acak sederhana, Sumarlinah (1997) pengambilan sempel secara acak. Selain itu, Purnomowati (1995) dalam penelitiannya menggunakan teknik pengambilan sampel secara random proporsional dan Suwanto (1996) memilih sampel secara random stratified artinya karena populasi sangat heterogen harus dibagi-bagi terlebih dahulu dalam lapisan-lapisan (strata) yang seragam kemudian berdasarkan strata tersebut diambil secara acak. Hal ini dilakukan untuk memberi kemungkinan setiap strata terpilih menjadi responden.

C. Teknik Analisa Data Teknik analisa data yang banyak digunakan dalam penelitian tentang kebutuhan dan perilaku pencarian informasi adalah 88

Zulfah Larisu: Kebutuhan dan Perilaku Mencari Informasi

Website: http://www.pustekkom.go.id


secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Deskriptif kualitatif untuk memaparkan dan menjelaskan kebutuhan-kebutuhan dan perilaku pencarian informasi responden, dan kuantitatif untuk mencari atau melihat adanya hubungan yang nyata antara variabel-variabel penelitian. Kecuali penelitian yang dilakukan Purnomowati (1998) analisa data hanya dilakukan secara deskriptif tanpa menguji hipotesa.

V. HASIL DAN REKOMENDASI PENELITIAN TENTANG KEBUTUHAN DAN PERILAKU PENCARIAN INFORMASI Perilaku pencarian informasi merupakan salah satu kajian dalam domain ilmu informasi, di mana pemakai ditempatkan sebagai unit yang dianalisa. Berbagai ragam penelitian tentang kebutuhan dan perilaku pencarian informasi telah dilakukan, dan memberikan hasil yang berbeda pula. Holland dan Powell (1995) dalam penelitiannya berusaha mengungkapkan kebutuhan dan kebiasaan-kebiasaan para insinyur mencari informasi dalam hubungannya dengan penggunaan perpustakaan dan sumber-sumber informasi lain. Hasil penelitian diperoleh bahwa faktor yang mempengaruhi suksesnya pekerjaan para insinyur salah satunya adalah karena mengetahui teknik pencarian informasi yang benar (20%). Sedangkan akses informasi elektronik untuk menunjang pekerjaan sering dilakukan pada milik perusahaan (93,3%). Sumber informasi yang digunakan dalam menunjang pekerjaan adalah perpustakaan baik perpustakaan perusahaan, lembaga lain maupun perpustakaan umum (83,3%).Di samping itu, sumber informasi melalui percakapan antara sesama rekan kadang dipilih juga (45%). Bahan publikasi yang dibaca adalah berhubungan dengan informasi pekerjaan seperti bidang automotif dan permesinan (30%). Sedangkan komunikasi dengan pihak luar perusahaan untuk memperoleh informasi sering juga dilakukan oleh para insinyur Zulfah Larisu: Kebutuhan dan Perilaku Mencari Informasi

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

89


(38,3%). Waktu yang dihabiskan jika berhubungan dengan sumber informasi adalah untuk mencari informasi 22,1 jam, membaca 32, 7 jam dan memberikan informasi kepada yang lain 21,9 jam perbulan. Sedangkan topik yang menarik jika mencari informasi melalui sumber elekronik adalah topik tentang mesin (35%0 dan akses informasi melalui komputer dipilih (31%). Hasil uji statistik diperoleh pula bahwa perpustakaan lembaga lebih berguna daripada perpustakaan umum (p=0,029). Dengan demikian hasil penelitian tersebut informasi yang dibutuhkan lebih banyak berkaitan dengan bidang keilmuan dan pekerjaan yaitu informasi automotif dan permesinan. Diperoleh melalui internet untuk informasi yang aktual yang dapat menunjang pekerjaan dan melalui perpustakaan untuk informasi seremonial yang hanya dapat menambah pengetahuan dan wawasan mereka. Dengan demikian hasil penelitian menunjukkan pula bahwa ada hubungan nyata antara kebutuhan dan kebiasaan mencari informasi dengan penggunaan perpustakaan dan internet. Hasil penelitian tersebut merekomendasikan bahwa akses informasi elektronik lebih penting utnuk memperoleh informasi lebih cepat dan sesuai dengan pekerjaan, serta petugas perpustakaan atau pustakawan mengatasi permasalahannya dengan belajar mengakses infromasi secara elektronik. Untuk perpustkaan akademik menyediakan sistem dan pelatihan pencarian informasi elektronik agar pelajar terbiasa melakukan pencarian informasi secara elektronik yang dapat digunakamn dalam bekerja nanti. Penelitian terhadap penelitian dan pengembangan di kalangan industri startegis Indonesia yang dilakukan oleh Purnomowati (1995) dengan tujuan untuk mengetahui kebutuhan dan perilaku pencarian informasi para peneliti. Hasil penelitian diperoleh bahwa alasan penggunaan informasi adalah untuk memecahkan masalah dalam pekerjaan (37,7%) dan untuk mengetahui literatur yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan (14,2%) serta untuk merancang produk baru 12,6%. Jenis informasi yang dibutuhkan adalah informasi standar, spesifikasi, dan informasi teknologi baru, yang berupa KIT siap pakai yang dapat langsung digunakan untuk memproduksi suatu barang. 90

Zulfah Larisu: Kebutuhan dan Perilaku Mencari Informasi

Website: http://www.pustekkom.go.id


Sumber informasi yang digunakan adalah literatur, orang (personal) dan lembaga. Cara mempeoleh sumber informasi yaitu dengan membaca, diskusi dengan kolega baik dari dalam maupun dari luar perusahaan, serta melalui seminar atau pameran. Asal sumber informasi lebih banyak digunakan dari sumber informasi luar negeri (asing). Hasil penelitian merekomendasikan kepada pusdokinfo untuk menyediakan informasi iptek kepada para peneliti dan meningkatkan pengetahuan pengelola informasi dilingkungan industri strategis. Dengan demikian hasil penelitian diperoleh bahwa peneliti lebih banyak membutuhkan informasi yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang berhubungan dengan pekerjaan (dalam hal ini penelitian), dan banyak diperoleh dari literatur yang berbahasa asing (Inggris). Sumber informasi yang digunakan lebih banyak adalah laporan-laporan teknik dan diperoleh dalam lingkungan sendiri (intern). Ketika informasi tidak ditemukan dalam lingkungan sendiri, penelitian baru mencari diluar seperti di perpustakaan dan teman di luar lembaga. Selain itu sumber informasi lain yang dianggap penting adalah kontak person dengan teman sejawat. Liu dan Redfern (1995) dalam penelitiannnya yang berusaha mencari faktor yang mempengaruhi keberhasilan penggunaan dan pencarian informasi di perpustakaan bagi mahasiswa multi kultur. Hasil penelitian diperoleh bahwa pencarian informasi lebih sering menggunakan perpustakaan, terutama yang lama tinggal di sekitar perpustakaan dan mahasiswa yang mempunyai keahlian dalam Bahasa Inggris, ternyata lebih sukses mencari informasi di perpustakaan. Dengan demikian hasil penelitian menunjukkan pula bahwa frekuensi penggunaan perpustakaan, lama tinggal di sekitar perpustakaan dan keahlian berbahasa Inggris adalah faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan penggunaan dan pencarian informasi di perpustakaan bagi mahasiswa multikultur. Darmono (1995) dalam penelitiannya mencoba perbedaan kebutuhan dan perilaku pencarian informasi bagi mahasiswa skripsi antara mahasiswa kelompok eksakta dan non eksakta. Hasil penelitian Zulfah Larisu: Kebutuhan dan Perilaku Mencari Informasi

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

91


menunjukkan bahwa informasi yang dibutuhkan baik mahasiswa ekskata maupun non eksakta adalah yang berkaitan dengan topik skripsi dan diperoleh melalui perpustakaan dan dosen pembimbing. Pada tahap penyelesaian skripsi yang meliputi tahap merumuskan judul, menulis Bab I, II, III, tahap pengumpulan data dan tahap analisa data, mahasiswa skripsi lebih banyak membutuhkan informasi dan perilaku pencarian informasi lebih sering dilakukan dengan menggunakan macam-macam sumber. Dengan demikian dari hasil uji statistik diperoleh bahwa kebutuhan dan perilaku pencarian informasi antara mahasiswa skripsi eksakta dan non eksakta tidak ada perbedaan, kecuali antar mahasiswa skripsi dengan tidak skripsi baik yang eksakta maupun non eksakta ada perbedaan yaitu karena adanya suatu kepentingan untuk menulis skripsi. Suwanto (1996) dalam penelitiannya yang mencoba untuk menyelidiki kemungkinan penyebab adanya perbedaan fenomena yang dikaji dengan membandingkan subyek yang memiliki ciri serupa. Hasil penelitian diperoleh bahwa dosen yang mengajar pada PPDU dan PPDS-I dengan latar belakang pendidikan S1, S2 dan S3 lebih banyak membutuhkan informasi yang berhubungan dengan bidang ilmu dan bidang studi yang diajarkan. Informasi diperoleh dari buku teks majalah ilmiah dan hasil-hasil seminar. Sedangkan pencarian informasi dilakukan di perpustakaan, toko buku dan internet. Dengan demikian hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara dosen yang mengajar pada PPDU dan PPDS-I berdasarkan latar belakang pendidikan. Sumarlinah (1997) dalam penelitiannya yang mencoba untuk melihat perilaku pencarian informasi staf pengajar dalam kegiatan tridharma perguruan tinggi dan hubungan antara peringkat kepentingan informasi dengan kegiatan tridharma perguruan tinggi, diperoleh bahwa sumber informasi yang dianggap penting dan sangat diminati adalah buku teks, majalah ilmiah terbitan dalam negeri, tesis/disertasi dan buku pegangan/prosiding serta kontak person antar sesama pengajar. Uji statistik ditemukan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara peringkat kepentingan informasi dengan jenis kegiatan tridharma 92

Zulfah Larisu: Kebutuhan dan Perilaku Mencari Informasi

Website: http://www.pustekkom.go.id


perguruan tinggi dan terdapat hubungan nyata antara peringkat kepentingan informasi dengan strata pendidikan. Sumber informasi yang dipilih terbanyak dengan alas an mudah digunakan. Waktu yang digunakan untuk mencari informasi antara 5 – 10 jam setiap minggu. Dengan demikian hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan dalam pemeilihan sumber informasi dengan jenjang pendidikan dan kegiatan tridharma perguruan tinggi. Wilkins dan J. Leckie (1997) dalam penelitiannya yang berusaha melihat kebutuhan dan perilaku pencarian informasi bagi tenaga profesional dan staf administrasi Perguruan Tinggi dan hubungannya dengan penggunaan perpustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa informasi banyak diperoleh dari kontak personal, internet dan lembaga. Untuk kebutuhan informasi tentang pekerjaan sehari-hari dan waktunya singkat sedikit menggunakan perpustakaan, tetapi untuk kebutuhan informasi tentang pekerjaan yang kompleks seperti laporan penelitian, pengembangan proyek dan waktunya panjang banyak digunakan perpustakaan sebagai sumber informasi. Dengan demikian hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara jenis informasi yang dibutuhkan dengan perilaku penggunaan perpustakaan. Dari beberapa penelitian tentang kebutuhan dan perilaku pencarian informasi, telah memberikan beberpa rekomendasi, di antaranya: akses informasi elektronik lebih penting untuk mengantisipasi kecenderungan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini. Selain itu, akses informasi elektronik juga untuk memperoleh informasi aktual dengan lebih cepat, sesuai dengan kebutuhan yang harus dipenuhi yaitu pendidikan (keahlian), pekerjaan (profesi), serta tugas-tugas yang dikerjakan sehari-hari. Kebutuhan informasi dapat terpenuhi jika pencari informasi dapat mengetahui sumber informasi, memahami bahasa yang terdapat dalam informasi serta mempunyai keterampilan dalam menggunakan alat bantu pencarian informasi seperti komputer, katalog, CD ROM atau internet. Petugas perpustakaan atau pustakawan dapat membantu atau mengatasi

Zulfah Larisu: Kebutuhan dan Perilaku Mencari Informasi

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

93


permasalahan atau kesulitan pemakai informasi dalam mencari informasi. Hasil penelitian juga merekomendasikan bahwa kepada petugas pusdokinfo memahami karakter pencari informasi agar dapat memberikan layanan dan bantuan yang lebih baik, karena sumber informasi yang utama dan pertama bagi pencari informasi adalah lembaga-lembaga perpustakaan, dokumen dan informasi. Selain itu, lembaga pusdokinfo selalu memperbaharui dan melengkapi koleksi yang menjadi sumber informasi bagi pemakai informasi, dan memprioritaskan sumber-sumber informasi yang termasuk kategori penting dan diminati pemakainya terutama pusdokinfo yang bergerak dalam dunia akademik (Perguruan Tinggi).

VI. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan-pembahasan atau rekomendasi hasil penelitian yang diberikan di atas dapat disimpulkan bahwa kebutuhan dan perilaku pencarian informasi adalah 2 (dua) konsep yang tidak dapat dipisahkan dalam mengkaji fenomena pengguna informasi. Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa kebutuhan informasi dipengaruhi oleh latar belakang sosial (lingkungan), pekerjaan (profesi), pendidikan (keahlian/keilmuan). Perilaku pencarian informasi dipengaruhi oleh kemudahan menjangkau atau menggunakan sumber informasi serta bahasa yang mudah dipahami. Dalam mencari informasi memang banyak memanfaatkan sumbersumber informasi seperti perpustakaan dan elektronik (on line). Namun kadang timbul masalah dalam proses pencarian informasi yakni adanya ketidakmampuan perpustakaan untuk memenuhi setiap permintaan penggunanya, akibat keterbatasan sumber informasi dan sumber daya manusia yang dimiliki. Oleh karena itu, lembaga informasi (perpustakaan) tidak jarang mengupayakan kerjasama dengan lembaga informasi lain dalam menyediakan informasi yang dibutuhkan para penggunanya.

94

Zulfah Larisu: Kebutuhan dan Perilaku Mencari Informasi

Website: http://www.pustekkom.go.id


Kajian kebutuhan dan perilaku pencarian informasi akan terus berkembang dan makin spesifik. Dengan demikian akhirnya pengguna dapat menggunakan sumber-sumber informasi seperti internet (sumber informasi online), kontak personal (teman sejawat) dan lembaga terkait (lembaga pusdokinfo).

DAFTAR PUSTAKA Belkin, Nicolas J. and Vickery, Alina (1985) Interaction in Information System: Review Research from Document Retrieval to Knowledge – Based Systems, London, The British Library. Bell, Daniel (1995) On Line Journalism Bukan Untuk Pengguna Biasa dalam Ana Nadya Abrar, Jurnal ISIP Vol 2 No. 13, Juni – Agustus 2000. Darmono (1995) Studi tentang Kebutuhan dan Perilaku Pencarian Informasi Mahasiswa Skripsi IKIP Malang. UI: Depok. Dervin, B dan Nilan, M.S. (1996) Information Need and User, dalam Suwanto, Sri Ati. UI: Depok. Holland and Powell (1995) A Survey of the Information Seeking and Use Habits of Some Engineers, dalam Journal College and Research Libraries, 7-15 Liu, Mengxiong and Bernice Redfern (1995) Information Seeking Behavior of Multicultural Students : A Case Study at San Jose State University, dalam Journal Colleg and Research Libraries, 348-354 Krikeles, James (1983) Information Seeking behavior - Patterns and Concepts “Drexel Library Quarterl” 19 (2), 5-20 dalam Darmono. UI:Depok. Kuhlthau, Carol C. (1991) Inside the Searching Process: Information Seeking from the User’s Perspective “JASIS”, 42 (5), 361-371 Pennen, Paulina (1990) A Study in Information Seeking and Use Behaviors of Resident Student and Non-Resident Student in Indonesian Literacy Education (Disertasi tidak diterbitkan). Purnomowati, Sri. (1995) Kebutuhan Informasi Tenaga Penelitian dan Pengembangan di Kalangan Industri Strategi Indoensia, dalam BACA No. 5-6 (22), 3-81. Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi (1989) Metode Penelitian Survei. LP3ES: Jakarta.

Zulfah Larisu: Kebutuhan dan Perilaku Mencari Informasi

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

95


Suwanti, Sri Ati (1996) Studi tentang Kebutuhan dan Pencarian Informasi Dosen Fakultas Kedokteran Undip dan Unisula Semarang.UI: Depok Sumarlinah (1997) Perilaku Pencarian Informasi Staf Pengajar Fakultas Pertanian IPB. UI: Depok. Wilkins, Janie L Harsard and Gloria J Leckie. (1997) University Professional and Management Staff: Information Needs and Seeking, dalam Journal College and Research Libraries, (6), 561-573.

uuuuuuuuuuuuuuuuu

96

Zulfah Larisu: Kebutuhan dan Perilaku Mencari Informasi

Website: http://www.pustekkom.go.id


MASY AR AK AT MASYAR ARAK AKA PEDULI SIARAN TELEVISI Oleh: Oos M. Anwas *)

Abstrak Karena pesawat televisi hanya satu, anak memiliki andil besar dalam menentukan siaran televisi dalam keluarga. Orang tua manut dengan pilihan acara anak-anaknya. Hal inilah dimanfaatkan oleh stasiun televisi. Akibatnya kekhawatiran mayarakat terhadap dampak negatif siaran televisi. Kini waktunya untuk membudayakan masyarakat peduli siaran televisi. Kepedulian diwujudkan melalui: mendampingi anak ketika nonton televisi, kualitas komunikasi keluarga, memperlakukan televisi seperti membaca buku, keteladanan orang tua, mengkritisi stasiun televisi, memboikot stasiun televisi, hingga melaporkan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Kehadiran Televisi Edukasi (TVE) diharapkan dapat menjadi TV alternatif yang mampu memenuhi harapan masyarakat peduli siaran televisi Kata kunci: Siaran televisi, masyarakat peduli, orang tua, anak

A. PENDAHULUAN Sebagian besar masyarakat kita menonton televisi dilakukan bersamasama dengan anggota keluarga. Artinya satu pesawat televisi ditonton oleh seluruh anggota keluarga. Bahkan tidak sedikit tetangga dekat yang ikut nonton karena masih belum memiliki pesawat televisi. Di beberapa daerah yang masih sulit menerima siaran televisi, biasanya menggunakan antene parabola. Antene parabola ini dibeli bersamasama. Ada juga yang menjadi milik pribadi, kemudian disambung dengan kabel ke rumah-rumah. Rumah yang menerima siaran varabola *)

Drs. Oos M. Anwas, M.Si., adalah peneliti bidang pendidikan, bekerja di Pustekkom Depdiknas. No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

97


ini membayar iuran bulanan. Namun mereka tak bisa sesuka hati menonton acara yang disukainya. Pemilihan stasiun/acara televisi ditentukan oleh sang pemilik parabola. Konsekuensi dari nonton bersama mereka kadang-kadang berebut acara. Ibu-ibu biasanya menyukai acara sinetron atau gosif infotainment. Kaum lelaki biasanya menyukai acara olah raga, apalagi siaran langsung pertandingan sepak bola. Anak remaja senang dengan acara musik dan sinetron remaja. Sementara anak-anak mereka lebih suka nonton film kartun. Celakanya anak-anak inilah yang lebih dominant “menguasai� acara televisi. Orangtua atau kakakkakaknya lebih banyak mengalah. Akhirnya mereka rela menonton acara-anak-anak walaupun sesungguhnya acara itu kurang disukainya. Kondisi ini disadari betul oleh stasiun televisi, apalagi persaingan antar stasiun televisi begitu ketat. Setiap stasiun berusaha menyajikan acara-acara yang menarik. Tidak hanya itu stasiun televisi juga membuat strategi untuk menyedot penonton. Dengan banyaknya penonton secara otomatis rating meningkat, sehingga kue iklan akan mengalir deras, dan tentu saja akan mendatangkan keuntungan besar. Salah satu strategi yang dilakukan mereka adalah membidik anakanak sebagai sasaran. Asumsinya jika anak-anak menonton televisi, secara otomatis orangtua dan anggota keluarga lainya juga ikut nonton. Karena pesawat televisi di rumah hanya ada satu dan anakanak bisa menguasainya. Strategi ini memang jitu. Kita bisa menyaksikan pada acara prima time banyak stasiun televisi yang menyiarkan acara dengan sasaran anak-anak. Kondisi ini menjadikan siaran televisi yang ditujukan bagi anak menarik untuk dikaji dan seringkali menjadi kontroversi berbagai pihak. Yang lebih berkepentingan dalam masalah ini adalah para orang tua yang peduli dengan perkebangan anak-anaknya. Mereka mengharapkan anak-anaknya bisa mengambil manfaat fositif dari tayangan televisi. Namun yang sering terdengar justru dampak negatifnya yang tentu saja meresahkan para orangtua. 98

Oos M. Anwas: Masyarakat Peduli Siaran TV

Website: http://www.pustekkom.go.id


Tulisan ini akan mengkaji bagaimana peran orangtua sebagai anggota masyarakat dalam menyikapi gencarnya tayangan televisi khususnya terhadap perkembangan anak-anak.

B. TELEVISI DAN KELUARGA Sebagian besar anak hidup di lingkungan keluarga. Oleh karena itu pendidikan di keluarga akan memberi landasan bagi kehidupan di masa mendatang. Hal ini wajar jika perilaku anak sangat dominan dipengaruhi oleh lingkungan keluarganya. Orangtua terutama kaum ibu merupakan pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya (Oos M. Anwas, 1998). Sejak dalam kandungan sang bayi membutuhkan belayan kasih sayang sang ibu dan bapaknya, begitu pula di saat bayi, masa anak-anak, hingga dewasa. Beberapa pakar psikologi mengatakan bahwa apa yang dialami anak di masa kecil, akan membekas dalam diri anak dan mewarnai kehidupannya kelak. Barangkali ada benarnya sebuah syair lagu yang menyatakan bahwa �Belajar di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu, belajar di waktu dewasa bagaikan mengukir di atas air�. Ini menunjukan betapa pentingnya penanaman nilai-nilai budi pekerti yang bermanfaat sebagai bekal kehidupannya nanti. Dalam kaitannya dengan siaran televisi di keluarga, hasil studi pakar psikiatri Universitas Harvard, Robert Coles (dalam Dedi Supriadi, 1997) menunjukan bahwa pengaruh negatif tayangan televisi, justru terdapat pada keharmonisan di keluarga. Dalam temuannya, anak-anak yang mutu kehidupannya rendah sangat rawan terhadap pengaruh buruk televisi. Sebaliknya keluarga yang memegang teguh nilai, etika, dan moral serta orang tua benar-benar menjadi panutan anaknya tidak rawan terhadap pengaruh tayangan negatif televisi. Lebih lanjut Cole menunjukan bahwa mempermasalahkan kualitas tayangan televisi tidak cukup tanpa mempertimbangkan kualitas kehidupan keluarga. Ini berarti menciptakan keluarga yang harmonis jauh lebih penting ketimbang menuduh tayangan televisi sebagai biangkerok meningkatnya perilaku negatif di kalangan anak dan remaja. Oos M. Anwas: Masyarakat Peduli Siaran TV

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

99


Mungkin kita akan lebih yakin terhadap temuan Cole tersebut apabila mengkaji bagaimana proses pembentukan perilaku manusia. Pembentukan perilaku didasarkan pada stimulus yang diterima melalui pancaindra yang kemudian diberi arti dan makna berdasarkan pengetahuan, pengalaman, dan keyakinan yang dimilikinya. Anak, sebagai individu yang masih labil dan mencari jati diri, sangat rentang dengan perilaku peniruan yang akhirnya akan terinternalisasi dan membentuk pada kepribadiannya. Tayangan televisi yang dilihatnya setiap saat masuk ke dalam otaknya. Bagi anak yang berasal dari mutu kehidupan keluarganya baik, semua yang ia lihat di layar televisi dapat disaring melalui suasana keluarga yang harmonis, dimana orangtuanya bisa menjadi panutan. Komunikasi dan contoh orang tua dalam perilaku seharihari membuat benteng yang kokoh dalam membendung semua pengaruh buruk di layar televisi. Sebaliknya, anak yang berasal dari keluarga yang mutu kehidupan keluarganya rendah, semua tayangan di televisi sulit disaring, karena mereka belum bisa membedakan mana perilaku yang baik/buruk. Begitu pula dalam lingkungan keseharian di keluarganya tidak ditemukan sikap dan perilaku normatif yang dapat dijadikan filter tayangan televisi. Akibatnya anak akan mudah meniru sikap dan perilaku yang disajikan dalam tayangan tersebut. Ini begitu penting peran keluarga dalam mensiasati siaran televisi. Di sisi lain zaman sekarang komunikasi antara orangtua dan anak cenderung berkurang sebagai konsekuensi kesibukan para orang tua dengan pekerjaaanya. Banyak pasangan suami istri yang bekerja seharian penuh. Bertemu dengan anak hanya malam hari. Itupun kondisi badan sudah letih sehingga sulit bisa mencurahkan kasih sayang pada anaknya. Begitupun menjelang tidur budaya dongeng orang tua sebagai pengantar tidur sang anak sudah menghilang. Mengurus anak sepenuhnya diserahkan kepada pembantu. Walaupun secara finansial cukup, tetapi anak butuh kasih sayang dan didikan orangtua. Hal ini yang tidak bisa digantikan oleh apapun. 100

Oos M. Anwas: Masyarakat Peduli Siaran TV

Website: http://www.pustekkom.go.id


Anak-anak sangat rindu dengan hal itu. Akibatnya mereka mencari cara lain untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang. Bermain dengan pembantu tentu sudah sering dan mungkin bosan. Adanya siaran televisi yang menyuhkan acara yang variatif tentu saja menjadi hiburan gratis di tengah-tengah kesunyian dan kehampaan kasih sayang. Media ini bisa menghibur dan menjadi magnet baginya. Tak heran mereka setia nongkrong di depan televisi dari mulai bangun hingga malam hari. Sang pengasuh anak juga perlu hiburan. Sambil menemani anak yang diasuhnya ia juga menikmatyi sajian siaran televisi. Akibatnya akan makin betah dan akrab dengan siaran televisi. Kekhawatiran bahaya televisi terhadap anak juga dirisaukan oleh para orangtua yang memiliki banyak waktu mendampingi anaknya di rumah. Sudah sering kita mendengar keluhan orang tua yang tidak bisa menonton televisi karena seharian dikuasai anak-anaknya. Mereka mengalah dan rela untuk tidak nonton televisi. Namun yang paling penting hal ini mengancam masa depan si kecil sebagai harapan bangsa di masa mendatang. Para orangtua yang peduli dengan anaknya menyadari betul terhadap bahaya ini. Oleh karena itu, mereka harus mewaspadai dan memahami bagaimana memperlakukan televisi sebagai media masa yang tidak memberikan dampak negatif. Sebaliknya media televisi bisa memberikan efek postif khususnya bagi perkembangan anak-anaknya.

C. PEDULI SIARAN TV Dampak siaran televisi terhadap perilaku anak seringkali menjadi bahan perdebatan. Yang pro menganggap bahwa acara televisi bisa memberikan pengetahuan dan wawasan baru pada anak, serta alasan positif lainnya. Sebaliknya yang kontra dapat membeberkan berbagai fakta dampak negatif siaran televisi terhadap perkembangan anak. Di sini yang penting adalah bagaimana para orang tua mensiasati siaran televisi yang begitu gencar bisa memberikan manfaat positif, kususnya bagi anak-anak. Jawabanya adalah kita harus peduli terhadap siaran televisi tersebut. Kepedulian ini dapat diwujdukan dalam sikap dan perilaku sebagai berikut: Oos M. Anwas: Masyarakat Peduli Siaran TV

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

101


1. Mendampingi Nonton TV Ketika anak nonton televisi, tidak ada lagi yang paling ideal adalah orangtua mendampingi dan membimbingnya. Ia dituntut menjelaskan adegan atau tayangan yang ada di layar televisi. Misalnya dalam film action di layar televisi orangtua menjelaskan mana adegan fiktif dan mana yang adegan sebenarnya, kisah nyata atau hanya cerita rekaan. Orangtua bisa menjelaskan mungkin tujuan cerita fiktif itu hanya sebagai hiburan. Semua adegan didramatisir supaya menarik ditonton. Di sisi lain perlu juga dijelaskan nilai/makna yang terkandung dalam adegan atau cerita itu. Orangtua juga perlu memberikan contoh dalam kehidupan sehari-hari yang bisa dimengerti sang anak tentang makna yang terkandung dalam isi cerita/adegan di layar televisi yang ditonton anaknya. Misalnya anak yang berbuat baik akan disenangi teman-temannya, sebaliknya anak yang suka jail akan dibenci dan dijauhi. Orang tua juga dituntut memberikan penjelasan tentang perlunya mendapatkan informasi yang lengkap dan menyeluruh terhadap anak-anaknya. Jika dalam acara ilmu pengetahuan atau tentang sesuatu yang diduga menimbulkan kemenarikan pada anak, dapat didiskusikannya. Misalnya kenapa kelelawar bisa terbang dalam suasana gelap gulita, mengapa kapal udara bisa terbang, dan lain-lainnya. Di sini kita bisa memotivasi pada mereka bahwa jawaban lebih lengkapnya ada pada buku. Mereka didorong untuk membaca buku. Di sini orangtua berkewajiban pula menyediakan fasilitas membaca diantaranya buku, atau menunjukan dimana buku itu bisa diperoleh oleh anak. Bahkan lebih pas lagi apabila ia mendampingi anaknya belajar.

