Logika

Page 1

LOGIKA (Terjemahan dari al-Mantiq, Muhammad Mahran, Kairo: Dar al-Ma‘arif, cetakan pertama: 1978)

Ahmad Fadhil, Lc., M.Hum. Dosen Filsafat Islam

Jur. Akidah Filsafat Fak. Ushuluddin Dan Dakwah IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten Serang, 1432 H./2011 M.

1


DAFTAR ISI Mukadimah Manusia adalah binatang yang logis Logika dan kehidupan sehari-hari Lalu, apakah logika itu? Logika adalah ilmu formal Apakah logika itu ilmu atau keterampilan? Relasi logika dengan ilmu lain Perkembangan ilmu logika Manfaat mempelajari logika

MUKADIMAH

2


Sering dikatakan bahwa 99% manusia tahu ilmu logika, biasa memecahkan masalah, berdebat, berasumsi, mengkategorisasi sesuatu ke kelompok-kelompoknya, tapi tidak tahu apa arti kata logika. Semua manusia—paling tidak kebanyakan dari mereka—adalah orang-orang yang logis sejak mereka dapat berkata-kata dan berbicara. Pendapat ini benar secara umum. Saya—wahai pembaca yang budiman—akan mempersembahkan sesuatu yang tidak asing bagi Anda, justru sesuatu yang Anda ketahui secara naluriah dan pergunakan dalam kehidupan sehari-hari, walaupun Anda tidak tahu nama atau definisinya. Tapi, Anda akan tahu bahwa pengetahuan naluriah kita tidak mencukupi dari pengetahuan perolehan (pengetahuan lewat pembelajaran) dan senantiasa butuh pengasahan, pelatihan, dan pembelajaran. Tapi, wahai pembaca yang budiman, pada halaman-halaman berikut ini Anda jangan berharap akan mendapatkan lebih daripada garis-garis besar yang membingkai apa yang kita sebut logika, karena buku ini hanya akan mengisyaratkan beberapa tema umum yang dikemas tanpa istilah-istilah teknis yang termasuk dalam kajian-kajian spesialis. Sebab, tujuan saya di dalam buku ini hanya memberi gambaran umum tentang logika, karakternya, dan manfaatnya. Semoga Allah SWT membuat halaman-halaman buku ini mencapai tujuan yang kami tetapkan tersebut. Hanya Dia-lah Pemberi pertolongan. Muhammad Mahran

MANUSIA ADALAH BINATANG YANG LOGIS

3


Manusia adalah setengah binatang. Ini tidak dapat diragukan. Ia sama dengan binatang lain dalam hal kecenderungan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan badan, meraih tuntutan-tuntutan naluriah, sehingga dia berusaha mencari makanan, pakaian, tempat perlindungan, dan teman untuk melanjutkan kehidupannya dan menjaga jenisnya. Beberapa perilakunya muncul dari kecenderungan alami, seperti cinta, benci, dan memiliki. Dia juga berusaha, berdasarkan dorongan alami, untuk berafiliasi pada masyarakat dan hidup bersamanya untuk melindungi dan menjamin keselamatannya. Tapi, selain memiliki aspek kebinatangan, manusia juga memiliki keistimewaan yang unik dan tiada bandingannya di antara binatangbinatang lain, yang dengannya Allah memuliakannya dan membuatnya pantas menjadi khalifah di bumi. Aspek apakah yang mengistimewakan manusia sehingga tidak menjadi sekadar binatang? Para pemikir berbeda pendapat dalam menentukan aspek tersebut. Ada yang menemukan ciri khusus manusia itu pada sifat “sosial” yang bentuknya yang paling halus tidak mungkin terlihat kecuali pada individu-individu manusia. Karena itu dikatakanlah bahwa manusia adalah “binatang sosial”. Ada juga yang memperoleh aspek pembeda manusia dari binatang lain itu dengan berpijak pada pengaturan masyarakat dari sisi politik. Maka dikatakanlah bahwa manusia itu “binatang politis”. Ada juga yang berpendapat bahwa kehidupan moral-lah kriteria final antara manusia dengan binatang. Maka dikatakanlah bahwa manusia adalah “binatang yang bermoral”. Terlihat jelas bahwa semua definisi itu mengasumsikan bahwa manusia—berbeda dengan binatang—mampu merenungi dan menyadari urusan-urusan hidupnya dan mampu menimbang akibatakibat dari perbuatannya. Atau, ringkasnya, berperilaku dengan berdasarkan pada perhitungan dan pemikiran. Di sinilah letak kekuatan definisi klasik bagi manusia, yaitu “binatang yang berakal” atau binatang yang berpikir. Sebab, jika kita menerima bahwa manusia itu berakal atau berpikir, maka sudah alamiah jika dia menjadi bersifat sosial, politis, dan bermoral. Jadi, semua definisi itu kembali definisi terakhir ini yang tak ubahnya batang bagi cabangcabang. Jadi, pembeda antara kelompok manusia dengan kelompok binatang yang lain ada pada akal atau pemikiran. Boleh jadi ada seseorang yang bertanya, apakah sifat “berpikir” benar-benar merupakan sifat bagi manusia saja? Apakah kita tidak dapat menemukan “sejenis pemikiran” pada perilaku binatang ketika

4


mereka menghadapi persoalan? Orang yang mengajukan pertanyaan ini sebenarnya tidak sepenuhnya salah. Sebab, perilaku beberapa binatang pada keadaan-keadaan tertentu memuat sejenis pemikiran. Tapi, tidak dapat diragukan bahwa pemikiran manusia—minimal dari segi derajat—berbeda dengan pemikiran binatang. Derajat ini nampaknya sedemikian besar sehingga sifat “berpikir” tidak dapat disematkan kepada manusia dan binatang dengan pengertian yang sama, sehingga penggunaan kata ini dibatasi pada manusia saja. Hanya manusia—dan tidak binatang-binatang yang lain—yang memiliki nikmat berupa kecerdasan atau akal. Beberapa pemikir dari kalangan ahli psikologi enggan menafikan keberadaan nikmat tersebut pada binatang. Mereka mengangkat wacana “akal binatang” dan “kecerdasan binatang”, dan seolah-olah berusaha memperpendek jurang yang kita pikirkan membentang antara manusia dengan binatang. Eksperimen yang dilakukan beberapa ahli psikologi pada perilaku beberapa binatang yang hasilhasilnya mereka aplikasikan—walaupun dengan sangat hati-hati— pada perilaku manusia adalah dalil bagi keyakinan mereka bahwa kecerdasan binatang tidak berbeda secara substantif dengan kecerdasan binatang. Meskipun demikian, tetap ada fakta yang tidak dapat diragukan dan tidak dapat diperdebatkan bahwa manusia itu “logis” dalam pemikirannya. Jika binatang dapat disifati “berpikir” dalam pengertian tertentu, maka manusia saja yang mampu “berpikir secara logis”. Maksud saya, hanya manusia yang mampu menilai betul atau keliru, memilah antara benar dengan salah, membedakan antara hak dengan batil, menghasilkan konklusi-konklusi dari premis-premis, dan memberikan justifikasi bagi keyakinan atau konklusi. Jadi, jika kita hendak mendefinisikan manusia yang membedakannya dari binatang lain, maka kita tidak akan mendapati sesuatu yang lebih baik daripada aspek yang istimewa ini yaitu pemikiran yang logis. Dengan dasar ini, manusia adalah “binatang” yang berpikir secara logis, akalnya berbeda dengan akal binatang-binatang lain bahwa akalnya adalah “akal logis”, dan akal inilah pemberian ilahi bagi manusia yang dengannya manusia berbeda dengan kelompok-kelompok binatang lain yang sejenis dengannya dan dengannya mereka menjadi khalifah Allah dan pemimpin bagi makhluk-makhluk-Nya di dunia. Mungkin orang itu bertanya kembali, “Jika demikian, maka manusia itu makhluk yang logis dan melakukan pemikiran logis dalam

5


kehidupan sehari-hari secara alamiah. Benarkah kita melakukan hal tersebut dalam kehidupan sehari-hari kita? Jika benar, apa perlunya kita kepada ilmu yang membahas dan mengkaji sesuatu yang ada pada diri kita secara fitrah, yaitu ilmu logika?� Pertanyaan-pertanyaan ini akan kita bahas di dalam bab berikutnya.

LOGIKA DAN KEHIDUPAN SEHARI-HARI Salah satu definisi logika yang utama adalah—sebagaimana akan kita bahas sebentar lagi—ilmu tentang penarikan kesimpulan (alistidlal). Logika menetapkan prinsip-prinsip umum yang harus

6


dipenuhi oleh manusia ketika dia beralih dari hal-hal yang dia ketahui atau dia terima kebenarannya kepada hal-hal lain yang niscaya darinya agar dia tidak sampai kepada putusan-putusan yang salah. Jika kita mempertimbangkan pengertian umum ini, lalu kita berusaha menganalisa apa yang kita lakukan dalam kehidupan seharihari, maka jelas bagi kita bahwa kita melakukan jenis pemikiran logis ini. Ketika kita berusaha memecahkan problem teoritis atau ilmiah apa pun, atau kita ikut dalam perdebatan atau diskusi, maka sesungguhnya kita melakukan—dalam derajat yang berbeda-beda—aktivitas pemikiran yang dapat kita sebut dengan pemikiran logis. Kebanyakan pengetahuan kita memang diperoleh secara langsung atau tanpa perantara, atau termasuk jenis pengetahuan yang dapat diverifikasi dengan observasi langsung, seperti pengetahuan saya bahwa ini adalah kursi, itu adalah meja, ini merah, itu hijau, dst. Akan tetapi, penarikan kesimpulan yang logis akan membawa kita kepada sesuatu yang lebih banyak daripada observasi sederhana dan itu terjadi secara tidak langsung lewat sesuatu yang sudah kita ketahui atau sudah kita terima kebenarannya. Salah satu urusan yang biasa dan kita ketahui dengan jelas dalam kehidupan sehari-hari adalah kita selalu menuntut dalil atas kebenaran klaim orang lain dan kita tidak menerima secara membabi buta segala sesuatu yang dikatakan kepada kita. Kita memang berbeda satu dengan lainnya dalam menerima dalil tertentu seiring perbedaan pengetahuan kita tentang kekuatan dan kelemahan dalil itu. Tapi, biasanya kita menuntut dalil tersebut. Meminta dalil sama dengan meminta justifikasi logis yang membuat perkataan seseorang dapat kita terima. Bahkan, kadang-kadang, kita meminta dalil untuk hal-hal yang sangat sederhana. Jika teman Anda berkata, “Saya merasa suhu badan saya meninggi,” maka Anda segera menjawab, “Coba lihat.” Lalu, Anda pun meletakkan tangan Anda di dahinya, misalnya, sebagai usaha mencari dalil atas kebenaran perkataannya. Adapun penarikan kesimpulan logis—di dalam kehidupan seharihari—itu terjadi dalam bentuk yang berbeda dengan observasi langsung. Jika Anda masuk ke dalam kamar Anda bersama seorang teman, lalu tiba-tiba muka Anda terlihat kaget dan Anda pun mengatakan, “Aku kecurian,” maka teman Anda pasti terkaget-kaget juga dan bertanya, “Bagaimana?” Tentu saja maksudnya adalah bagaimana Anda tahu bahwa Anda telah kecurian. Jawaban Anda biasanya didahului kata “sebab”. Misalnya, Anda mengatakan,

