Banjarmasin Post edisi cetak Minggu, 16 September 2012

Page 17

Smart

MINGGU 16 SEPTEMBER 2012/ 29 SYAWAL 1433 H

Women

Banjarmasin Post

www.banjarmasinpost.co.id

Di antaranya Dini Maulidya atau Dea. Dia suka menari sejak kecil. Keluarganya pun banyak yang berkecimpung di bidang kesenian. Kakeknya almarhum, Bakhtiar Sanderta, adalah seorang seniman tradisional Kalsel. Kemudian ayahnya, Arif Budiman, juga senang berkesenian dan memiliki sanggar tari Nuansa Kambar Kamanikan. “Almarhum kakek sering mengajari saya kesenian. Keluarga saya yang lain, juga ada yang penari tradisional Banjar,” kata Dea. Mahasiswa Program Studi Seni Drama Tari dan Musik FKIP Universitas Lambung Mangkurat, mengaku beberapa tari tradisional Banjar

“Alhamdulillah, waktu itu dapat dua gelar. Satunya lagi tari Pasukan Saradipa dapat Juara III,” ujar putri pasangan Arif Budiman dan Sri Wardani ini. Pada Festival Lomba Seni Siswa Nasional tingkat provinsi Kalsel pada 2011 silam, tari karyanya juga berhasil memenangi festival itu. Waktu itu tari Kambang Sasirangan, dibawakan oleh siswa SMAN 1 Banjarbaru. Meski sudah menjadi penata tari, Dea jekarang juga masih menari. Dan kemampuannya itu ditampilkannya hingga keluar negeri. Dia ikut rombongan Kalsel ke Tongtong Festival di Belanda tahun lalu. Ka-

yang dikuasainya adalah Radap Rahayu, Baksa Kembang, Japin Sigam, Japin Rantauan, Kuda Gepang. Tari kreasi atau garapan juga disukainya. Menurut gadis yang pada 27 September mendatang genap berusia 22 tahun ini, dengan tari kreasi dia bisa menerapkan apa saja ide yang ada di kepalanya. Bahkan, sejak 2009 dia mulai menjadi penata tari. “Saya dulu belajar di Sanggar Perintis Peradaban Kebudayaan Indonesia (Perpekindo) dari 2006 hingga 2011. Setelah itu saya keluar dan melatih di sanggar ayah,” ungkapnya. Banyak sudah tari garapan yang dihasilkannya, antara lain Maragap Umbayang, Turun Dayang dan Pasukan Saradipa serta Sangu Pamikat. Berkat kepiawaiannya itu pula, berbagai prestasi pernah ditorehkannya. Dia memenangi gelar Penyaji Terbaik III pada Festival Karya Tari Kreasi Daerah Kalimantan Selatan 2010 untuk tari kreasi Maragap Umbayang. Dengan tari yang sama, meraih Juara I Festival Tari Tradisional Banjar oleh Stikes Banjarmasin. Selanjutnya, tari Turun Dayang karyanya mendapat Juara II di Festival Tari Klasik dalam rangka Milad ke 507 Kesultanan Banjar pada Desember 2011.

Mau Dibayar Seratusan Ribu TAK hanya tampil mengikuti festival, para penari tari tradisional Banjar ini juga menerima tawaran manggung di berbagai acara. Mereka pun mendapatkan bayaran atas kebolehan dan kerja kerasnya.

Menurut Firzia Herwinda, anggota sanggar tari Bunga Anggrek, Banjarmasin, bayarannya tergantung yang mempunyai hajat dan jenis tari dibawakan. “Ya, sekitar Rp 150 ribu untuk

KALIMANTAN Selatan memiliki banyak ragam tari tradisional. Kebanyakan, dengan berbagai alasan sudah, tak terlalu digemari generasi mudanya. Walau begitu, masih ada juga beberapa anak muda Banua yang masih berusaha melestarikan tari tradisional Banjar itu.