2. Komunikasi Keluarga Kini permasalahan yang mendasar adalah banyak orang tua yang tidak sempat mendampingi anak-anaknya nonton televisi sebagai akibat keterbatasan waktu dan kesibukan sehari-hari. Di sini perlunya komunikasi antara orangtua dan anak. Jika orang tua memiliki waktu sempit untuk berkomunikasi, yang penting adalah 102

Oos M. Anwas: Masyarakat Peduli Siaran TV

Website: http://www.pustekkom.go.id


kualitas dari komunikasi tersebut. Komunikasi yang berkualitas adalah hubungan keterbukaan dan saling pengertian di antara kedua belah pihak. Orangtua memahami kebutuhan dan perkembangan anak-anaknya. Ia tentu dituntut untuk paham dan bisa memenuhi kebutuhan tersebut, terutama tentu saja kebutuhan kasih sayang dan pengertian sebagai orangtua. Begitu pula ditanamkan kesadaran kepada anak untuk memahami kesibukan yang dilakukan orang tuanya. Salah satu hal penting dalam menjaga kualitas komunikasi adalah diciptakan kemudahan komunikasi antara anak dan orangtua. Keharminisan komunikasi ini perlu diciptakan. Jangan sampai anak merasa segan untuk menyampaikan sesuatu/masalah yang dihadapinya. Lebih celaka lagi kalau anak tidak percaya pada orangtua sendiri dan lebih suka mencurahkan masalah dan perasaannya kepada temannya atau orang lain. Kecanggihan alat komunikasi khususnya telpon (handpon) sangat membantu menjaga komunikasi antara anak dengan orang tua. Dengan adanya hubungan yang harmonis ini tentu saja anak bathin anak merasa dekat dengan orang tuanya, padahal secara fisik mereka mungkin berada di tempat/kota yang berbeda. Jika keharmonisan komunikasi ini sudah tercipta dengan baik, tentu saja anak senang suka berkomunikasi dengan orangtuanya. Segala masalah atau hal-hal yang menjadi pertanyaan anak akan dikomunikasikan dengan orang tuanya. Orangtuanya menjelma sebagai panutan. Hal ini penting untuk diciptakan. Bentuk menciptakan keharmonisan komunikasi dalam kaitanya dengan tayangan siaran televisi antara lain anak diajak untuk berdiskusi mengenai tayangan dalam televisi. positif atau negatif dari sebuah perilaku yang ada di layar kaca tersebut.

3. Nonton TV seperti Membaca Buku Menonton televisi sudah layaknya diperlakukan seperti membaca buku. Kita sudah biasa menyimpan buku di rak atau tempat Oos M. Anwas: Masyarakat Peduli Siaran TV

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

103


khusus. Buku itu diambil ketika hendak dibaca. Setelah selesai dibaca kemudian buku tersebut di simpan kembali di tempatnya. Begitupun sebelum membaca kita akan memilih buku yang sesuai dengan keinginan kita. Di rak buku kita bisa memilih buku apa yang hendak dibaca, sesuai dengan keinginan. Dengan cara ini kita bisa fokus membaca isi buku yang diinginkan. Buku tersebut juga tidak dibaca sembarangan orang, sehingga isi buku dan bentuk bukunya bisa terawat dengan baik. Bagaimana jika memperlakukan televisi juga layaknya seperti membaca buku. Pesawat televisi ditempatkan dalam ruang yang wajar dan cukup penerangan. Kita nonton acara televisi yang sesuai keinginan. Jika sudah cukup tentu televisi kita matikan dan simpan kembali di tempatnya. Dengan cara ini kita bisa membiasakan kepada anak untuk menonton televisi secara disiplin. Semua ini perlu pembiasaan dan kedisiplinan antara orangtua dan anak. Anak-anak juga dibiasakan untuk memilih acara yang sesuai dengan usianya. Di sini tentu saja kita sebagai orangtua harus memberikan penjelasan yang cukup tentang mata acara di layar televisi. Acara yang kurang pas dengan mereka tak cukup dengan hanya melarangnya. Kita harus menjelaskan alasan kenapa acara itu tak boleh dilihat usia mereka, berikut dampaknya. Bila perlu berikan contoh kongkrit dampak dari tayangan itu. Begitu pula kita bisa menjelaskan acara-acara yang boleh dan perlu untuk ditonton seusia mereka. Dengan cara ini anak akan mengerti dan tidak penasaran untuk meonton acara yang kurang pas dengannya.

4. Keteladanan Orang Perlu kita pahami bahwa anak cenderung meniru perilaku orang tuanya. Oleh karena itu kita sebagai orangtua perlu memberikan contoh cara menonton televisi yang baik. Tak cukup dengan sikap duduk dan jarak antara mata dengan layar televisi, kita perlu memberikan contoh memperlakukan televisi sebagai media 104

Oos M. Anwas: Masyarakat Peduli Siaran TV

Website: http://www.pustekkom.go.id


massa. Tayangan televisi yang dilarang untuk anak sebaiknya kita sebagai orang tua juga menghindarinya. Ada kalanya orang tua melarang anaknya menonton televisi dan disuruhnya masuk ke kamar untuk belajar, sementara dirinya dengan santai menonton televisi tersebut. Dalam kaitan ini menarik untuk direnungi hasil penelitian yang dilakukan Yale Family Television Research (Kompas, 26/12/1999), yang mengungkapkan bahwa anak-anak yang banyak menghabiskan waktu untuk nonton televisi umumnya mempunyai orang tua yang doyan nonton televisi. Anak suka nonton karena orang tuanya juga sering nonton. Dengan kata lain anak menonton televisi karena meniru perilaku orangtuanya. Hal ini berarti sulit bagi orang tua semacam itu untuk membatasi anak nonton televisi, karena memang mereka sendiri adalah contoh bagi anak-anaknya.

5. Mengkritisi stasiun TV Mengajukan usul, saran, atau keberatan terhadap sebuah tayangan televisi perlu dibudayakan. Sebagai warga negara kita memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan atas siaran televisi. Oleh karena itu usul atau saran bisa dikirimkan langsung ke stasiun TV. Usulan ini dapat melalui telpon, surat, email, fax, dll. Mengkritisi terhadap tayangan televisi bisa juga dilakukan melalui media cetak (koran, majalah). Biasanya dalam kolom surat pembaca. Kita bisa memanfaatkan kolom ini untuk mengkritisi mereka. Bahkan melalui rubrik ini bisa menghimpun opini dan dukungan para pembaca untuk mendukung gagasan yang kita ajukan.

6. Boikot Stasiun TV Suatu waktu penulis berdiskusi dengan beberapa orang tua yang resah dengan perilaku anak-anaknya. Mereka menuduh penyebabnya adalah tayangan salah satu televisi swasta yang menyiarkan acara anak-anak. Menurut mereka stasiun televisi tersebut tidak tahu waktu, dari pagi mulai anak-anak bangun tidur hingga larut malam terus menyirkan film kartun. Mereka Oos M. Anwas: Masyarakat Peduli Siaran TV

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

105


gelisah karena anaknya lebih suka nongkrong di depan layar televisi. Bahkan anaknya malas belajar, kurang makan, tidur, dan tidak gairah bermain dengan teman-temannya. Yang lebih mengkhawatirkan mereka mengeluhkan anak-anaknya sering menirukan adegan di layar kaca yang kurang pas dengan usia mereka, seperti edegan kekerasan, mistik, bahkan berbau pornografi. Dari diskusi ini disepakati untuk menghilangkan chanel televisi tersebut. Dengan cara ini anak-anak di lingkungan komplek tersebut tidak bisa menonton stasiun televisis tersebut. Pada saat kondisi ini orang tua perlu mengalihkan anaknya yang sudah biasa nonton itu ke dalam aktivitas yang bermanafaat, misalnya belajar, bermain, dll. Tahapan ini sangat penting dilakukan sehingga anak-anak bisa melakukan aktivitas positif dan melupakan stasiun tersebut. Ilustrasi di atas menunjukan sebuah protes dari pemirsa televisi terhadap acara yang disiarkan sebuah stasiun televisi. Hal itu adalah wajar. Sebagai media massa, khalayak memiliki hak untuk memilih tayangan materi yang sesuai dengan kebutuhannya. Pemirsa bukan lagi dipandang sebagai objek, tetapi dapat menjadi subjek untuk memilah acara-acara yang sesuai dengan mereka. Sebaliknya pemirsa juga berhak untuk menolak atau memboikot tayangan televisi yang menurutnya bisa merugikan, apalagi membahayakan perkembangan mental anak-anaknya.

7. Laporkan ke KPI Aturan penyiaran telah diatur dalam Undang Undang No 32 tahun 2002 tentang penyiaran. Menurut Undang Undang ini, untuk mengatur penyiaran dibentuk Komisis Penyiaran Indonesia (KPI). KPI sebagai wujud peran serta masyarakat berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran (pasal 8 ayat 1 UU Penyiaran). Lebih tegas lagi dalam ayat 3a dikatakan bahwa KPI mempunyai tugas dan kewajiban menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar 106

Oos M. Anwas: Masyarakat Peduli Siaran TV

Website: http://www.pustekkom.go.id


sesuai dengan hak asasi manusia. Dalam ayat 3 butir e ditegaskan bahwa KPI mempunyai tugas dan kewajiban menampung, meneliti, dan meninadaklanjuti ajuan, sanggahan serta kritikan dan aspirasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran. Untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah mengeluarkan Keputusan KPI Nomor: 009/ SK/KPI/8/2004 tantang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran. Salah satu isi SK ini tertuang dalam Bab IV mengatur tentang Kesopanan, Kepantasan, dan Kesusilaan penyiaran. Misalnya pasal 31 menyatakan bahwa sesuai dengan kodratnya, lembaga penyiaran dapat menjangkau secara langsung khalayak yang sangat beragam baik dalam usia, latar belakang, ekonomi, budaya, agama, dan keyakinan. Karena itu, lembaga penyiaran harus senantiasa berhati-hati agar isi siaran yang dipancarkan tidak merugikan, menimbulkan efek negatif, atau bertentangan dan menyinggung nilai-nilai dasar yang dimiliki beragam kelompok khalayak tersebut. Secara lebih rinci Bab IV SK KPI ini merinci tentang kesopanan, kepantasan, dan kesusilaan yang diuraikan dalam 12 bagian dengan pasal-pasalnya. Bagian pertama mengatur tentang penyajian program kekerasan. Bagian kedua tentang seks, diantaranya melarang adegan seperti ciuman, hubungan seks, pemerkosaan/pemaksaan seksual, eksploitasi seks, masturbasi, adegan telanjang, dll. Bagian keempat tentang kata-kata kasar dan makian. Bagian kelima tentang narkotika, psikotropika, dan zat adiktif. Bagian keenam tentang alkohol dan rokok. Bagian ketujuh tentang suku dan ras. Bagian kedelapan tentang agama. Bagian kesembilan tentang tayangan supranatural. Bagian kesepuluh tentang penyajian korupsi. Bagian kesebelas tentang penyajian judi. Dan bagian keduabelas tentang penyajian program asing dan program berbahasa asing.

Oos M. Anwas: Masyarakat Peduli Siaran TV

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

107


Adanya UU tentang Penyiaran serta Lembaga KPI tersebut menunjukan adanya payung hukum tentang hak dan kewajiban masyarakat terhadap penerimaan siaran khususnya siaran televisi. Dengan adanya lembaga ini masyarakat tidak hanya bisa memboikot untuk tidak menonton siaran stasiun tertentu seperti ilustrasi di atas, tetapi dapat menyampaikannya melalui KPI. Masyarakat dapat mengajukan usulan, saran, kritikan, bahkan keberatan terhadap siaran yang ditayangkan stasiun televisi melalui lembaga KPI tersebut. Melalui masukan dari masyarakat ini KPI dapat bertindak sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya.

D. SIMPULAN DAN SARAN Budaya nonton televisi masyarakat kita lebih besar dibandingkan dengan membaca buku. Nonton televisi ini umumnya dilakukan bersama dengan anggota keluarga. Di sini anak memiliki peran besar dalam menentukan acara televisi. Orangtua manut dengan pilihan acara anak-anaknya. Hal inilah dimanfaatkan oleh stasiun televisi. Namun dampaknya adalah kekhawatiran mayarakat terhadap dampak negatif siaran televisi terhadap anak-anak. Oleh karena itu sudah waktunya untuk digalakan sikap dan perilaku masyarakat yang peduli dengan siaran televisi. Kepedulian ini jauh lebih penting dibandingkan dengan mengembangkan pro dan kontra terhadap dampak siaran televisis ini. Sikap dan perilaku peduli orangtua dan masyarakat terhadap siaran televisi dapat diwujudkan antara lain melalui; mendampingi anak ketika nonton televisi, kualitas komunikasi keluagra, memperlakukan televisi seperti membaca buku, keteladanan orang tua, mengkritisi stasiun televisi, memboikot stasiun televisi, hingga melaporkan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Upaya ini penting dilakukan karena di era globalisasi sulit rasanya menghindari dari terpaan siaran televisi.

108

Oos M. Anwas: Masyarakat Peduli Siaran TV

Website: http://www.pustekkom.go.id


Jika hal itu terjadi dan sudah menjadi tradisi di masyarakat tentu saja kekhawatiran dampak negatif siaran televisi bisa ditekan. Begitupun stasiun televisi akan berpikir seribu kali tentang dampak penyiaran sebuah program. Stasiun televisi yang tidak bisa memenuhi kepedulian masyarakat akan ditinggalkan pemirsanya. Selain itu citra dan image stasiun televisi akan jatuh. Bahkan mungkin masyarakat akan memiliki sikap antipati terhadap stasiun televisi tersebut. Oleh karena itu sangat bijaksana jika seluruh stasiun televisi baik milik pemerintah maupun swasta tidak hanya mengejar rating, tetapi juga memperhatikan materi siaran terutama dampaknya terhadap pemirsa. Stasiun seperti ini tentu saja memiliki jati diri dan tanggung jawab moral sehingga ia akan dicintai pemirsanya. Citra dan reputasinya juga akan terjaga dan mungkin makin melekat di hati masyarakat. Kehadiran stasiun televisi pendidikan atau Televisi Edukasi (TVE) di tengah-tengah gencarnya banyak siaran televisi merupakan sebuah terobosan baru. Televisi Edukasi ini dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional yang mengurus masalah pendidikan. Acara TVE meliputi pendidikan formal, pendidikan nonformal, pendidikan informal, serta informasi yang terkait dengan pendidikan. Diharapkan acara TVE ini memberikan nilai edukatif sehingga bisa memberikan kesejukan di tengah kehausan masyarakat terhadap siaran televisi yang santun dan mencerdaskan. Dengan demikian TVE ini mampu memenuhi harapan masyarakat yang peduli siaran televisi. Semoga.

DAFTAR PUSTAKA Anwas, Oos M. (1998), Kaum Ibu adalah Pendidik Utama, Artikel: HU: Suara Karya Jakarta, 4 Mei 1998. ______________. (2000), Menjadikan Televisi sebagai sahabat Buku dalam Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan. Artikel Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Depdiknas. Dedi Supriadi, (1997), Kontraversial tentang Dampak Kekerasan Siaran Televisi terhadap Perilaku pemirsanya; Bercinta dengan Televisi, Bandung: Remaja Rosda Karya. Gene L. Wilkonson, (1980), Media dalam Pembelajaran: Penelitian Oos M. Anwas: Masyarakat Peduli Siaran TV

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

109


Selama 60 tahun, Jakarta: Rajawali. Harian Umum Kompas, Jakarta , 9/4/1996 dan 26/12/1999 Jalaludi Rakhmat, (1991), Islam Aktual; Refleksi Sosial Seorang Cendikiawan Muslim, Bandung: Mizan. ——————————, (1985), Psikologi Komunikasi, Bandung: Remaja Karya. Kuswandi, Wawan. (1996) Komunikasi Massa; Sebuah Analisi Media Televisi, Jakarta: Rineka Cipta. Komisi Penyiaran Indonesia. (2005). Keputusan KPI Nomor: 009/SK/ KPI/8/2004 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran. Jakarta. ____________, (2005), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, Jakarta: KPI. Littlejohn, SW. (1996), Theories of Human Communication. Wadsworth, Publishing Company. An International Thomson Publishing Company. Mar’at. (1984). Sikap Manusia Perubahan serta Pengukurannya. Jakarta: Galia Indah. McQuel, Denis. (1987), Mass Communications Theory, Edisi Indonesia, Jakarta: Erlangga. McQuel, Denis and Sven Windahl. (1996). Communication Model for the Study of Mass Communications. Second edition. New York: Longman. Supriadi, Dedi. (1997) Bercinta dengan Televisi; Televisi, Tindak Kekerasan, dan Minat Baca Anak, Bandung: Remaja Rosda Karya. Sri Andayani dan Hanif Suranto, (1997), Perilaku Antisosial di Layar Kaca; Bercinta dengan Televisi, Bandung: Remaja Rosda Karya. Sandjaja, Sasa Djuarsa, dkk. (1994), Teori Komunikasi; Materi Pokok Modul UT, Jakarta: Universitas Terbuka. __________, (1999) Pertentangan Lama Antara Media Televisi VS Buku; Makalah Seminar Minat Baca, Jakarta Hotel Santika 20 Mei 1999.

uuuuuuuuuuuuuuuuu

110

Oos M. Anwas: Masyarakat Peduli Siaran TV

Website: http://www.pustekkom.go.id


PENGAJARAN BERPIKIR: SUA TU K ONSEP PENGEMBANG AN SUATU KONSEP PENGEMBANGAN PROSES BEL AJAR MENG AJAR BELAJAR MENGAJAR Oleh: Asep Saepudin *)

Abstrak Kegiatan belajar mengajar merupakan proses interaksi antara pengajar (guru) dengan peserta didik (siswa) baik bersifat teacher centred (berpusat pada guru) maupun student centred (berpusat kepada siswa). Pengajaran berpikir (teaching of thinking) sebagai suatu konsep pengajaran yang bersifat student centred, menekankan bahwa proses belajar mengajar sebagai suatu proses pengembangan kemampuan berpikir, dengan menempatkan siswa sebagai subyek yang berada pada posisi yang lebih aktif dan kreatif. Dalam penerapannya, pengajaran berpikir lebih mengutamakan keterampilan berpikir pemecahan masalah dan analisis isu (problem solving and issues analisis). Sedangkan langkah-langkah pengajaran berpikir itu sendiri adalah sebagai berikut; Exploration, Expression, Investigation, Ide Production, and Evaluation/Refinement.

PENDAHULUAN Pengajaran merupakan proses interaksi antara guru dengan siswa. Banyak konsep atau model tentang interaksi guru dengan siswa mulai dari yang bersifat teacher centered yang memberi kesempatan lebih dominan kepada gurunya sampai dengan student centered yang memberi kesempatan lebih dominan kepada para siswanya. Adalah John Dewey (1915) seorang ahli pendidikan modern yang dalam bukunya Reflective Thinking mengemukakan pandangannya tentang pentingnya *)

Asep Saepudin, M.Pd. adalah Dosen STMIK Mardira Indonesia, Kandidat Doktor pada Universitas Pendidikan Indonesia. No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

111


kemampuan berpikir dalam proses pendidikan. Pandangan Dewey tersebut kemudian dimaknai oleh para ahli dengan istilah pengajaran berpikir (teaching of thinking) mendorong terjadinya pergeseran titik berat peran, dari kegiatan mengajar yang dijalankan oleh guru ke kegiatan belajar yang dilakukan siswa dan guru secara interaktif. Pengajaran yang diawali dengan permasalahan dan diakhiri dengan hasil pemecahan adalah konsep Dewey berupa pengajaran yang memberikan peran besar kepada siswa dan menghendaki siswa berperan aktif dan berpikir kreatif (teaching students to think) . Proses belajar-mengajar interaktif memposisikan guru dan siswanya secara seimbang. Interaktif yang dimaksud adalah bukan sekedar adanya aksi dan reaksi, melainkan adanya hubungan timbal balik antara siswa dengan guru, antara siswa dengan siswa lain dan sumber belajar lainnya. Pada posisi seperti itu guru dituntut untuk menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif untuk terciptanya proses belajar-mengajar yang memungkinkan semua siswa berpartisipasi aktif melaksanakan kegiatan. Sejalan dengan uraian di atas, McTighe dan Schollenberger (1985:3) memberikan tiga alasan mengapa pengajaran berpikir perlu dilakukan di sekolah, yakni: pertama, masyarakat pada saat ini dan pada masa yang akan datang ditandai dengan percepatan yang sangat tinggi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Percepatan ini akan mengakibatkan informasi dari paruh pertama kehidupan menjadi ketinggalan zaman, dan memerlukan keterampilan berpikir yang lebih efektif bagi pengeloaaan informasi berikutnya. Kedua, kemampuan (kapabilitas) berpikir siswa secara global relatif menurun. Dalam studinya, Education Commison of the State - ECS (La Costa, 1985 : 4) menjelaskan bahwa “the percentage of students achieving higher-order (thinking skills) is declining“. Kajian tersebut menemukan bahwa siswa yang memiliki ketrampilan berpikir tingkat tinggi persentasenya menurun. Temuan tersebut sejalan dengan yang dilaporkan oleh The National Assesment of Education (1980): The most significant finding from this assesment is that while student learn to read a wide range of materials, they develop very few skills for 112

Asep Saepudin: Pengajaran Berpikir

Website: http://www.pustekkom.go.id


examining the nature of the ideas that they take away from their reading. Students seemed satisfied with their initial interpretation of what they have read and seemed satified wih their initial request to explain or defend their points of view. Few students could provide more than superficial response little evidence of well-developed problem-solving strategies or critical thinking. Dalam kutipan di atas, ditekankan bahwa selama ini banyak siswa yang tidak memperoleh ketrampilan untuk menguji gagasan yang diperoleh dari berbagai bacaan. Siswa umumnya merasa sudah puas dengan hasil yang belajarnya. Hanya sedikit siswa yang memiliki ketrampilan memecahkan masalah dan strategi berpikir kritis. Menurunnya kemampuan siswa dalam berpikir kritis, kreatif, analisis, sintesis, dan evaluasi yang menyebabkan lemahnya kemampuan mereka dalam memecahkan masalah merupakan alasan yang fundamental untuk mengembangkan kemampuan berpikir dalam kegiatan pengajaran. Ketiga, berkenaan dengan kelemahan pada aspek metode pengajaran. Menurut Goodlad (La Costa, 1985 : 5), 75% dari proses pengajaran di kelas didominasi oleh guru dengan informasi verbal. Kajian yang lain menunjukkan bahwa sebagian besar pengajar tidak menggunakan metode yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir para siswa. Dominasi guru dan miskinnya metode dalam proses pengajaran merupakan alasan yang sangat penting untuk dikembangkannya pengajaran yang memberi kesempatan yang lebih luas kepada siswa untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah, kemampuan yang dibutuhkan di saat ini dan di masa yang akan datang. Ketiga butir alasan di atas, melatarbelakangi perlunya model atau metode pengajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir. Sebagaimana direkomendasikan Association for Supervision and Curriculum Development - ASCD (1984) bahwa diperlukan perluasan tujuan pendidikan yang bukan hanya menekankan pada kemampuan baca-tulis-hitung (reading, writing, arithmatic), tetapi juga kemampuan berpikir yang dapat digunakan dan dipakai untuk memecahkan masalah, meningkatkan penalaran, kemampuan konseptual, dan analisis yang diperlukan Asep Saepudin: Pengajaran Berpikir

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

113


masyarakat di masa depan. Pernyataan tersebut, sejalan dengan yang diungkapkan oleh The National Science Board Commission on PreCollege Education in Mathematics, Science, and Technology (1983:1) sebagai berikut : We must return to basics of the 21 st century are not only reading, writing, and arithmatc. They include communication and higher problem solving skills, and scientific and technological literacy - the thinking tools that allow us to understand the technological world around us ..... Development of students capacities for problem solving and critical thinking in all areas of learning as a fundamental goal. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa saat ini dan di masa yang akan datang kemampuan berpikir untuk memecahkan masalah merupakan aspek fundamental yang harus menjadi sasaran utama pengajaran. Beberapa argumen sebagaimana disebutkan diatas, mengindikasikan bahwa sesungguhnya penelitian, pemikiran dan upaya meningkatkan kemampuan berpikir siswa telah banyak dilakukan oleh para ahli. Namun demikian, banyaknya kajian terhadap istilah tersebut menimbulkan kebingungan dalam pemahamannya. Kebingungan-kebingungan tersebut seperti “apa sebenarnya kemampuan berpikir itu?”, “pengalaman atau program apa yang mampu mengembangkan kemampuan berpikir?”, dan “bagaimana implikasinya bagi kebijakan pendidikan di sekolah?”.