7


“Sebab, jendela itu pecah dan beberapa barang di kamar ini hilang.” Dengan jawaban ini, Anda telah memberikan justifikasi bagi kebenaran putusan yang Anda peroleh, yaitu pencuri telah mencuri barang-barang Anda. Jika kita menganalisa kata-kata Anda ini, kita dapat menyusunnya sebagai berikut: Jika jendela kamar pecah dan beberapa barang yang ada di kamar hilang, maka pencuri telah masuk ke dalam kamar. Sekarang, jendela itu terbuka dan beberapa barang di kamar hilang. Jadi, pasti ada pencuri yang telah masuk ke kamar ini. Susunan ini dalam bahasa teknis logika disebut “silogisme”. Contoh lain. Anda membeli kulkas baru. Anda melihat bagian dalam kulkas itu menyala setiap kali Anda membuka pintunya. Itu dikarenakan ada lampu di dalamnya. Mari kita andaikan Anda melakukan hal tersebut di depan orang yang sedemikian kritis sehingga dia mempertanyakan bagaimana cara Anda mengetahui bahwa lampu di dalam kulkas itu menyala ketika dibuka, maka Anda pasti akan heran dan menjawab, “Bukankah kamu melihatnya?” Tapi, mari kita andaikan bahwa teman Anda itu sedemikian kritis sehiingga bertanya lagi kepada Anda, “Apakah lampu itu akan padam ketika pintu kulkas ditutup?” Anda akan menjawab ya. Teman Anda itu akan bertanya lagi, “Bagaimana kamu tahu?” Kini, Anda tidak dapat menjawab berdasarkan pengalaman inderawi langsung dan Anda pasti memperoleh kesimpulan itu secara tidak langsung melalui pengandaian atau peristiwa lain yang dapat diterima kebenarannya. Misalnya Anda mengatakan, “Jika kunci ini ditekan (Anda benarbenar menekan kunci itu dengan tangan Anda), maka lampu padam. Ketika pintu kulkas ditutup, maka kunci itu tertekan. Karena itu, ketika pintu kulkas ditutup, lampu itu padam.” Jadi, Anda memperoleh kesimpulan logis tidak melalui pengalaman inderawi, melainkan sebagai konklusi dari penarikan kesimpulan logis. Hanya saja ketika kita memecahkan masalah dengan cara tersebut, biasanya kita tidak tahu bahwa kita melakukan sesuatu yang layak disebut sebagai “pemikiran logis”. Sebab, pemecahan masalah itu terjadi secepat pemikiran itu sendiri, sehingga hal itu nampak wajar, biasa, dan tidak membutuhkan penamaan tersebut. Tapi, hal ini akan lebih jelas ketika kita menghadapi pertanyaan tentang penyebab keyakinan kita pada sesuatu atau cara kita memperoleh kesimpulan tertentu. Jika kita andaikan ada seseorang yang yakin bahwa “dokter itu tidak dapat melakukan apa pun pada pasien”, lalu kita membantah

8


keyakinan itu, maka kita pasti bertanya kepadanya—dengan sedikit bantahan—tentang penyebab keyakinannya itu. Maka, dia mengatakan, misalnya, “Sebab, jika penyakit yang diderita pasien itu sangat parah, maka dokter tidak dapat melakukan apa-apa kepadanya. Jika penyakitnya ringan, maka dia tidak membutuhkan dokter.” Jawaban orang itu diawali dengan kata “sebab” dan diikuti dengan penjelasan tentang sebab, dalil, pijakan logis, atau premis-premis argumentasinya. Ketika formulasi premis-premis dan kesimpulan yang niscaya dari premis-premis itu telah kita buat, maka jelas bahwa kita mempunyai “silogisme logis”. Perlu diungkapkan sekarang bahwa di dalam kehidupan seharihari biasanya kita tidak menggunakan argumentasi-argumentasi logis yang panjang, tapi biasa meringkasnya. Maksudnya, kita tidak menyebutkan semua bagian argumentasi, tapi membuang beberapa premis, atau kadang-kadang membuang konklusinya yang sudah dipahami oleh pendengar atau pembaca dari konteks kalimat. Boleh jadi ini disebabkan orang-orang yang kita ajak bicara atau berinteraksi dengan kita biasanya memiliki latar belakang pemikiran yang kita miliki sehingga mengemukakan penjelasan yang panjang justru akan terlihat berlebih-lebihan dan sikap sok pintar. Jika Anda membantah pendapat seseorang—seperti pendapat tentang peran dokter dalam kesembuhan pasien tersebut—dengan mengatakan, “Pendapatmu ini tidak dapat diterima karena berlebih-lebihan,” maka ini juga argumentasi logis yang kesimpulannya adalah pendapat itu tidak diterima. Justifikasi penolakan ini adalah karena pendapat tersebut berlebih-lebihan. Di sini jelas ada bagian dari argumentasi yang dibuang, tapi dapat dipahami dari konteks kalimat. Bagian tersebut adalah, “Segala yang berlebih-lebihan tidak dapat diterima.” Jika kita hendak menempatkan bagian tersebut pada tempatnya di dalam argumentasi, maka kita memiliki silogisme sebagai berikut: Semua pendapat yang berlebih-lebihan tidak dapat diterima. Pendapat ini berlebih-lebihan. Jadi, pendapat ini tidak dapat diterima. Anda dapat juga mengatakan, “Pendapat ini tidak dapat diterima karena semua pendapat yang berlebih-lebihan tidak dapat diterima.” Atau, “Pendapat ini berlebih-lebihan dan semua pendapaat yang berlebih-lebihan tidak dapat diterima.” Di dalam kedua susunan kalimat ini, ada bagian argumentasi yang dibuang. Tapi, bagian yang

9


dibuang itu dapat dipahami karena sudah tercakup di dalam konteks pembicaraan. Model argumentasi logis seperti inilah yang membentuk mayoritas pembicaraan kita. Dari penjelasan ini kita dapat menyimpulkan bahwa manusia benar-benar melakukan pemikiran ilmiah dalam kehidupan sehariharinya, meskipun dia tidak menyadarinya, sehingga kita pun dapat mengatakan bahwa manusia adalah binatang yang logis dan berbeda dari binatang-binatang lain berkat nikmat ilahiah ini, yaitu nikmat akal logis. Sekarang mari kita mendiskusikan pertanyaan lain yang telah diajukan pada bagian terdahulu, yaitu, “Jika manusia adalah makhluk yang logis secara alamiah, maka untuk apa kita mempelajari ilmu logika?” Di sini kami katakan bahwa semua pengetahuan dan ilmu itu dipelajari dan manusia berusaha memperolehnya. Tapi, tidak semua pencari ilmu—seperti dikatakan Abu Hamid al-Ghazali—mencari ilmu dengan baik dan mendapat jalan ke tujuannya; dan tidak semua pencari pengetahuan memperoleh jalan kepada kesempurnaan dan terhindar dari godaan untuk berhenti sebelum mencapai puncak kesempurnaan. Artinya, manusia, baik di dalam kehidupan sehari-hari atau dalam upayanya mencari pengetahuan apa pun, terancam oleh kesalahan. Boleh jadi dia salah dalam menggunakan bakat rasional logisnya sehingga dia membuat penarikan-penarikan kesimpulan atau putusan-putusan yang salah. Kesalahan seperti ini tidak dilakukan oleh orang primitif saja, tapi oleh setiap manusia bagaimana pun tingkat kemajuan peradabannya. Siapa di antara kita yang tidak pernah salah dalam menilai orang atau sesuatu? Siapa di antara kita yang tidak pernah sekali dua kali terjebak dalam kontradiksi? Bukankah kita sering mengoreksi penilaian-penilaian dan konklusi-konklusi yang kita buat setelah kita menyadari kesalahannya? Lalu, kita menjustifikasi hal itu dengan ketergesa-gesaan, kondisi mental atau fisik, dll? Karena itu, manusia butuh pada ilmu yang menetapkan prinsip-prinsip penting untuk mengendalikan pemikirannya, menimbang putusan-putusannya, agar dia terhindar dari kesalahan dan kontradiksi yang mungkin saja terdapat di dalam pemikirannya. Ilmu itulah yang kita sebut ilmu logika. Seseorang memang boleh jadi dapat berpikir secara teratur tanpa mempelajari logika, persis seperti orang Arab—terutama pada zaman dulu—dapat membuat puisi tanpa belajar ilmu ‘Arud. Tapi, dalam pemikiran tersebut, orang itu dapat membuat kesalahan tanpa dia

10


sadari. Jadi, lebih baik baginya untuk mengetahui kaidah-kaidah pemikiran yang benar, bahkan penting sekali baginya untuk mengetahui hal itu agar dia mengetahui karakter pemikiran dan kaidah-kaidahnya, agar dia dapat menghindari kesalahan tersebut. Karena itu, al-Ghazali—sekali lagi—mengatakan, “Hubungan logika dengan dalil-dalil akal seperti hubungan ilmu ‘Arud dengan puisi dan ilmu Nahwu dengan i‘rab. Sebagaimana syair yang menyimpang atau yang sesuai dengan wazan hanya dapat diketahui dengan ilmu ‘Arud, i‘rab yang benar atau salah hanya dapat diketahui dengan ilmu Nahwu, maka dalil yang betul atau keliru dan yang benar atau salah hanya dapat diketahui dengan ilmu logika.”