Kalau sedang menarikan tari tradisional, rasanya seperti menjadi bidadari dari kahyangan dengan kostum yang mewah DEWI MAHRIANI ASTUTI Penari Tradisional Banjar

la itu, dia dan teman-temannya menarikan Japin Rantauan, Tirik Lalan dan Mandulang Intan. Alasannya menata atau menjadi koreografer tari, untuk mencari pengalaman dan mengembangkan bakat kesenian yang ada di dirinya. Melalui tari kreasi, menurutnya juga merupakan bentuk pelestariannya terhadap kesenian lokal. Dea mengaku senang dengan tari tradisional, dan tak tertarik dengan tari modern. Senada, penari muda lainnya, Firzia Herwinda juga senang menari sejak kecil. Namun, gadis kelahiran Banjarmasin, 23 Agustus 1991 yang sekarang bergabung di sanggar tari Bunga Anggrek, Banjarmasin ini, mengaku tak tertarik dengan tari modern. “Sukanya tari tradisional, yang merupakan ciri khas daerah dan warisan nenek moyang orang Banjar yang harus dilestarikan,” kata gadisa akrab disapa Zia ini. Karena itu pula, mahasiswi semester VII Program Studi Seni Tari STKIP PGRI Banjarmasin, ini terlalu menguasai tari modern. Dia memang cen-

derung tak berminat mempelajarinya. Bagi putri pasangan Rabiatul Adawiyah dan Fahrul Hasni yang tinggal di Jalan Berangas Timur, Komplek Arta Raya Perdana Blok 2 No 2 RT 24, tari modern tak jelas maknanya. Sementara di tari tradisional, itu mengandung makna serta simbol-simbol tertentu dengan pakem-pakemnya. “Tari tradisional itu gerakannya lebih gampang. Bagi saya lebih menarik. Musiknya juga tradisional,” ungkap Zia yang sekarang telah menguasai beberapa jenis tari tradisional Banjar macam Japin Rantauan, Japin Sisit, Tirik Lalan, Radap Rahayu, Kuda Gepang dan Baksa Kembang. Untuk prestasi, Zia dan teman-temannya di sanggar, pernah mendapatkan gelar juara pada Festival Tari Klasik di acara Milad ke 507 Kesul-

17

tanan Banjar tahun lalu. “Tampil di acara-acara juga, seperti di pernikahan di Rantau, Tanahbumbu dan di hotel-hotel. Pernah juga tampil sendiri,” ungkapnya. Zia belajar menari hanya di sanggarnya itu dan sanggar di kampusnya, Anum Banua Etnika. Ke depannya, setelah lulus kuliah, dia bercita-cita ingin memiliki sanggar tari sendiri. Dewi Mahriani Astuti juga senang dengan tari tradisional Banjar. Dia bergabung di sanggar tari Bunga Anggrek pimpinan Ruspandi. Bagi anak semata wayang pasangan Mahran dan Noor Mahrita ini, menjadi penari tradisional itu sesuatu yang menyenangkan. “Saya tidak tertarik dengan tari modern. Kalau tradisional lebih asyik. Kalau sedang menarikan tari tradisional, rasanya seperti menjadi bidadari dari kahyangan dengan kostum yang mewah. Rasa jadi seperti bangsawan dari keraton juga ada,” ujar Dewi. Menurut mahasiswa FKIP semester VII Program Studi Bahasa Inggris, Universitas Islam Kalimantan (Unisk a ) Syekh M u h a m mad Arsyad Albanjari ini, mempelajari tari tradisional baginya gampang-gampang susah menghafal gerakannya. “Sebab, tari tradisional itu memiliki pakem-pakem yang sudah baku. Ada aturan khusus untuk gerakan kepala, bahu, tangan, dan sebagainya. Dan itu, ada artinya semua,” ungkap gadis kelahiran Paringin, Kabupaten Balangan, 25 September 1991 ini. (ath)

sekali tampil,” kata gadis biasa disapa Zia. Uang itu, bebernya, dia gunakan untuk membeli keperluan merias dan mempercantik wajahnya sebagai seorang penari. “Biasanya, juga untuk keperluan menari,” beber Zia yang diamini temannya sesama penari, Dewi Mahriani Astuti. Dengan keterampilan menari dimiliki, mereka juga menularkannya dengan melatih tari siswa-siswa

SMP, baik untuk perpisahan maupun kegiatan ekstrakurikuler. “Pernah mengajar di sekolah, di ekstrakurikuler mereka. Di kampus, saya juga mengajari temanteman saya menari,” kata Dewi. Di kampusnya, Uniska, Dewi merupakan anggota sanggar tari. Dia koordinator sanggarnya, sehingga dia yang menentukan jenis tari apa yang harus diajarkan ke teman-temannya. Dan menurutnya, itu biasanya tari tradisional. (ath)

ISIMEWA /BANJARMASIN POST GROUP/DONNY SOPHANDI


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.