KONSEP PENGAJARAN BERPIKIR (TEACHING FOR THINKING) Dalam studinya, La Costa (1985:20) mengklasifikasikan kegiatan peningkatan kemampuan berpikir tersebut dalam tiga istilah yakni teaching of thinking (pengajaran berpikir = PB), teaching for thinking (pengajaran untuk berpikir = PUB), dan teaching about thinking (pengajaran tentang berpikir = PTB). Ketiga istilah tersebut mempunyai makna yang berbeda. Pengajaran berpikir (PB) adalah pengajaran 114

Asep Saepudin: Pengajaran Berpikir

Website: http://www.pustekkom.go.id


yang mengarahkan kegiatan pengajarannya pada pembentukan ketrampilan mental tertentu yaitu ketrampilan berpikir. Pengajaran untuk berpikir (PUB) adalah pengajaran yang diarahkan pada penciptaaan situasi kelas yang mendorong pengembangan kognitif. Sedangkan pengajaran tentang berpikir (PTB) adalah pengajaran yang kegiatannya diarahkan pada upaya untuk membantu siswa agar lebih sadar terhadap proses berpikirnya. Pengajaran berpikir dilandasi oleh konsep bahwa pendidikan pada dasarnya berintikan berpikir “education is nothing more, nor less, than learning to think “ (Peter A. Facione, 1998). Pendidikan semacam itu, menekankan pada aspek belajar daripada aspek mengajarnya. Konsep tersebut, menempatkan proses pengajaran sebagai proses pengembangan kemampuan berpikir, dengan menempatkan siswa sebagai subyek yang berada pada posisi yang lebih aktif dan kreatif. Dalam penerapannya pengajaran ini mengutamakan pemecahan masalah dan analisis isu (problem solving and issues analisis). Berkaitan dengan pengajaran berpikir, Meyer (1986) dalam bukunya “Teaching Student to Think Critically” berpendapat bahwa belajar adalah berpikir yang diarahkan pada pemecahan masalah “ Critical thinking always begins with a problem and result in a solution “. Sedangkan Dardis, Christopher (1998) berpendapat bahwa “Learning to think usualy begins (1) by bringing order out of chaos, (2) discovering uncored ideas, and (3) developing strategies, while avoiding jumping to conclusions”. Konsep tersebut secara tegas mensyaratkan bahwa proses pengajaran dimulai dengan permasalahan dan dari permasalahan tersebut diupayakan dengan berbagai cara untuk mendapatkan data dan informasi sampai akhirnya diperoleh hasil pemecahannya. Belajar bukan saja untuk tahu atau memperoleh informasi tentang sesuatu fakta atau konsep. Orang belajar lebih sering untuk memperdalam dan membangun pengertian atas namanya sendiri atau mengembangkan wawasan dan makna. Tentang pengajaran yang menekankan pengembangan kemampuan berpikir ini, Ruggiero yang dikutif Purwadhi (2000) mengemukakan gagasannya yang disebutnya sebagai pendekatan holistik pengajaran Asep Saepudin: Pengajaran Berpikir

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

115


berpikir “ The Holistic Approach to the Teaching of Thinking “. Model pengajaran ini menekankan pada pemecahan masalah dan analisis isu melalui lima langkah pengajaran yaitu; Exploration, Expression, Investigation, Ide Production, and Evaluation/Refinement. Kelima langkah tersebut, merupakan langkah yang terpadu satu langkah dan lainnya tidak dapat dipisahkan. Exploration adalah tahap awal dari proses pengajaran berpikir. Pada tahap ini siswa diarahkan pada kegiatan dalam rangka menyadari adanya permasalahan. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah mengidentifikasi permasalahan, menganalisis mengapa muncul permasalahan, menganalisis akibat dari permasalahan tersebut, memotivasi diri untuk tahu lebih dalam, mendengarkan guru menjelaskan, membaca materi perkuliahan dari buku sumber yang diberikan, menulis dan membuat daftar permasalahan. Contoh-contoh kegiatan yang dapat dilakukan pada tahap ini antara lain mempelajari ide-ide kreatif dari tokoh yang berhasil, menyadari adanya kebutuhan akan informasi dan pengetahuan, membuat daftar permasalahan, produk dan prosedur, dan upaya lain yang bersifat eksploratif. Kegiatan eksploratif ini seringkali diawali dengan adanya rasa ingin tahu atau tidak puas terhadap sesuatu, seperti yang dikemukakan oleh Ruggeiro (1988:33): Problem solving and issues analysis may be said to begin when person experiences one or both of these state of mind: (1) wondering about why something is as it is, or whether it is as people say it is, and/or (2) a feeling of frustation and iritation because something is not what is should/might be or has gone wrong and should be right. Expression adalah langkah kedua dari proses pengajaran ini. Pada langkah ini siswa diarahkan pada kegiatan untuk menemukan cara terbaik untuk menyatakan hasil pemikiran yang kreatif dan konstruktif. Menyatakan secara tertulis beberapa keheranan yang ditemukan dalam permasalahan, dan menentukan permasalahan sebagai hasil pemikirannya. “the purpose of this stage is find be best expression of the problem or issue�. Contoh kegiatan yang dapat dilakukan pada tahap 116

Asep Saepudin: Pengajaran Berpikir

Website: http://www.pustekkom.go.id


ini antara lain menuliskan kembali masalah yang ditemukan sejelas mungkin, menentukan unsur-unsur pokok dari sesuatu yang dianggap sebagai permasalahan tersebut, memilih ekspressi terbaik sebagai pemikiran sementara atas permasalahan tersebut. Investigation adalah langkah ketiga dari proses pengajaran ini. Pada langkah ini siswa dibawa kepada kegiatan untuk mencari bukti atau informasi selengkap-lengkapnya untuk memperkuat dan mempertegas jawaban yang akan disampaikan pada proses ini. Langkah investigasi ini merupakan langkah yang sangat penting. Data dan informasi yang terkumpul pada langkah ini sangat berguna untuk menjawab permasalahan yang lebih kompleks dan kontroversial. Cara yang dapat ditempuh pada langkah ini antara lain; melakukan pencarian informasi dari berbagai sumber, bertanya kepada pakar atau tokoh, berdiskusi, dan kegiatan-kegiatan lain yang dikategorikan sebagai upaya mencari informasi. Mencari informasi yang efektif dapat dilakukan dengan cara yang terencana misalnya dengan memfokuskan pencarian informasi pada latar belakang permasalahan, pandangan-pandangan searah dengan permasalahan, dan pemikiran-pemikiran kontradiktif, serta fokus lain yang akan mempertajam perolehan data dan informasi. Idea Production adalah langkah keempat dari proses pengajaran ini. Pada langkah ini siswa dimotivasi untuk memberikan alternatif jawaban sebagai hasil pembahasan atas permasalahan atau kekeliruan. Alternatif yang disampaikan pada tahap ini sifatnya masih sementara dan terbuka, belum merupakan jawaban final, karena masih mungkin adanya ide atau jawaban lain sebagai alternatif terbaiknya. Pada tahap ini siswa dituntut untuk menggunakan seluruh potensinya baik yang bersifat imajinatif maupun konkrit. Ruggiero (1988:41) dalam hal ini menyarankan beberapa cara yang dapat digunakan dalam rangka mendapatkan alternatif jawaban atas permasalahan antara lain: force uncommon response, use free association, use analogy, look for unusual combination, visualize the solution, construct pro and contra argument, and contruct relevant scenario. Dengan keleluasaan tersebut diharapkan ide-ide sebagai alternatif jawaban akan muncul dan memungkinkan untuk mendapatkan penilaian dan pembandingan. Asep Saepudin: Pengajaran Berpikir

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

117


Evaluation and Refinement adalah langkah terakhir dari proses pengajaran ini. Pada langkah ini siswa dibawa pada suatu aktivitas yang difokuskan pada upaya untuk mendapatkan pemecahan masalah yang paling benar dan tepat. Pada langkah ini siswa dilibatkan dalam proses pemilihan alternatif. Keterlibatan siswa pada proses pemilihan alternatif tersebut, dalam bentuk para siswa melakukan proses penilaian terhadap alternatif-alternatif yang ada sampai ditemukan satu pilihan alternatif yang paling baik. Cara yang dapat ditempuh untuk melakukan penilaian dan penyempurnaan terhadap alternatif pemecahan yang ada antara lain; dengan melihat kekurangan-kekurangannya, ketajaman, kenyamanan, efisiensi, daya tahan, dan lain-lain. Cara lain yang dapat ditempuh adalah dengan membandingkan satu jawaban dengan jawaban yang lainnya. Dalam keseluruhan uraian di atas dan rincian model pengajaran berpikir Ruggeiro, maka dapat disimpulkan bahwa pengajaran berpikir pada dasarnya berbasis pada pemecahan masalah, sama halnya dengan reflective thinking dari John Dewey. Reflective thinking dan teaching of thinking memiliki kesamaan langkah yakni dimulai dengan permasalahan dan diakhiri dengan hasil pemecahan masalah. Langkah-langkah pengejaran berpikir sebagaiman diungkapkan diatas, memiliki karakteristik tersendiri yang mengarah kepada ciri-ciri dari suatu proses pengajaran. Ciri yang mendasar dari pengajaran berpikir adalah pengajaran yang berisi sejumlah langkah, yang dimulai dengan identifikasi permasalahan dan diakhiri dengan hasil pemecahan masalah. Ungkapan tersebut didukung oleh Dardis, Chistopher (1998) yang menyimpulkan bahwa ada tiga elemen yang menjadi ciri pengajaran berpikir yakni: (1) student discussion, (2) explicit emphasis on problem-solving procedures and methods using varied examples, and (3) verbalization of methods and strategies to encourage development of metacognition. Ciri lain yang juga penting daripada pengajaran berpikir adalah menempatkan para siswa sebagai pelaku yang berperan secara aktif dan kedudukannya seimbang dengan guru.

118

Asep Saepudin: Pengajaran Berpikir

Website: http://www.pustekkom.go.id


KETERAMPILAN BERPIKIR DALAM PENGAJARAN BERPIKIR Pengajaran berpikir merupakan upaya pembelajaran yang memiliki ini (core) pada upaya mengembangkan keterampilan berpikir bagi setiap diri siswa. Keterampilan berpikir merupakan proses untuk menemukan kombinasi dari sejumlah aturan yang dapat diterapkan dalam upaya mengatasi situasi baru (Gagne 1975:178). Keterampilan berpikir bukan sekedar bentuk kemampuan menerapkan aturan-aturan yang telah dikuasai melalui kegiatan-kegiatan belajar terdahulu, melainkan merupakan proses untuk mendapatkan seperangkat aturan pada tingkat yang lebih tinggi. Jika seseorang telah mendapatkan kombinasi perangkat aturan dan terbukti dapat dioperasikan sesuai dengan situasi yang sedang dihadapi, maka ia tidak saja dapat memecahkan suatu masalah, tetapi juga berhasil menemukan sesuatu yang baru. Sesuatu yang baru di sini merupakan perangkat prosedur atau strategi yang memungkinkan seseorang dapat meningkatkan kemandirian berpikir. Presseisen (1985) memberikan deskripsi tentang keterampilan berpikir dan menegaskan bahwa pemecahan masalah merupakan salah satu dari keterampilan berpikir tingkat tinggi. Keterampilan berpikir lain yang merupakan keterampilan berpikir tingkat tinggi adalah pembuatan kebijakan, berpikir kritis, dan berpikir kreatif. Masing-masing memiliki jenis tugas, penekanan, keterampilan dan hasil-hasil yang berbeda. Pemecahan masalah merupakan kegiatan yang dilakukan dalam rangka memecahkan kesulitan-kesulitan (permasalahan) yang dihadapi. Keterampilan yang ditekankan pada pemecahan masalah adalah transformasi atau asimilasi prosedur. Hasil dari pemecahan masalah adalah generalisasi, cara memecahkan masalah atau solution generalization. (Presseisen, 1985). Proses dasar keterampilan berpikir yang digambarkan Presseisen adalah sebagai berikut:

Asep Saepudin: Pengajaran Berpikir

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

119


(1) Membentuk hubungan kausatif (2) Menghubungkan karakteristik pengetahuan yang dikenal dengan pengetahuan yang belum dikenal (3) Memantau operasi baku (4) Menetapkan kualitas umum (5) Menemukan karakteristik Khusus Gambar Proses Dasar Keterampilan Berpikir

Tahap pertama dalam proses dasar keterampilan berpikir adalah membentuk hubungan kausatif yang merupakan kegiatan menjalin hubungan sebab-akibat dan menilainya. Tahap ini mencakup kegiatan melakukan prediksi, inferensi, mempertimbangkan dan menilai. Tahap kedua menghubungkan karakteristik pengetahuan yang telah dikenal dengan yang belum dikenal. Tahap ini pada dasarnya merupakan proses transformasi yang dilakukan dalam bentuk analogi, metafora, dan berpikir induktif. Tahap ketiga, pemantauan operasi baku pada dasarnya merupakan kegiatan membuat hubungan, hubungan antara bagian dan keseluruhan, pola-pola, analisis-sintesis, urutan dan tingkatan dan berpikir induktif. Tahap keempat, kualitas umum pada dasarnya merupakan kegiatan untuk menentukan standar umum. Kegiatan yang dilakukan adalah menemukan beberapa kualifikasi yang dapat dipakai untuk menentukan standar kualitas. Sedangkan tahap kelima karakteristik khusus, pada dasarnya merupakan kegiatan dalam rangka menentukan karakteristik dari permasalahan. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah meneliti 120

Asep Saepudin: Pengajaran Berpikir

Website: http://www.pustekkom.go.id


ciri-ciri dari permasalahan yang ada, menilai dan menyempurnakan karakteristik yang ada dan sesuai dengan permasalahan. Sasaran utama pengajaran berpikir, adalah pemecahan masalah. Muncul pertanyaan kapan seseorang disebut sedang menghadapi masalah?. Menurut teori pemrosesan informasi, seseorang disebut sedang menghadapai masalah jika ia telah menyanggupi tugas tertentu, tetapi ia belum tahu bagaimana menanganinya (Simon, 1978:272). Menyanggupi suatu tugas berarti menerima kriteria pencapaian dan sasaran akhir yang ditetapkan. Dengan kata lain, suatu masalah terjadi dalam situasi di mana ada sasaran dan tujuan yang ingin dicapai tetapi seseorang belum memiliki struktur tertentu dalam memorinya yang dapat dioperasikan untuk mencapai sasaran itu. Penjelasan di atas, memunculkan pertanyaan lanjutan: apa yang terjadi dalam memori seseorang ketika dihadapkan dengan suatu masalah?. Bruner (1973:421), mengasumsikan bahwa belajar bidang studi atau mata pelajaran, merupakan proses pemerolehan informasi ke dalam memori serta uji relevansinya dengan situasi atau permasalahan baru. Lebih jauh Bruner (1972:168) menegaskan bahwa persoalan inti dari belajar memecahkan masalah terletak pada bagaimana informasi yang didapatkan itu disimpan dalam memori sehingga mudah diproduksi saat diperlukan. Menurut Bruner (1973:16) ada empat tahapan aktivitas mental dan pengambilan keputusan yang harus dilakukan seseorang dalam pemecahan masalah agar sampai pada jawaban akhir. Pertama, menentukan kategori awal (primitive categorization). Pada tahap ini siswa memilih informasi yang datang dari sumber eksternal ke dalam bentukbentuk tertentu. Kedua, mencari jejak (cue search), yaitu ketika seseorang harus menggabungkan informasi yang telah dipilih dengan apa yang telah ada dalam memori menjadi pola struktur dengan karakter tertentu. Ketiga, konfirmasi (confirmation), yaitu membuktikan apakah pola-pola struktur yang dibangun itu dapat dioperasikan dalam situasi baru yang mirip dengan karakteristik permasalahan yang ada dalam memori. Keempat, penyelesaian konfirmasi, yaitu upaya lanjut untuk Asep Saepudin: Pengajaran Berpikir

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

121


mendapatkan kepastian bahwa apa yang distrukturkan dalam memori memang benar adanya. Apa yang didapatkan dari keempat tahapan tersebut ialah suatu bentuk pengetahuan baru atau informasi yang memiliki struktur kognitif tertentu. Strukur tersebut menjadi bagian dari memori jangka panjang (long term memory), yang siap dipanggil ke dalam memori kerja (short term memory) bila diperlukan. Sesuai dengan karakteristik bidang studi yang memiliki tipe isi yang bersifat prosedural, Dahar (1989:41) memberikan definisi tentang pengetahuan prosedural sebagai pengetahuan yang disajikan lewat produksi, suatu pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu. Pengetahuan prosedural ini merupakan lawan dari pengetahuan deklaratif, yaitu pengetahuan tentang apa itu.

UNSUR-UNSUR PENGAJARAN BERPIKIR Terselenggara dan berhasilnya proses pengajaran tersebut sangat dipengaruhi oleh kesiapan unsur-unsur pendukung pengajaran seperti guru, siswa,dan program pengajaran. Secara teoritis menurut Purwadhi (2000) dan Nickerson (1985) ada 8 unsur yang dapat mempengaruhi keberhasilan pengajaran: “(1). the teacher, (2). teacher acceptance of the program, (3). objectives, intructional procedures, and evaluation procedures, (4). time on task, (5). transfer, (6). conducive environments, (7). motivation, (8). attitudes. Kedelapan unsur tersebut ada yang terkait dengan unsur guru yaitu nomor 1 dan 2, unsur program yaitu nomor 3 dan 4, unsur siswa yaitu nomor 5, 7 dan 8 , dan unsur iklim akademis nomor 6.

a. Guru Dalam proses belajar mengajar guru adalah unsur utama, selian ujung tombak pembelajaran juga yang mempengaruhi keberhasilan pengajaran. Kualitas guru menentukan keberhasilan proses pengajaran sebagaimana diungkapkan Nickerson, (1985:326 ) bahwa: “we strongly suspect that the best results are obtained when highly 122

Asep Saepudin: Pengajaran Berpikir

Website: http://www.pustekkom.go.id


skilled teachers have excellent material with which to work “Sebagai unsur penting bagi keberhasilan pengajaran, posisinya yang tepat dalam suatu proses pengajaran akan menentukan tingkat keberhasilan proses tersebut. Dalam pengajaran berpikir, posisi guru adalah sebagai director of learning, facilitator, motivator, dan councelor. Sebagai director of learning guru dituntut untuk merancang skenario pengajaran sesuai dengan tahap-tahap pengajaran yang akan diterapkan. Dalam pelaksanaan pengajaran ia berperan sebagai manajer yang mengarahkan setiap langkah pengajaran serta mengontrol aktivitas pengajarannya sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai. “Teacher to take the role of learning manager by giving students more control of what they learn and how they learn it�. Sebagai fasilitator (facilitate learning), guru adalah pemberi kemudahan atau penunjuk jalan terhadap langkah-langkah pengajaran yang akan ditempuh. guru bukanlah satu-satunya sumber yang diandalkan untuk mendapatkan informasi “apa yang diinformasikan oleh guru bukanlah sesuatu yang paling penting, namun apa yang akan menjadi pemikiran siswa dalam proses tersebut, itulah yang paling diutamakan�. Sebagai fasilitator proses pengajaran (pengajaran berpikir) berarti menempatkan guru sebagai pemberi kemudahan kepada para siswanya. Kemudian sebagai motivator (motivate leraning) guru mengarahkan dan mendorong pengajaran kepada kegiatan belajar yang efektif dan efisien. Setiap kegiatan yang diprogramkan mempunyai makna untuk menumbuhkan kegairahan belajar para siswa. Untuk menumbuhkan kegairahan tersebut, guru dituntut memiliki kemampuan memberi penghargaan kepada para siswa yang telah berpartisipasi aktif dan memperlihatkan prestasi dalam kegiatan belajar tersebut. Selanjutnya sebagai Konselor (Counselor), guru harus dapat berperan sebagai pihak yang membantu jalan keluar/ mengatasi kesulitan-kesulitan yang dialami dan dihadapi oleh para siswa, kesulitan yang berkenaan dengan materi perkuliahan, cara belajar, fasilitas belajar, dan lain-lain. Asep Saepudin: Pengajaran Berpikir

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

123


Selain menduduki posisi seperti disebut di atas, guru juga dituntut untuk menguasai sejumlah kompentensi. Kompentensi-kompentensi tersebut antara lain: (1) Kompetensi berupa kemampuan menguasai landasan-landasan pendidik-an, (2) Kompetensi dalam bentuk kemampuan menguasai bahan pelajaran, (3) Komptensi dalam bentuk kemampuan mengelola program belajar-mengajar, (4) Komptensi dalam bentuk mengelola kelas, (5) Kompentensi berupa kemampuan mengelola interaksi belajar mengajar, (6) Kompentensi berwujud kemampuan menggunakan media/sumber belajar, (7) Kompetensi berupa kemampuan menilai hasil belajar atau prestasi belajar, (8) Kompetensi berupa kemampuan mengenal fungsi dan program bimbingan belajar, (9) Kompetensi berupa kemampuan memahami prinsip-prinsip dan hasil penelitian untuk keperluan Pengajaran, (10) Kompetensi berwujud kemampuan mengenal dan menyelenggarakan administrasi pendidikan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa guru merupakan salah satu unsur yang mempunyai kedudukan sangat penting dalam mengantarkan keberhasilan pengajaran. Bagaimanapun baiknya sarana pengajaran, apabila guru tidak melaksanakan tugas sesuai dengan fungsi dan posisinya, maka hasil pengajaran tidak akan memuaskan.

b. Program Pengajaran Program pengajaran berpikir dirancang untuk mengantarkan para peserta belajarnya (siswa) agar memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi, melalui proses pemecahan masalah yang dimulai dari proses mengidentifikasi, mengklasifikasi, mencari alternatif, mengevaluasi, sampai dengan menyimpulkan. Desain program pengajaran merupakan unsur utama sebagai pedoman bagi para guru dalam melaksanakan pengajarannya. Isi dari desain program pengajaran ini adalah topik bahasan, tujuan pengajaran, garis besar pengajaran, pendekatan pengajaran, media pengajaran, evaluasi, dan buku sumber.

124

Asep Saepudin: Pengajaran Berpikir

Website: http://www.pustekkom.go.id


Ware dan Nickerson (1985, h. 329) menyatakan bahwa tujuan, prosedur, dan evaluasi pengajaran merupakan tiga komponen penting dalam program pengajaran berpikir “ we believe that three important ingredients of any program to teach thinking that is to have reasonable chance of success are: intructional objectives, intructional procedures, evaluation procedures “. Ungkapkan tersebut mengarahkan pada hal-hal yang perlu perhatian guru dalam pembelajaran yakni: tujuan pembelajaran, prosedur mencapaian tujuan, dan prosedur evaluasi pembelajaran. Ketiga komponen tersebut satu dan lainnya saling berkaitan secara terpadu. Dalam proses pengajaran, tujuan (intructional objectives) memberikan arah dan batas standar yang ingin dicapai oleh suatu program pengajaran. Oleh karena itu dalam merumuskan tujuan perlu diperhatikan kriteria yang mendasarnya. Nickerson (1985:330) mengemukan tiga kriteria yang perlu diperhatikan dalam merumuskan tujuan antara lain : (1) Validity. Instructional objectives should be such that achieving them facilitates realization of long-term goal of improving thinking ability generally, (2) Feasibility. Intructional objectives should be realistic in the sence that there is reasonable expectation of achieving them. This implies the need for graded objectives that are applicable at different stages of cognitive development of different levels of intelectual proficiency, (3) Assessability. Intructional objectives should be difined in such a way that one may determine whether or not they have been at any particular time. Selanjutnya, prosedur pengajaran (intructional procedures) adalah skenario pengajaran yang dibuat oleh guru dengan tujuan mengarahkan proses belajar-mengajar pada suatu aktivitas yang memiliki strategi dan dasar-dasar pertimbangan tertentu. Dalam pengembangan prosedur pengajaran ada beberapa pertanyaan dasar yang menjadi pedoman antara lain ; “ Apa yang akan diajarkan ? “ , “ Siapa yang akan belajar? “, “Bagaimana cara mengajarkannya ?” , “ Dengan apa mengajarkannya? “ , dan “Bagaimana cara menilai keberhasilannya ?” . Pertanyaan-pertanyaan pokok tersebut menggambarkan proses dan prosedur pengajaran. Proses dan Asep Saepudin: Pengajaran Berpikir

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

125


prosedur tersebut menunjukkan langkah-langkah dan kegiatan pengajaran seperti kegiatan guru, siswa, pengelolaan kelas, penggunaan media, metode, evaluasi, dan kegiatan-kegiatan lain yang mempunyai kontribusi pada kelancaran dan keberhasilan aktivitas belajar mengajar. Kemudian aspek evaluasi (evaluation procedures) sebagai kegiatan yang dilaksanakan pada akhir kegitan belajar mengajar, tujuannya adalah untuk mengetahui sampai sejauhmana materi pengajaran yang dibahas dalam kegiatan belajar mengajar tersebut telah dikuasai para siswa. Untuk mendapatkan hasil evaluasi yang valid, kegiatan evaluasi dilakukan melalui prosedur evaluasi tertentu. Prosedur tersebut mencakup pengembangan alat, penggunaan dan pengolahan hasil evaluasi. Evaluasi dalam pengajran berpikir menekankan evaluasiproses maupun evaluasi hasil pengajaran. Evaluasi proses dilandasi pemikiran bahwa proses pengajaran merupakan kegiatan yang sangat penting, sebab menentukan hasil pengajaran. Dari evaluasi tersebut dapat diketahui, sampai sejauhmana kemampuan siswa berkembang sejalan dengan kegiatan pengajran dalam model pengajaran ini. Evaluasi proses dilaksanakan dengan cara mengamati seluruh kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh siswa dan guru di kelas selama pengajaran itu berlangsung. Evaluasi hasil pengajran ditujukan untuk mengetahui penguasaan kemampuan dan pengetahuan pada akhir periode. Evaluasi hasil pengajaran dilasanakan pada akhir periode belajar tertentu ( akhir bulan, cawu, tahun, dan seterusnya) dengan menggunakan tes atau pertanyaan tertulis.

c. Siswa Dalam proses pembelajaran, siswa merupakan unsur pengajaran yang sangat penting. Keterlibatannya dalam proses belajar mengajar sangat menentukan keberhasilan proses pengajaran. Motivasi, kesungguhan dan aktivitasnya melaksanakan kegiatan pengajaran 126

Asep Saepudin: Pengajaran Berpikir

Website: http://www.pustekkom.go.id


yang diskenariokan guru memegang peranan penting, tanpa keterlibatan mereka secara aktif maka proses pengajaran tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Dalam pelaksanaan pengajaran berpikir, siswa berperan sebagai pencari, pengolah, pemadu, pemecah dan penyimpul pengetahuan dan masalah. Siswa aktif dalam setiap kegiatan pengajaran yang dirancang.

d. Iklim akademis Sebagai bagian dari proses pembelajaran, Iklim akademis adalah aspek penting pengajaran, fluktuasinya akan sangat mempengaruhi kegairahan dan aktivitas siswa dalam belajar. Iklim akademis meliputi pelaksanaan seluruh kegiatan akademis terutama perkuliahan pada suatu institusi, seperti disiplin kehadiran guru dalam perkuliahan, pendekatan-pendekatan perkuliahan yang dilaksanakan guru, keteraturan dan ketepatan pelaksanaan ujian, diskusi, seminar, penelitian dan pengabdian masyarakat. Tingkat kestabilan iklim akademis sangat dipengaruhi oleh kepemimpinan yang dilakukan para pengelolanya. Perguruan Tinggi yang terkelola dengan efisien dan efektif dan didukung oleh sistem pengadministrasian yang baik dan lancar akan mendukung terhadap terciptanya iklim akademis yang kondusif. Dengan iklim akademis yang kondusif, proses dan produk pengajaran akan tercapai sesuai dengan tujuan.

RANCANGAN PENGAJARAN Sekurang-kurangnya terdapat 6 (enam) komponen rancangan atau desain proses pengajaran berpikir yaitu: (1) topik bahasan, (2) tujuan pengajaran, (3) garis besar bahan ajaran, (4) strategi pengajaran (5) media pengajaran, dan (6) evaluasi. Topik Bahasan, atau pokok bahasan merupakan judul yang menggambarkan inti materi perkuliahan yang akan diberikan pada perkuliahan tersebut. Topik bahasan diambil dari Garis-Garis Besar

Asep Saepudin: Pengajaran Berpikir

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

127


Program Perkuliahan (BBPP) dan atau topik-topik pada buku teks. Pada topik bahasan ini juga dapat dicantumkan besarnya beban belajar atau bobot kredit semester. Tujuan Pengajaran, merupakan komponen yang sangat penting, berisi tentang rumusan pengetahuan dan kemampuan yang harus dikuasai siswa setelah mengikuti kegiatan belajar-mengajar. Tujuan pengajaran dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu tujuan pengajaran umum dan tujuan pengajaran khusus. Tujuan pengajaran umum adalah tujuan yang masih bersifat umum mencakup materi yang cukup luas sedangkan tujuan pengajaran khusus adalah tujuan yang sudah spesifik mencakup materi yang lebih sempit. Tujuan khusus berfungsi sebagai sasaran antara untuk mencapai tujuan umum. Tujuan-tujuan tersebut berfungsi mengarahkan aktivitas atau perilaku belajar (Hardley dan Davies, 1976), atau membangkitkan keinginan siswa tentang hal yang harus dikuasai setelah belajar (Degeng, 1989). Dick dan Carey (1985, 1989) mengajukan tiga kriteria penyusunan sasaran/ tujuan pengajaran khusus, yakni (a) menguraikan apa yang dapat dilakukan siswa, (b) memberi kondisi yang menjadi syarat pengajaran, dan (c) menetapkan kriteria yang akan dicapai. Untuk memenuhi kriteria tersebut secara bersama-sama dalam satu sasaran belajar, sebagaimana diungkap Suparman (1991) sangatlah sulit. Oleh karena itu, dari ketiga kriteria tersebut lebih sering hanya digunakan dua kriteria saja, hal ini tergantung dari hasil analisis pengajaran. Bahan Pengajaran, merupakan komponen yang juga cukup penting, sebab untuk pencapaian tujuan pengajaran diperlukan bahan pengajaran. Pemilihan bahan pengajaran yang tepat akan menentukan tingkat pencapaian tujuan. Ibramhim dan Nana Syaodih (1996) berpendapat bahwa untuk menentukan bahan pengajaran yang tepat, perlu dijawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut : “ Apa yang dimaksud dengan bahan pengajaran dan syarat-syarat apakah yang perlu dimilikinya?�, “ Hal-hal apakah yang perlu diperhatikan dalam memilih dan menetapkan bahan pengajaran?�.