LALU, APAKAH LOGIKA ITU? Kata “logika” dalam bahasa Arab (al-mantiq) berasal kata alnutq atau al-kalam. Kata nutq tidak hanya mengindikasikan keluarnya kata-kata dari mulut pembicara, tapi juga mengindikasikan pengetahuan tentang makna-makna rasional universal yang disadari oleh pembicara ketika berbicara, juga mengindikasikan jiwa rasional manusia dengan segala karakteristik istimewanya. Artinya, nutq

11


adalah sifat unik manusia yang membuat mereka saja yang dapat menggunakan bahasa secara sadar dan mengetahui makna-maknanya yang abstrak. Dengan demikian, kata ini sangat tepat untuk dijadikan nama bagi ilmu ini, yaitu ilmu logika (mantiq). Tentang hal ini alTahanuwi berkata, “Disebut mantiq karena nutq dapat ditujukan baik kepada lafal, pengetahuan tentang universalitas-universalitas, maupun kepada jiwa rasional. Karena ilmu ini menguatkan yang pertama, membimbing yang kedua kepada jalan yang lurus, dan menyebabkan kesempurnaan kepada yang ketiga, maka ilmu ini disebut mantiq.� Sedang kata logic dalam bahasa Inggris atau yang sebanding dengannya dalam bahasa-bahasa Eropa modern diambil dari kata Yunani klasik, yaitu logos, yang berarti akal atau pembicaraan. Kata ini digunakan sebagai bagian dari banyak ilmu, seperti geologi, biologi, psikologi, dll, untuk menunjukkan kajian yang teratur tentang hukum-hukum atau prinsip-prinsip umum yang dicari oleh ilmu-ilmu tersebut dengan menggunakan sejumlah kriteria rasional dan prosedur eksperimen. Perlu disebutkan di sini bahwa Aristoteles (484-322 SM), filsuf Yunani klasik, dianggap sebagai peletak pertama ilmu logika. Dia tidak menggunakan kata logos di dalam karya-karyanya, tapi menggunakan kata al-tahlilat (analytic) untuk menunjukkan apa yang sekarang disebut logika. Saya tidak mengetahui secara pasti siapa yang pertama kali menggunakan kata ini dan kapan. Pendapat yang paling kuat menyatakan bahwa kata ini dicetuskan oleh para komentator Aristoteles pada abad I sebelum Masehi. Bagaimanapun, pengertian derivatif kata ini memberikan petunjuk tentang makna logika secara umum. Logika adalah ilmu yang mengkaji hukum-hukum atau prinsip-prinsip umum yang ada pada pemikiran manusia tanpa memperhatikan objek pemikiran itu, atau ilmu yang menetapkan kaidah-kaidah umum yang jika dipenuhi oleh manusia maka akan melindungi pikirannya dari kesalahan apa pun objek yang dibicarakannya. Artinya, logika tidak dikhususkan bagi suatu ilmu, suatu bidang, atau suatu jenis pemikiran. Dengan kaidah-kaidah umum yang ditetapkannya, ilmu ini berlaku bagi semua ilmu dan pengetahuan. Sebab, prinsip-prinsip ini tak ubahnya syaratsyarat umum bagi validitas pemikiran tanpa memperhatikan objek dan materinya. Boleh jadi inilah faktor yang membuat Aristoteles mengeluarkan logika dari wilayah ilmu dan tidak memasukkannya ke dalam salah satu kelompok ilmu, baik teoritis maupun praktis. Sebab,

12


ilmu teoritis, seperti fisika dan matematika, dalam pandangan Aristoteles, bertujuan memperoleh pengetahuan-pengetahuan murni, sedangkan ilmu praktis, seperti etika dan politik, bertujuan mengatur perbuatan-perbuatan manusia. Adapun logika, dalam pandangannya, adalah ilmu tentang hukum-hukum berpikir tanpa memperhatikan objek pemikiran itu, sehingga dia menganggapnya sebagai gerbang dan alat bagi semua ilmu dalam berbagai jenisnya karena logika adalah jenis pengetahuan yang harus dikuasai sebelum mempelajari ilmu apa saja. Para ahli logika muslim juga memandang logika demikian, yaitu sebagai gerbang ilmu. Tapi, mereka tidak mengadopsi pandangan itu sepenuhnya. Di dalam berbagai definisi yang mereka kemukakan, kita dapat melihat keraguan mereka dalam menetapkan apakah logika itu alat ilmu atau ilmu. Ibnu Sina terkadang mendefinisikannya sebagai “alat yang melindungi pikiran dari kesalahan ketika membuat persepsi atau penilaian, dan mengantarkan kepada keyakinan dan kebenaran dengan memberikan faktor-faktor penyebabnya dan metode meraihnya.” Dia juga menggambarkan logika sebagai “abdi ilmu”. Sebab, logika bukan tujuan final, tapi instrumen ilmu, sehingga seolah-olah logika adalah abdi atau pembantu bagi ilmu. Al-Farabi juga kadang-kadang menggambarkan logika sebagai pimpinan ilmuilmu karena hukum-hukumnya berlaku di dalam semua ilmu, sehingga dia seolah-olah pemimpin dan pengatur bagi kesemuanya. Jelas bahwa logika, berdasarkan keterangan-keterangan ini, adalah alat atau gerbang ilmu. Bahkan, ketika menulis al-Shifa’ yang berisi penjelasan tentang ilmu-ilmu yang populer pada saat itu, Ibnu Sina mengkhususkan bagian pertama untuk mengkaji logika sebagai “Pengantar al-Shifa’”. Begitu juga pendapat banyak ahli logika muslim lainnya. Tapi mereka terkadang mendefinisikan logika sebagai salah satu ilmu filosofis (yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ilmu-ilmu yang dikenal pada waktu itu). Ibnu Sina terkadang menyatakan bahwa logika adalah ilmu tentang penarikan kesimpulan atau ilmu yang menetapkan kaidah-kaidah peralihan dari hal-hal yang diterima kebenarannya kepada hal-hal yang niscaya darinya. Ibnu Sina mengatakan, “Logika adalah ilmu yang diketahui dengannya bentukbentuk peralihan dari hal-hal yang sudah ada di dalam pikiran manusia kepada hal-hal yang ingin diadakan.” Al-Tahanuwi mengatakan, “Logika adalah ilmu tentang hukum-hukum yang mengajarkan peralihan dari hal-hal yang sudah diketahui kepada hal-hal yang

13


belum diketahui, serta syarat-syaratnya sehingga tidak terjadi kekeliruan dalam pemikiran.” Al-Farabi juga terkadang memperlakukan logika sebagai salah satu ilmu filosofis dan bukan sekadar pengantar. Jadi, kita dapat menyimpulkan bahwa para ahli logika Arab tidak menemukan kontradiksi antara logika sebagai pengantar ilmu dengan logika sebagai salah satu ilmu filosofis, karena kedua pernyataan ini dapat diharmonisasikan. Pada masa modern, para ahli logika hampir sepakat bahwa logika adalah ilmu formal dan objeknya adalah penarikan kesimpulan yang diawali dengan premis-premis yang kita terima kebenarannya dan berakhir dengan konklusi-konklusi yang niscaya darinya. Salah seorang ahli logika modern mengatakan, “Logika adalah ilmu yang mengkaji prinsip-prinsip umum pemikiran yang benar. Objeknya adalah penetapan syarat-syarat untuk menjaga validitas peralihan dari putusan-putusan yang sudah diasumsikan kebenarannya kepada putusan-putusan yang niscaya darinya.” Dalam definisi-definisi lain diterangkan bahwa logika adalah “ilmu tentang bentuk-bentuk yang niscaya dalam pemikiran” atau “ilmu tentang bentuk pemikiran”. Definisi-definisi itu, meskipun berbeda-beda dalam beberapa aspek, namun sepakat bahwa logika adalah ilmu inferensial yang menetapkan prinsip-prinsip umum yang dijadikan pijakan untuk memperoleh putusan dari putusan-putusan lain yang telah diterima kebenarannya. Inferensi ini tidak memperhatikan materi pemikiran, tapi mencurahkan seluruh perhatiannya pada “format” pemikiran. Karena itulah logika disebut sebagai ilmu “formal”. Hal ini akan kita bahas pada bagian berikutnya.

