Syari’atisasi dan Bank Syari’ah
di negeri kita. Walaupun tidak semua ajaran Islam dijalankan dengan tekun, paling tidak slogan “syari’atisasi” telah dilaku kan oleh mereka yang “sadar” akan pentingnya Islam sebagai “pemberi warna” hidup bangsa kita. Bahkan, berbagai lembaga perwakilan rakyat di tingkat propinsi, kabupaten dan kota, telah membuat sesuatu yang melanggar “kesepakatan bersama” untuk tidak mengaitkan negara kepada kehidupan beragama secara for mal atau resmi. Karena itu, ketika penulis masih menjadi Presi den, telah mengusulkan agar tiap Peraturan Daerah yang isinya bertentangan dengan undang-undang dasar dianggap batal. Karena itulah, perkembangan upaya “syari’atisasi” harus dimonitor terus, semestinya perkembangan itu harus sejalan de ngan keputusan sidang kabinet yang tertera di atas. Nah, mengapa sampai sekarang belum ada pelaksanaan syari’ah di beberapa daerah yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945? Jawab nya, karena Mahkamah Agung yang seharusnya memberikan kata akhir bagi pembahasan hal-hal mendasar bagi kehidupan kita bersama, tidak menjalankan kewajibannya. Sebuah Mahka mah Agung yang benar-benar menjalankan kewajiban, tentulah tidak takut kepada tekanan berbagai pihak, termasuk “kaum tero ris”. Karena ketakutan itu, Mahkamah Agung kita akhirnya tidak memberikan kontribusi apa-apa dalam memudahkan berbagai masalah sangat penting bagi negeri kita. Mahkamah Agung kita sekarang takut oleh tekanan dari pihak yang ingin memberlaku kan syari’ah Islam, maka benarlah apa yang dikatakan Franklin D. Roosevelt, Presiden USA yang meninggal dunia tahun 1945, bahwa apa yang harus kita takuti adalah ketakutan itu sendiri (what we have to fear is fear itself). Umpamanya, Peraturan Daerah yang dibuat DPRD Suma tera Barat bahwa perempuan tidak boleh bekerja sendirian setelah jam 09.00 malam tanpa “dikawal” seorang keluarga dekat, jelas lah sekali bertentangan dengan UUD 1945, yang menyamakan kedudukan, hak-hak dan kewajiban-kewajiban warga negara le laki dan perempuan. Syariatisasi macam inilah yang seharusnya dilihat bertentangan dengan UUD 1945, atau tidak oleh MA yang penakut itu. Kalau ada upaya membuat syariatisasi yang sejalan atau tidak bertentangan dengan UUD 1945, persoalannya adalah penggunaan nama syari’ah itu sendiri. Tentu itu dilakukan de ngan tujuan “meng-Islamkan” perundang-undangan di negeri ini, sesuatu yang sebenarnya berbau politik. Mantan Ketua Mah g 193 h