128

Asep Saepudin: Pengajaran Berpikir

Website: http://www.pustekkom.go.id


Lebih lanjut diuraikan bahwa untuk memilih dan menetapkan bahan pengajaran perlu diperhatikan: (1) Bahan pengajaran hendaknya sesuai dengan/menunjang tercapainya tujuan pengajaran, (2) Bahan pengajaran hendaknya sesuai dengan tingkat pendidikan/ perkembangan siswa pada umumnya, (3) Bahan pengajaran hendaknya terorganisasi secara sistematik dan berkesinambungan, (4) Bahan pengajaran hendaknya mencakup hal-hal yang bersifat faktual maupun konseptual. Strategi Pengajaran, dapat berarti siasat yang ditempuh dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu. Strategi dalam pengajaran berkaitan dengan seperangkat teknik yang mendukung sesuatu pola yang digunakan untuk mencapai tujuan pengajaran. Seperangkat teknik yang dimaksud adalah kegiatan-kegiatan atau langkah-langkah yang dilakukan dalam pelaksanaan kegiatan pengajaran. Kusmana (1985) mendefinisikan strategi pengajaran itu sebagai suatu kerangka upaya yang terdiri dari perpaduan berbagai metode dengan segala teknik yang mendukungnya, untuk mencapai sesuatu tujuan yang telah ditentukan. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan strategi pengajaran antara lain: fokus orientasi strategi, tujuan pengajaran, kompentensi pengajar, sifat bahan yang disajikan, sarana dan fasilitas. Fokus orientasi strategi akan mempengaruhi strategi yang akan digunakan. Strategi yang mengutamakan aspek mengajar akan berbeda dengan strategi yang mengutamakan aspek belajar. Pengajaran berpikir yang mengutamakan aspek belajar strategi pengajarannya menekankan kepada strategi pengajaran yang lebih berorientasi pada siswa (student centered). Tujuan pengajaran akan mempengaruhi strategi pengajaran yang akan digunakan, tujuan yang berorientasi pada pengembangan kemampuan kognitif akan berbeda dengan tujuan yang berorientasi pada pengembangan kemampuan afektif ataupun psikomotor. Pengajaran berpikir yang mengutamakan pencapaian kemampuan berpikir atau kemampuan kognitif tingkat tinggi akan mengarahkan strategi pengajarannya kepada pengajaran yang berorientasi pada kemampuan tersebut seperti problem solving atau pemecahan masalah. Asep Saepudin: Pengajaran Berpikir

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

129


Kompetensi pengajar akan mempengaruhi pemilihan dan penggunaan strategi pengajaran, pengajar/guru yang memiliki kompentensi tinggi dalam pengajaran akan mampu menggunakan strategi mengajar yang sesuai dengan karakteristik mata kuliah. Pengajaran berpikir yang menekankan pada penguasaan kemampuan berpikir tingkat tinggi menuntut pengajar yang memiliki kompentensi tinggi, sebab dalam pengajaran berpikir kreativitas guru sangat dituntut. Sifat bahan yang diajarkan akan mempengaruhi strategi yang akan digunakan. Bahan pengajaran yang berupa fakta-fakta dan informasi berbeda strategi pengajarannya dengan bahan yang berupa konsep-konsep ataupun permasalahan-permasalahan. berisi bahan perkuliahan yang bermacammacam yaitu informasi, konsep, dan permasalahan. Oleh karena itu sangat cocok dianjurkan dengan menggunakan model atau strategi pengajaran berpikir yang berperan dan menuntut pengembangan kamampuan berpikir tahap tinggi. Sarana dan fasilitas pengajaran yang tersedia akan mempengaruhi pelaksanaan strategi pengajaran. Sarana dan fasilitas pengajaran yang lengkap akan memudahkan guru dan siswa melaksanakan strategi pengajaran yang digunakan. Media Pengajaran, merupakan segala bentuk alat dan sumber yang digunakan untuk membantu memperlancar proses belajar mengajar. Alat bantu belajar digunakan untuk menyalurkan pesan atau isi pelajaran, merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemampuan siswa (Nana Syaodih, 1996). Alat bantu belajar yang digunakan dalam pengajaran berupa media elektronik (komputer), media cetak dan gambar seperti bagan dan grafik, lembaran kerja siswa, dan lain-lain. Sumber belajar adalah berbagai orang dan ahli serta alat yang menjadi perantara untuk memperoleh bahan atau materi pelajaran. dan buku sumber ( wajib dan referensi). Sumber belajar meliputi buku-buku dan majalah, manusia sumber (guru dan para ahli), perpustakaan, laboratorium, radio, televisi, internet, dan lain-lain. Evaluasi Pengajaran, merupakan usaha atau kegiatan untuk mengetahui sampai sejauhmana pengajaran dapat diikuti oleh para siswa. 130

Asep Saepudin: Pengajaran Berpikir

Website: http://www.pustekkom.go.id


Evaluasi pengajaran meliputi evaluasi proses dan evaluasi hasil belajar. Evaluasi proses ditujukan untuk mendapatkan data kualitatif yang dapat dipakai untuk mengetahui “sampai sejauhmana siswa dapat mengikuti pengajaran ini�, dan evaluasi hasil ditujukan untuk memperoleh data kuantitatif untuk mengetahui “sampai sejauhmana bahan pengajaran dapat diserap para siswa “. Kedua data tersebut dipakai sebagai bahan untuk menetapkan nilai para siswa pada pembelajaran tersebut, dan bahan untuk perbaikan proses pengajaran selanjutnya. Kegiatan evaluasi untuk mendapatkan data kuantitatif meliputi tes awal (pre test), tes akhir topik bahasan , dan tes akhir pengajaran (post test). Pre test dilaksanakan untuk mengetahui kemampuan awal siswa sebagai peserta pengajaran. Tes akhir topik bahasan dilaksanakan untuk mengetahui penguasaan siswa setelah mengikuti suatu topik bahasan. Perubahan-perubahan hasil dari tes awal dan tes akhir topik, baik yang bersifat positif ataupun negatif digunakan sebagai bahan untuk perbaikan pola interaksi belajar-mengajar dalam topik bahasan selanjutnya. Post test dilaksanakan untuk mengeahui tingkat penguasaan siswa setelah mengikuti keseluruhan program pengajaran.. Data hasil pre test dan post test tersebut dengan cara membanndingkannya kemudian dipakai untuk melihat hasil atau perolehan pengajaran. Dalam penelitian ini, data yang diperoleh dari pre test, tes akhir topik bahasan, dan post test disamping dipakai untuk menilai kemajuan siswa juga digunakan dalam proses pengembangan model. Menurut Kemp (1985:267) pre test berfungsi sebagai bahan untuk menentukan kesiapan siswa dalam mengikuti program pengajaran, dan mengingatkan mereka tentang apa yang telah mereka kuasai dan belum mereka kuasai dari program atau pokok bahasan yang akan diikuti. Hasil pre test juga memungkinkan diadakannya perbaikan program pengajaran pada saat program itu dilaksanakan. Tes akhir topik bahasan berfungsi untuk mengetahui sejauhmana tingkat keefektifan program pada tiap-tiap topik bahasan yang daiajarkan. Informasi yang diperoleh dari tes akhir topik bahasan dibandingkan dengan hasil dari pre test. Selisih perolehan (gain) antara pre test dan tes akhir topik bahasan menunjukkan tingkat keefektifan program. Tes akhir topik Asep Saepudin: Pengajaran Berpikir

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

131


bahasan ini juga memberikan informasi tentang perlu tidaknya remediasi (perbaikan) aspek-aspek ataupun pola pengajaran untuk meningkatkan keefektifannya. Tes akhir topik bahasan ini oleh Dick dan Carey (1990:126) disebut sebagai “embedded test�, atau Munandir ( 1987:149 ) menyebutnya sebagai “tes sambil jalan� . Fungsi tes ini lebih memberikan manfaat bagi pengembang dalam kerangka evaluasi formatif, suatu evaluasi yang diarahkan bagi perbaikan program. Adapun post test digunakan untuk mengukur penguasaan semua kemampuan yang telah dikuasai siswa pada akhir periode pengajaran, sebagaimana dikemukakan oleh Dick dan Carey (1990:126), post test ini harus mengukur semua tujuan pengajaran yang telah disediakan bagi siswa. Evaluasi terhadap pelaksanaan program pengajaran secara menyeluruh perlu dilakukan. Evaluasi ini disebut evaluasi menyeluruh (the overall evaluation). Evaluasi ini lebih bersifat justifikasi umum terhadap kualitas program pengajaran berdasar hasil-hasil pre test, tes akhir topik bahasan, post test, dan berbagai masalah teknis dalam pelaksanaan program tersebut. Dengan perkataan lain, evaluasi ini dapat berfungsi sebagai evaluasi sumatif atas program pengajaran yang dikembangkan. Dalam konteks pengembangan program Pengajaran, Dick dan Carey (1985, 1990) mendefinisikan evaluasi sumatif ini sebagai cara untuk menetukan keualitas akhir dari model yang dikembangkan.

132

Asep Saepudin: Pengajaran Berpikir

Website: http://www.pustekkom.go.id


DAFTAR BACAAN Bruner, J.S. 1960. “The Process of Education Cambridge”, Masschusetts: Harvard Univercity Press. Cohen, J. 1971. “Thinking”. Chicago: Rand McNally. De Bono E. 1988. “Berpikir lateral”. Jakarta: Binarupa Aksara. Dewey, J. 1933. “How We Think”. Chicago: Henry Regenery Company. Dick, W., Carey, L. 1985. “The Systematic Design of Instruction”. Glenview: Scott, Foresman & Co. Kemp, J.E. 1985. “The Instructional design Process”. New York:Harper & Row Publishing. La Costa, A. 1985. “Developing Minds: A Resource Book for Teaching Thinking”. Virginia:ASCD. McTighe and Scholenberger, 1985. “Why teach Thinking: A Statement Rationale”. Virginia: ASCD. Polya, G. 1971. “How To Solve It”. New York: Princeton University Press. Purwadhi. 2000. Pengembangan Model Pengajaran Berpikir. Disertasi. Bandung: Universitas Pendiidkan Indonesia. Presseinsen, B. Z 1985. “Thinking Skills: Meaning, Models, Materials”. Virginia: ASCD. uuuuuuuuuuuuuuuuu

Asep Saepudin: Pengajaran Berpikir

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

133


HUBUNG AN ANT AR A KETERBA C A AN MODUL HUBUNGAN ANTAR ARA KETERBAC DAN MOTIV ASI BERPREST ASI DENG AN HASIL MOTIVASI BERPRESTASI DENGAN BEL AJAR PEL AJAR AN SEJAR AH BELAJAR PELAJAR AJARAN SEJARAH (Studi Korelasi pada SMA TTerbuka) erbuka) Oleh: Nurdin Ibrahim *)

Abstrak Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui hubungan antara keterbacaan modul dan motivasi berprestasi siswa dengan hasil belajar mata pelajaran Sejarah pada Sekolah Menengah Atas (SMA) Terbuka. Penelitian ini di laksanakan pada bulan Nopember tahun 2002 di SMA Terbuka, dengan menggunakan metode survei. Sebagai sampel penelitian ini adalah tiga lokasi SMA Terbuka dari populasi tujuh lokasi perintisan. Lokasi sampel ditetapkan secara porpusif dengan alasan keterwakilan dan keterjangkauan. Lokasi pengumpulan data penelitian dilaksanakan di SMA Terbuka Kepanjen Malang Jawa Timur, SMA Terbuka Samarinda Kalimantan Timur, dan SMA Terbuka Bungoro Pangkajene Kepulauan Sulawesi Selatan. Masing-masing lokasi dipilih 25 orang siswa sebagai responden. Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa (1) Terdapat hubungan yang signifikan antara motivasi berprestasi dengan hasil belajar Sejarah (Fhitung = 6,742 > Ftabel = 4,130 pada taraf signifikansi 0,05 dan derajat kebebasan (dk = 1:33).; (2) Terdapat hubungan yang signifikan antara keterbacaan modul dengan hasil belajar Sejarah (Fhitung = 5,93 > Ftabel = 4,130 pada taraf signifikansi 0,05 dan derajat kebebasan (dk = 1:33). ; dan (3) Secara bersama-sama terdapat hubungan yang signifikan antara motivasi berprestasi dan keterbacaan modul dengan hasil belajar Sejarah ( Fhitung = 5,317 > Ftabel = 3,30 pada taraf signifikansi 0,05 dan derajat kebebasan (dk = 2:32). Kata kunci: hasil belajar, Sejarah, motivasi, keterbacaan modul, motivasi berprestasi *)

134

Dr. Nurdin Ibrahim, M.Pd., adalah dosen Jurusan Teknologi Pendidikan UNJ Website: http://www.pustekkom.go.id


PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan kebutuhan sekaligus hak bagi setiap individu, tanpa membedakan golongan, usia, status sosial maupun tempat tinggal. Hal ini sejalan dengan konsep pendidikan sepanjang hayat (life long education) dan pendidikan untuk semua (education for all) yang dideklarasikan oleh UNESCO. Untuk mewujudkan gagasan tersebut, maka kita dituntut untuk terus melakukan upaya inovasi agar dapat memberikan layanan pendidikan yang dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Sejalan dengan itu Depdiknas (Renstra, 2000-2004) telah menetapkan program layanan alternatif pendidikan bagi masyarakat yang karena berbagai masalah tidak dapat melanjutkan pendidikan. Programa-program lain yang telah ditetapkan di antaranya perluasan kesenpatan memperoleh pendidikan, peningkatan mutu, dan efektifitas dan efisiensi pendidikan. Berdasarkan data yang ada, lulusan SLTP dan MTs. pada tahun 2000 berjumlah 2.830.727 orang. Dari sejumlah lulusan tersebut hanya 1.874.577 orang yang dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah atas, sehingga terdapat 956.150 orang (33,78%) lulusan SLTP dan MTs yang tidak dapat melanjutkan karena berbagai alasan. Jumlah anak yang belum memperoleh pendidikan pada jenjang pendidikan menengah tersebut belum termasuk akumulasi lulusan tahun-tahun sebelumnya dan dimungkinkan akan terus bertambah pada tahun-tahun berikutnya. Data pada tahun 2000 (Balitbang Depdiknas, 2001) juga menunjukkan bahwa anak usia SLTA (16 s.d 18 tahun) berjumlah 13.466.700 orang. Dari jumlah tersebut hanya 5.358.802 yang terdaftar sebagai siswa pendidikan menengah. Jumlah tersebut menunjukan masih rendahnya Angka Partisipasi Kasar (APK) pada jenjang pendidikan menengah, yaitu 0,40. Jika kita ingin meningkatkan daya tampung bagi lulusan SLTP dan MTs, maka perlu ada penambahan ruang kelas baru sebanyak 925 lokal dari 71.918 lokal ruang kelas yang telah ada. Di samping itu diperlukan juga pengangkatan sejumlah tenaga guru Nurdin Ibrahim: Hubungan Keterbacaan Modul dan Motivasi Berprestasi dengan Hasil Belajar

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

135


baru. Akan tetapi peningkatan daya tampung tersebut belum dapat menjamin seluruh kelompok masyarakat memperoleh layanan pendidikan. Hal ini disebabkan karena ada sekolompok masyarakat yang memiliki berbagai kendala sehingga tidak bisa mengikuti pendidikan di sekolah reguler. Krisis multidemensi yang terjadi di Indonesia, disinyalir telah membawa dampak bertambahnya jumlah kelompok masyarakat yang kurang beruntung. Kondisi ini menyebabkan semakin banyak orang yang tak mampu meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini merupakan masalah tersendiri ketika kita berupaya memberikan layanan pendidikan kepada seluruh lapisan masyarakat. Untuk itu diperlukan upaya alternatif yang lebih inovatif, selain caracara konvensional (penambahan ruang kelas baru dan pengangkatan guru baru). Upaya inovasi itu diperlukan terutama untuk memberikan layanan pendidikan bagi kelompok masyarakat yang memiliki kendala tertentu seperti kendala geografis, ekonomis, sosial, maupun keterbatasan waktu. Untuk mengatasi masalah tersebut yang sekaligus menciptakan layanan alternatif pendidikan pada tingkat SMA, maka Pustekkom bersama-sama Direktorat Pendidikan Menengah Umum (Dit. Dikmenum) Departemen Pendidikan Nasional, pada tahun ajaran 2001/2002 merintis pelaksanaan SMA Terbuka di tujuh lokasi, yaitu: 1) SMA Terbuka Rupat, Bengkalis Riau; 2) SMA Terbuka Leuwiliang Bogor, Jawa Barat; 3) SMA Terbuka Moga, Pemalang Jawa Tengah; 4) SMA Terbuka Surabaya, Jawa Timur; 5) SMA Terbuka Kepanjeng, Malang Jawa Timur; 6) SMA Terbuka Samarinda, Kalimantan Timur; dan 7) SMA Terbuka Bungoro, Pangkajene Kepulauan Sulawesi Selatan. Perintisan dan penetapan lokasi SMA Terbuka ini telah dilakukan berbagai kajian dan analisis yang runtut dan terarah yang dimulai dengan kegiatan analisis kebutuhan yang dilakukan oleh Pustekkom Depdiknas pada tahun 1998/1999 dan dilanjutkan dengan kegiatan studi kelayakan lokasi yang dilakukan pada tahun 1999/ 2000.

136

Nurdin Ibrahim: Hubungan Keterbacaan Modul dan Motivasi Berprestasi dengan Hasil Belajar

Website: http://www.pustekkom.go.id


SMA Terbuka merupakan salah satu model layanan pendidikan alternatif jalur sekolah (pendidikan formal) tingkat menengah yang diselenggarakan oleh SMA reguler. SMA Terbuka bukanlah lembaga atau UPT baru yang berdiri sendiri, melainkan menginduk pada SMA reguler yang telah ada. SMA reguler yang menjadi induk SMA Terbuka tersebut menyelenggarakan pendidikan dengan model dual system (tugas ganda), sekaligus melayani dua kelompok siswa yang berbeda, dengan cara belajar yang berbeda. SMA penyelenggara SMA Terbuka pada dasarnya perluasan atau penambahan peran, berupa layanan pendidikan dengan sistem terbuka jarak jauh yang diperuntukkan bagi siswa yang memiliki kendala tertentu. Siswa SMA Terbuka memperoleh layanan pendidikan melalui sistem pembelajaran mandiri dengan bahan belajar uatama berupa modul cetak. Sebagai bahan belajar mandiri, modul bersifat self contained atau self explanatory (Russel, 1974). Oleh karena itu, tingkat keterbacaan modul oleh siswa harus tinggi sehingga siswa mampu memahami isi modul dengan mudah. Tingkat keterbacaan modul oleh siswa akan terpengaruh terhadap tingkat keberhasilan belajar siswa. Selain itu tingkat keberhasilan belajar siswa juga dapat dipengaruhi oleh tingkat motivasi berprestasi (keberhasin) masing-masing siswa. Atas dasar itulah penulis melakukan penelitian sejauh mana tingkat hubungan antara keterbacaan modul dan motivasi berprestasi, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama terhadap hasil belajar mata pelajaran Sejarah.

2. Permasalahan dan Tujuan Penelitian Permasalahan yang diteliti dirumuskan sebagai berikut: (1) Apakah terdapat hubungan yang signifikan antara motivasi berprestasi dengan hasil belajar Sejarah siswa SMA Terbuka? (2) Apakah terdapat hubungan yang signifikan antara keterbacaan modul dengan hasil belajar Sejarah siswa SMA Terbuka? (3) Apakah terdapat hubungan yang signifikan antara motivasi berprestasi dan keterbacaan modul secara bersama-sama dengan hasil belajar Sejarah siswa SMA Terbuka? Nurdin Ibrahim: Hubungan Keterbacaan Modul dan Motivasi Berprestasi dengan Hasil Belajar

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

137


Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara motivasi berprestasi dan keterbacaan modul terhadap hasil belajar Sejarah siswa SMA Terbuka.

KAJIAN LITERATUR 1. Hasil Belajar Sejarah a. Mata pelajaran Sejarah Menurut Moh. Ali, (1963: 318) definisi sejarah mengandung tiga hal yang penting yaitu, pertama kejadian-kejadian dan peristiwaperistiwa yang berhubungan dengan negara, manusia, benda dan sebagainya, kedua, peristiwa dan kejadiaan itu diuraikan secara sistematis, dan ketiga, merupakan ilmu yang menyelidiki perkembangan negara-negara dan mencatat peristiwa-peristiwa yang telah lampau. Sementara itu, Kartodirdjo (1982: 6) menyebutkan sejarah bukanlah sekedar pengetahuan hafalan, tetapi juga merupakan ilmu yang disusun secara sistematis berdasarkan metodologi sejarah, yaitu patokan dalam meneliti dan menceritakan kisah sejarah yang akan memberikan batasan dan sasaran yang jelas dalam melukiskan masa lampau. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan, maka sejarah adalah salah satu modal utama dalam membangun bangsa kita masa kini maupun masa yang akan datang, karena sejarah merupakan ilmu yang mempelajari peristiwa-peristiwa masa lampau yang berguna bagi kehidupan manusia pada masa sekarang dan sebagai pedoman untuk kehidupan di masa yang akan datang. Oleh karena itu sejarah menjadi mata pelajaran yang selalu diajarkan kepada siswa jalur sekolah atau melalui pendidikan formal sejak sekolah dasar sampai ke pendidikan menengah atas. Pelajaran sejarah selalu ada dalam kurikulum persekolahan baik sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri maupun 138

Nurdin Ibrahim: Hubungan Keterbacaan Modul dan Motivasi Berprestasi dengan Hasil Belajar

Website: http://www.pustekkom.go.id


bergabung dalam kelompok bidang studi atau program ilmu sosial. Dalam kurikulum 2004 untuk jenjang SMA (Depdiknas, 2004) pelajaran sejaran di berikan sebanyak tiga jam pelajaran pada kelas X semester satu, masing-masing tiga jam pelajaran tiap semester pada kelas program IPS dan Bahasa untuk kelas XI dan XII, dan dua jam pelajaran pada semester satu pada kelas XI dan XII untuk program IPA. Menurut I. Gde Wijaya bersama teman-teman (1988: 100) pembelajaran sejarah pada hakikatnya adalah usaha penanaman nilai-nilai yang diperoleh dari peristiwa-peristiwa masa lampau yang mempunyai arti istimewa kepada siswa, sebagai generasi masa kini, agar mereka mampu mengambil peran dalam peradaban masa kini maupun untuk membentuk peradaban masa yang akan datang. Usaha penanaman inipun memiliki arti dalam kerangka pembentukan dan pengembangan karakter bangsa, di mana nilai-nilai sejarah tersebut dapat terwujud dalam pola-pola tingkah laku yang nyata. Selanjutnya dikatakan (Wijaya: 103) pembelajaran sejarah dapat dikatakan sebagai pembentukan kondisi kejiwaan siswa yang menunjukkan tingkat penghayatan pada makna dan hakikat sejarah bangsanya, sehingga siswa mampu memiliki kesadaran sejarah bangsanya, yakni suatu orientasi intelektual dan sikap jiwa yang berkepribadian nasional. Sehubungan konsep-konsep sejarah dan pembelajaran sejarah di atas, maka pembelajaran sejarah di kelas hendaknya dilakukan untuk mencapai tujuanyujuan yang terkandung dalam pengertian tersebut. Dalam kurikulum 2004 bahwa konsepsi sejarah dan pembelajaran sejarah secara implisit telah tergambar dalam kopetensikopeetnsi pembelajaran sejarah. Agar kompetensi dasar dan kopetensi-kopetensi itu tercapai dalam pembelajaran, maka indicator-indikator atau tujuan-tujuan itu hendaknya dikondisikan Nurdin Ibrahim: Hubungan Keterbacaan Modul dan Motivasi Berprestasi dengan Hasil Belajar

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

139


sebagai proses yang merangsang, bahkan menantang, mengesankan, serta menggairahkan siswa (Semiawan, 1988). Jika pembelajaran sejarah diselenggarakan dengan memperhatikan konsep ini, maka ia tidak lagi merupakan sebuah studi yang membosankan. Ini berarti pembelajaran sejarah akan lebih banyak diminati oleh siswa. Pendapat di atas selaras dengan Kartodirdjo (1982: 83) yang mengatakan apabila sejarah ingin tetap berfungsi dalam dunia pendidikan, maka pembelajaran sejarah harus mampu menyesuaikan diri terhadap situasi sosial dewasa ini. Jika studi sejarah terbatas pada pengetahuan fakta-fakta, maka ia akan menjadi steril dan mematikan segala minat tentang sejarah. Untuk itu studi sejarah hendaknya mampu memberi pengertian yang dalam. Pernyataan di atas memperjelas tentang sasaran utama dari proses pendidikan, yakni bahwa perbuatan belajar sekarang akan bermanfaat pada waktu yang akan datang. Bertolak dari itu pula, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran sejarah adalah ibarat mengajak siswa menengok ke belakang untuk tujuan di masa depan, dan bukan sebaliknya. b. Hasil belajar Sejarah Gagne (1977: 3) menyebutkan bahwa belajar sebagai suatu perubahan dalam disposisi atau kapabilitas manusia. Perubahan dalam menunjukkan kinerja (perilaku) itu sendiri. Peningkatan (hasil) belajar dapat dilakukan dengan membandingkan penampilan kapabilitas (kinerja) sebelum masuk ke dalam kondisi belajar dengan penampilan sesudah melakukan belajar. Dengan kata lain, belajar itu menentukan semua keterampilan, pengetahuan, sikap, dan nilai yang diperoleh individu (siswa). Berarti belajar itu menghasilkan berbagai macam tingkah laku yang berlain-lainan, seperti pengetahuan, sikap, keterampilan, informasi, dan nilai. Berbagai macam tingkah laku yang berlainlainan inilah yang disebut kababilitas sebagai hasil belajar.

140

Nurdin Ibrahim: Hubungan Keterbacaan Modul dan Motivasi Berprestasi dengan Hasil Belajar

Website: http://www.pustekkom.go.id


Reigeluth (1996: 164) mengatakan bahwa hasil pembelajaran secara umum dapat dikategorisasi menjadi tiga indikator, yaitu (1) keefektivitas pembelajaran, yang biasanya diukur dari tingkat keberhasilan (prestasi) siswa dari berbagai sudut; (2) efisiensi pembelajaran, yang biasanya diukur dari waktu belajar dan/atau biaya pembelajaran, dan (3) daya tarik pembelajaran yang selalu diukur dari tendensi siswa ingin belajar secara kontinu. Secara spesifik, hasil belajar adalah suatu kinerja (performance) yang diindikasikan sebagai suatu kapabiltas (kemampuan) yang telah diperoleh. Hasil belajar tersebut selalu dinyatakan dalam bentuk tujuan-tujuan (khusus) perilaku (unjuk kerja). Gagne dan Briggs (1979: 49-50) membagi hasil belajar menjadi 5 kategori yaitu (1) keterampilan intelektual (intellectual skills), 2) strategi kognitif (cognitive strategies), 3) informasi verbal (verbal information), 4) keterampilan motorik (motor skills), dan 5) sikap (atitudes), sedangkan Bloom dkk. sebagaimana dikutip oleh Degeng (1989: 176-177) mengklasifikasikan hasil belajar menjadi 3 domain atau ranah, yaitu “ranah kognitif, psikomotor, dan sikap. Ranah kognitif, menaruh perhatian pada pengembangan kapabilitas dan keterampilan intelektual; ranah psikomotor berkaitan dengan kegiatan-kegiatan manipulatif atau keterampilan motorik; dan ranah sikap berkaitan dengan pengembangan perasaan, sikap, nilai, dan emosi yang dipelajari (baru). Bloom (1956: 18) mengklasifikasi ranah kognitif menjadi enam aspek yaitu; pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension), penerapan (application), analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan penilaian (evaluation). Hasil belajar siswa untuk setiap mata pelajaran termasuk Sejarah di tingkat SMA semestinya menggambarkan kemampuan dari tiga ranah di atas. Selama ini hasil belajar siswa baik melalui ulangan harian maupun ujian nasional (UN), umumnya hanya menggambarkan kemampuan ranah kognitif. Begitu pula hasil Nurdin Ibrahim: Hubungan Keterbacaan Modul dan Motivasi Berprestasi dengan Hasil Belajar

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

141


belajar mata pelajaran Sejarah dalam penelitian ini. Cakupan pokok bahasan sebagai hasil belajar yang di ukur dalam penelitian ini meliputi lima pokok bahasa seperti di sebutkan di atas, yang dituangkan atau disajikan dalam lima judul modul. Dari uraian di atas, maka hasil belajar Sejarah SMA Terbuka yang dimaksud dalam penelitian ini adalah skor yang menunjukkan seberapa banyak materi pembelajaran Sejarah ranah kognitif tang ditetapkan dalam kurikulum SMA 1994 kelas satu telah dikuasai oleh siswa SMA Terbuka.