LOGIKA ADALAH ILMU FORMAL Agar kita mengerti format logis, mari kita perhatikan beberapa contoh sederhana dari kehidupan sehari-hari berikut ini. Tidak diragukan lagi bahwa kita menerima bahwa segala sesuatu yang kita cerap dengan indera memiliki bentuk tertentu selain materi atau bahan yang menyusunnya. Jika kita melihat bangku-bangku, ada yang terbuat dari kayu, ada yang terbuat dari besi, ada yang terbuat dari plastik, dst, maka kita akan mengatakan bahwa kesemuanya adalah bangku tanpa memperhatikan bahan pembuatannya dan tipe

14


penampilannya, karena ada sesuatu yang dimiliki bersama-sama oleh kesemuanya. Itulah yang kita sebut “format” bangku. Kesemuanya terbuat dari potongan-potongan satu macam bahan atau lebih yang terkait satu sama lain dengan cara tertentu sehingga relasi antara potongan-potongan itu terlihat dalam bentuk yang khas bagi bangku. Artinya, relasi-relasi antara bagian-bagian yang menjadi bahan bangku —apapun bahan bagian-bagian tersebut—itulah yang memberikan “format” bagi bangku. Hal yang sama dapat dikatakan pada musik, puisi, dan seni-seni lainnya. Sonata bukanlah nada-nada yang dikumpulkan secara acak, tapi nada-nada yang diatur dengan cara tertentu yang diperhatikan dengan seksama. Suara-suara yang keluar dari alat-alat musik adalah “bahan sonata”. Adapun formatnya adalah relasi yang ada antara nada-nada tersebut. Perlu diisyaratkan di sini bahwa sesuatu dibedakan dengan yang lainnya berdasarkan “formatnya”, bukan dengan “materinya”. Kita mengatakan ini “meja” karena ia memiliki “bentuk” yang menjadi ciri khas meja tanpa memperhatikan bahan yang membuatnya. Kita mengatakan itu adalah “mobil” atau itu adalah “pintu”, juga berdasarkan “formatnya”, bukan materi atau bahannya. Contoh-contoh konkrit ini memberikan gambaran tentang makna “format logis” atau shakl mantiqi. Format logis adalah relasi-relasi yang ada antara bagian-bagian kalimat, “proposisi”, atau argumentasi. Jika dikatakan kepada kita: Keluarga adalah cikal bakal masyarakat, maka kita memiliki—dalam bahasa logika—sebuah “proposisi” yang tersusun dari dua bagian atau dua unsur, yaitu keluarga (disebut subjek/mawdu‘) dan cikal bakal masyarakat (disebut predikat/mahmul). Kedua unsur ini terikat oleh ikatan “adalah” (yang kemunculannya di dalam bahasa Arab bukan kemestian, bahkan memunculkannya terkadang justru merusak ungkapan). Tapi, di sini kita berbicara tentang sesuatu yang tertentu atau “materi” tertentu. Jika kita membuat simbol “A” untuk bagian pertama, simbol “B” untuk bagian kedua, maka kita memiliki ungkapan: A adalah B Ungkapan ini tidak memperlihatkan kepada kita selain relasi yang ada di antara kedua bagian itu tanpa menentukan apa kedua bagian tersebut. Karena itu, kita memiliki “format” bagi proposisi terdahulu dan setiap proposisi yang tersusun dari subjek dan predikat.

15


Jadi, ungkapan tersebut adalah “format” bagi semua proposisi seperti “Bumi itu bulat,” “Orang-orang itu marah,” “Matahari terbit,” dsb. Meskipun elemen-elemen praktis yang menyusun proposisi-proposisi itu berbeda-beda, semuanya berada dalam satu “format”, yaitu yang kita sebut “format predikatif” (surah hamliyyah), yaitu format yang menunjukkan adanya sesuatu yang kita katakan kepadanya sesuatu yang lain, atau adanya sesuatu yang disifati (mausuf) yang kita berikan kepada sifat tertentu, atau dengan bahasa logika, ada mawdu‘ yang kita berikan mahmul tertentu kepadanya, tanpa menentukan apa materi mawdu‘ dan mahmul itu. Berkaitan dengan format inferensi, ini dapat dijelaskan dengan contoh berikut: Jika aku melihat lampu lalu lintas di hadapanku menyala merah, maka aku harus menghentikan mobilku. Sekarang aku melihat hal itu. Karena itu, aku harus menghentikan mobilku. Di sini kita melihat bahwa argumentasi ini tersusun dari: 1) Proposisi yang menunjukkan kondisi atau syarat tertentu, dan ia mengungkapkan aturan sederhana dari tata tertib lalu lintas. 2) Proposisi kedua yang menunjukkan peristiwa, yaitu aku sekarang melihat nyala merah yang berkaitan dengan gerak lalu lintas. 3) Konklusi yang niscaya dari kedua proposisi tersebut, yaitu keharusan bagiku untuk menghentikan mobil. Jika kita membuat simbol “Q” untuk “melihat lampu lalu lintas menyala merah” dan “K” untuk “kewajiban menghentikan mobil”, maka kita memiliki format sebagai berikut: Jika Q maka K. Q benar. Karena itu, K benar. Format ini tidak khusus bagi argumentasi yang berkaitan dengan lalu lintas dan pemilik mobil, tapi bagi semua argumentasi yang mengambil format ini walaupun materi dan elemennya berbeda. Jumlah format logis ada banyak sebanyak cara penyusunan lafal, kalimat, atau proposisi. Kajian logika berkaitan dengan syarat-syarat yang berkaitan dengan format-format itu, dan bukannya dengan elemen-elemen praktisnya. Karena itu, logika disebut bersifat formal.

16


Perlu dijelaskan di sini bahwa semua ilmu, apa pun jenisnya, dalam pengertian tertentu bersifat formal juga. Artinya, ilmu-ilmu itu selalu mengkaji segi-segi kesamaan dari contoh-contoh parsial yang berbeda-beda untuk memperoleh hukum-hukum umum yang menafsirkan parsial-parsial itu dan parsial-parsial yang serupa. Dalam ilmu, ini disebut generalisasi atau perampatan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa semua ilmu memuat aspek formal. Tapi, formalitas ini, yang semakna dengan generalisasi atau abstraksi, mencapai puncaknya dalam logika. Setelah logika, tingkat formalitas atau generalitas tertinggi secara berurutan dimiliki oleh matematika, ilmu-ilmu alam, dan terakhir ilmu-ilmu humaniora. Penyebab formalitas logika adalah dia tidak berkaitan dengan materi tertentu, tapi selalu menetapkan prinsip-prinsip umum pemikiran apapun objeknya. Karena itu, logika harus benar-benar umum. Derajat keumuman yang absolut ini tidak dapat diperoleh jika logika bergantung kepada materi pemikiran tertentu. Semakin sedikit ketergantungan suatu ilmu kepada materi, semakin bertambah derajat keumumannya. Karena itu, logika menghindari pertimbangan atas materi pemikiran, sehingga prinsip-prinsipnya memperoleh derajat keumuman yang sangat tinggi dan dia pun menempati puncak keumuman di antara semua ilmu. Logika adalah ilmu yang murni bersifat formal.

APAKAH LOGIKA ITU ILMU ATAU KETERAMPILAN? Kadang-kadang ada pertanyaan tentang karakter dan tujuan logika, apakah logika itu kajian teoritis yang hanya berupaya memperoleh prinsip-prinsip umum pemikiran ataukah logika itu berkaitan dengan cara dan prosedur praktis pekerjaan? Ringkasnya, apakah logika itu ilmu atau keterampilan? Para logikawan yang mencermati masalah ini telah berbeda pendapat. Ada yang mengatakan logika adalah ilmu karena seperti ilmu lain logika pun tidak berhenti pada unit-unit parsial yang dikajinya, tapi berusaha

17


mengungkap “prinsip-prinsip” dan “hukum-hukum” yang terkandung di dalam unit-unit tersebut. Jadi, seperti semua ilmu lain—apa pun objeknya—logika pun berusaha mengungkap prinsip-prinsip yang terdapat di dalam objeknya, yaitu pemikiran atau format pemikiran. Tapi, ada juga yang mengatakan bahwa logika adalah lebih merupakan keterampilan daripada ilmu, karena logika memberikan kita “petunjuk” dan “pedoman” yang harus dipatuhi jika kita mau pemikiran kita benar. Ada juga yang mengatakan bahwa logika itu adalah ilmu dan keterampilan sekaligus. Jika kita kini hendak mendiskusikan masalah ini, maka pertamatama kita harus mengerti apa arti keterampilan secara umum? Kita dapat memberikan dua makna bagi kata keterampilan. Kita mengatakan seseorang menguasai keterampilan nahkoda jika dia mahir mengemudikan kapal laut meskipun dia tidak mampu menerangkan prinsip-prinsip atau hukum-hukum yang ia gunakan dalam mengemudikannya. Terkadang kita mengatakan bahwa orang itu menguasai keterampilan nahkoda ketika dia mengetahui atau akrab dengan prinsip-prinsip atau hukum-hukum nahkoda, meskipun dia boleh jadi tidak pernah mengemudikan kapal laut sama sekali. Jadi, kata keterampilan dapat berarti kemahiran melakukan sesuatu atau pengetahuan teoritis tentang cara melakukan sesuatu itu dalam bentuk yang terbaik. Pada pengertian kedua ini, kata keterampilan semakna dengan kata ilmu, atau mengasumsikan ilmu, karena kaidah-kaidah nahkoda berbasis pada pengetahuan tentang hukum-hukum ilmu astronomi, mekanika, fisika, dan meteorologi (yang mempelajari perubahan cuaca), dan juga mengasumsikan banyak pengetahuan tentang matematika dan sebagainya. Jika kita mengambil pengertian kedua ini, maka kita dapat menyebut logika sebagai keterampilan, dan jelas jika logika adalah keterampilan, maka dia adalah ilmu juga. Sebab, kajian tentang karakter pemikiran yang benar pasti mendahului pemberian petunjuk tentang cara berpikir yang benar. Tapi, logika dalam pengertian yang subtil hanya ditujukan pada pengetahuan yang subtil tentang karakter dan format pemikiran, pengetahuan yang hanya bertujuan menetapkan prinsip-prinsip dan hukum-hukum yang dimuat oleh pemikiran. Kita biasanya membedakan antara ilmuwan dengan teknisi. Tugas ilmuwan terbatas pada pencapaian hukum yang menafsirkan fenomena yang dia kaji. Dia mengobservasi fenomena sebagaimana terjadi untuk memperoleh prinsip atau hukum yang menafsirkannya

