Bersumber dari Pendangkalan
P
ada sebuah diskusi beberapa tahun yang lalu di Masjid Sun da Kelapa, Jakarta, penulis dikritik oleh Dr. Yusril Ihza Ma hendra. Kata Bang Yusril, ia kecewa dengan penulis karena bergaul terlalu erat dengan umat Yahudi dan Nasrani. Bukankah kitab suci al-Qur’ân menyatakan salah satu tanda-tanda seorang muslim yang baik adalah “bersikap keras terhadap orang kafir dan bersikap lembut terhadap sesama muslim (asyiddâ’u ‘alâ alkuffâr ruhamâ baynahum)” (QS al-Fath [48]:29). Menanggapi hal itu, penulis menjawab, sebaiknya Bang Yusril mempelajari kembali ajaran Islam, dengan mondok di pesantren. Karena ia tidak tahu, bahwa yang dimaksud al-Qur’ân dalam kata “kafir” atau “kuffar” adalah orang-orang musyrik (polytheis) yang ada di Mekkah, waktu itu. Kalau hal ini saja Bang Yusril tidak tahu, bagaimana ia berani menjadi mubaligh? Dengan masih adanya pendangkalan pemahaman seperti itu, penulis jadi tidak begitu heran kalau terjadi kekerasan di Ma luku, Poso, Aceh dan Sampit. Penulis mengutuk peledakan bom di Legian, Bali, karena itu berarti pembunuhan atas begitu ba nyak orang yang tidak bersalah. Walau mengutuk, tidak berarti Peristiwa ini terjadi pada acara Ta’aruf & Bedah Buku “Islam Demokra si Atas Bawah: Polemik Strategi Perjuangan Umat Model Gus Dur & Amien Rais” pada Minggu (1/12/1996) dan diadakan oleh Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia. Bertindak sebagai pembicara selain Gus Dur dan Yusril adalah Amien Rais, Nurcholish Madjid, Mohammad Sobary, dengan moderator Emha Ainun Nadjib.
g 299 h