Kelas X, Bahasa Indonesia

Page 152

Kedua, konsumsi komoditi yang sensitif terhadap kenaikan BBM pun relatif kecil seperti pengeluaran untuk transportasi. Ketiga, Komoditi yang dominan dalam pola konsumsi rumah tangga 40% terbawah yaitu beras sebetulnya juga tidak bergerak banyak karena harga komoditi ini dijaga oleh pemerintah dan kenaikan harga BBM dilakukan pada saat siklus harga beras mengalami penurunan. Walhasil kalau kita lihat beban kenaikan harga BBM hingga tingkat pendapatan menengah atas cenderung meningkat lebih dari proposional dan menurun lagi – walaupun masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok 40% terbawah. Hasil perhitungan dampak pendapatan riil ini kemudian ditranslasikan dalam perhitungan indeks kemiskinan dengan menggunakan nilai pengeluaran RT yang baru setelah kenaikan harga BBM. Secara logis kemudian, tingkat kemiskinan meningkat. Simulasi kami menunjukkan peningkatan indeks kemiskinan yang terjadi untuk tahun 2005 lebih kecil daripada tahun 2002 atau 2003 (pada saat kenaikan dibatalkan) karena kenaikan harga kali ini tidak diikuti dengan kenaikan harga listrik. Tingkat kemiskinan kemudian mengalami penurunan tatkala kelompok termiskin mendapatkan kompensasi yang jumlahnya lebih besar dari kebutuhan untuk mempertahankan tingkat kesejahteraan yang sama seperti sebelum kenaikan harga BBM. Pendekatan ini dalam teori ekonomi mikro dikenalkan dengan pendekatan Compensating Variation – yang seharusnya dipahami oleh seluruh mahasiswa dan lulusan Fakultas Ekonomi. Jelas disini perhitungan yang kami lakukan mencakup seluruh rumah tangga yang ada dalam Susenas. Saya ingin menjelaskan secara gamblang dengan menggunakan contoh konkret tanpa menggunakan sistem persamaan permintaan di atas. Saya dalam menjelaskan ini secara sadar membiarkan terjadi double counting dalam perhitungan kenaikan biaya untuk memberikan semacam shockbreaker atau pengaman jika kebocoran benar-benar terjadi. Kita ambil rumah tangga yang penge­luarannya sama dengan garis kemiskinan. Berdasarkan Susenas 2002, garis kemiskinan rata-rata sekitar Rp114.000 per kapita per bulan. Untuk mendapatkan nilai garis kemiskinan tahun 2005, kita hitung dengan aku­ mulasi inflasi selama tiga tahun yaitu 6% per ta­hun . Perhitungan ini menghasilkan garis kemiskinan baru sebesar Rp135 ribu per kapita per bulan. Supaya aman dengan memperhitungkan dampak inflasi tambahan dan mudah menghitungnya, kita mark-up saja menjadi Rp150 per kapita per bulan atau kira-kira Rp650 ribu per keluarga perbulan. Kenaikan BBM nonminyak tanah sebetulnya hanya meningkatkan biaya per rumah tangga hanya Rp6500 per bulan dan kalau biaya transportasi

142

diper­hitungkan lagi, total pengeluaran meningkat sekitar Rp12.000 per bulan per keluarga. Lalu, karena keluarga ini mendapatkan raskin 20 kg dan membayar hanya Rp1000 per kg, keluarga ini secara implisit mendapat transfer sebesar 20 x (Rp 2.800 – Rp1.000) = Rp.36.000 per bulan. Kalaupun beras yang diterima hanya 10 kg saja, transfer yang diterima adalah Rp18.000 per bulan dan jumlahnya masih lebih besar dari kenaikan biaya tersebut.Dengan menggunakan raskin saja, keluarga ini telah overcompensated. Apalagi kalau ditambahkan dengan pengeluaran pendidikan yang berkisar antara Rp25 ribu hingga Rp160 ribu per bulan dan tabungan pengeluaran kesehatan karena berdasarkan Susenas 2002 dan di-markup untuk tahun 2005 kira-kira sekitar Rp20 ribu per bulan per keluarga. Harap dicatat pula simulasi di atas hanya memperhitungkan kompensasi beras plus SPP (hanya kira-kira sepertiga dari subsidi pendidikan yang direncanakan). Tanpa menggunakan perhitungan yang rumit tadi secara jelas, akibat transfer yang diperoleh kenaikan harga BBM tadi, pendapatan keluarga miskin mengalami kenaikan dan mendorong mereka keluar dari garis kemiskinan. Mengingat jarak ratarata pendapatan penduduk miskin dengan garis kemiskinan (poverty gap) di Indonesia tidak terlalu besar–karena mayoritas pendapatan mereka berada di sekitar garis kemiskinan, akan banyak keluarga miskin yang bisa terangkat. Tetapi bukan tidak ada keluarga yang mengalami turun status menjadi miskin akibat kenaikan BBM ini akibat RT ini tidak mendapatkan eligible mendapatkan kompensasi– ingat simulasi menunjukkan indeks kemiskinan meningkat hampir 0,5% atau 1 juta RT yang berubah menjadi miskin. Tetapi secara netto, jumlah yang terangkat lebih besar dibandingkan yang mengalami penurunan pendapatan. Siapa yang Dimenangkan dan Dikalahkan Aki­bat Kebijakan Ini? Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial yang mengambil pelajaran ekonomi pembangunan tentu paham tentang koefisien ketimpangan seperti Indeks Gini atau Indeks Theil. Menggunakan indeks Gini, kita tahu kalau mendekati nilai 1 maka distribusinya sangat timpang. Artinya, semua pendapatan suatu perekonomian dimonopoli oleh 1 keluarga. Kalau kita memakai indeks Gini ini untuk menghitung distribusi subsidi, hampir semua komponen BBM, indeksnya nyaris mendekati 1. Hanya minyak tanah yang nilai sekitar 0,6 – itu pun sudah timpang. Apa artinya hal ini? Kalau kita biarkan BBM te­rus disubsidi, kita secara sadar membiarkan proses ketimpangan distribusi pendapatan terus

Aktif dan Kreatif Berbahasa Indonesia untuk Kelas X


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.