18


tanpa mengubah apa pun dalam kenyataan. Perubahan hanya terjadi di dalam dirinya, yaitu dia menjadi menyadari karakter fenomena yang dia kaji. Sedangkan teknisi adalah orang yang menerapkan pengetahuan teoritis tersebut pada problem-problem praktis dan dia harus melakukan perubahan tertentu pada hal-hal praktis, dan bukannya pada dirinya, agar mampu menyelesaikan problem-problem praktis itu dengan menerapkan hukum-hukum yang telah diperoleh oleh ilmuwan. Karena itu, teknisi lebih menyerupai ahli-ahli keterampilan daripada ilmuwan. Aristoteles mengatakan bahwa ahli keterampilan harus melakukan perubahan pada sesuatu tertentu dan bukannya pada dirinya. Pembuat patung harus membuat perubahan pada materi yang dia pakai untuk membuat patung. Dokter harus membuat perubahan pada badan pasien yang diobati. Membuat perubahan jelas berbeda dengan kaidah-kaidah yang mendasari perbuatan itu. Jika kita kembali kepada tema pembicaraan kita, maka kita dapati bahwa tugas ahli logika bukanlah memberikan kaidah-kaidah yang jika dipatuhi maka orang-orang lain—atau ahli logika itu sendiri— akan mampu mengubah ide-ide tertentu mereka tentang sesuatu, seperti ide mereka tentang geometri, kimia, atau biologi yang sudah mereka miliki. Ahli logika tidak memberikan “resep” bagi seseorang untuk mengetahui semua subjek. Tugas ahli logika adalah mengetahui karakter pemikiran yang dipatuhi dalam ilmu-ilmu tersebut. Karena itu, pada hakikatnya logika adalah kajian tentang cara berpikir kita tentang segala sesuatu secara aktual, atau analisa tentang pemikiran ilmiah yang ada pada suatu masa dengan tujuan menggambarkan cara yang dilakukan oleh pemikiran itu atau mengetahui format-format yang berbeda yang ada di dalam pemikiran itu. Jadi dapat kita katakan bahwa logika itu lebih merupakan ilmu daripada keterampilan. Boleh jadi faktor yang menyebabkan beberapa logikawan meyakini bahwa logika adalah keterampilan adalah pandangan mereka pada karakter normatif atau penetapan standar (mi‘yari) yang ada pada logika, atau logika itu membahas tentang “apa yang seharusnya” dilakukan oleh pemikiran yang benar, sehingga mereka menyangka bahwa logika itu memberikan kita “pedoman” yang harus kita ikuti jika kita ingin pemikiran kita benar. Tapi, pandangan modern terhadap logika mengeluarkannya dari karakter mi‘yari tersebut dan menempatkannya di antara ilmu-ilmu deskriptif (taqririyyah) yang mendeskripsikan apa yang secara aktual

19


terjadi dan bukannya apa yang seharusnya terjadi, yang berujung pada “deskripsi� pemikiran tersebut, membuat format-format yang berbedabeda yang dikandungnya, dan mendeskripsikan metode-metode yang dipakainya untuk mencapai kesimpulan-kesimpulannya.

RELASI LOGIKA DENGAN ILMU LAIN Kadang-kadang orang mengatakan bahwa masa sekarang adalah masa spesialisasi di mana setiap ilmu mampu memotong sebagian dari alam untuk dia kaji sendirian. Benda-benda langit adalah objek bagi ilmu Astronomi, tumbuh-tumbuhan bagi ilmu Biologi, garis dan permukaan bagi ilmu Geometri, bentuk-bentuk, karakter-karakter, dan perubahan-perubahan materi bagi ilmu Kimia, dst. Pada setiap objek itu terdapat ilmuwan-ilmuwan khusus. Bahkan, setiap bagian itu bercabang kepada bagian-bagian yang lebih kecil, dan pada setiap bagian ini terdapat ilmuwan-ilmuwan khusus juga. Karena itu, sekarang kita membaca tentang ulama yang mencurahkan seluruh perhatiannya pada bagian yang sangat kecil dari objek ilmu mereka.

20


Misalnya, kita membaca tentang ilmuwan yang menghabiskan hampir seluruh kehidupan ilmiahnya untuk mengkaji serangga kecil yang biasa menyerang pohon apel. Dan, tentang ilmuwan seperti ini, kita membaca banyak sekali. Inilah ciri zaman kita, era spesialisasi yang mendalam. Meskipun demikian, semua ilmu saling bekerja sama. Jarang sekali kita mendapati ilmu yang berdiri sendiri dan terpisah dari semua ilmu lain. Sebab, semua ilmu dapat memberi dan mengambil manfaat dari ilmu lain, sehingga kita tidak dapat mengingkari relasi setiap ilmu dengan ilmu-ilmu lain. Jika kita memperhatikan logika, maka kita mendapatinya, seperti ilmu-ilmu lain, terikat dalam relasi yang erat dengan pengetahuanpengetahuan manusia yang lain. Kita akan membatasi kajian kita di sini pada relasi logika dengan bahasa, psikologi, dan matematika. Ini tidak berarti logika hanya berkaitan dengan ilmu-ilmu ini, tapi ilmuilmu ini memiliki kaitan klasik dengan logika dan urgensi mengetahui hal ini dikarenakan ramainya perdebatan para akademisi dalam masalah ini. 1.

Logika dan bahasa

Bahasa adalah alat utama untuk mengungkapkan ide-ide dan perasaan-perasaan manusia kepada orang-orang lain sehingga terjadi komunikasi di antara mereka dan kehidupan sosial manusia dapat berjalan. Jadi, bahasa adalah fenomena yang mengistimewakan spesies manusia. Bahasa adalah alat simbolik yang tersusun dari kata-kata dan susunan-susunan dari kata-kata tersebut. Kata-kata tidak lebih dari simbol yang maknanya disepakati oleh para pengguna bahasa tertentu. Susunan bahasa adalah penyusunan kata-kata tersebut dalam bentuk kalimat-kalimat yang mengungkapkan makna-makna tertentu. Kalimat itu terkadang mengandung berita, pertanyaan, perintah, kekagetan, harapan, atau keinginan. Tapi, karena kalimat-kalimat beritalah yang menetapkan atau menafikan sesuatu, maka hanya kalimat beritalah yang dapat disebut benar atau salah. Dan karena itu, dialah yang menjadi perhatian logika. Struktur susunan bahasa—sebagaimana sudah diketahui—tunduk kepada kaidah-kaidah tertentu yang memberikan kemampuan kepada

21


kalimat untuk mengungkapkan ide dengan cermat dan jelas. Kaidahkaidah bahasa ini disebut nahwu, grammar, ilmu tata bahasa. Karena logika juga berupaya membuat kaidah-kaidah umum pemikiran, maka jelas bahwa kedua ilmu ini memiliki tujuan yang sama, yaitu kecermatan dan kejelasan pemikiran. Bedanya, ilmu tata bahasa mengkaji kaidah-kaidah yang mengatur bahasa yang mengungkap pemikiran, sedangkan logika mengkaji kaidah-kaidah pemikiran yang diungkap oleh bahasa. Kadang-kadang dikatakan bahwa logika—secara historis— berkaitan dengan ilmu tata bahasa, karena benih-benih logika di dalam kajian-kajian Kaum Sofis yang berkaitan dengan bahasa dan retorika dan dengan ilmu tata bahasa secara khusus, karena mereka mengaitkan “makna” dengan lafal yang memudahkan mereka menjadikan dialektika sebagai alat untuk mengalahkan musuh. Keterampilan persuasif bagi mereka sama dengan keterampilan berpikir. Artinya, mereka mengkaji bahasa, lalu mereka sampai kepada logika. Kadang-kadang dikatakan juga bahwa Aristoteles menghasilkan banyak karya logika berkat kajiannya terhadap bahasa Yunani dan yang sepertinya. Kita juga mendapati hubungan antara logika dengan tata bahasa secara lebih jelas lagi di dalam beberapa aliran pemikiran Yunani seperti Aliran Stoicisme (al-Ruwaqiyyah) dan hubungan ini semakin kuat pada abad-abad selanjutnya hingga abad-abad pertengahan. Di dunia Islam pertentangan antara logika yang ditransmisi dari Yunani dengan turath bahasa Arab dalam masalah ini sangat jelas. Ada pertentangan yang sengit antara para ahli logika dengan para ahli tata bahasa tentang nilai logika dan tata bahasa dalam mengatur validitas pemikiran. Berbagai diskusi, polemik, dan perdebatan terjadi di antara kedua kubu, masing-masing mempertahankan ilmunya dan menganggapnya lebih mulia dari ilmu yang lain. Abu Hayyan alTawhidi mengisahkan sebagian perdebatan ini di dalam bukunya alMuqabasat. Di buku ini kita membaca perdebatan antara Abu Sa‘id al-Sayrafi sang ahli tata bahasa dengan Abu Bishir Matta sang ahli logika yang merangkum untuk kita pendapat para ahli tata bahasa dan para ahli logika tentang nilai tata bahasa dan logika bagi validitas dan kelurusan pemikiran. Inti pendapat para ahli tata bahasa adalah logika itu—maksudnya logika Aristoteles—berbasis pada dan berkaitan dengan bahasa Yunani sehingga kaidah-kaidahnya tidak mengikat kecuali bagi

22


pengguna bahasa Yunani dan tidak dapat digeneralisasi pada semua manusia yang bahasanya berbeda-beda. Abu Bishir membantah argumentasi al-Sayrafi itu dengan mengatakan bahwa logika hanya mengurusi al-ma‘qulat. Karena al-ma‘qulat itu sama pada semua manusia apa pun bahasanya, maka logika itu valid bagi mereka semua. “Bukankah engkau tahu bahwa empat tambah empat itu delapan menurut semua bangsa.” Perhatian logika terutama pada hal-hal yang serupa dengan proposisi tersebut yang tidak diperdebatkan oleh orangorang yang bahasanya berbeda satu sama lain sekalipun. Para ahli logika berpendapat bahwa ahli tata bahasa membutuhkan ilmu logika sedangkan ahli logika tidak membutuhkan ilmu tata bahasa. Selain itu, logika, karena objek kajiannya adalah makna dan bukannya kata, lebih mulia daripada tata bahasa, karena makna lebih mulia daripada kata. Tapi, para ahli tata bahasa menolak hal tersebut dan menyatakan bahwa ilmu tata bahasa juga memperhatikan makna sehingga jika bahasa dipergunakan dengan benar, maka kita dapat memperoleh makna yang sahih tanpa membutuhkan logika. Wajar jika di tengah fanatisme kedua kubu ini muncul pihak ketiga yang berusaha mendamaikan keduanya. Pihak ketiga ini diwakili oleh Abu Sulayman al-Sijistani dan muridnya Abu Hayyan al-Tawhidi, yang memandang bahwa relasi antara logika dengan bahasa sangat erat. Sebab, “Kajian logika dapat membawamu ke wilayah tata bahasa dan kajian tata bahasa dapat membawamu ke wilayah logika. Kalau bukan karena kesempurnaan itu tidak mungkin diperoleh, maka ahli logika haruslah menjadi ahli tata bahasa dan ahli tata bahasa haruslah menjadi ahli logika.” Artinya, banyak aspek kesamaan antara kedua ilmu ini dan masing-masing dapat memberikan bantuan yang sangat besar kepada yang lain. Jika logika berhimpun dengan tata bahasa—kata al-Sijistani—maka itu adalah puncak kesempurnaan. Penjelasan terakhir tentu saja tidak menghilangkan keistimewaan dan perbedaan masing-masing ilmu, karena perbedaan ini bukanlah pada karakter dan tujuan, tapi pada generalisasi. Masing-masing ilmu menetapkan kaidah-kaidah umum yang harus dipenuhi demi kesahihan pemikiran. Karena itu, kita dapat menyebut masing-masing dari kedua ilmu ini dengan kata “logika” atau tata bahasa. Hanya saja tata bahasa khusus bagi bahasa tertentu, sedangkan kaidah-kaidah logika adalah kaidah bagi akal dan pemikiran apa pun bahasa yang

