Kelas XII, Bahasa Indonesia

Page 56

kelihatan punya wawasan luas. Ini Darmon, seperti yang diperkenalkannya tadi, kelihatan tidak intelek dan lebih mirip kernet bus kota. Ia begitu saja mengikuti langkah kaki saya memilih tanaman-tanaman kecil saya yang patut disemprot air karena kelihatan kering. Sepertinya Darmon tidak begitu tertarik dengan tanaman, malah mencecar saya dengan pertanyaanpertanyaan sekitar politik dalam negeri. "Ngomong-ngomong, kamu jurusan apa?" "Pertanian. Budi Daya Pertanian," jawabnya datar. Saya terkesima dan telanjur menduga ia belajar sosial politik, mulai kurang simpati karena dia justru tidak tertarik dengan hobi saya. "Ngomong-ngomong, kamu tahu tidak, nama latin bonsai yang ini?" "Oh, pohon asem ini? Kalau tidak salah, Tamaridus indica." "Kalau yang ini?" uji saya lebih jauh, kalau memang ia mahasiswa fakultas pertanian. "Ini jenis Ficus, Pak. Ini sefamili dengan karet. Tepatnya yang ini Ficus benyamina." "Kok kamu kelihatan tidak tertarik?" "Bukan itu soalnya, Pak saya pikir, ini kesenangan orang yang sudah mapan seperti Bapak. Tidak mungkin saya menggandrungi tanaman yang membutuhkan perhatian besar dan halus ini dalam keadaan liar seperti ini." "Liar? Kamu merasa orang liar?" "Nah, Bapak salah duga lagi. Bukan saya orang liar, tetapi situasi perkuliahan, praktikum, kegiatan kemahasiswaan, dan tambah lagi situasi sekarang yang membuat mobilitas saya tinggi. Jadi, bolehlah disebut liar, namun dalam pengertian yang saya sebutkan tadi." Diam-diam saya merasa ditemani. Saya menawarkan duduk berdua sambil minum kopi di teras. Saya ingin tahu lebih jauh apa yang ada dalam hati pemuda mirip gembel itu. "Maaf, kalau disuguhi kopi begini, keinginan merokok saya jadi muncul. Bapak keberatan?" ujarnya. "Inah, bawa asbak rokok ke sini," desak saya kepada pembantu yang baru saja masuk setelah menghidangkan dua cangkir kopi. "Nah, itu tandanya saya tidak keberatan. Sekarang, coba kamu ceritakan keinginan kamu terhadap kondisi negara ini setelah pemilu nanti. Bapak mau tahu langsung dari aktivis reformasi." Darmon tersenyum miring sambil menghembuskan asap rokoknya yang kelihatan mahal. Lalu ia buka suara. "Saya jadi kikuk, Bapak perlakukan saya seperti anak kecil terus." "Kamu pikir begitu? rasanya kok ndak." "Apa bedanya Bapak tanya saya begini 'Apa cita-citamu, Mon?' Sama saja kan? Maksud saya, pertanyaan Bapak itu terlalu umum."

46

"Mestinya saya tanya apa? Baik, begini. Menurut kamu, Mon, bagaimana prospek perekonomian bangsa Indonesia setelah pemilu?" "Ini insting saya saja, Pak, ya. Menurut saya kalau tidak terjadi perang karena tidak puas, karena curang lagi misalnya, ekonomi kita bakal merangkak pelan sekali. Butuh waktu tiga sampai lima tahun. Kita baru bisa bangkit lagi setelah tujuh tahun," ujarnya lancar. Saya mulai kagum dengan keberaniannya, kepolosannya, dan kelancarannya berbicara. Selama ini tidak ada anak muda yang bicara dengan gaya selancar dan sejujur dia, apalagi anak buah di kantor. Tiba-tiba saya menginginkan anak buah saya seperti Darmon. Tidak perlu membungkukbungkuk dan mengucapkan maaf berkali-kali, padahal yang diterimanya adalah haknya sendiri. Senja mulai merambat. Kami terlibat dalam percakapan yang menarik. Bahkan, ketika Maya pulang, mendorong pintu pagar, hampir-hampir tidak menjadi perhatian benar bagi Darmon. Dia hanya saling tersenyum, meski saya tahu, di belakang saya mereka pasti akrab sekali. Justru Darmon pula yang mengingatkan saya tentang senja. "Pak, sudah senja. Terima kasih atas waktu Bapak untuk saya. Saya pamit dulu." "Bagaimana kalau Maghrib di sini saja?" terlontar begitu saja dari mulut saya. Saya merasa telanjur, jangan-jangan dia tidak seagama dengan saya. "Terima kasih, saya selalu mengusahakan shalat Maghrib dan Isya di masjid. Assalamu’alaikum." Di meja makan, malam itu, saya mau tahu reaksi Maya. Sedapatnya saya ingin tahu aspirasi anak-anak agar tidak terlalu dalam jurang pemisah antargenerasi. Dari bacaan-bacaan, sering orang tua disalahkan karena tidak nyambung dengan keinginan anak-anak. Saya tak mau menjadi orang tua yang konyol. Oleh sebab itu, saya menanyai Maya di hadapan mamanya dan adiknya, Pada, yang kini sudah siswa SMA kelas satu. "Kok, kamu tidak keluar lagi, Darmon ke sini kan, mau ketemu kamu, Maya." "Ih, Papa. Orang begitu saja dilayani," jawabnya. "Jadi, dia bukan pacar kamu?" "Amit-amit, Pa. Kalau yang begituan, di kampus banyak, tuh." "Maksud Papa, meski dia bukan pacar kamu, kalau dia datang baik-baik ingin ketemu, tidak ada salahnya ditemui sebentar. Papa tidak keberatan." "Kan, sudah ada Papa yang melayani. Asyik lagi, pakai ketawa-ketawa ngakak. Untuk Papa ketahui, dia itu sekarang lebih banyak mangkal di markas reformasi. Kuliah jarang dan nilai semesternya anjlok semua. Orang seperti itu tidak punya masa depan, lho, Pa." "Apa dia pemusik rock?" tanya Papa.

Aktif dan Kreatif Berbahasa Indonesia untuk Kelas XII Program IPA dan IPS


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.