2. Motivasi Berprestasi Motivasi (Motivation) berasal dari bahasa latin “movere� yang berarti to move atau menggerakkan, (Steers and Porter, 1991:5), sedangkan Suriasumantri (tanpa tahun: 92) berpendapat bahwa motivasi meru-pakan dorongan, hasrat, atau kebu-tuhan seseorang. Motif dan motivasi berkaitan erat dengan penghayatan suatu kebutuhan berperilaku tertentu untuk memenuhi kebutuhan dan pencapaian tujuan yang memenuhi kebutuhan itu. Motif mempunyai pengertian yang sama dengan drive. Drive mengha-silkan mobilisasi energi (semangat) dan menguatkan perilaku seseorang. Stimuli drive diasosiasikan dengan drive yang mengarahkan perilaku manusia ke level yang lebih tinggi. Beck (1990: 19), berdasarkan pendekatan regulatoris, “drive sama seperti sebuah kendaraan yang mem-punyai suatu mekanisme untuk mem-bawa dan mengarahkan perilaku seseorang. Kegiatan adaptif individu secara biologis mengandung urutan sebagai berikut : Kebutuhan Internal → Drive Aktivitas Tujuan Pasif�. Davies (1981: 74) mengatakan bahwa, motivasi mempunyai empat pengaruh penting dalam pembelajaran, yang tiga di antaranya adalah (a) motivasi memberi semangat siswa, siswa menjadi aktif, sibuk, dan tertarik, motivasi menopang upaya-upaya dan menjaga (belajar) siswa tetap jalan, (b) motivasi mengarahkan dan mengendalikan 142

Nurdin Ibrahim: Hubungan Keterbacaan Modul dan Motivasi Berprestasi dengan Hasil Belajar

Website: http://www.pustekkom.go.id


tujuan, siswa mengarah untuk melengkapi suatu tugas, mencapai tujuan (khusus) yang diinginkan, (c) motivati adalah selektif; siswa dapat menentukan kegiatan apa yang akan dilakukan dan bagaimana tugas-tugas itu akan dilakukan. Dengan demikian, motivasi berfungsi sebagai penentu prioritas untuk keberhasilan seseorang. Berdasarkan teori atribusi, Crow, Kominsky, dan Padell (1997: 239240) mengatakan bahwa; “penyebab keberhasilan dan kegagalan individu diatribusikan oleh kemampuan, upaya (usaha), kesulitan tugas, dan keberuntungan. Keberhasilan dan kegagalan seseorang dipengaruhi oleh motivasi mereka�. Good dan Brophy (1990: 380382), berpendapat bahwa salah satu dimensi dari teori Atribusi (keberhasilan) adalah locus of causality yang membedakan antara penyebab yang ada dalam diri seseorang (internal), seperti kemampuan (intelegensi) dan upaya, dan penyebab yang ada di luar seseorang (eksternal) seperti tugas yang sulit dan faktor keberuntungan. Kemampuan dan usaha termasuk dalam dimensi intrinsik, sedangkan sulit atau tidaknya tugas dan faktor keberuntungan termasuk dalam dimensi ektrinsik. Kalau demikian, keempat faktor penyebab kesuksesan dan kegagalan seseorang di atas merupakan indikator atau sub indikator dari motivasi berprestasi. Sejalan dengan itu, berdasarkan teori Atribusi Weiner (Gredler, 1986: 452) ada dua lokus penyebab seseorang berhasil atau berprestasi. Lokus penyebab instrinsik mencakup (1) kemampuan, (2) usaha, dan (3) suasana hati (mood), seperti kelelahan dan kesehatan. Lokus penyebab ekstrinsik meliputi (1) sukar tidaknya tugas, (2) nasib baik (keberuntungan), dan (3) pertolongan orang lain. Motivasi berprestasi mengandung dua aspek, yaitu (1) mencirikan ketahanan dan suatu ketakutan akan kegagalan dan (2) meningkatkan usaha keras yang berguna dan mengharapkan akan keberhasilan. (McClleland, 1976: 74-75). Namun, Travers (1982: 435) mengatakan bahwa ada dua kategori penting dalam motivasi berprestasi, yaitu Nurdin Ibrahim: Hubungan Keterbacaan Modul dan Motivasi Berprestasi dengan Hasil Belajar

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

143


mengharapkan akan sukses dan takut akan kegagalan. Selanjutnya, dikatakan seseorang menjadi sukses atau gagal, bila dimotivasi oleh kebutuhan untuk berprestasi. McClelland, Steers, dan Porter, (1991: 39-40) mengidentifikasi karakteristik orang yang berkebutuhan berprestasi tinggi, yaitu mereka berhasrat kuat memikul tanggung jawab untuk melakukan suatu tugas atau menemukan pemecahan suatu masalah, cenderung bekerja sendiri, bila bekerja kelompok mereka cenderung memilih teman kelompok didasarkan kemampuan daripada temanan; cenderung memilih tujuan-tujuan yang tingkat kesulitannya moderat, mempunyai keinginan untuk memperoleh balikan (feed-back) kinerjanya. Mereka ingin mengetahui hasil pekerjaannya tanpa menghiraukan apakah berhasil atau gagal. Uraian di atas menunjukkan bahwa setidak-tidaknya ada dua indikator dalam motivasi berprestasi (tinggi), yaitu kemampuan dan usaha yang merupakan variabel-variabel yang saling menunjang untuk mencapai keberhasilan. Namun, bila dibandingkan dengan atribusi instrinsik dari Wainer, motivasi berprestasi tinggi setidak-tidaknya ada tiga indikator, yaitu kemampuan, usaha, suasana hati (kesehatan).

3. Keterbacaan Modul SMA Terbuka merupakan salah satu bentuk pendidikan jarak jauh atau Distance Learning. Pendidikan jarak jauh adalah suatu bentuk pendidikan di mana antara guru atau instruktur dengan siswa secara geografis terpisah dan mereka menggunakan bahan belajar cetak (What is MDL (http://wwwl.sphere.ne.jp/e-website/e-mdl.htm). Sementara itu Bates (1995: 26-27) berpendapat pada sistem belajar terbuka siswa dapat belajar dengan cara yang fleksibel, sesuai dengan caranya masing-masing dengan menggunakan materi belajar yang telah disediakan dan para siswa dapat belajar sesuai dengan waktu, tempat yang mereka pilih sendiri tanpa harus bertatap muka dengan guru atau dosen.

144

Nurdin Ibrahim: Hubungan Keterbacaan Modul dan Motivasi Berprestasi dengan Hasil Belajar

Website: http://www.pustekkom.go.id


Sejalan dengan itu, Keegan (1990: 24) berpendapat bahwa belajar terbuka adalah belajar dalam kondisi antara siswa dan guru (secara fisik) terdapat jarak bukan dalam arti adminstrasi. Materi belajar yang telah disediakan pada SMA terbuka dikemas dalam bentuk modul cetak yang ditunjang oleh media noncetak seperti vidieo, VCD, dan kaset audio. Modul cetak tersebut merupakan media atau sumber belajar utamanya. Dengan menggunakan modul, siswa melaksanakan belajar mandiri maupun sendiri yang sebagian besar waktu belajarnya digunakan di luar gedung sekolah. Karena itu modul sengaja dirancang agar tingkat keterbacaannya oleh siswa cukup tinggi. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1995) keterbacaan adalah dapat dibacanya suatu teks secara cepat, mudah dimengerti, dipahami, dan mudah diingat. Kerbacaan modul berarti teks dalam modul dapat dibaca oleh pembaca secara cepat, mudah dimengerti, dipahami, dan mudah diingat. Dalam pengembangan faktor keterbacaan modul sangat diperhatikan baik oleh para content specialist, media instructional spesialist, dan penulis. Modul bersifat komunikatif, disusun dengan menggunakan bahasa yang sederhana, kalimatnya pendek-pendek, menghindari penggunaan istilah-istilah asing yang sulit dimengerti oleh siswa (Kemp & Dayton: 1985). Siahaan (1987:64) mengatakan yang dimaksud dengan keterbacaan modul adalah tingkat kualitas bahan bacaan yang memungkinkan modul tersebut dapat dipahami oleh siswa/pembaca pada tingkat atau usia tertentu. Dari uraian ini maka modul hendaknya menggunakan bahasa dan simbol yang sesuai dengan tingkat kematangan dan usia pembaca atau siswa. Selanjutnya dikatakan, modul sebagai bahan bacaan tingkat keterbacaannya harus mencakup: tingkat keterpahaman bahasa, kemudahan isi/bahan untuk dibaca, kemenarikan bahasa dan isi, serta pengaruh lingkungan kebahasaan. Menurut Heinich dkk. (1996: 51), visualisasi dapat membantu mendorong minat siswa, memperjelas konsep yang verbal, dan Nurdin Ibrahim: Hubungan Keterbacaan Modul dan Motivasi Berprestasi dengan Hasil Belajar

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

145


memperkuat daya ingat. Selanjutnya dikatakan, dalam mendesain suatu visual, harus memperhatikan faktor-faktor, unsur, pola, dan susunan. Faktor unsur meliputi unsur visual, unsur verbal, dan unsur daya tarik. Unsur visual antara lain berupa gambar, foto, illustrasi, lukisan dan grafik. Unsur verbal berupa penjelasan tertulis yang antara lain meliputi berbagai jenis huruf, warna, ukuran, dan jarak. Sedangkan unsur daya tarik meliputi sesuatu yang yang dapat membuat kejutan, susunan dan hubungan, dan faktor pola meliputi penjajaran, bentuk, keseimbanga, dan gaya. Selanjutnya untuk mengetahui tingkat keterbacaan modul dapat dilihat dari tingkat kemampuan seorang siswa dengan memberikan tes setelah siswa mempelajari suatu materi modul. Tes tersebut dimaksudkan untuk mengukur kemampuan siswa dalam memahami isi atau informasi yang terdapat dalam bacaan, demikian dikatakan Nurgiantoro (1988: 228). Anderson (1965:123) mengemukakan terdapat tujuh aspek yang mendukung kemampuan memahami bacaan yaitu kemampuan untuk 1) menangkap makna, 2) menangkap fakta, 3) mengidentifikasi tema dan isi, 4) mengikuti tata bacaan dan bagian bacaan, 5) menangkap hubungan kausal, 6) menarik kesimpulan dan 7) menemukan maksud penulis. Berdasarkan kajian berbagai konsep dan teori di tas maka, dapat disimpulkan bahwa keterbacaan modul dapat dilihat dari kemampuan siswa atau seseorang memahami isi atau materi dalam modul atau suatu tingkat penguasaan siswa atau seorang untuk menangkap informasi atau ide-ide yang disampaikan oleh penulis melalui modul baik makna yang tersirat maupun makna yang tersurat.

METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada semester pertama tahun ajaran 2002 di SMA Terbuka. Sebagai tempat pengumpulan data adalah SMA Terbuka Kepanjen Malang, Jawa Timur, SMA Terbuka Samarinda, Kalimantan Timur, dan SMA Terbuka Bungoro Pangkajene Kepulauan, Sulawesi Selatan yang ditetap secara porpusif dengan menggunakan metode 146

Nurdin Ibrahim: Hubungan Keterbacaan Modul dan Motivasi Berprestasi dengan Hasil Belajar

Website: http://www.pustekkom.go.id


survei. Jumlah sampel penelitian masing-masing lokasi SMA Terbuka sebanyak 25 orang siswa. Dalam penelitian ini digunakan tiga macam istrumen yaitu instrumen keterbacaan modul, instrumen motivasi berprestasi, dan instrumen atau tes hasil belajar Sejarah.. Sebelum digunakan sebagai alat pengumpulan data instrumen tersebut terlebih dahulu dilakukan uji validitas. Untuk instrumen (tes) hasil belajar Sejarah dilakukan validitas muka kepada sekelompok pakar dari dosen UNJ dan guru mata pelajaran SMA di Jakarta yang mengajar mata pelajaran Sejarah. Validasi instrumen keterbacaan modul dilakukan pula dengan uji validitas muka kepada beberapa instruktional specialist yang semuanya dari Pustekkom Depdiknas. Sedangkan instrumen motivasi telah dilakukan kalibrasi pada tahun 1999 setelah dilakukan uji coba lapangan dengan tingkat reliabilitas sebesar 0,897. Analisis data dilakukan dengan uji anava (koreasi) dengan menggunakan program SPSS versi 11.0.

HASIL PENELITIAN Yˆ = 7,368 +Berdasarkan 0,325 X 1 hasil perhitungan Anava (korelasi) dengan menggunakan program SPSS, maka dapat diperoleh nilai korelasi (hubungan) antara variabel X1 dengan variabel Y, variabel X2 dengan variabel Y, dan Variabel X1 bersama-sama variabel X2 dengan variabel Y, sebagai berikut.

1. Hubungan antara Motivasi Berprestasi (X1) dengan Hasil Belajar Sejarah (Y) Berdasarkan perhitungan diperoleh besarnya nilai koefisien regresi Y atas X1, yaitu a = 7,368 dan b = 0,325 sehingga hubungan antara kedua variabel tersebut ditunjukkan oleh persamaan regresi . Uji signifikansi regresi terdapat dalam Tabel 1.

Nurdin Ibrahim: Hubungan Keterbacaan Modul dan Motivasi Berprestasi dengan Hasil Belajar

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

147


Tabel 1 Tabel ANAVA untuk Regresi Linear

Sumber Variansi

JK

dk

RJK

Fhitung

Regresi

1600,816

1

1600,816

Sisa

7835,756

33

237,447

Total

9436,571

34

6,742

Ftabel

0,05

4,130

Hasil uji signifikansi regresi diperoleh Fhitung = 6,742 > Ftabel = 4,130 pada taraf signifikansi 0,05 dan derajat kebebasan (dk = 1:33). Hal ini menunjukkan regresi hasil belajar Sejarah (Y) atas motivasi berprestasi (X1) adalah signifikan. Dapat disimpulkan bahwa motivasi berprestasi merupakan salah satu faktor penentu hasil belajar siswa pada mata pelajaran Sejarah. Persamaan regresi tersebut mempunyai arti bahwa setiap kenaikan 1 skor motivasi berprestasi akan menyebabkan kenaikan 0,324 hasil belajar Sejarah siswa pada konstanta 7,368. Kekuatan hubungan antara variabel motivasi berprestasi dengan hasil belajar Sejarah siswa dapat ditunjukkan oleh besarnya koefisien korelasi 0,412 signifikan pada Îą = 0,05 dengan koefisien determinasi sebesar 17 persen. Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa hubungan antara motivasi berprestasi dengan hasil belajar Sejarah siswa bersifat positif dan berarti, dengan perkataan lain makin tinggi motivasi berprestasi siswa, makin tinggi pula keberhasilan siswa dalam belajar Sejarah. Dimana 17 persen variansi yang terjadi pada hasil belajar Sejarah siswa dapat dijelaskan melalui motivasi berprestasi mereka.

2. Hubungan antara Keterbacaan Modul (X2) dengan hasil belajar Sejarah (Y) Berdasarkan perhitungan diperoleh besarnya nilai koefisien regresi Y atas X2, yaitu a = 21,533 dan b = 0,466 sehingga hubungan antara kedua variabel tersebut ditunjukkan oleh persamaan regresi . Uji signifikansi regresi terdapat dalam Tabel 2. 148

Nurdin Ibrahim: Hubungan Keterbacaan Modul dan Motivasi Berprestasi dengan Hasil Belajar

Website: http://www.pustekkom.go.id


Tabel 4.2 Tabel ANAVA untuk Regresi Linear

Hasil uji signifikansi regresi diperoleh Fhitung = 5,934 > Ftabel = 4,130 pada taraf signifikansi 0,05 dan derajat kebebasan (dk = 1:33). Hal ini menunjukkan regresi hasil belajar Sejarah (Y) atas keterbacaan modul (X2) adalah signifikan. Dapat disimpulkan bahwa keterbacaan modul merupakan salah satu faktor penentu hasil belajar siswa pada mata pelajaran Sejarah. Persamaan regresi tersebut mempunyai arti bahwa setiap kenaikan 1 skor keterbacaan modul akan menyebabkan kenaikan 0,466 hasil belajar Sejarah siswa pada konstanta 21,533. Kekuatan hubungan Sumber hasil belajar Sejarah siswa JKantara variabel dk keterbacaan RJK modulFdengan hitung Ftabel 0,05 Variansi dapat ditunjukan oleh besarnya koefisien korelasi 0,390 signifikan pada รก = 0,05, koefisien determinasi sebesar 12,7 persen. Regresi 1438,207 1 dengan 1438,207 5,934 4,130 Sisa 77998,364 33 ini menunjukkan 242,375 Hasil pengujian bahwa hubungan antara keterbacaan Total

modul dengan 9436,571 34 hasil belajar Sejarah siswa bersifat positif dan berarti, dengan perkataan lain makin tinggi keterbacaan modul, makin tinggi pula keberhasilan siswa dalam belajar Sejarah. Dimana 12,7 persen variansi yang terjadi pada hasil belajar Sejarah siswa dapat dijelaskan melalui keterbacaan modul.

3. Hubungan antara Motivasi Berprestasi (X1) dan Keterbacaan Modul (X2) dengan Hasil Belajar Sejarah (Y) Berdasarkan perhitungan diperoleh besar nilai koefisien regresi Y atas X1 dan X2, yaitu a0 = -5,476, a1 = 0,257, dan a2 = 0,353, sehingga hubungan antara ketiga variabel tersebut ditunjukkan oleh Nurdin Ibrahim: Hubungan Keterbacaan Modul dan Motivasi Berprestasi dengan Hasil Belajar

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

149


persamaan regresi . Uji signifikansi dan kelinearan model regresi j ini terdapat dalam Tabel 3 Tabel 3. Uji Keberartian Regresi Jamak Sumber Variansi

JK

dk

RJK

Fhitung

Regresi

2353,621

2

1176,810

Sisa

7084,951

32

221,342

Total

9436,571

34

5,317

Ftabel

0,05

3,30

Hasil uji signifikansi regresi jamak diperoleh Fhitung = 5,317 > Ftabel = 3,30 pada taraf signifikansi 0,05 dan derajat kebebasan (dk = 2:32). Hal ini menunjukkan bahwa regresi jamak hasil belajar Sejarah (Y) atas motivasi berprestasi (X1) dan keterbacaan modul (X2) signifikan. Dapat disimpulkan bahwa secara bersama-sama motivasi berprestasi dan keterbacaan modul merupakan faktor penentu hasil belajar Sejarah siswa. Persamaan regresi tersebut mempunyai arti bahwa setiap kenaikan 1 skor motivasi berprestasi dan keterbacaan modul secara bersamasama akan menyebabkan kenaikan sebesar 0,610 hasil belajar Sejarah pada konstanta - 5,476. Kekuatan hubungan antara variabel motivasi berprestasi dan keterbacaan modul dengan hasil belajar Sejarah dapat ditunjukkan oleh besarnya koefisien korelasi jamak, yaitu 0,499 signifikansi pada Îą < 0,05 dengan koefisien determinasi 24,9 persen. Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa secara bersama-sama hubungan antara motivasi berprestasi dan keterbacaan modul dengan hasil belajar Sejarah bersifat positif dan berarti, dengan perkataan lain makin tinggi motivasi berprestasi dan keterbacaan modul secara bersama-sama maka semakin tinggi pula hasil belajar Sejarah siswa. Jadi dengan demikian hipotesis yang menyatakan secara bersama150

Nurdin Ibrahim: Hubungan Keterbacaan Modul dan Motivasi Berprestasi dengan Hasil Belajar

Website: http://www.pustekkom.go.id


sama terdapat hubungan positif antara motivasi berprestasi dan keterbacaan modul dengan hasil belajar Sejarah siswa dapat diterima.

SIMPULAN DAN SARAN 1. Simpulan a. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis pertama, ternyata hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini terbukti. Dengan demikian variabel motivasi berprestasi (X1), memiliki hubungan yang positif dan sangat berarti dengan hasil belajar siswa pada mata pelajaran Sejarah (Y). Adanya hubungan positif yang sangat berarti antara variabel bebas (X1) dan variabel terikat (Y) dalam penelitian ini dapat dijelaskan bahwa hasil analisis regresi dan korelasi variabel motivasi berprestasi dengan hasil belajar siswa pada mata pelajaran Sejarah yang diuji memberikan petunjuk bahwa koefisien regresi dan koefisien korelasi yang masingmasing sangat signifikan memberikan petunjuk bahwa untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran Sejarah maka salah satu faktor yang harus diperhatikan adalah motivasi berprestasi mereka. Artinya, bila seseorang siswa telah memiliki motivasi berprestasi tinggi dalam belajarnya, maka memungkinkan bagi siswa SMA Terbuka untuk meningkatkan hasil belajar mata pelajaran Sejarah, sebaliknya hasil belajar Sejarah siswa akan menurun bila tidak memiliki motivasi berprestasi yang tinggi. b. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis kedua, ternyata hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini terbukti. Dengan demikian variabel keterbacaan modul (X2), memiliki hubungan yang positif dan sangat berarti dengan hasil belajar siswa pada mata pelajaran Sejarah (Y). Adanya hubungan positif yang sangat berarti antara variabel bebas (X2) dan variabel terikat (Y) dalam penelitian ini dapat dijelaskan bahwa hasil analisis regresi dan korelasi variabel keterbacaan modul dengan hasil belajar siswa pada mata pelajaran Sejarah yang diuji memberikan petunjuk bahwa

Nurdin Ibrahim: Hubungan Keterbacaan Modul dan Motivasi Berprestasi dengan Hasil Belajar

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

151


koefisien regresi dan koefisien korelasi sangat signifikan. Ini berarti untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran Sejarah yang diuji maka salah satu faktor yang harus diperhatikan adalah tingkat keterbacaan modul yang dipelajari mereka. Artinya, bila modul yang dipelajari siswa mempunyai tingkat keterbacan tinggi, maka memungkinkan bagi siswa tersebut dapat meningkatkan hasil belajar mata pelajaran Sejarah, sebaliknya hasil belajar Sejarah siswa akan menurun bila modul yang dipelajari siswa mempunyai tingkat keterbacaan yang rendah. c. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis ketiga, ternyata hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini terbukti. Dengan demikian variabel motivasi berprestasi (X1) dan variabel keterbacaan modul (X2), memiliki hubungan yang positif dan sangat berarti dengan hasil belajar siswa pada mata pelajaran Sejarah (Y). Adanya hubungan positif yang sangat berarti antara variabel bebas (X1) dan (X2) secara bersama-sama terhadap variabel terikat (Y). Dalam penelitian ini dapat dijelaskan bahwa hasil analisis regresi dan korelasi variabel motivasi berprestasi dan variabel keterbacaan modul dengan hasil belajar siswa SMA Terbuka pada mata pelajaran Sejarah diperoleh koefisien regresi dan koefisien korelasi signifikan. Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa secara bersama-sama hubungan antara motivasi berprestasi dan keterbacaan modul dengan hasil belajar Akuntansi bersifat positif dan berarti, dengan perkataan lain makin tinggi motivasi berprestasi dan keterbacaan modul secara bersama-sama maka semakin tinggi pula hasil belajar Akuntansi siswa SMA Terbuka. Jadi dengan demikian hipotesis yang menyatakan secara bersama-sama terdapat hubungan yang signifikan (positif) antara motivasi berprestasi dan keterbacaan modul dengan hasil belajar Akuntansi siswa SMA Terbuka dapat diterima.

152

Nurdin Ibrahim: Hubungan Keterbacaan Modul dan Motivasi Berprestasi dengan Hasil Belajar

Website: http://www.pustekkom.go.id


2. Saran Berdasrkan kesimpulan di atas maka maka dalam penelitian ini dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut. Pertama, dalam mengembangkan modul hendaknya factor kebahasaan perlu diperhatikan. Penggunaan bahasa yang sederhana, singkat, dan jelas merupakan factor yang perlu diperhatikan oleh penulis modul pembelajaran sejarah. Penggunaan kalimat tunggal dan majemuk sederhana, illustrasi verbal dan visual. Harus lebih diutamakan. Dengan demikian pemahaman siswa tentang isi bacaaan materi modul pembelajaran sejarah dapat dipahami oleh siswa SMA Terbuka dengan baik. Kedua, Dalam pelaksanaan pembelajaran baik pada saat pembelajaran tutorial tatap muka maupun pembelajaran mandiri di TKB, guru bina dan guru pamong hendaknya secara terarah dan terus menerus mengupayakan berbagai program yang dapat meningkatkan motivasi belajar dan motivasi berprestasi siswa SMA Terbuka Ketiga, Dalam mengembangkan modul pembelajaran sejarah factorfaktor motivasional dan paedagogik perlu mendapat perhatian dari pengembang. Oleh karena itu dalam pengembangan modul pembelajaran sejarah hendaknya melibatkan pengkaji media yang mempunyai kemampuan selain berpengetahuan luas tentang permediaan, tetapi juga tentang motivasional dan konsep-konsep teori dan aplikasi paedagogik serta pembelajaran.

Nurdin Ibrahim: Hubungan Keterbacaan Modul dan Motivasi Berprestasi dengan Hasil Belajar

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

153


KEPUSTAKAAN Ali, R. Moh. 1963. Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia, Jakarta: Bhratara, Anderson, Richard And Ansubel, David. 1969. Reading In The Psychology Of Cognition. New York : Holt, Rinehart And Winston. Balitbang Depdiknas, 2001. Statistik Pendidikan Tingkat SMU dan SLTP. Jakarta, Balitbang DepdiknasDepdiknas, 2000, Rencana Strategis Pembangunan Pendidikan 2000-2004. Jakarta, Depdiknas. Beck, Robert C. 1990, Motivation Theories and Principle.New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Bloom, Benjamin S. dkk. 1956. Taxonomy of Education Objectives The Classification of Educational Gools Handbook I: Cognitive Domain. New York: Longman Inc. Crowl, Thomas K., Sally Kaminsky, & David M. Podell. 1997. Educational Psychology Windows on Teaching. London: Brown & Benchmark Publishing,. Davies, Ivor K. 1981. Instructional Technique. New York: McGrow-Hill Book Com-pany,. Degeng, I. Nyoman S. 1989. Ilmu Pengajaran; Taksonomi Variabel. Jakarta: Depdikbud Ditjen Dikti. Depdiknas, 2004. Kurikulum 2004, Kerangka Dasar. Jakarta, Depdiknas. Dick, Walter and Lou Carey. 1990. The Systematic Design of Instruction. USA: Harper Collins Publishers,. Gagne, Robert M. 1977. The Conditions of Learning. New York: Holt, Rinehart and Wins-ton. Gagne, Robert M. and Lislie J. Briggs. 1979. Principle of Instructional Design. New York: Holt Rinchart and Winstone,. Gerlach Vernon S. and Donald P Ely. 1971. Teaching and Media, A Systematic Approach. New Jersey: Prentice-Hall Inc.,. Graham, Sandra and Bernard Weiner. 1996. “Theories and Principles of Motivation� Handbook of Educational Psychology. (ed.) David C. Berliner and Robert C. Calfee. New York: Macmillan Library Reference USA,. Gredler, Margaret E. Bell. 1991. Belajar dan Membelajarkan. Terjemahan Munandir. Ja-karta: Rajawali Pers,.

154

Nurdin Ibrahim: Hubungan Keterbacaan Modul dan Motivasi Berprestasi dengan Hasil Belajar

Website: http://www.pustekkom.go.id


Heinich, Robert, Molenda, Michael, Russel, James D. 7 Smaldino, Sharon E., 1996. Instructional Media and Technology for Learning. USA: Prentice-Hall, Inc. Kartodirdjo, Sartono. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif. Jakarta: PT. Gramedia. Kemp, Jerold E. & Dayton, Deane K., 1985. Planning and Producing Instructional Media. USA: Harper and Row Publisher Inc. McClelland, David C. dkk. 1976. The Achievement Motive. New York: Irvington Publis-hers, Nurgiantoro, Burhan. 1988. Penelitian Dalam Pengajaran Bahasa Dan Sastra. Yogyakarta : Bpfe. Reigeluth, Charles M. 1987. Instructional Theories In Action, Lessons Illustrating Selected Theories and Models, (ed.) Charles M. Reigeluth. New Jesey: Lawrence Erl-baum Associates, In.. Russel, James D., 1974. Modular Instruction, A Guide to he Design, Selection, Utilization and Evaluation of Modular Material. USA: Burges Publishing Company. Semiawan, Conny R. 1989. Pendekatan keterampilan proses Bagaimana Mengaktifkan Siswa dalam Belajar. Jakarta: PT. Gramedia. Siahaan, Bistok, A., 1987. Pengembangan Materi Bahasa FPS 626. Jakarta: Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan. Steers, Richard M. and Lyman W. Porter. Motivation and Work Behavior. New York: Mc-Grew-Hill Inc., 1991. Travers, Robert M.W. 1982. Essential of Learning; The New Cog-nitive Learniong for Students of Education. USA: Macmillan Publishi-ng Co Inc.,. Widja, I Gde et al, 1988. Pengantar Ilmu Sejarah: Sejarah dalam Perspektif Pendidikan. Semarang: Satya Wacana.

uuuuuuuuuuuuuuuuu

Nurdin Ibrahim: Hubungan Keterbacaan Modul dan Motivasi Berprestasi dengan Hasil Belajar

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

155


KOMPETENSI PPAMONG AMONG BEL AJAR D AL AM BELAJAR DAL ALAM IMPLEMENT ASI PROGR AM PEMBEL AJAR AN IMPLEMENTASI PROGRAM PEMBELAJAR AJARAN PENDIDIK AN LUAR SEK OL AH PENDIDIKAN SEKOL OLAH Oleh: Sudirman *)

Abstrak Implementasi program Pendidikan Luar Sekolah disusun dalam suatu pengelolaan kegiatan pembelajaran yang dirumuskan dalam enam fungsi secara berurutan yakni: perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, pembinaan, penilaian, dan pengembangan. Pamong Belajar sebagai tenaga fungsional yang bertugas pada jalur luar sekolah, memiliki kedudukan yang strategis dalam rangka implementasi suatu program pembelajaran. Interaksi yang kuat, hangat, dan bermakna antara pengajar (Pamong Belajar) dan peserta didik (warga belajar), menimbulkan dampak terhadap terjadinya pembelajaran yang berkualitas dan efektif. Untuk itu kompetensi pamong belajar berupa: (1) pemilikan nilai dan sikap, (2) penguasaan konsep, dan (3) kecakapan mengaplikasiskan materi, dalam implementasi dan interaksi program pembelajaran sangat penting dan perlu dikembangkan guna menghasilkan peserta belajar yang diharapkan.