23


digunakan untuk mengungkapkannya. Abu Hayyan—mengutip dari gurunya Abu Sulayman al-Sijistani—merangkum hal tersebut dengan mengatakan, “Nahwu adalah logika bangsa Arab, sedangkan logika adalah tata bahasa rasional.� Ilmu tata bahasa Arab adalah logika bangsa Arab saja, sedangkan logika adalah tata bahasa yang memuat kaidah-kaidah umum bagi akal manusia apa pun bahasa yang dia pakai untuk berpikir. Sikap tawfiqi ini nampaknya tersebar di kalangan para ahli logika dan tata bahasa, karena sikap ini terlihat pada banyak karya yang mencampur logika dengan tata bahasa sampai-sampai kita sulit menegaskan apakah buku-buku ini mengkaji logika atau tata bahasa, karena buku-buku itu pada nyatanya membahas objek yang sama yang dapat kita sebut al-mantiq al-nahwi atau al-nahw al-mantiqi. Hubungan logika dengan tata bahasa semakin erat pada kajiankajian kontemporer. Kita mendapati banyak buku-buku terbaru yang memberi perhatian besar pada kajian logis atas bahasa, baik bahasa ilmiah atau bahasa biasa. Puncak perhatian ini ada pada para filsuf analitis kontemporer seperti George Moore, Bertrand Russell, dan Wittgenstein. Mereka adalah para pelopor aliran Analitis dan para filsuf Oxford kontemporer seperti Ryle, Austin, Strawson dan lainlain. Mereka adalah orang-orang yang berpendapat bahwa filsafat tidak lain dari analisa terhadap bahasa. 2.

Bahasa dan psikologi

Tidak diragukan bahwa ada kaitan antara aktivitas logika dengan aktivitas kejiwaan dalam bentuk yang membuat kita dapat menemukan hubungan yang jelas antara logika dengan psikologi. Bahkan, hubungan ini nampak sangat jelas sehingga membuat beberapa pengusung aliran Psikologisme dalam logika mengembalikan logika secara keseluruhan kepada psikologi atau menganggap logika sebagian bagian dari psikologi. Alasannya, pemikiran, sebagai objek kajian logika, pada dasarnya merupakan aktivitas jiwa. Bukankah psikologi itu mengkaji semua bentuk pemikiran, baik yang menyimpang maupun yang lurus, sedangkan logika hanya membahas pemikiran dari segi memilah yang benar dan mana yang salah? Karena itu, bukankah logika adalah bagian dari psikologi, yakni mengkaji salah satu aspek yang dikaji oleh psikologi, yaitu pemikiran yang benar saja?

24


Tapi, kenyataannya, pendapat ini kini tidak lagi dibela, karena logika hanya memperhatikan format-format proposisi dan argumentasi, dan tidak memperhatikan isi dari argumentasiargumentasi itu. Karena itu, logika memiliki karakter abstrak yang menyerupai keistimewaan matematika. Karena itu, logika tidak memiliki karakter psikologi seperti yang dikatakan oleh aliran tersebut meskipun antara logika dengan psikologi memang terdapat hubungan dan ikatan. Tapi, jika kita mengartikan psikologi bukan dalam pengertian ilmiah yang sempit, tapi dalam pengertian umum, atau psikologi sehari-hari, maka kita akan melihat bahwa hubungan antara faktorfaktor kejiwaan dengan faktor-faktor logis dalam pemikiran benarbenar erat. Bahkan, faktor-faktor kejiwaan yang memiliki karakter emosional, atau yang mencakup hasrat, seringkali masuk ke dalam pemikiran kita dan menghalangi kita memperoleh penilaian yang objektif dan kejujuran ilmiah. Pemikiran kita selalu bercorak emosional dan dipengaruhi oleh motif dan keinginan kita. Ini ditegaskan oleh beberapa ahli psikologi, terutama para pengikut Freud. Mereka berpandangan bahwa semua pemikiran kita berasal dari hasrat kita. Artinya, pemikiran kita sesungguhnya adalah pemikiran “yang disenangi� oleh diri kita. Sebab, secara tidak sadar kita ingin mewujudkan harapan dan mimpi kita. Hasrat ini bisa sangat besar sehingga biasanya menghalangi kita untuk memilah antara apa yang kita harapkan dengan aspek-aspek pemikiran yang sesungguhnya, sehingga pemikiran yang sesungguhnya adalah yang mewujudkan harapan-harapan itu meskipun tidak mengungkapkan hakikat objektif. Tapi, kita tidak suka jika pemikiran kita muncul dalam format subjektif-emosional, sehingga kita berusaha melakukan rasionalisasi terhadap pemikiran yang bercorak emosional itu dan menjadikan pemikiran yang disukai itu sebagai pemikiran yang logis. Untuk itu kita menggunakan argumentasi-argumentasi dan penyebabpenyebab untuk menjustifikasi apa yang kita lakukan, apa yang kita yakini, atau apa yang kita inginkan sebagai jawaban untuk motivasimotivasi yang tersimpan di dalam jiwa kita. Jadi, pemikiran kita selalu bercorak psikologis. Ini serupa dengan pendapat beberapa filsuf Pragmatisme—yang mengaitkan kebenaran ide-ide dengan konklusi yang sukses di dunia nyata—yang berpandangan bahwa mayoritas pemikiran kita berkaitan dengan tujuan-tujuan praktis, putusan-putusan kita terhadap realitas diputuskan berdasarkan perhatian-perhatian yang kita pilih, dan

25


persepsi-persepsi mental harus dipahami dalam bingkai tujuan-tujuan yang diharapkan oleh orang yang menggunakan persepsi-persepsi tersebut. Jadi, ada aspek psikologis di dalam penilaian-penilaian atau putusan-putusan kita yang tanpanya kita tidak dapat memahami alur pemikiran. Bahkan, inferensi yang menjadi jantung teori logika, mengandung karakter psikologis yang tidak dapat dihindari, sehingga membuat Bertrand Russell berpendapat bahwa ada aspek psikologis yang tidak dapat dihindari di dalam inferensi, karena inferensi adalah cara mencapai pengetahuan baru dan transisi dari penetapan sesuatu kepada penetapan sesuatu yang lain pada kenyataannya adalah aktivitas psikologis. Tapi, jika hal itu menunjukkan adanya hubungan antara logika dengan psikologi, maka itu tidak berarti unifikasi antara aktivitas kejiwaan dengan aktivitas logis. Wilayah psikologi jauh lebih luas daripada wilayah logika. Perhatian psikologi terhadap kehidupan mental juga lebih besar daripada perhatian logika. Perhatian kedua ilmu ini tidak berkelindan satu masa lain, kecuali pada apa yang kita sebut pemikiran. Jika psikologi berupaya mendeskripsikan realitasrealitas yang berkaitan dengan bentuk-bentuk tertentu dari aktivitas mental, menetapkan hukum-hukum yang menafsirkannya tanpa memperhatikan masalah validitas dan invaliditas proposisi serta kesahihan logis dalam argumentasi, maka perhatian logika tertuju pada pemikiran dari segi koherensinya, validitas formalnya, dan kesesuaiannya dengan standar-standar benar salah. Jadi, kedua ilmu ini benar-benar berbeda, meskipun kita mendapati hubungan di antara keduanya. Jadi, argumentasi aliran Psikologisme yang beruasha menggabungkan logika ke dalam psikologi tidak dapat diterima. 3.

Logika dan matematika

Para filsuf Yunani secara umum sangat terpengaruh oleh matematika. Sebab, format pemikiran mereka secara umum adalah matematis, apapun objek yang dibicarakan oleh sang filsuf. Karena itu, logika Aristoteles, logika pemikiran Yunani, sangat terpengaruh oleh format matematis sehingga beberapa filsuf menyebut teori silogisme—inti dari teori logika Aristoteles—sebagai salah satu jenis matematika umum. Ini mengindikasikan bahwa logika sejak kelahirannya telah terikat dengan matematika dan ikatan ini semakin

26


kuat pada beberapa ahli logika modern, sampai-sampai beberapa ahli logika kontemporer menyatukan kedua ilmu tersebut dan menganggap pembedaan antara keduanya adalah berlebih-lebihan dan tidak memiliki dasar baik di dalam ilmu logika maupun ilmu matematika. Pada abad ke-19, matematika dan logika berkembang pesat ke arah yang membuat lgoka bercorak matematis dan matematika bercorak logis, sehingga pembicaraan tentang logika tanpa matematika seperti pembicaraan tentang matematika tanpa logika, yaitu tidak sempurna dan tidak memuaskan. Inilah yang ditegaskan oleh orientasi logis dalam matematika atau Logistic yang diserukan oleh banyak ahli logika dan ahli matematika kontemporer seperti G. Frege, A.N. Whitehead, dan B. Russell. Aliran Logistic membuktikan bahwa matematika adalah bagian dan perpanjangan dari logika. Bahkan, pada kenyataannya, sebagaimana dikatakan Russell, keduanya adalah satu, dan perbedaan antara keduanya tak ubahnya perbedaan antara remaja dengan orang dewasa. Logika adalah remajanya matematika dan matematika adalah orang dewasanya logika. Jika kita memulai dengan premis-premis yang benar-benar kita terima afiliasinya pada logika, lalu lewat deduksi kita sampai kepada konklusi-konklusi yang jelas afiliasinya pada matematika, maka pada saat itu kita tidak tidak mendapatkan titik untuk dijadikan garis pemisah yang menempatkan logika di sebelah kanan dan matematika di sebelah kiri. Aliran ini berpandangan bahwa semua konsep matematika— seperti bilangan—dapat dikenali dalam bingkai konsep-konsep logis, sebagaimana teori-teori matematika dapat diderivasi dari aksiomaaksioma logika lewat deduksi logis murni. Dengan demikian, matematika secara keseluruhan berasal dan merupakan perpanjangan dari logika. Walaupun ada yang menolak pandangan ini dan berpendapat sebaliknya, yaitu logika berasal dan merupakan perpanjangan dari matematika, namun yang pasti adalah ada keterikatan yang kuat antara logika dengan matematika dan ada banyak segi kesamaan antara keduanya yang tidak dapat diingkari dari sudut mana pun kita memandangnya.

