Kelas XI, Bahasa Indonesia

Page 162

Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas XI SMA/MA

Setelah ritual yang melelahkan inilah biasanya aku “bertengger” di jendela. Walaupun pemandangan di hadapanku hanya gedung yang berhiaskan pakaian berkibar-kibar, paling tidak aku bisa melihat ke angkasa, ke birunya langit, atau bergumpalnya awan, juga melihat gaya genit burung berkicau. Bisa pula aku melihat ke bawah, ke lapangan parkir dan memperhatikan orangorang yang mondar-mandir. Pokoknya melihat apa saja selain dua ruangan tempat kami tinggal, maksudku, selain ruang tamu merangkap tempat tidur dan ruang dapur merangkap ruang serba guna tempatku berdiri sekarang ini. Oh ya, masih ada kamar mandi sempit tempatku melakukan ritual mencuci pakaian di samping ruang ini. Jadi, total dua setengah ruangan jika mau dihitunghitung. Tapi tempat ini, apalagi ruangan depan, tampak lebih besar dari ukuran sebenarnya karena kami tidak memiliki mebel dan tempat tidur, hanya kasur tipis yang bisa digulung. “Nyonya Jigme Tshering, hari ini ternyata sama seperti kemarin,” ujarku pada dini sendiri. Aku senang memanggil nama baruku yang bertitelkan “nyonya”. Kedengarannya aneh? Tidak juga, dengan begitu aku sadar kewajibanku sebagai seorang ibu rumah tangga. Aku memang menikah sebulan yang lalu, 5 September 1997, dan langsung pindah ke Singapura. Titel nyonya atau ibu sudah pantas untukku, paling tidak menurutku. Mungkin nama Jigme Tshering yang kedengarannya aneh? Biasa saja, jika mengingat suamiku memang orang Tibet. Ya ... ya ... ya ... biasanya dahi orang akan bertekuk, tanda bertanya-tanya begitu mereka mendengar nama baruku. Kemudian setelah kuberi tahu bahwa suamiku orang Tibet, mereka lalu meluncurkan sederetan pertanyaan: Pantas saja namanya aneh, Jigme ... apa artinya ya? Ketemu di mana? Kok bisa-bisanya sih menikah dengan orang Tibet? Bagaimana dengan keluarga kalian? Sampai pertanyaan konyol seperti: Suamimu tinggal di gunung Everest? Sudah nonton film “Seven Years in Tibet” atau film Kungfu? Suamimu kenal Dalai Lama nggak? Terkadang dengan semangat aku bercerita bahwa nama Jigme dalam bahasa Tibet berarti tidak memiliki rasa takut atau pemberani. Terkadang jika mereka teman dekatku, aku bercanda bahwa jika ada yang memanggil Jigme di Lhasa, Tibet, pasti lebih dari sepuluh orang akan menengok karena populernya nama tersebut.

152

Perjumpaan dengan Jigme juga sebuah cerita tersendiri. Aku kenal Jigme saat sekolah di Amerika Serikat. Aku sendiri waktu itu tinggal di Pittsburg, sebuah kota di Kansas yang tidak tercantum di peta saking kecilnya. Aku pindah ke sana di awal tahun 1990. Mengapa Pittsburg? Mengapa ke kota yang kata banyak orang, “Jangan berkedip jika kamu lewat Pittsburg, karena kamu tidak sempat melihat kota itu.” Aku bosan tinggal di kota metropolitan seperti Jakarta. Menurutku, New York, Los Angeles, Chicago, dan kota terkenal lainnya tidak jauh berbeda dengan Jakarta. Di tengah-tengah Kansas, di negara bagian tempat Dorothy dari cerita film Wizard of Oz tinggal. Pilihanku untuk kuliah di Pittsburg State University (PSU) tidaklah salah. Tempatku belajar dan kota Pittsburg ibarat telur goreng, di mana universitas adalah kuningnya dan kota adalah putihnya. Konon, kota ini sempat populer pada tahun 1920-an, karena ada tempat penggalian batu bara. Banyak orang Eropa, terutama dari daerah Balkan, yang datang. Dulu penduduk Pittsburg mencapai 60 ribu orang. Karena itu, orang-orang menyebutnya Pittsburg, karena situasinya yang mirip kota besar Pittsburg (pakai huruf h) di Pennsylvania. Sayangnya, tambang habis digali, disusul dengan terbakarnya pusat rekreasi dengan jet coaster-nya, perlahan-lahan disusul hilangnya penduduk kota ini. Untung ada Pittsburg State University yang membuat kota ini tetap hidup, jadi walaupun penduduk berkurang, paling tidak sekitar 20 hingga 24 ribu orang masih tinggal. Setiap tahun untuk mengenang kejayaan kota ini, mulai tahun 1984 diadakan Little Balkans Days setiap Labor Day atau hari buruh, sekitar awal September. Ada parade pakaian tradisional ala Balkan, ada juga pameran mobil kuno, lomba masak, pasar malam dan lainnya. Disinilah serunya, karena penduduk dan pihak universitas seperti melebur jadi satu. Selain itu, di PSU atau Pittstate ini, begitu kami sebut, semua dosen penuh perhatian, dan yang terpenting, jumlah mahasiswa asingnya tidak terlalu banyak. Jadi aku bisa berbicara bahasa Inggris dan berteman dengan mahasiswa bangsa lain. Tidak seperti di Los Angeles atau San Fransisco yang mahasiswa Indonesianya membludak,


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.