A. Hakikat Pembelajaran dan Pamong Berlajar Pemikiran dan pemahaman hakekat belajar terus berkembang, sejalan dengan upaya penelaahan yang terus berlangsung oleh para pakar. H.D. Sudjana (2000:58) mendefinisikan belajar sebagai suatu perubahan disposisi atau kecakapan baru yang terjadi karena adanya *)

Sudirman, SE., M.Pd. adalah Praktisi Pendidikan Luar Sekolah & Kandidat Doktor Universitas Pendidikan Indonesia.

156

Website: http://www.pustekkom.go.id


usaha yang disengaja. Untuk terjadinya perubahan nilai sikap pada peserta belajar sebagaimana dimaksud di atas, sangat dipengaruhi oleh praktek pengajaran yang dilakukan pengajar (pamong belajar) dalam mengelola suatu kegiatan pengajaran, mulai dari pengembangan desain, implementasi, evaluasi, dan feedback. Dalam prakteknya pembelajaran pendidikan luar sekolah disusun dalam suatu pengelolaan atau manajemen kegiatan pembelajaran yang dirumuskan dalam enam fungsi secara berurutan yakni: perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, pembinaan, penilaian, dan pengembangan. Perencanaan pembelajaran mencakup rangkaian kegiatan penyusunan pola, rangkaian dan proses berdasarkan tujuan (goals) dengan memperhatikan kebutuhan belajar dan dukungan informasi yang lengkap. Sedangkan pengorganisasian adalah kegiatan mengidentifikasi dan memadukan sumber-sumber pembelajaran yang diperlukan kedalam kegiatan yang akan dilakukan. Sumber-sumber pembelajaran tersebut yang dipadukan berkenaan dengan tujuan, materi, media, sarana, biaya, dan sebagainya yang diperlukan. Pelaksanan pembelajaran merupakan interaksi belajar antara sumber belajar dengan peserta belajar dalam iklim pembelajaran yang kondusif. Dalam pelaksanaan pembelajaran dibutukan strategi pembelajaran. Menurut Ishak Abdulhak (2000:43) strategi pembelajaran yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran ada yang berpusat kepada tutor (teaching centred) dan ada yang berpusat pada peserta belajar (student centred). Selanjutnya kegiatan evaluasi berkenaan dengan penilaian yakni kegiatan pengumpulan, pengolahan dan penyajian informasi. Sasaran penilaian meliputi: (1) keseluruhan fungsi manajemen sejak perencanaan sampai evaluasi, (2) hasil pembelajaran dari suatu program pendidikan luar sekolah (HD Sudjana, 2000:58). Dalam praktek pembelajaran, interaksi belajar menjadi ciri dari keberlangsungan pembelajaran itu sendiri, bahkan dapat dijadikan alat untuk memprediksi perolehan hasil belajar. Interaksi yang kuat, Sudirman: Kompetensi Pamong Belajar

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

157


hangat, dan bermakna antara pengajar (Pamong Belajar) dan peserta didik (warga belajar), menimbulkan dampak terhadap terjadinya pembelajaran yang berkualitas dan efektif. Sebaliknya pembelajaran yang tidak memiliki interaksi yang kuat dan mendalam, dengan menggunakan interaksi satu arah, ternyata pemahaman peserta belajar menunjukan sangat lemah, bahkan memiliki dampak terhadap kurangnya perhatian peserta belajar dalam mengikuti kegiatan belajar. (Ishak Abdulhak, 2001:7) Berdasarkan pemikiran di atas, dapat disimpulkan bahwa interaksi dan praktek pengajaran yang berkualitas dan efektif menunutut adanya keterlibatan dan peran aktif antara pengajar (Pamong Belajar) dan peserta belajar, walaupun peran pengajar atau Pamong Belajar tetap dominan, selain sebagai sumber utama juga berperan sebagai fasilitator kegiatan pembelajaran. Pamong Belajar sebagai tenaga fungsional yang bertugas pada jalur luar sekolah, memiliki kedudukan yang strategis dalam rangka implementasi dan interaksi program pembelajaran. Oleh karena itu, perlu ditingkatkan kinerja Pamong Belajar dalam menjalankan tugasnya. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi peranan Pamong Belajar dalam implementasi program pembelajaran, perlu diperhatikan secara seksama sehingga dapat tercipta lingkungan yang kondusif bagi dirinya dalam mengemban tugasnya pada jalur luar sekolah.

B. Kompetensi Pamong belajar Istilah kompetensi seringkali digunakan pada setiap pemegang jabatan keprofesian. Pamong Belajar sebagai pekerjaan profesional tentunya dituntut untuk memiliki kompetensi. menurut E. Mulyasa (2003:37-39) kompetensi merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang direflesksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Mc Ashan (1981: 45) mengemukakan bahwa kompetensi: “ ..is a knowledge, skills, and abilities or capabilities that a person achieves, which become part of his or her being to the exent he or she can satisfactorily perform partcular cognitive, afektive, and psychomotorr behaviors� Dalam hal ini kompetensi diartikan 158

Sudirman: Kompetensi Pamong Belajar

Website: http://www.pustekkom.go.id


sebagai pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kongnitif, afektif dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya. Kompetensi ini memiliki 3 dimensi, yakni: (1) pemilikan nilai dan sikap dengan menghargai dan menyenangi materi pelajaran itu, (2) penguasaan konsep dengan menguasai ilmu pengetahuan sehingga mampu berpikir secara rasional, kemampuan dan kecakapan berkomunukasi, serta mampu memecahkan masalah secara sistematis dalam hidupnya, dan (3) kecakapan mengaplikasiskannya dengan menggunakan teknologi dan pengukuran yang tepat dalam kehidupan. Hal-hal yang dikembangkan dalam konsep ini terdiri atas kompetensi akademik, keterampilan hidup, pengembangan moral, pembentukan karakter yang kuat, kebiasaan hidup sehat, semangat bekerjasama, dan aspirasi estetika terhadap dunia sekitarnya. Berdasarkan konsepi diatas, maka pengertian Kompetensi Pamong Belajar dimaksudkan kemampuan melakukan tugas-tugas dengan standar performasi tertentu sebagai pamong belajar, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik, berupa penguasaan terhadap seperangkat hasil tertentu. Kompetensi Pamong belajar berekenaan dengan pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai, sikap, dan minat profesi, dalam melakukan sesuatu dalam bentuk kemahiran, ketepatan, dan keberhasilan dengan penuh tanggung jawab.

C. Pamong Belajar dalam Implementasi Program Belajar Salah satu peran pamong belajar dalam proses pembelajaran adalah kemampuan dalam mengimplementasikan program pembelajaran. implementasi program pembelajaran diberikan oleh para pakar menunjukkan adanya perhatian yang sangat besar terhadap hakekat program pembelajaran yang sesungguhnya. Keberhasilan Sudirman: Kompetensi Pamong Belajar

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

159


implementasi digambarkan sebagai process of mutual adaptation antara pengguna dan kondisi kelembagaan. Implementasi program pembelajaran adalah suatu proses yang dinamis dengan melibatkan peran warga belajar dan tenaga pengajar dalam dimensi waktu dan ruang. Zais (1976:18) mendefinisikan penerapan atau implementasi sebagai “ putting into effect the curriculum that was produced by the construction and development process.� Implementasi dimaksudkan sebagai kegiatan yang berpedoman pada program pembelajaran sehingga sesuai dengan rencana yang diharapkan. Ungkapan tersebut perlu dipahami oleh para pamong belajar sebab implementasi program pendidikan luar sekolah pada umumnya akan melibatkan Pamong Belajar sebagai pengembang program di lapangan. Pamong Belajar tersebut akan menerjemahkan program pembelajaran menjadi suatu perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian pembelajaran. Rangkaian peristiwa implementasi program pembelajaran di lapangan menunjukkan bahwa posisi Pamong Belajar sangat strategis dan menentukan dalam upaya merealisasikan program dimaksud. Konsekuensinya, posisi Pamong Belajar memiliki tanggung jawab dan kebebasan dalam mewujudkan tuntutan program yang berlaku. Posisi Pamong Belajar sebagai tenaga pengejar dan pengembang program pembelajaran bertanggung jawab terhadap pelaksanaan program. Miller dan Seller (1985) banyak memberikan pemahaman tentang posisi tenaga pengajar dalam implementasi program pembelajarannya. Pamong Belajar sebagai aktor utama, dapat sebagai fasilitator bahkan dapat pula sebagai mediator kegiatan membelajarkan warga belajarnya. Program pembelajaran digunakan oleh Pamong Belajar sebagai pedoman/arahan dalam menyusun rencana pembelajaran. Konsekuensinya, Pamong Belajar perlu memiliki persepsi dan pemahaman yang benar terhadap hakekat pembelajaran dan perekayasaan program. Setelah tersusunnya perencanaan pembelajaran, maka tahapan berikutnya merealisasikan kepada 160

Sudirman: Kompetensi Pamong Belajar

Website: http://www.pustekkom.go.id


kegiatan pembelajaran dan dilanjutkan dengan penilaian pembelajaran. Hal ini ditegaskan oleh pernyataan S. Hamid Hasan (1996) bahwa “implementasi program pembelajaran pada dasarnya adalah realisasi dari ide tenaga pengajar mengenai program.� Jika ide tenaga pengajar sesuai dengan ide yang terkandung dalam program maka ada kecenderungan program tersebut akan dilaksanakan, begitu pula sebaliknya. Keseluruhan peran tenaga pengajar akan sangat dipengaruhi oleh persepsi dan pemahamannya terhadap program dan juga hakekat pembelajaran yang sedang berlangsung. William H. Burton (1979) menyatakan bahwa mengajar adalah upaya dalam memberikan perangsang (stimulus), bimbingan, pengarahan dan dorongan kepada warga belajar agar terjadi proses belajar (M. Ali, 1992:13). Dalam hal ini Burton memandang bahwa bahan pelajaran hanya sebagai bahan perangsang saja. Sedangkan arah yang akan ditujukan oleh proses belajar adalah tujuan pengajaran yang diketahui warga belajar. Dengan strategi mengajar tertentu proses belajar akan terbimbing secara lebih baik. Warga belajar akan diberikan tugas dan latihan untuk terjadinya proses belajar lebih lanjut. Berbagai pandangan yang dikemukakan oleh Burton dalam M. Ali (1992), bila dikaji secara cermat, pada hakekatnya merupakan upaya Pamong Belajar dalam memberikan kemungkinan bagi warga belajar agar terjadi proses belajar. Pandangan ini sejalan dengan pandangan Gagne dan Briggs (1992:3) yang menyatakan bahwa instruction is a set of events which affect learners in such a way that learning is facilitated. Gagne dan Briggs dalam hal ini juga melihat pentingnya proses belajar warga belajar/peserta pembelajaran dalam pengajaran. Jadi yang penting bukan saja upaya Pamong Belajar menyampaikan bahan pelajaran tetapi bagaimana warga belajar dapat mempelajari bahan tersebut sesuai dengan tujuan. Hal ini berarti posisi Pamong Belajar selaku pengembang program pembelajaran sebagai pengarah dan pemberi fasilitas untuk terjadinya proses belajar sehingga mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Pamong Belajar yang berkompeten akan mampu menciptakan lingkungan belajar yang Sudirman: Kompetensi Pamong Belajar

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

161


kondusif sehingga warga belajar berada pada tingkat yang optimal. Waspodo, M. (2004) menjelaskan beberapa peran pamong belajar dalam impelentasi program pembelajaran berkenaan dengan persepsi dan pemahaman, kemampuan dasar, dan kinereja. Hal-hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Persepsi dan Pemahaman Pamong Belajar Persepsi Pamong Belajar terhadap hakekat pembelajaran dan perekayasaan program akan mempengaruhi cepat atau lambatnya mengadaptasi dan melaksanakan tugas-tugas yang diembannya sebagai pengembang program pembelajaran. Hogberg (Tyler, 1975:45) mendefinisikan persepsi sebagai the active predictor and sensory testing of expected object and events. Definisi ini menunjukkan makna bahwa (1) persepsi itu memiliki hubungan dengan struktur kognitif seseorang, (2) persepsi itu suatu kegiatan mental yang aktif dan sadar terhadap waktu dan ruang. Persepsi yang dimiliki Pamong Belajar terhadap program pembelajaran akan mempengaruhi pertimbangannya dalam menentukan dan memutuskan sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan pembelajaran. Teori persepsi sebagai salah satu landasan teoritis peran Pamong Belajar telah dikemukakan oleh para psikologi perseptual yakni apa yang dikerjakan dan dipelajari seseorang merupakan hasil kesadarannya. Oleh karena itu, untuk mengubah perilaku Pamong Belajar harus dimulai dari persepsinya. Di sisi lain Felley, et. al. (1976) dalam Jukri (1998:19) mengidentifikasi tiga komponen utama dari proses persepsi. Pertama, seleksi atau screening yang sangat erat hubungannya dengan pengamatan dan stimulus yang dilihat. Kedua, interpretasi, yaitu proses pengorganisasian informasi sehingga mempunyai arti bagi seseorang. Interpretasi ini tergantung pada berbagai faktor, seperti pengalaman masa lalu, sistem nilai yang dipunyai seorang, motivasi kepribadian, kecerdasan dan sebagainya. Ketiga, kemampuan seseorang untuk mengadakan kategorisasi yang diterimanya, yaitu proses

162

Sudirman: Kompetensi Pamong Belajar

Website: http://www.pustekkom.go.id


mereduksi informasi yang komplek, menjadi lebih sederhana, yaitu interpretasi behavior terhadap sesuatu obyek persepsi. Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa persepsi merupakan suatu proses aktif yang berperan bukan hanya stimulus tetapi juga sebagai keseluruhan pengalaman, motivasinya, dan sikap yang relevan dengan stimulus tersebut. Persepsi sangat penting untuk pengambilan keputusan Pamong Belajar di dalam implementasi program pembelajaran pembelajaran. Persepsi seorang Pamong Belajar terhadap hakekat pembelajaran dan perekayasaan program pembelajaran yang benar akan memberikan kontribusi pada implementasi program pembelajaran tersebut. Dalam tulisan ini yang dimaksud pemahaman Pamong Belajar terhadap hakekat pembelajaran dan perekayasaan program pembelajaran yakni kemampuan Pamong Belajar memahami, menerjemahkan, dan menafsirkan hakekat pembelajaran dan dokumen program pembelajaran pendidikan luar sekolah. Pemahaman menuntut adanya proses pengolahan informasi (istilah, peristiwa, konsep, generalisasi, teori, dan sebagainya) menjadi sesuatu yang dapat dihubungkan dengan apa yang diketahui sebelumnya (S. H. Hasan, 1996). Lebih lanjut dikemukakan bahwa memahami program pembelajaran berarti Pamong Belajar mengetahui pokok-pokok pikiran yang mendasari program pembelajaran, kekuatan, dan kelemahan inti yang mendasarinya, dan ekspektasi program pembelajaran terhadap apa yang akan dilakukan. Pamong Belajar di dalam melaksanakan tugasnya memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan penting yang berdampak pada program pembelajarannya berdasarkan situasi. Aktivitas Pamong Belajar itu sebagai indikator adanya persepsi dan kepedulian Pamong Belajar terhadap peranannya (task concerns) dan terhadap tujuan pembelajaran yang hendak dicapai (impact concerns). Persepsi yang benar dan utuh terhadap Sudirman: Kompetensi Pamong Belajar

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

163


hakekat pembelajaran dan perekayasaan program pembelajaran pembelajaran akan memberikan kontribusi yang positif terhadap implementasi program pembelajaran tersebut. 2. Kemampuan Dasar Pamong Belajar Charles Johnson (1974:12) mengungkapkan seluruh kemampuan profesional tenaga pengajar itu dalam enam komponen pokok. Pertama adalah unjuk kerja (performance), yang merupakan seperangkat perilaku nyata yang ditunjukan oleh seorang tenaga pengajar pada waktu dia memberikan sajian materi pelajaran. Kedua adalah penguasaan materi pelajaran yang harus diajarkan kepada warga belajarnya. Penguasaan materi sesungguhnya tidak sebatas materi yang akan diajarkan kepada warga belajarnya, melainkan juga penguasaan terhadap struktur disiplin ilmu. Ketiga adalah penguasaan landasan profesional keguruan dan kependidikan. Keempat adalah penguasaan proses-proses pembelajaran. Komponen ini mencakup kemampuan tenaga pengajar dalam melaksanakan proses belajar mengajar yang mengandung segi kependidikan. Kelima adalah penguasaan caracara untuk menyesuaikan diri. Komponen ini mencakup cara menyesuaikan diri. Komponen ini mencakup cara menyesuaikan diri dengan situasi kerjanya, termasuk warga belajarnya, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pendidikan dan pengajaran, dan perubahan pengetahuan dan teknologi dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Keenam adalah kepribadian, yang menyangkut sistem nilai yang dianut guru, sikap-sikapnya, dan minat kepada hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan, pendidikan, dan pengajaran. Dari batasan pengertian tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa kompetensi adalah suatu penampilan khusus yang rasional dari pemilikan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dibutuhkan oleh tenaga pengajar (pamong belajar) untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Rochman Natawidjaja dan Achmad Sanusi (1991:38), unjuk kerja/penampilan kerja tenaga pengajar termasuk 164

Sudirman: Kompetensi Pamong Belajar

Website: http://www.pustekkom.go.id


didalamnya Pamong Belajar mencakup: (1) kemampuan profesional, (2) kemampuan sosial, dan (3) kemampuan personal. Ketiga aspek tersebut dijabarkan ke dalam penampilannya sebagai pengembang program pembelajaran. Kemampuan dasar Pamong Belajar sebagai tenaga pengajar dan sekaligus sebagai pengembang program pembelajaran di kelas perlu dikembangkan secara terus menerus. Hal ini dimaksudkan agar dalam setiap upaya akan selalu tersedia tenaga pengajar yang handal dan tepat, baik dalam jumlah maupun kualitas kompetensinya. Di sisi lain pembinaan terhadap Pamong Belajar diharapkan agar mereka selalu peka dan termotivasi untuk memahami perkembangan iptek, hakekat pembelajaran, dan perekayasaan program pembelajaran secara berkesinambungan. Pada akhirnya penampilan seorang Pamong Belajar ditentukan oleh kemampuan mengatur dirinya (self management) untuk memperoleh pengetahuan, mengolah, dan mentransfernya kepada peserta kegiatan pembelajaran tersebut. Sesuai dengan karakteristik program pembelajaran, diperlukan adanya kemampuan Tenaga Pengajar, dalam hal ini adalah Pamong Belajar, yakni meliputi: a) Penguasaan materi bagi pamong belajar merupakan hal yang sangat menentukan khususnya dalam proses belajar mengajar. Ruang lingkup materi harus dikuasai oleh pamong belajar dan warga belajar seperti yang tercantum dalam struktur materi program pembelajaran. Ada beberapa alternatif dalam upaya meningkatkan pengusaan materi bagi tenaga pengajar antara lain melalui musyawarah buku materi di antara para pamong belajar, kajian terhadap buku-buku sumber yang tersedia, melalui ahli substansi yang bersangkutan. Kegiatan pendalaman materi ini untuk meningkatkan kepercayaan diri akan kemampuan profesionalnya sehingga tidak ragu lagi dalam mengelola proses belajar mengajar.

Sudirman: Kompetensi Pamong Belajar

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

165


b) Analisis materi pelajaran. Analisis materi pelajaran berfungsi sebagai acuan untuk menyusun program pengajaran. Penjabaran terhadap program pembelajaran pembelajaran diarahkan ke analisis materi pelajaran. Kegiatan ini diharapkan menghasilkan perhitungan proposisi keseimbangan konsep/topik yang akan disajikan dengan jumlah jam pelajaran, metode, dan sarana yang digunakan untuk kepentingan pembelajaran dimaksud. c) Penyusunan program satuan pelajaran. Penyusunan satuan pelajaran digunakan untuk mempersiapkan pamong belajar melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Persiapan mengajar yang baik harus memenuhi kriteria berikut: (a) tujuan dan materi mengacu kepada program pembelajaran, (b) proses belajar mengajar menunjang pembelajaran aktif dan mengacu kepada analisis sajian, (c) terdapatnya keselarasan antara tujuan, materi, dan alat penilaian (d) memungkinkan dapat dilaksanakan. Di sisi lain tenaga pengajar memiliki kemampuan menerapkan prinsip-prinsip psikologis. Hal ini dikarenakan mengajar pada intinya berkaitan dengan proses mengubah tingkah laku. Di samping itu, para ahli psikologi mengakui tentang adanya perbedaan individual yang dimiliki setiap individu. Perbedaan ini meliputi kecerdasan, sikap, motivasi, dan aspek-aspek kepribadian lainnya. Perbedaan ini akan dapat mempengaruhi pencapaian hasil belajar bagi warga belajar. Berpegang pada prinsip-prinsip psikologis, Pamong Belajar dalam menentukan strategi belajar mengajar harus mempertimbangkan karakteristik warga belajarnya. Berdasarkan uraian di atas, Pamong Belajar sebagai tenaga pengajar sekaligus pengembang program pembelajaran perlu merencanakan dengan baik isi pesan (materi) yang meliputi penganalisaan dengan konsep-konsep, teori, dan sebagainya. Di samping ketrampilan menjelaskan materi yang diperlihatkan 166

Sudirman: Kompetensi Pamong Belajar

Website: http://www.pustekkom.go.id


Pamong Belajar, ia pun hendaknya memperhatikan karakteristik pada setiap warga belajarnya yang akan menerima pesan/ informasi instruksional. 3. Kinerja Pamong Belajar Kinerja Pamong Belajar selaku tenaga pengajar dalam implementasi program pembelajaran dapat dilihat dari aktivitas dan tindakannya untuk merealisasikan program pembelajaran tersebut. Seorang Pamong Belajar harus memenuhi kompetensi untuk melakukan perencanaan pembelajaran, pengelolaan pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran. Proses belajar-mengajar terjadi karena adanya serangkaian perbuatan/tindakan Pamong Belajar selaku tenaga pengajar dan warga belajar pada situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Pamong Belajar yang profesional harus mampu “membaca� dan menjabarkan makna yang ada dalam program pembelajaran sebagai suatu dokumen tertulis. Melalui berbagai strategi dan pendekatannya, peranan Pamong Belajar memiliki makna yang positif bagi pencapaian tujuan pembelajaran. Kinerja Pamong Belajar dalam implementasi program pembelajaran meliputi kemampuan merencanakan, mengelola, dan mengevaluasi hasil belajar. Ketiga cakupan ini merupakan tugas yang perlu dipahami oleh setiap Pamong Belajar sehingga sesuai dengan target program pembelajaran yang telah ditetapkan. a) Perencanaan Pembelajaran Sebagaimana disebutkan di atas, agar program pembelajaran dapat dilaksanakan dengan baik dibutuhkan adanya suatu perencanaan yang sistematis dan memadai. Melalui perencanaan, diharapkan dapat memperkirakan mengenai berbagai macam strategi atau pendekatan mengajar yang hendak diwujudkan dalam proses pembelajaran.

Sudirman: Kompetensi Pamong Belajar

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

167


Ditinjau dari segi profesionalisasi Pamong Belajar, kemampuan merencanakan pembelajaran merupakan salah satu ciri dari Pamong Belajar yang profesional. Seiring dengan ini S. H Hasan (1996) mengatakan bahwa perencanaan pembelajaran adalah salah satu bentuk dari manifestasi akuntabilitas, karena melalui perencanaan tenaga pengajar dapat mempertanggung jawabkan apa yang dilaksanakannya. Hal ini dipertegas oleh Joseph dan Leonardo (1982:20) yang menyatakan bahwa teaching without adequate written planning is sloppy and almost always ineffective, because the teacher has not thought out exactly what to do and how to do it. Pernyataan-pernyataan di atas memberikan makna bahwa kedudukan perencanaan pembelajaran adalah sangat penting bagi tercapainya efektivitas pelaksanaan proses pembelajaran. Adanya perencanaan yang dilakukan oleh Pamong Belajar akan dapat memudahkan untuk mengorganisasi materi yang hendak diajarkan, memilih metode yang sesuai dan proses pembelajaran yang terjadi menjadi lebih terarah. Seiring dengan manfaat perencanaan, Mulyani Sumantri (1988) menyatakan bahwa perencanaan yang baik sangat membantu pelaksanaan dalam kelas karena baik tenaga pengajar maupun peserta didik mengetahui pasti tujuan yang ingin dicapai dan cara mencapainya, dengan demikian tenaga pengajar atau pamong belajar dapat mempertahankan situasi agar peserta didik dapat memusatkan perhatiannya pada pembelajaran yang telah diprogramkan. b) Pelaksanaan Pembelajaran Selanjutnya, pelaksanaan pembelajaran memerlukan kompetensi dan akuntabilitas Pamong Belajar dalam melakukannya. Adapun makna kompetensi di sini dimaksudkan sebagai kemampuan yang harus dimiliki Pamong Belajar untuk kepentingan pelaksanaan pembelajaran, dan meliputi kemampuan dalam merumuskan 168

Sudirman: Kompetensi Pamong Belajar

Website: http://www.pustekkom.go.id


tujuan, menentukan strategi pengajaran, pemilihan dan pemanfaatan sumber belajar, dan sebagainya. Sedangkan makna akuntabilitas dimaksudkan sebagai pertanggung jawaban Pamong Belajar terhadap berbagai keputusan yang diambil berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran tersebut. Pelaksanaan pembelajaran selayaknya berpegang pada apa yang telah tertuang dalam perencanaan. Di dalam melaksanakan proses belajar mengajar Pamong Belajar dituntut untuk memiliki berbagai keterampilan yang berkaitan dengan pertanyaan yakni bagaimana menyelenggarakan pengajaran yang dapat mengantarkan warga belajar mencapai tujuan yang telah ditetapkan. M. Ali (1992:7) mengemukakan bahwa tenaga pengajar perlu kiranya memiliki kemampuan terhadap berbagai hal yang meliputi: kemampuan penguasaan materi pelajaran, kemampuan menerapkan prinsip-prinsip psikologis, kemampuan menyelenggarakan proses belajar mengajar, dan kemampuan menyesuaikan diri dengan situasi baru. Joice dan Weil (1982) memberikan sumbangan yang besar dalam dunia pengajaran dengan mengemukakan hasil pengenalannya terhadap berbagai model mengajar. Modelmodel yang dikemukakan pada dasarnya bermaksud untuk mengupayakan terciptanya lingkungan yang kondusif. Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa mengajar tidak dapat dilaksanakan “begitu-begitu saja� dari waktu ke waktu dan untuk mencapai tujuan apapun. Setiap proses belajar mengajar menuntut pula suatu model strategi untuk terciptanya situasi belajar tertentu pula. Oleh sebab itu, kemampuan Pamong Belajar meliputi juga kemampuan memilih suatu model mengajar yang diperkirakan sesuai untuk memberikan bantuan dalam membimbing belajar peserta didiknya.