27


PERKEMBANGAN ILMU LOGIKA Sebagaimana telah kita diskusikan logika adalah seperti analisa terhadap pemikiran ilmiah yang berkembang pada setiap masa untuk menjelaskan format-forman dan metode-metode pemikiran tersebut. Jika kita hendak melihat perkembangan logika dari pengertian ini, kita dapat mengatakan bahwa sejarah logika mencerminkan secara cermat perkembangan ilmu dan metode-metodenya sehingga pemahaman terhadap perkembangan teori logika tergantung pada pemahaman terhadap perkembangan ilmu sejak masa Yunani hingga sekarang. Dengan dasar ini kita dapat membagi sejarah logika menjadi tiga periode utama, yaitu logika klasik, logika ilmu modern, dan logika matematis. Tapi perlu disebutkan bahwa periode-periode ini tidak terpisah satu sama lain. Maksudnya, periode baru tidak hadir untuk berdiri di puing-puing periode sebelumnya, tapi hadir untuk menyempurnakannya atau merevisinya. Sekarang mari kita mendiskusikan masing-masing periode tersebut untuk mengetahui karakteristik dan kondisi kemunculannya.

28


1.

Logika Klasik

Logika klasik adalah teori yang disusun oleh filsuf Yunani Aristoteles (384-322 SM) serta komentar-komentar dan takwilantakwilan yang ditambahkan oleh para filsuf pada abad-abad berikutnya, atau beberapa perubahan yang tidak mengeluarkannya dari intisari yang diserukan oleh Aristoteles. Jika Aristoteles adalah penyusun pertama ilmu ini, maka itu tidak berarti kita tidak dapat menemukan apa pun dalam bidang ini pada filsuf-filsuf sebelumnya. Kita justru dapat mengembalikan pokokpokok ilmu ini ke masa sebelum Aristoteles. Upaya-upaya yang dilakukan pra Aristoteles memang tidak bertujuan untuk melahirkan sebuah ilmu, tapi itu merupakan pendahuluan bagi teori yang disusun Aristoteles. Kita dapat menemukan benih-benih logika pada kaum Sofis, yaitu orang-orang yang mengembangkan keterampilan berdiskusi, berdebat, dan memberikan argumentasi bagi proposisi-proposisi yang mereka klaim dengan menggunakan trik-trik bahasa yang canggih dan menunjukkan kemahiran berbahasa yang dapat meyakinkan para pendengar. Jadi, bagi kaum Sofis, logika adalah keterampilan berpikir yang ditujukan untuk mengalahkan musuh, baik pada arena politik, pengadilan, atau tempat-tempat seperti itu. Sokrates adalah orang yang mahir dalam keterampilan ini. Tapi, dia tidak menerima apa yang diyakini oleh orang banyak dan hendak mengkaji dasar-dasar keyakinan mereka terhadap suatu pendapat atau konklusi tertentu. Artinya, Sokrates hendak mencari premis-premis yang menghasilkan konklusi atau pendapat yang dia bahas atau diskusikan. Karena itu, benarlah pendapat yang emngatakan bahwa Sokrates hendak menyusun pemikiran dalam format silogisme, format yang menjadi inti dari logika Aristoteles. Plato juga menggunakan metode itu sambil mengembangkan kategorisasi (al-tasnif) dan klasifikasi (al-qismah), dan menyatakan adanya format-format atau ide-ide (al-muthul), yaitu universalitasuniversalitas yang memiliki kondisi-kondisi atau contoh-contoh parsial. Tapi, upaya-upaya ini tidak lebih daripada pendahuluanpendahuluan bagi logika Aristoteles karena Aristoteleslah yang benarbenar menjadikan pemikiran sebagai objek bagi ilmu khusus atau jenis kajian khusus, atau minimal dia adalah orang pertama yang menyatakan kemungkinan melakukan kajian terhadap prinsip-prinsip

29


umum bagi proses pemikiran yang sahih yang mandiri dan terpisah dari materi atau ilmu apa pun. Aristoteles memiliki banyak karya logika yang kemudian dikompilasi oleh murid-murid dan para komentatornya, dan disebut dengan nama Organon, yakni instrumen atau alat. Mereka juga menyebut ilmu ini dengan nama logika. Lalu, para penganut mazhab Stoicisme menambahkan beberapa kajian terhadap logika Aristoteles dan menjadikannya sebagai bagian dari filsafat dan bukan sekadar alat atau gerbang bagi filsafat. Logika Aristoteles hadir di akhir periode inovasi pada peradaban Yunani sehingga logika ini mendominasi pemikiran para filsuf selanjutnya yang mewakili puncak pemikiran Yunani. Organon Aristoteles menjadi metode satu-satunya bagi pemikiran hingga awal Masa Modern. Para pemikir Kristen berpegang padanya dan menetapkannya sebagai metode pemikiran satu-satunya yang harus dipatuhi semua pemikir agar tidak keluar dari ajaran-ajaran Kristen. Ini terjadi setelah beberapa filsuf Kristen berhasil mengharmonisasi filsafat Aristoteles dengan ajaran-ajaran agama Kristen. Dengan demikian, Aristoteles menjadi satu-satunya otoritas pemikiran ilmiah yang diakui di gereja sehingga dikatakan bahwa para filsuf itu telah mengkristenkan Aristoteles. Maksudnya, menjadikan Aristoteles sebagai orang Kristen sebelum agama Kristen ada. Logika Aristoteles terus mendominasi pemikiran para pemikir Abad Pertengahan yang panjang, menjadi otoritas atas pemikiran mereka, yang didukung Gereja dengan segela hegemoni dan kekuasaannya. Beberapa upaya untuk keluar dari logika ini berujung kegagalan dan para pelakunya diasingkan atau dihukum mati. Upaya pertama untuk keluar dari hegemoni Aristoteles yang berhasil dilakukan oleh filsuf Inggris Francis Bacon (w. 1626 M). Dia mampu meletakkan asas metode induksi di Barat. Usaha filsuf Perancis Rene Descartes (w. 1650 M) untuk keluar dari logika Aristoteles juga berhasil. Dia menyusun metode deduksi rasional. Di dalam peradaban Islam, kita melihat perhatian yang besar para filsuf Arab terhadap logika. Pada awal gerakan penerjemahan, perhatian para penerjemah terarah pada upaya transmisi kajian-kajian logika Yunani ke dalam bahasa Arab baik dari bahasa Suryani maupun langsung dari bahasa Yunani. Ada yang mengatakan bahwa Ibnu al-Muqaffa‘—sekretaris Khalifah al-Mansur—adalah orang

30


pertama yang menerjemahkan beberapa buku logika Aristoteles. Tapi, beberapa peneliti meragukan hal ini dengan alasan Ibnu al-Muqaffa‘ tidak menguasai bahasa Yunani atau Suryani. Bagaimanapun, Ishaq bin Hunain dan alirannya telah menerjemahkan Organon Aristoteles dari bahasa Yunani ke bahasa Suryani lalu ke bahasa Arab. Ada juga yang mengatakan bahwa dia menerjemahkannya dari bahasa Yunani langsung ke bahasa Arab. Beberapa penerjemah lain menerjemahkan Organon ke bahasa Arab, mengomentarinya, atau merangkumnya dengan cermat. Mereka di antaranya adalah Abu Bishir Matta bin Yunus dan ‘Abd al-Masih bin Na‘imah al-Hamasi. Dari situlah para pemikir Arab mengenal Aristoteles sebagaimana mengenal komentar-komentar dari murid-murid dan para komentator Aristoteles, lalu terpengaruh olehnya dalam level yang berbeda-beda. Para ulama teologis terpengaruh olehnya dalam kajian teologi. Para fuqaha terpengaruh olehnya dalam menyusun qiyas-qiyas fiqih. Sedangkan para filsuf, seperti al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rushd, mereka sangat terpengaruh oleh logika Aristoteles dan telah giat mengomentarinya dalam bentuk yang tidak kita dapati pada para komentator lain. Mereka juga menambahkan hal-hal baru pada bagian-bagian yang menurut mereka belum sempurna pada pemikiran Aristoteles dan murid-muridnya. Inilah yang dikatakan oleh Ibnu Sina di dalam Mantiq al-Mashriqiyyin dengan pernyataannya, “Saya telah menyempurnakan apa yang mereka kehendaki namun tidak mampu mereka raih dan apa yang mereka inginkan tapi tidak mampu mereka gapai.” Mungkin faktor yang mendorong kaum Muslimin memperhatikan logika Aristoteles adalah kebutuhan mereka untuk membela akidah Islam di hadapan akidah-akidah lain yang memenuhi kekaisaran Islam dan telah melontarkan serangan-serangan terhadap Islam dengan bersenjatakan logika Aristoteles. Kaum muslimin ingin menggunakan senjata yang sama dengan yang digunakan oleh musuhmusuh mereka untuk membantah mereka dengan logika yang mereka pakai. Meskipun demikian, ada beberapa fuqaha muslim yang memusuhi logika secara terang-terangan. Kampanye negatif mereka terhadap logika mengambil bentuk yang berbeda-beda. Misalnya kecaman keras yang dilontarkan oleh Ibnu Taymiyyah dalam upayanyaa membantah logika Aristoteles dan argumentasiargumentasi yang mendasarinya. Kecaman-kecaman itu tidak terbatas