Sudirman: Kompetensi Pamong Belajar

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

169


c) Penilaian Pembelajaran Penilaian merupakan rangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar warga belajar yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang bermakna bagi pengambil keputusan. Pada dasarnya penilaian adalah suatu proses menentukan nilai dari suatu obyek atau peristiwa dalam konteks situasi tertentu (Nana Sudjana dan R. Ibrahim, 1989:119). Pelaksanaan pembelajaran yang telah dilakukan, membutuhkan adanya upaya penilaian. Penentuan pertimbangan dalam kegiatan penilaian hasil belajar warga belajar pada hakekatnya meliputi dua aspek yakni aspek tujuan dan aspek kegunaan. Kedua aspek itu berhubungan dengan perencanaan dan juga pengelolaan pembelajaran. Penilaian hasil belajar akan memberikan manfaat bagi pertimbangan Pamong Belajar dalam pengambilan keputusan instruksional. Penilaian dimaksudkan untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan, baik terhadap komponen program pembelajaran yang telah direncanakan maupun yang terkait dalam pelaksanaan program pembelajaran. Jenis-jenis evaluasi yang digunakan dalam proses belajarmengajar meliputi evaluasi seleksi penempatan, evaluasi formatif, evaluasi diagnostik, dan evaluasi sumatif (Groundlund, N.E. 1976:20). Untuk lebih jelas akan diuraikan keempat jenis-jenis evaluasi tersebut yakni sebagai berikut: Evaluasi formatif, yakni evaluasi yang dilaksanakan setiap selesai dipelajari suatu unit pelajaran tertentu. Manfaatnya sebagai alat penilaian proses belajar mengajar suatu unit bahan tertentu.

170

Sudirman: Kompetensi Pamong Belajar

Website: http://www.pustekkom.go.id


Evaluasi sumatif, yakni evaluasi yang dilaksanakan setiap akhir pengajaran suatu program atau sejumlah unit pelajaran tertentu. Evaluasi ini mempunyai manfaat untuk menilai hasil pencapaian warga belajar terhadap tujuan suatu program pelajaran dalam periode tertentu. Evaluasi diagnostik, yakni evaluasi yang dilaksanakan sebagai sarana diagnose. Evaluasi ini bermanfaat untuk meneliti atau mencari penyebab kegagalan, dimana letak kelemahan yang terjadi dalam proses pembelajaran. Evaluasi penempatan, yakni evaluasi yang dilaksanakan untuk menempatkan warga belajar pada suatu program pendidikan dan pelatihan yang sesuai dengan kemampuannya. Groundlund, N.E (1976) dan M. Ali (1992) mengemukakan bahwa terdapat dua macam teknik yang dapat digunakan dalam melaksanakan evaluasi, yaitu teknik test dan teknik non test. Teknik tes terdiri dari 3 macam yakni tes lisan, tes tindakan atau perbuatan, dan tes tertulis. Sedangkan teknis non test pada umumnya menggunakan bentuk seperti wawancara, angket, pengamatan, skala sikap, dan daftar cek. Kedua macam teknik evaluasi ini mempunyai manfaat dan kegunaan masing-masing. 4. Faktor yang Mempengaruhi Kompetensi Pamong Belajar Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kompetensi Pamong Belajar dalam implementasi program pembelajaran. Waspodo, M. (2004) mengemukakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kompetensi Pamong Belajar dalam implementasi program pembelajaran, diantaranya:

Sudirman: Kompetensi Pamong Belajar

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

171


a) Harapan Faktor harapan (expectation) merupakan faktor individual yang ikut mewarnai kinerja atau kompetensi yang ditampilkan oleh Pamong Belajar dalam implementasi program pembelajaran. Harsey dan Blanchard (1993) mengemukakan empat konsep hubungan saling mempengaruhi antara peranan dan harapan. Pertama, effective cycle yaitu hubungan saling mempengaruhi antara peranan yang ditampilkannya yang tinggi dan harapan yang tinggi. Kedua, inefective cycle yaitu hubungan saling mempengaruhi antara peranan yang ditampilkannya yang rendah dan harapan yang rendah. Ketiga, upward spyraling effect of the effective cycle yakni perkembangan menaik dari hubungan peranan yang tinggi dan harapan yang tinggi. Keempat, down ward spiraling effect of the ineffective cycle yaitu proses yang makin turun dan tidak menguntungkan dari peranan yang ditampilkannya yang rendah dan harapan yang rendah. Peran Pamong Belajar dalam implementasi program pembelajaran juga akan dapat dipengaruhi oleh harapan yang dimilikinya sehubungan dengan tugas yang diembannya. Jika mereka mendapatkan harapan yang tinggi terhadap peranannya, hal ini akan dapat meningkat kinerja yang bersangkutan. b) Lingkungan Organisasi Implemntasi program pembelajaran dapat berlangsung sesuai dengan tuntutan dari program pembelajaran, apabila Pamong Belajar selaku pengembang program pembelajaran di lapangan mendapatkan lingkungan organisasi yang kondusif. Organisasi yang sehat akan memperlihatkan setiap aktivitasnya ke arah tujuan yang sama. Komitmen kerja yang ditampilkan Pamong Belajar harus tumbuh dan berkembang dalam lingkungan organisasi secara menyeluruh.

172

Sudirman: Kompetensi Pamong Belajar

Website: http://www.pustekkom.go.id


Peran Pamong Belajar dalam implementasi program pembelajaran harus searah dengan kedudukan, tugas, dan fungsi SKB sebagai unit pelaksana teknis pendidikan luar sekolah, pemuda, dan olahraga. Peran Pamong Belajar sangat tergantung pada banyak faktor. Bila hal ini dilihat dari manajemen mutu terpadu, maka dua komponen yang meliputi organisasi dan orang yang berada di organisasi tersebut harus mendukung terlaksananya tugas dan fungsi kelembagaanya. c) Kepemimpinan Dukungan yang nyata dari kepemimpinan berkaitan erat dengan peran Pamong Belajar pada implementasi program pembelajaran. Kebijakan yang diambil pimpinan dapat memberikan kontribusi bagi Pamong Belajar dalam melaksanakan tugasnya. Kepemimpinan dalam hal ini adalah kepala Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) untuk mengarahkan kepada pencapaian tujuan organisasi. Kepemimpinan merupakan seni dalam proses untuk mempengaruhi dan mengarahkan orang lain agar mau berusaha mencapai tujuan yang hendak dicapai oleh kelompok. d) Perangkat Pendukung Kompetensi yang ditampilkan Pamong Belajar dalam implementasi program pembelajaran berhubungan pula dengan perangkat pendukung bagi implementasi tersebut. Gagne and Briggs (1992) mengemukakan bahwa salah satu yang menentukan keberhasilan pencapaian tujuan intruksional adalah tersedianya media instruksional yang dapat dimanfaatkan Pamong Belajar dan warga belajar dalam kegiatan belajar-mengajar. Di samping kemampuan yang dimiliki Pamong Belajar, perangkat pendukung sangat besar kontribusinya kepada realisasi program pembelajaran. Berkaitan dengan itu, Reigeluth (1983), Marsh (1984), dan Ali (1992) memberikan pandangan bahwa guru yang efektif akan dapat menggunakan perangkat pendukung

Sudirman: Kompetensi Pamong Belajar

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

173


inplementasi program pembelajaran secara optimal dan mampu mengetahui karakteristik dari perangkat yang digunakannya. e) Motivasi Prestasi kompetensi yang ditampilkan oleh Pamong Belajar juga terkait dengan motivasi berprestasi yang dimilikinya. Motivasi itu sendiri berhubungan dengan pola tindakan dan perasaan yang berkaitan dengan usaha keras dalam perjuangan yang bertujuan untuk mencapai prestasi standard of excellent dalam penampilan. Teori prestasi (achievement theory) dari Mc.Celland (1996) berusaha menjelaskan “achievement oriented behavior” yang merupakan tingkah laku yang diarahkan terhadap pencapaian “standard of excellent.” Menurut teori tersebut, seorang yang mempunyai need for achievement yang tinggi selalu mempunyai pola pikir tertentu ketika ia merencanakan untuk melaksanakan sesuatu yaitu mempertimbangkan apakah sesuatu yang akan dilakukan itu cukup menantang atau tidak.

DAFTAR BACAAN Abdulhaq. Isak, (2000). Metodologi Pembelajaran Orang Dewasa. Bandung: Andira. Ali M. (1992). Guru dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru. Gagne, R.M. and Briggs, L.J. (1992). Principles of Instructional Design. New York: Holt Rinehart and Winston. Groundlund, N.E. (1976). Preparing Criterian Reference Test for Classroom Instruction. New York: Mac. Millan. HD. Sudjana, (2000). Strategi Pembelajaran Pendidikan Luar Sekolah. Bandung: Falah Production Hasan, S.H, (1996). Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial. Buku I dan II, FPIPS, IKIP Bandung.

174

Sudirman: Kompetensi Pamong Belajar

Website: http://www.pustekkom.go.id


Joice, Bruce and Weil, Marsha. (1982). Model of Teaching. New Jersey: Prentice Hall, Inc. Englewood Cliff Waspodo, M. (2004). Peranan Pamong Belajar Dalam Implementasi Kurikulum. Makalah. Mc. Clelland, David.(1996) Achievement Motivation, New York: Irvington: Publisher. Inc Miller, J.P and Seller, W. (1985). Curriculum Perspective and Practices. New York: Longman, Inc. William H. Burton, (1979) The Skill of Basic Quetioning: Sidney Micro Skill, Sidney University Press. Zais, R.S. (1976). Curriculum Principles and Foundations. New York: Harper and Row Publisher, Inc.

uuuuuuuuuuuuuuuuu

Sudirman: Kompetensi Pamong Belajar

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

175


HASIL BEL AJAR ALUASI BELAJAR AJAR,, MODEL EV EVALUASI DAN BENTUK TES Oleh: Rini Susanti *)

Abstrak Penggunaan bentuk tes berhubungan dengan pandangan psikologi pembelajaran, hasil belajar, dan model evaluasi. Dalam pandangan behavioristik, belajar dilakukan dengan menghubungkan stimulus-respons dengan cara menghafal berulang-ulang, dan hasilnya berupa hafalan. Evaluasi yang dikembangkan merupakan model pengukuran yang hasilnya sebagai dasar evaluasi. Model ini menggunakan tes objektif. Disamping itu, dalam pandangan psikologi kognitif, belajar hanya terjadi bila tercapai pemahaman, sehingga hasilnya adalah pemahaman. Hasil belajar pemahaman dievaluasi dengan model illuminatif menggunakan tes esai. Kata kunci : belajar, hasil belajar, model evaluasi, bentuk tes.

1. PENDAHULUAN Evaluasi adalah salah satu komponen dalam pembelajaran yang sangat penting. Proses pembelajaran harus dievaluasi untuk melihat apakah tujuan yang ditentukan telah tercapai. Evaluasi memungkinkan melihat sejauh mana proses kegiatan dan seluruh usaha pembelajaran yang dilakukan cukup efektif untuk mencapai tujuan. Dalam evaluasi, pelajar juga mempunyai kepentingan untuk mengetahui usaha belajarnya. Kawasan jiwa manusia meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Setiap usaha pembelajaran dimaksudkan untuk membentuk kepribadian pelajar dalam satu atau beberapa aspek tersebut, sehingga tujuan pembelajaran berhubungan dengan *)

Rini Susanti , M.Pd., adalah staf Pustekkom Depdiknas

176

Website: http://www.pustekkom.go.id


kawasan pribadi manusia tersebut. Hasil belajar yang diharapkan dapat dicapai harus sejalan dengan tujuan pembelajaran. Bila tujuan pembelajaran dapat berbentuk kognitif, afektif maupun psikomotorik, maka hasil belajar berada dalam kawasan itu. Terdapat banyak macam alat evaluasi dalam ilmu sosial. Berdasarkan atas objek yang dievaluasi, evaluasi dapat dibagi menjadi dua yaitu tes dan nontes. Tes digunakan untuk mengevaluasi gejala sosial di mana responden (sebutan untuk orang yang memberikan respons terhadap instrumen) didorong untuk memberikan penampilan maksimumnya (maximum performance). Penampilan maksimum mencerminkan kemampuan atau penguasaan responden dalam hal keadaan yang dievaluasi. Termasuk dalam jenis tes ini adalah tes hasil/prestasi belajar, bakat, potensi akademik, intelegensia, kreativitas dan sebagainya. Di sisi lain, instrumen nontes digunakan untuk mengevaluasi gejala sosial di mana responden tidak didorong untuk memberikan penampilan maksimum tapi penampilan tipikal (typical performance). Responden tidak diukur dalam penguasaan/ kemampuan tapi dalam pikiran dan perasaannya. Responden lebih didorong untuk memberikan respons secara jujur sesuai dengan keadaan diri dan apa yang dirasakannya. Termasuk dalam jenis tes ini adalah instrumen untuk mengukur minat, persepsi, motivasi, self efficacy, tingkat pengambilan resiko, locus of control, dan karakteristik pribadi sejenisnya. Evaluasi penampilan maksimum dan tes sebagai alatnya berhubungan dengan evaluasi aspek kognitif. Hasil belajar merupakan salah satu karakteristik dari kepribadian manusia dalam ranah kognitif yang berisi kemampuan/penguasaan yang merupakan hasil dari proses belajar. Hasil diperoleh dalam evaluasi menggunakan tes. Tes yang digunakan untuk mengevaluasi hasil belajar dapat berbentuk esai maupun objektif. Kedua bentuk mempunyai kelebihan dan kelemahan dalam mengevaluasi hasil belajar. Perbedaan kedua bentuk didasari oleh perbedaan dalam memandang belajar, hasil belajar dan model evaluasi yang digunakan. Rini Susanti: Hasil Belajar, Model Evaluasi dan Bentuk Tes

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

177


2. KAJIAN LITERATUR a. Belajar, hasil belajar dan model evaluasi Minat kajian terhadap proses belajar dilandasi oleh keinginan untuk memberikan pelayanan pengajaran dengan hasil yang maksimal. Kajian intensif tentang bagaimana manusia belajar telah banyak dilakukan oleh para ahli, mulai dari tinjauan yang bersifat spekulatif oleh para filsuf hingga tinjauan menggunakan pendekatan modern oleh para ahli psikologi modern. Tinjauan menggunakan pendekatan spekulatif muncul sebelum abad XX, sedang tinjauan kedua muncul sesudahnya. Tinjauan yang bersifat spekualtif dirintis oleh Plato, Aristotoles dengan ilmu Jiwa daya, Jean. Rousseau, Heinrich Pestalozzi dan Fredrich dengan teori perkembangan alamiahnya, dan John Fredrich dengan teori apersepsi. Kajian yang bersifat behavioral eksperimental berdasarkan filsafat empirisme dipelopori ahli eksperimental seperti Edward L. Thorndike, Ivan Petrovich Pavlov, BF Skiner dan ER Guthire. Penjelasan yang bersifat kognitif berdasarkan filsafat rasionalisme oleh teoritisi seperti Albert Bandura, Robert M. Gagne, Jerome Brunner, David Ausuble dan Piaget. Pendekatan spekulasi sebelum abad XX tidak didasarkan atas metode ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Hasil tidak ilmiah, bersifat spekulatif dan tidak dapat diuji kebenarannya, Kekurangan ini menjadi alasan munculnya pendekatan modern yang secara garis besar terdiri dari dua aliran yang menghasilkan teori masing-masing, yaitu teori belajar perilaku dan teori belajar kognitif. Pandangan mengenai hasil belajar sangat tergantung pada pandangan tentang belajar, sehingga hasil belajar yang diinginkan berhubungan dengan keyakinan bagaimana prosesnya berlangsung. Pandangan mengenai proses belajar bukan saja menentukan hasilnya tapi juga model evaluasi yang dianjurkan untuk digunakan. Oleh karenanya, proses belajar menentukan bentuk hasil dan model evaluasinya. Berikut dibahas kedua pandangan itu. 178

Rini Susanti: Hasil Belajar, Model Evaluasi dan Bentuk Tes

Website: http://www.pustekkom.go.id


1. Behavioristik Dalam pandangan psikologi perilaku (behavioristic) belajar dilakukan dengan menghubungkan stimulus – respons dengan cara menghafal berulang-ulang dengan hasil berupa hafalan. Evaluasi model pengukuran digunakan untuk mengevaluasi kemampuan hafalan setelah dilakukan pengukuran menggunakan tes objektif. a) Belajar Teori ini di ilhami oleh aliran empirisme dalam pendidikan dan dipelopori oleh John Locke. Menurut aliaran ini, satusatunya deteminan perkembangan manusia adalah dengan lingkungan. Semua pengalaman merupakan akibat dari interaksi individu dengan lingkungan. Pengalaman datangnya dari indera (sensory). Pengalaman inderawi adalah sumber utama pengetahuan dan perubahan perilaku. Dalam pandangan behavoristik, belajar merupakan sebuah perilaku.membuat hubungan antara stimulus (S) dan respon(R), kemudian memperkuatnya. Pengertian dan pemahaman tidaklah penting karena S dan R dapat diperkuat dengan menghubungkan secara berulang-ulang untuk memungkinkan terjadinya proses belajar dan menghasilkan perubahan yang diinginkan. Belajar adalah perubahan perilaku yang dapat diamati melalui kaitan antara stimulus dan respons menurut prinsip-prinsip yang mekanistik (Dahar, 1998 : 24). Dasar belajar adalah asosiasi antara kesan (impression) dengan dorongan untuk berbuat (impuls to action). Assosiasi itu menjadi kuat atau lemah dengan terbentuknya atau hilangnya kebiasaan – kebiasaan (Bower dan Hilgard, 1981 : 21). Pengulangan dapat menimbulkan tingkah laku dengan mengubah respons bersyarat menjadi respons tanpa syarat (Bower dan Hilgard, 1981 : 49).

Rini Susanti: Hasil Belajar, Model Evaluasi dan Bentuk Tes

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

179


Para bahavioris menyakini hasil belajar akan lebih baik dikuasai kalau dihafal secara berulang – ulang. Belajar terjadi karena adanya ikatan antara stimulus dan respons (S-R bonds). Ikatan itu menjadi makin kuat dalam latihan/ pengulangan dengan cara menghafal. Belajar tidak membutuhkan pengertian dan pemahaman karena terbentuknya hanya dengan mengkaitkan S dan R secara berulang-ulang. Teori ini didukung oleh hasil eksperimental seperti Thorndike, Pavlov, Skiner dan Guthrie. b) Hasil belajar Pada umumnya tujuan pendidikan dapat dimasukkan ke dalam salah satu dari tiga ranah, yaitu kognitif, afektif dan psikometrik (Subino, 1987 : 17). Belajar dimaksudkan untuk menimbulkan perubahan perilaku yaitu perubahan dalam aspek itu menjadi hasil dari proses belajar. Perubahan perilaku hasil belajar itu merupakan perubahan perilaku yang relevan dengan tujuan pengajaran. Oleh karenanya, hasil belajar dapat berupa perubahan dalam kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik, tergantung dari tujuan pengajarannya. Hasil belajar seringkali digunakan sebagai ukuran untuk mengetahui seberapa jauh seseorang menguasai bahan yang sudah diajarkan. Untuk mengaktualisasikan hasil belajar tersebut diperlukan serangkaian pengukuran menggunakan alat evaluasi yang baik dan memenuhi syarat. Pengukuran demikian dimungkinkan karena pengukuran merupakan kegiatan ilmiah yang dapat diterapkan pada berbagai bidang termasuk pendidikan. Belajar dilakukan untuk mengusahakan adanya perubahan perilaku pada individu yang belajar. Perubahan perilaku itu merupakan perolehan menjadi hasil belajar. Hasil belajar adalah perubahan yang mengakibatkan 180

Rini Susanti: Hasil Belajar, Model Evaluasi dan Bentuk Tes

Website: http://www.pustekkom.go.id


manusia berubah dalam sikap dan tingkah lakunya (Winkel, 1999 : 51). Aspek perubahan itu mengacu kepada teksonomi tujuan pengajaran yang dikembangkan oleh Blomm, Simpson dan Harrow mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotorik (Winkel, 1999 : 244). Proses pengajaran merupakan sebuah aktivitas sadar untuk membuat siswa belajar. Proses sadar mengandung implikasi bahwa pengajaran merupakan sebuah proses yang direncanakan untuk mencapai tujuan pengajaran (goal directed). Dalam konteks demikian maka hasil belajar merupakan perolehan dari proses belajar siswa sesuai dengan tujuan pengajaran (end are being attained). Tujuan pengajaran menjadi hasil belajar potensial yang akan dicapai sehingga alat untuk mengukur hasil belajar harus mengukur apa yang dipelajari dalam proses belajar mengajar sesuai dengan tujuan instruksional yang tercantum dalam kurkulum yang berlaku. Tujuan pengajaran adalah kemampuaan yang diharapkan dimiliki oleh siswa setelah menyelesaikan pengalaman belajarnya (Sudjana, 1996 : 3). Hasil belajar yang diukur merefleksikan tujuan pengajaran (Gronlund, 1985 : 21). Tujuan pengajaran adalah tujuan yang menggambarkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang harus dimiliki oleh siswa sebagai akibat dari hasil pengajaran yang dinyatakan dalam bentuk tingkah laku (behavior) yang dapat diamati dan diukur. Oleh karenanya, menurut Arikunto dalam merumuskan tujuan instruksional harus diusahakan agar nampak bahwa setelah tercapai tujuan itu terjadi adanya perubahan pada diri anak yang meliputi kemampuan intelektual, sikap/minat maupun ketrampilan (Arikunto, 1995: 131). Perubahan perilaku akibat kegiatan belajar mengakibatkan siswa memiliki penguasaan terhadap materi pengajaran yang disampaikan dalam kegiatan Rini Susanti: Hasil Belajar, Model Evaluasi dan Bentuk Tes

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

181


belajar mengajar untuk mencapai tujuan pengajaran. Pemberian tekanan penguasaan materi akibat perubahan dalam diri siswa setelah belajar diberikan oleh Soedijarto yang mendefinisikan hasil belajar sebagai tingkat penguasaan yang dicapai oleh pelajar dalam mengikuti proses belajar mengajar sesuai dengan tujuan pendidikan yang ditetapkan (Soedijarto, 1993 : 49). Dengan memperhatikan berbagai teori di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah perubahan perilaku pelajar akibat belajar. Perubahan perilaku disebabkan karena dia mencapai penguasaan atas sejumlah bahan yang diberikan dalam proses belajar mengajar. Pencapaian itu didasarkan atas tujuan pengajaran yang telah ditetapkan. Hasil itu dapat berupa perubahan dalam aspek kognitif, efektif maupun psikomotorik. Perubahan perilaku dicapai dengan menghafal dan menghasilkan kemampuan/penguasaan hafalan. c) Model evaluasi Model evaluasi yang digunakan menurut psikologi behavioristik adalah model pengukuran. Model pengukuran dipengaruhi oleh filsafat empirisme dan behaviorisme yang dipelopori oleh Thomas Hobbes, John Locke dan David Hume. Semua pengalaman adalah akibat dari interaksi seseorang dengan lingkungan. Pengalaman datangnya dari sensori indera kita. Pengalaman inderawi adalah sumber utama pengetahuan dan perubahan perilaku secara umum. Menurut paham ini, “sumber pengetahuan adalah empiri. Pengetahuan yang bermanfaat, pasti dan benar hanya diperoleh lewat indera� (Achmadi, 1995). Alam kejadiannya memang tersusun rapi dalam pola, sehingga aturan, hukum dan prinsip umum dapat dihasilkan. Menurut paham behaviorisme (Dahar, 1998), “manusia adalah organisme pasif yang dikuasai oleh stimulus-stimulus dalam lingkungan. Manusia dapat dimanipulasi dan tingkah 182

Rini Susanti: Hasil Belajar, Model Evaluasi dan Bentuk Tes

Website: http://www.pustekkom.go.id


lakunya dapat dikontrol dengan mengontrol stimulusstimulus yang ada dalam lingkungan”. Akal hanyalah penampungan pasif yang menerima hasil-hasil penginderaan. “Semua pengetahuan betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai pada pengalaman indera yang pertama, seperti atom-atom yang menyusun objek material. Apa yang tidak dapat dilacak kembali bukanlah pengetahuan” (Kattsoff, 1996 : 137). Segala kepribadian manusia sepenuhnya ditentukan oleh stimulus lingkungan, sehingga perilaku manusia adalah respons atas stimulus yang datang kepadanya. Manusia terikat dalam hubungan stimulus-respons (SR bound). Perilaku manusia dapat dijelaskan sebagai hubungan SR di mana perilaku (R) sepenuhnya hanya merespons sitimulus yang diperolehnya (S). Kepribadian manusia dibentuk sepenuhnya oleh stimulus yang diterimanya sepanjang hidupnya. Hasil belajar – bagian dari kepribadian manusia – adalah juga jumlah respons pelajar atas stimulus pembelajaran yang diterimanya. Manusia adalah makhluk pasif yang terikat pada keteraturan ikatan hukum S-R. Otak dan jiwa adalah penampungan pasif yang hanya merespons secara otomatis dan mekanis atas stimulus lingkungan. Akibatnya perasaan, jiwa dan kepribadian manusia nampak dalam perilaku (overt behavior). Karena hukum S-R berlaku, maka perilaku sepenuhnya cermin kejiwaan dan kepribadian. Kejiwaan dapat dipahami melalui penampilan perilaku. Hasil belajar adalah sebuah gejala kejiwaan dalam pribadi manusia. Kemampuan/penguasaan terpendam jauh dalam kejiwaan, namun karena kemampuan itu didapatkan secara mekanis dengan mengkoneksikan stimulus situasi pembelajaran dengan respons pelajar, maka hasil belajar merupakan jumlah respons yang berhasil ditahan (memorized). Ketika stimulus soal datang, selanjutnya siswa merespons dengan mengkoneksikan stimulus itu Rini Susanti: Hasil Belajar, Model Evaluasi dan Bentuk Tes

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

183


dengan respons yang sudah diretensi dan dipanggil kembali. Dengan begitu kemampuan ditunjukkan oleh keberhasilan mengadakan pemanggilan kembali (recalling) informasi yang ditahan sebagai bekal untuk merespons stimulus soal. Dengan kata lain, kemampuan nampak dalam jumlah soal yang mampu dijawab benar. Model ini juga dipengaruhi oleh paham positivisme yang dipelopori oleh Auguste Comte dan Emile Durkheim. Comte membagi tahap berpikir dan perkembangan pengetahuan manusia menjadi tiga tahap yaitu tahap teologis, metafisika dan positif (Soekanto, 1997 : 3435). Dalam tahap teologis kebenaran dihubungkan dengan keyakinan roh, dewa dan mitos-mitos lainnya. Tahap metafisika memandang kebenaran dihubungkan dengan realitas namun belum dilakukan verifikasi. Sedang tahap positif menuntut kebenaran harus positif, netral, objektif, value free, dan dapat diverifikasi. Oleh karena tuntutan itu maka kebenaran harus nampak dalam perilaku agar dapat diukur secara objektif dan diverifikasi. Kemampuan dan penguasaan materi atau hasil belajar nampak dalam perilaku yang terukur dan teramati, yaitu nampak dalam seberapa banyak pelajar menampilkan perilaku menjawab benar untuk merespons stimulus soal. Model pengukuran dalam evaluasi pendidikan dikemukakan oleh Edward L Thorndike dan Robert L Ebel. Model ini dipengaruhi oleh evaluasi dalam model alam di mana evaluasi dilakukan atas hasil pengukuran. Gejala alam bersifat objektif, teratur dan dapat diramalkan. Perilaku objek alam sangat dipengaruhi oleh hukum alam dan sebab-akibat (stimulus-respons). Setiap perubahan perilaku objek selalu dapat dijelaskan dari stimulus yang diterimanya. Model pengukuran juga memandang perilaku manusia – seperti juga alam – bersifat objektif, teratur dan dapat diramalkan di mana gejala sosial juga terikat 184

Rini Susanti: Hasil Belajar, Model Evaluasi dan Bentuk Tes

Website: http://www.pustekkom.go.id


pada hukum alam – respons perilaku selalu berhubungan stimulus yang diterima. Dalam model ini evaluasi hanya dilakukan atas hasil belajar dalam domain kognitif. Evaluasi dilakukan pada akhir proses pembelajaran menggunakan tes tertulis (pencil and paper test). Tes sebagai alat ukur harus mempunyai ciri-ciri alat ukur gejala alam berupa validitas dan reliabilitas. Proses evaluasi didahului dengan kegiatan pengukuran. Batasan evaluasi adalah kegiatan pengambilan keputusan atas dasar hasil pengukuran, sehingga setiap evaluasi harus didahului dengan kegiatan pengukuran. Pengukuran yang dilakukan sebelum evaluasi dimaksudkan agar evaluasi dilakukan secara akurat karena dilandaskan atas hasil pengukuran. Akuntabilitas evaluasi dapat dicapai karena pengukuran yang menjadi dasarnya memungkinkan mendapatkan data yang objektif. Pengukuran adalah kegiatan membandingkan sesuatu dengan alat ukurnya. Misalnya mengukur panjang benda A dilakukan dengan membandingkan benda A menggunakan meteran, menimbang benda A dilakukan dengan membandingkan benda tersebut dengan neraca dan sebagainya. Kegiatan pengukuran semula hanya digunakan untuk mengetahui karakteristik gejala alam : berat, panjang, waktu, suhu, kecepatan, dan sebagainya. Dalam perkembangannya cara memahami karakteristik benda dalam ilmu alam itu mempengaruhi kegiatan pengukuran karakteristik kejiwaan manusia seperti motivasi, minat, persepsi, tingkat pengambilan resiko, produktivitas kerja, hasil belajar, gaya kepemimpinan dan sebagainya. Perkembangan itu memunculkan cabang-cabang ilmu pengukuran seperti psikometri dalam ilmu psikologi dan pendidikan, sosiometri dalam ilmu sosiologi, jurimetri dalam ilmu hukum, ekonomitri dalam ilmu ekonomi, antropotri dalam ilmu antropologi dan sebagainya. Rini Susanti: Hasil Belajar, Model Evaluasi dan Bentuk Tes

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

185


Penemuan baru dalam cara mengukur memberikan revolusi dalam ilmu. Pembuktian adanya hukum heliosentris (yang meyakini seluruh planet termasuk bumi mengitari matahari), menggantikan geosentris (yang meyakini bumi sebgai pusat tata surya) dapat dilakukan setelah ditemukan teropong bintang untuk melakukan pengukuran secara akurat. Dalam ilmu sosial banyak gejala yang semula sulit dibuktikan hubungannya dan karenanya hanya mampu dijelaskan secara spekulatif, dewasa ini dapat dikenali hubungannya setelah dikembangkan alat ukur yang diperlukan untuk mengubah karakteristik kualitatif subjektif ke dalam ukuran kuantitatif secara objektif. Thorndike mengatakan “if anything exists it exist in quantity and if it exists in quantity it can be measured�. Karakteristik manusia merupakan gejala yang ada, punya kuantitas dan karenanya dapat diukur. 2. Kognitif Dalam pandangan psikologi kognitif belajar terjadi bila tercapai pemahaman sehingga hasilnya adalah pemahaman. Hasil belajar pemahaman dievaluasi dengan model iluminatif menggunakan tes esai. a) Belajar Pengajaran merupakan proses membuat belajar dalam diri anak. Pelajaran bukanlah menginformasikan materi agar dikuasai oleh pelajar, tetapi memberikan kondisi agar pelajar mengusahakan terjadi belajar dalam dirinya. Pelajar tidaklah dalam kedudukaan yang pasif, tetapi aktif mengusahakan terjadinya proses belajarnya sendiri. Oleh karena itu, pengajaran dilakukan untuk membuat pelajar melakukan belajar, maka pengajaran akan dilakukan secara baik dengan memahami bagaimana proses belajar terjadi pada pelajar. Pengajaran harus didasarkan atas pemahaman tentang bagaimana anak belajar. 186

Rini Susanti: Hasil Belajar, Model Evaluasi dan Bentuk Tes

Website: http://www.pustekkom.go.id


Alam diciptakan Tuhan dalam keadaan acak dan tidak beraturan. Panca indera mengambil bahan alam yang masih belum teratur sebagai kebenaran. Di atas itu semua pikiran yang aktif bekerja. Akal mengolah bahan alam menjadi pengetahuan. Kebenaran terletak pada akal dan karenanya akal merupakan sumber penalaran yang valid dalam menemukan kebenaran pengetahuan. Model ini dipengaruhi oleh paham filsafat rasionalisme yang dipelopori Rene Descartes yang terkenal dengan perkataannya “saya berpikir maka saya ada� (cogito ergo sum). Sumber pengetahuan adalah akal sebab dengan akal dapat diperoleh kebenaran dengan metode deduktif seperti dicontohkan dalam ilmu pasti (Achmadi, 1995). Keharusan akan perlunya pengertian dan pemahaman dalam belajar menjadi kondisi yang mutlak harus terpenuhi dalam pandangan toeri kognitif. Menurut teori ini, belajar berlangsung dalam pikiran sehingga sebuah perilaku hanya disebut belajar apabila mencapai pengertian dan pemahaman. Dalam teori belajar kognitif, seseorang hanya dapat dikatakan belajar apabila telah memahami keseluruhan persoalan secara mendalam (insightful). Memahami itu berkaitan dengan proses mental; bagaimana impresi indera dicatat dan disimpan dalam otak dan bagaimana impresi-impresi itu digunakan untuk memecahkan masalah-masalah (Dahar, 1998 : 25). Belajar yang bersifat mekanistik dan tanpa pemahaman dipertanyakan manfaatnya. Pemecahan masalah tidak dapat dilakukan dengan menggunakan informasi yang tidak bermakna. Menurut Gagne, hasil belajar adalah terbentuknya konsep, yaitu kategori yang kita berikan pada stimulus yang ada di lingkungan, yang menyediakan skema yang terorganisasi untuk mengasimilasi stimulus-stimulus baru dan menetukan hubungan di dalam dan di antara kategori-kategori (Dahar, 1998 : 95). Orang mengkonstruksi pengetahuan dengan Rini Susanti: Hasil Belajar, Model Evaluasi dan Bentuk Tes

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

187


menghubungkan informasi yang masuk dengan informasi yang diperoleh dan disimpan sebelumnya (Dahar, 1998 : 119) yang ada dalam struktur kognitif kita (Dahar, 1998 : 134). Pengetahuan tidak dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa. Keduanya tidak dapat diteruskan dalam bentuk jadi, sehingga anak harus membangun (mengkontruksi) sendiri pengetahuannya. Jadi belajar dalam teori kognitif melibatkan pikiran untuk mendapatkan pengertian dan pemahaman (Dahar, 1998: 192). Tujuan belajar adalah tercapainya pemahaman. b) Hasil belajar Hasil belajar adalah apa yang dicapai dari proses pembelajaran. Hasil adalah perolehan dari sebuah proses. Hasil berbeda dengan inputnya karena proses telah mengubahnya ke dalam bentuk baru yang berbeda. Belajar adalah sebuah proses dalam otak dan jiwa untuk mengubah input menjadi hasil belajar. Hasil belajar dapat dijelaskan dengan memahami dua kata yang membentuknya, yaitu “hasil� dan “belajar�. Pengertian hasil (product) menunjuk kepada suatu perolehan akibat dilakukannya suatu aktivitas atau proses yang mengakibatkan berubahnya input secara fungsional. Hasil produksi adalah perolehan yang didapatkan karena adanya kegiatan mengubah bahan (raw materials) menjadi barang jadi (finished goods). Hal yang sama berlaku untuk memberikan batasan bagi siklus inputproses-hasil. Hasil dapat dengan jelas dibedakan dari input akibat perubahan oleh proses. Begitu pula dalam kegiatan belajar mengajar, setelah mengalami belajar siswa berubah perilakunya dibanding sebelumnya. Hubungan itu digambarkan sebagai berikut (Gronlund dan Lin, 1985 : 25).

188

Rini Susanti: Hasil Belajar, Model Evaluasi dan Bentuk Tes

Website: http://www.pustekkom.go.id


Pupil

Learning Experience

Leaning Outcome

c) Model evaluasi Evaluasi hasil belajar menurut paham psikologi kognitif menggunakan model iluminatif yang dipelopori oleh Malcolm Parlett yang banyak dikaitkan dengan pendekatan antropologi. Model ini menekankan pada pendekatan kualitatif. Cara yang digunakan tidak standar tapi fleksibel sebab situasi yang dinilai bersifat terbuka dan mengandung banyak kemungkinan. Sebuah pertanyaan mengandung banyak perspektif kemungkinan jawaban. Oleh karenanya evaluasi tidak dapat dilakukan secara objektif sebagaimana model pengukuran, tapi menggunakan model iluminatif.

3. BENTUK TES Pengkajian bentuk tes meliputi pembahasan tentang pengertian dan bentuk tes. Masing-masing dibahas sebagai berikut. a. Pengertian Tes Tes berasal dari kata “testum” dari bahasa Prancis yang berarti piring untuk menyisihkan logam mulia dari material lain seperti pasir, batu, tanah, dan sebagainya. Isitilah ini kemudian diadopsi dalam psikologi dan pendidikan untuk menjelaskan sebuah alat yang digunakan untuk melihat anak-anak yang merupakan “logam mulia” di antara anak lain. Menurut Webster’s Collegiate, tes adalah serangkaian pertanyaan atau latihan atau alat lain yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok (Arikunto, 1995 : 29). Cronbach mendefinisikan tes sebagai “a systematic Rini Susanti: Hasil Belajar, Model Evaluasi dan Bentuk Tes

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

189


procedure for observing a person’s behavior and describe it with the aid of a numerical scale or a category system� (Azwar, 1997 : 3). Dari batasan tersebut dapat diambil kesimpulan. Pertama, tes merupakan prosedur sistematis. Butir-butir tes disusun menurut cara dan aturan tertentu, prosedur administrasi dan pemberian angka (scoring) harus jelas dan spesifik, dan setiap orang yang mengambil tes harus mendapat butir-butir yang sama dan dalam kondisi yang sebanding. Kedua, tes berisi sampel perilaku. Populasi butir tes yang bisa dibuat dari suatu ,materi tidak terhingga jumlahnya. Keseluruhan butir itu mustahil dapat seluruhnya tercakup dalam tes. Kelayakan tes lebih tergantung kepada sejauh mana butir-butir di dalam tes mewakili secara representatif kawasan (dominan) perilaku yang diukur. Ketiga, tes mengukur perilaku. Butir-butir tes menghendaki sebjek agar menunjukkan apa yang diketahui atau apa yang dipelajari subjek dengan cara menjawab butir-butir atau mengerjakan tugas yang dikehendaki oleh tes. Respon subjek di atas tes merupakan perilaku yang ingin diketahui dari penyelenggaraan tes. b. Bentuk Tes Pembahasan mengenai bentuk tes berhubungan dengan pandangan tentang proses dan hasil belajar. Tes objektif merupakan cara mengevaluasi proses dan hasil belajar dalam pandangan psikologi behavioristik, sedang tes esai dihubungkan dengan proses dan hasil belajar dalam pandangan psikologi kognitif. 1) Objektif Tes objektif adalah tes yang keseluruhan informasi yang diperlukan untuk menjawab tes telah tersedia. Oleh karena sifatnya yang demikian Popham menyebutkan dengan istilah tes jawaban dipilih (selected reponse test) (Popham, 1981 : 235). Butir soal telah mengandung kemungkinan jawaban yang harus dipilih atau dikerjakan oleh peserta tes. Kemungkinan jawaban telah dipasok oleh tes dan peserta hanya memilih jawaban dari kemungkinan jawaban yang telah 190

Rini Susanti: Hasil Belajar, Model Evaluasi dan Bentuk Tes

Website: http://www.pustekkom.go.id


disediakan (Zainul dan Nasoetion, 1996 : 9). Menurut Subino perbedaan yang khas bentuk soal objektif dibanding dengan soal esai adalah tugas peserta tes (testee) dalam merespons tes (Subino, 1987 : 4). Pada tes objektif, tugas testi adalah memanipulasi data yang ada dalam butir soal. Hal ini berbeda dengan soal esai dimana testi harus menciptakan dan mencari sendiri unsur-unsur yang dibutuhkan untuk menjawab soal. Sebagaimana nama yang digunakannya, soal objektif adalah soal yang tingkat kebenarannya objektif. Oleh karenanya, tes objektif adalah tes yang dalam pemeriksaannya dapat dilakukan secara objektif (Arikunto, 1995 : 165). Karena sifatnya yang objektif maka pensekorannya dapat dilakukan dengan bantuan mesin. Soal ini tidak memberi peluang untuk memberikan penilaian yang bergradasi karena dia hanya mengenal benar dan salah. Apabila merespon siswa sesuai dengan jawaban yang dikehendaki maka respons tersebut benar dan bisa diberi skor 1. Apabila kondisi yang terjadi sebaliknya, maka respons siswa salah dan bisa diberi skor 0. Jawaban siswa bersifat mengarah kepada satu jawaban yang benar (convergence). Soal tes objektif sangat bervariasi bentuknya. Variasi yang bisa dibuat dari soal objektif adalah benar-salah, pilihan ganda, menjodohkan dan melengkapi. Tes bentuk ini mempunyai beberapa keunggulan. Pertama, penilaiannya yang sangat objektif. Sebuah jawaban hanya mempunyai dua kemungkinan, benar atau salah. Kunci jawaban memberikan informasi apakah jawaban anak benar atau salah. Toleransi diantara salah dan benar tidak diberikan karena tingkat kebenarannya bersifat mutlak. Keuntungan ini membuat soal objektif memiliki realiabilitas yang tinggi, siapapun yang menilai dan kapanpun dinilai, hasilnya akan tetap sama. Kedua, dalam tes bentuk objektif dimungkinkan dapat ditulis butir soal dalam jumlah banyak. Butir soal yang Rini Susanti: Hasil Belajar, Model Evaluasi dan Bentuk Tes

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

191


banyak memungkinkan untuk mencakup semua daerah prestasi yang hendak diukur. Kemampuan sampel butir soalnya representatif. sDisamping kelebihan itu, tes objektif juga mempunyai beberapa kelemahan. Pertama, tes objektif diragukan kemampuannya untuk mengukur hasil belajar yang kompleks dan tinggi. Walaupun ada yang berpendapat bahwa soal objektif dapat juga digunakan untuk mengevaluasi kemampuan tingkat tinggi, namun sebenarnya hanya memanipulasi data yang telah ada pada soal. Dalam hal ini pengambil tes tidak menciptakan sendiri unsur yang diperlukan untuk menjawab soal, sehingga menjadi tingkat rendah lagi. Kedua, peluang melakukan tebakan (guessing) sangat tinggi. Pengambil tes akan menggunakan semua informasi yang diingatnya untuk menjawab soal. Namun, ketika informasi yang disimpannya tidak cukup untuk secara pasti menjawab soal maka dia menebaknya. 2) Esai Tes esai adalah suatu bentuk tes yang terdiri dari pertanyaan atau suruhan yang menghendaki jawaban yang berupa uraian-uraian yang relatif panjang (Nurkancana dan Sumartana, 1986 : 42). Tes dirancang untuk mengukur hasil belajar di mana unsur-unsur yang digunakan untuk menjwab soal dicari, diciptakan dan disusun sendiri oleh peserta tes. Peserta tes harus menyusun sendiri kata-kata dan kalimat yang digunakan merumuskan jawabannya. Butir soal mengandung pertanyaan yang jawaban atau pengerjaan soal tersebut harus dilakukan dengan cara mengekspresikan pikiran peserta tes (Zainul dan Nasoetion, 1996 : 33), constructud-response tests are those that call for the examinee to produce something (Popham, 1981 : 266). Bentuk-bentuk pertanyaan atau suruhan meminta pada muridmurid untuk menjelaskan, membandingkan, 192

Rini Susanti: Hasil Belajar, Model Evaluasi dan Bentuk Tes

Website: http://www.pustekkom.go.id


mengintepretasikan dan mencari perbedaan. Semua bentuk pertanyaan tersebut mengharapkan agar murid-murid menunjukkan kepada pengertian mereka terhadap materi yang dipelajari. Tes esai digunakan untuk mengatasi kelemahan daya ukur soal objektif yang terbatas pada hasil belajar rendah. Soal tes bentuk ini cocok untuk mengukur hasil belajar yang level kognisinya lebih dari sekedar memanggil informasi, karena hasil belajar yang diukur bersifat kompleks (Subino, 1987 : 1) dan sangat mementingkan kemampuan menghasilkan, memadukan dan menyatakan gagasan. Grounlund mengatakan, “Some aspects of complex achievement are difficult to measure objectively. Learning outcomes that indicate pupils are to originate ideas, to organize and express ideas, and to integrate ideas in a global attack on a problem, require the greater freedom of response provided by essay test� (Gronlund, 1985 : 211). Soal esai berbeda dengan soal objektif dalam kebenarannya yang bertingkat. Jawaban tidak dinilai mulai dari 100% benar dan 100% salah. Kebenaran bertingkat tergantung tingkat kesesuaian jawaban siswa dengan jawaban yang dikehendaki yang dituangkan dalam kunci. Jawaban mungkin mengarah kepada jawaban yang tidak tunggal (divergence). Kebenaran yang dicapai bisa 0%, 20%, 30%, 50%, 70% atau 100% tergantung ketepatan jawabannya. Dibanding dengan tes objektif, soal essai mempunyai beberapa keunggulan. Pertama, kekuatan soal untuk mengukur hasil belajar yang kompleks dan melibatkan level kognitif yang tinggi. Kedua, memberi kesempatan pada anak untuk menyusun jawaban yang sesuai dengan jalan pikirannya sendiri. Kecakapan ini sangat penting dalam kehidupan masyarakat karena individu dalam masyarakat tidak hanya mengadakan pilihan terhadap alternatif-alternatif tapi harus menggunakan alternatif lain yang lebih berguna (Nurkancana dan Sumartana, 1986 : 42). Rini Susanti: Hasil Belajar, Model Evaluasi dan Bentuk Tes

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

193


Meski soal esai sangat berguna, namun memiliki beberapa kelemahan. Pertama, terdapat subjektivitas dalam penilaiannya karena penilai yang berbeda atau situasi yang berbeda. Dua atau lebih penilai memberikan penilaian terhadap jawaban yang sama atau seorang penilai menilai sebuah jawaban pada situasi yang berbeda sangat mungkin menghasilkan nilai yang berbeda. Kedua, tes esai menghendaki jawaban yang panjang, sehingga tidak memungkinkan ditulis butir tes dalam jumlah banyak. Akibatnya, soal tidak representatif dalam mengukur kemampuan yang diharapkan. Ketiga, penggunaan soal esai membutuhkan waktu koreksi yang lama dalam menentukan nilai.

4. MODEL EVALUASI DAN BENTUK TES Di muka sudah dijelaskan bahwa model evaluasi berhubungan dengan pandangan psikologi dalam belajar dan hasilnya. Pertama, pandangan behavioristik memandang belajar sebagai kegiatan yang mekanis sehingga hasilnya juga didapat dan digunakan secara mekanis. Model evaluasinya juga mencerminkan mekanisasi yaitu model pengukuran yang mempersamakan hasil belajar dan karakteristik kepribadian lainnya sebagaimana objek gejala alam yang evaluasinya didahului dengan kegiatan pengukuran. Kedua, pandangan kognitif memahami belajar sebagai sebuah proses otak mengolah input bahan yang diindera menjadi informasi baru yang fungsional. Pemahaman lebih diutamakan daripada sekedar hafalan, sehingga ketika pelajar dihadapkan pada situasi soal masalah maka dia akan menggunakan pemahamannya untuk membuat pemecahan. Bagian ini membahas hubungan antara model evaluasi dengan bentuk tes yang digunakannya. Model pengukuran akan menggunakan tes objektif untuk mendapatkan objektivitas dan akurasi, sedang model iluminatif akan menggunakan tes esai untuk mengungkap kedalaman pemahaman siswa yang dievaluasi.

194

Rini Susanti: Hasil Belajar, Model Evaluasi dan Bentuk Tes

Website: http://www.pustekkom.go.id


a. Model pengukuran dan tes objektif Tes objektif berhubungan dengan evaluasi model pengukuran. Evaluasi model pengukuran menuntut dilakukannya pengukuran sebelum evaluasi. Evaluasi dilakukan atas tingkah laku akhir pembelajaran menggunakan tes tertulis berbentuk objektif. Model ini meniru model evaluasi gejala alam yang menempatkan objek yang secara mekanis merespons stimulus lingkungan. Evaluasi model ini menjunjung tinggi akurasi dan objektivitas. Tujuan pengukuran adalah menghilangkan prasangka subjektivitas dalam melakukan penilaian. Mandat pengukuran diberikan kepada alat ukur dan evaluator tidak lagi mampu mengintervensi kerja alat ukur. Dengan cara demikian maka evaluator hanya menerima hasil kerja alat ukur tes yang menskor atas dasar kunci jawaban yang bersifat pasti dan memaksa, dan evaluator tidak perlu membuat penafsiran atas jawaban siswa. Hal inilah yang menghindarkan campur tangan evaluator dalam hasil pengukuran dan evaluasi. Tes objektif adalah bentuk tes yang dapat memenuhi tuntutan evaluasi model pengukuran. Dengan sifat kebenarannya yang pasti, tes objektif dapat mencapai objektivitas sebagaimana diinginkan dalam evaluasi model pengukuran. b. Model iluminatif dan tes esai Dalam model iluminatif, evaluasi bukanlah sesuatu yang terpisah tapi berhubungan dengan lingkungan belajar (learning millieau) yang menjadi konteks. Apabila siswa dinilai dengan mengisolasikan hasil belajar dari konteksnya maka menghasilkan penilaian yang artifisial. Evaluasi yang alamiah tidak dilakukan dengan mengadakan pengukuran secara objektif, tapi dengan menafsirkan jawaban secara subjektif sebelum dilakukan evaluasi. Model iluminatif menekankan pendekatan kualitatif. Evaluasi tidak didasarkan atas hasil pengukuran yang pasti dan memaksa, tapi penilai dapat menafsirkan jawaban secara subjektif. Evaluasi bersifat terbuka karena kenyataan bersifat Rini Susanti: Hasil Belajar, Model Evaluasi dan Bentuk Tes

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

195


ganda. Jawaban siswa tidak dapat diobjektifikasi karena sebuah soal masalah tidak dapat dijawab dengan jawaban tunggal dan pasti. Terbuka kemungkinan sebuah soal masalah mengandung banyak kemungkinan jawaban penyelesaian. Kebenaran jawaban tidaklah mutlak tapi relatif dan subjektif. Oleh karenanya penilaian tidak didasarkan atas hasil pengukuran tapi didasarkan atas penafsiran subjektif penilai. Atas dasar penafsiran tersebut evaluasi atas siswa dilakukan. Tes esai adalah bentuk tes yang sesuai untuk digunakan dalam model evaluasi iluminatif. Tes ini mengungkap pengertian dan pemahaman siswa atas suatu soal masalah serta kemampuannya membuat solusi pemecahan. Jawaban bersifat kompleks sehingga kemampuan penyelesaian masalah bersifat alamiah karena dapat terlihat konteks jawaban secara keseluruhan.

5. KESIMPULAN Evaluasi diperlukan untuk melihat apakah tujuan yang direncanakan sudah tercapai dalam hasil belajar. Pengumpulan datanya menggunakan tes. Tes menurut bentuknya dapat berupa objektif atau esai, dan menurut jenisnya dapat berupa esai terbatas, esai bebas, pilihan ganda, benar salah, menjodohkan dan sebagainya. Penggunaan bentuk tes sangat dipengaruhi oleh pandangan tentang belajar, hasil belajar dan model evaluasi yang digunakan. Pandangan behavioristik melihat proses belajar sebagai aktivitas mekanis mengkoneksikan stimulus pembelajaran dengan responsnya, sehingga hasil belajar merupakan hasil koneksi yang dapat diretensi. Jumlah respons terkoneksi itu menjadi kemampuan yang diperlukan untuk memecahkan masalah. Hasil retensi ini diperlukan sebagai respons otomatis untuk menghadapi soal yang diujikan dalam tes. Ketika individu dihadapkan pada stimulus masalah berbentuk soal maka ia akan memanggil informasi yang sudah diretensi untuk merespons. Model evaluasi yang digunakan adalah model pengukuran dalam bentuk tes objektif. 196

Rini Susanti: Hasil Belajar, Model Evaluasi dan Bentuk Tes

Website: http://www.pustekkom.go.id


Di sisi lain, pandangan kognitif terhadap proses belajar melihat bahwa belajar adalah kegiatan memproses informasi dalam otak. Bahan yang diinput melalui indera dikirim melalui saluran syaraf ke otak untuk diproses menjadi informasi dalam bentuk yang berbeda dengan inputnya. Hasil belajar adalah produk dari pengolahan informasi dalam otak. Informasi hasil belajar berbeda dengan bahan yang diinput karenanya adanya penafsiran pelajar terhadap bahan yang diambilnya. Model penilaian yang digunakan adalah model iluminatif di mana evaluasi terbuka untuk mengakomodasi segala macam kemungkinan informasi yang dihasilkan siswa. Informasi berbedabeda karena perbedaan proses pengolahan dalam otak siswa, dan karenanya jawaban atas sebuah soal mengandung banyak perspektif. Model evaluasi ini memerlukan alat tes berbentuk esai. Pandangan behavioristik melihat proses belajar sebagai aktivitas mekanis mengkoneksikan stimulus pembelajaran dengan responsnya, sehingga hasil belajar merupakan hasil koneksi yang dapat diretensi. Jumlah respons terkoneksi itu menjadi kemampuan yang diperlukan untuk memecahkan masalah. Hasil retensi ini diperlukan sebagai respons otomatis untuk menghadapi soal yang diujikan dalam tes. Ketika individu dihadapkan pada stimulus masalah berbentuk soal maka ia akan memanggil informasi yang sudah diretensi untuk merespons. Model evaluasi yang digunakan adalah model pengukuran dalam bentuk tes objektif. Di sisi lain, pandangan kognitif terhadap proses belajar melihat bahwa belajar adalah kegiatan memproses informasi dalam otak. Bahan yang diinput melalui indera dikirim melalui saluran syaraf ke otak untuk diproses menjadi informasi dalam bentuk yang berbeda dengan inputnya. Hasil belajar adalah produk dari pengolahan informasi dalam otak. Informasi hasil belajar berbeda dengan bahan yang diinput karenanya adanya penafsiran pelajar terhadap bahan yang diambilnya. Model penilaian yang digunakan adalah model iluminatif di mana evaluasi terbuka untuk mengakomodasi segala macam kemungkinan informasi yang dihasilkan siswa. Informasi berbedabeda karena perbedaan proses pengolahan dalam otak siswa, dan Rini Susanti: Hasil Belajar, Model Evaluasi dan Bentuk Tes

No. 17/IX/TEKNODIK/DESEMBER/2005

197


karenanya jawaban atas sebuah soal mengandung banyak perspektif. Model evaluasi ini memerlukan alat tes berbentuk esai.

DAFTAR PUSTAKA Achmadi, Asmoro (1995) Filsafat umum. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada Arikunto, Suharsimi (1995), Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan Jakarta : Bumi Aksara Bower, Gordon H. dan Hilgard, Ernest R (1981). Teories of Learning, Englewood Cliffs, NJ : Prentice Hall Inc Dahar, Ratna Wilis (1988). Teori-teori belajar. Jakarta : P2LPTK Gronlund, Norman E dan Lin, Robert L (1985), Measurement and Evaluation in Teaching, New York : Macmillan Poblishing Company Gronlund, Norman E (1985), Construction Achievement Test (Englewood Cliffis, NJ : Prentice Hall, Inc Kattsoff, Louis O (1987). Pengantar filsafat. Terjemahan oleh Soejono Soemargono. Yogyakarta : Tiara Wacana Nurkancana, Wayan dan Sumartana, PPN (1986). Evaluasi Pendidikan Surabaya : Usaha Nasional Popham, W. James (1981). Modern Educanional Measurement, (Englewood Cliffts, NJ : Prentice Hall, Inc Saifudin Azwar (1997). Tes Prestasi. Yogyakarta : Penerbit Liberty Soekanto, Soerjono (1997). Sosiologi suatu pengantar. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada Subino (1987). Konstruksi dan Analisis Tes. Jakarta : Ditjen Dikti Sudjana, Nana (1996) Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum diSekolah. Bandung : Sinar Baru Winkel, WS. (1999) Psikologi Pengajaran. Jakarta : PT Grasindo Zainul, Asmawai dan Nasoetion, Noehi (1996). Penilaian Hasil Belajar Jakarta : Dijen Dikti Depdikbud, 1996. uuuuuuuuuuuuuuuuu

198

Rini Susanti: Hasil Belajar, Model Evaluasi dan Bentuk Tes

Website: http://www.pustekkom.go.id


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.