31


pada logika saja, tapi mencakup seluruh cabang filsafat, dengan alasan berbahaya terhadap agama dan dapat menuntuk kepada kezindiqan dan kekafiran. Logika menjadi sasaran pertama anak panah mereka sehingga di dunia Islam tersebar luas slogan, “man tamantaqa faqad tazandaqa”. Orang yang menggunakan logika, dia telah menjadi orang zindiq. Boleh jadi hal ini dapat menjelaskan fenomena aneh pada beberapa pemikir muslim yang mengakui kegunaan logika— seperti al-Ghazali—tapi tidak pernah menyebut kata logika sebagai tema di buku-buku logika mereka, karena takut pada Ahlus Sunnah dan beberapa fuqaha yang fanatis. Al-Ghazali lebih memilih kata Mi‘yar al-‘Ilm, Mihakk al-Nazri, dan al-Qistas sebagai judul bukubuku logikanya. Kampanye negatif terhadap logika mencapai puncaknya pada masa paska al-Ghazali dalam bentuk pembakaran buku-buku logika dan filsafat atas perintah para penguasa yang lemah yang hendak menguatkan kedaulatan mereka dengan cara mendekat kepada para tokoh-tokoh agama yang berpandangan picik, juga dalam bentuk fatwa-fatwa beberapa ulama tentang keharaman berkecimpung dalam filsafat atau logika. Fatwa yang paling terkenal adalah yang dikeluarkan oleh Ibnu al-Salah al-Sharazuri (w. 653 H) yang menyatakan filsafat adalah poros kebodohan dan sumber kebingungan dan kesesatan dan mengatakan, “Logika adalah gerbang filsafat dan gerbang menuju keburukan adalah keburukan. Ajaran-ajaran logika tidak dibolehkan oleh syariat, tidak dibolehkan oleh seorang pun dari kalangan sahabat, tabiin, dan para imam mujtahid, serta salaf yang salih.” Meskipun terdapat kecaman pedas dari sejumlah fuqaha, sebagian fuqaha lagi tidak mengecamnya, justru mengapresiasi manfaat dan kegunaan logika di dalam ilmu-ilmu keislaman dan hukum-hukum syariah fiqih sekalipun. Nampaknya, para pengecam logika itu tidak mengecam logika sebagai ilmu, tapi mengecam beberapa kajian logika seperti silogisme-silogisme sofistik yang lebih menyerupai perdebatan sofistik daripada kajian-kajian logika yang sesungguhnya. Boleh jadi ini menjelaskan kepada kita—meskipun adanya kecaman yang sengit tersebut—adanya pembela logika di kalangan orang-orang yang memusuhi dan menyerang filsafat. Misalnya, al-Ghazali—walaupun telah menyerang filsafat dan para filsuf—tetap menerima logika dan menyatakan bahwa orang yang tidak menguasai logika, maka ilmunya tidak dapat dipercaya, karena logika, dalam pandangannya, tidak berkaitan dengan afirmasi atau

32


negasi apa pun terhadap agama. Taj al-Din al-Subki al-Shafi‘i meskipun memusuhi filsafat, membolehkan orang untuk berkecimpung dalam logika jika orang itu telah memantapkan kaidahkaidah agama di dalam hatinya. Jadi, kampanye-kampanye negatif terhadap logika yang dilakukan sejumlah pemikir Islam tidak mendatangkan hasil yang diharapkan, tidak melemahkan tekad kaum muslimin untuk mengkaji dan menulis dalam bidang logika. Buktinya, ada banyak sekali karya logika yang diwariskan oleh para pemikir muslim yang menunjukkan perhatian mereka pada logika sepanjang sejarah peradaban Islam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa logika Aristoteles telah benar-benar menguasai pemikiran para pemikir di Barat hingga awal Masa modern dan telah mempengaruhi pemikiran banyak pemikir Arab. Bahkan, mungkin tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa banyak ahli logika yang masih mendukung banyak aspek dari logika Aristoteles sampai zaman sekarang meskipun logika ini telah kehilangan kedaulatannya dan para pendukungnya telah kehilangan banyak argumentasi yang melegitimasi kedaulatan tersebut. Para ahli logika klasik biasa membagi objek logika klasik menjadi tiga bagian utama: 1) Term. Di sini mereka mengkaji lafal, indikasinya, jenis-jenisnya, dan cara mendefinisikannya. 2) Proposisi. Intinya adalah menyusun term-term dalam bentuk kalimat yang bermakna, yaitu kalimat yang masing-masing mengandung ide tertentu yang hendak diungkapkan oleh pembicara sehingga perkataannya dapat dinilai benar atau salah. Dengan demikian, proposisi adalah kalimat berita yang mengandung nilai benar atau salah. Jika Anda mengatakan, “Jumlah penduduk Kairo itu 8 juta jiwa�, maka perkataan Anda ini mungkin benar dan mungkin salah. Sebab, di sini Anda memiliki sangkaan tentang jumlah penduduk Kairo, dan sangkaan Anda ini mungkin benar dan mungkin tidak, tergantung kepada sensus khusus pada penduduk Kairo. Dengan demikian, sangkaan Anda ini adalah sebuah “proposisi�, yang kebenarannya atau kesalahannya tergantung kepada penggunaan kata-

33


kata dengan cara yang baik sebagaimana biasa digunakan oleh orang banyak. Syarat “mengandung kemungkinan benar dan salah” adalah syarat niscaya bagi kalimat untuk disebut sebagai “proposisi”. Semua kalimat yang pengucapnya tidak dapat Anda nilai mungkin benar atau mungkin salah, tidak dapat disebut proposisi. Kalimat-kalimat yang menunjukkan perintah, larangan, atau keterkejutan bukanlah proposisi dalam pengertian ini. Jika seseorang berkata kepada Anda, “Buka pintu,” dia tidak mengucapkan sebuah proposisi, karena perkataannya sekadar “perintah” yang berkaitan dengan suatu perbuatan yang belum terjadi. Jika perbuatan itu sudah terjadi, lalu seseorang menyangka bahwa “Pintu terbuka,” maka hal ini mengungkapkan sebuah proposisi, karena kita dapat menilai perkataannya itu benar atau salah. Hal yang sama dapat kita katakan pada ungkapan-ungkapan larangan. Jika seseorang berkata kepada Anda, “Sekiranya saja masa muda dapat kembali walau hanya sehari.” Ungkapan ini tidak dapat dinilai benar atau salah. Begitu juga ungkapan-ungkapan keterpesonaan, seperti, “Alangkah indahnya langit.” Sebab, dalam ungkapan ini pengucapnya menyatakan kondisi emosional yang khusus bagi dirinya yang tidak dapat dinilai benar atau salah. Proposisi memiliki banyak bentuk dan masing-masing bentuk memiliki karakter khusus dan cara tersendiri untuk menilai kebenaran dan kesalahannya. Proposisi adalah unit-unit yang mengandung ide atau ungkapanungkapan paling sederhana yang mengandung ide. Karena itu proposisi disebut sebagai “unit pemikiran”, karena tidak mungkin menganalisanya lagi kecuali kepada lafal-lafal yang menyusunnya. Lafal-lafal ini tidak mengandung pemikiran, karena pemikiran ada dari penyusunan lafal-lafal tersebut dalam bentuk kalimat atau “proposisi”. 3). Inferensi Yaitu, menghasilkan sebuah proposisi dari sebuah proposisi lain atau lebih. Jika kita melakukan inferensi atas sebuah proposisi dari sebuah proposisi lain, maka inferensi ini adalah inferensi langsung. Sedangkan jika inferensi itu dibuat atas sebuah proposisi “konklusi” dari dua proposisi “premis”, maka inferensi ini adalah inferensi tidak langsung. Ini disebut inferensi silogistis atau “silogisme”. Contoh klasiknya adalah: Semua manusia mati.

34


Sokrates adalah manusia. Jadi, Sokrates mati. Teori inferensi adalah intisari logika klasik dan kontribusinya yang paling besar bagi kajian-kajian logika. Teori inilah sumber kedaulatan logika Aristoteles atas pemikiran para pemikir selama lebih dari 20 abad. Asas silogisme adalah koherensi atau ketiadaan kontradiksi di dalam sebuah pemikiran sehingga konklusi yang dideduksi darinya sahih berdasarkan asumsi kesahihan premis-premis yang menelurkannya tanpa memandang kesahihan premis-premis itu secara aktual di dunia nyata. Karena faktor inilah para ahli logika modern tidak menyenangi silogisme dengan alasan pemikiran ini mandul dan kering dan tidak mengungkapkan hakikat baru karena konklusinya selalu sudah terkandung di dalam premis-premisnya. Inferensi yang sebenarnya adalah yang menuntun kita kepada pengetahuan baru, mengungkapkan hakikat yang berbeda dengan yang dikandung oleh premis-premis. Ketidaksenangann terhadap silogisme ini adalah awal dari upaya keluar dari logika klasik dan penyusunan apa yang disebut metode induktif oleh para filsuf modern. 2.

Logika Induktif

Logika induktif adalah analisa terhadap pemikiran ilmiah yang mulai mendominasi pada awal masa modern pada abad ke-16. Karena itu, logika induktif dianggap sebagai dasar bagi metode ilmiah yang digunakan dalam mempelajari fenomena-fenomena alami dan manusiawi dan berbasis pada observasi terhadap sebagian unit parsial dari fenomena tertentu hingga akhirnya sampai kepada eksplanasi universal bagi fenomena tersebut. Artinya, logika ini membawa peningkatan dari kajian terhadap parsialitas kepada hukum universal yang menafsirkan fenomena yang kita kaji. Karena itu dikatakan bahwa induksi adalah inferensi yang meningkat dari parsial kepada universal. Artinya, dari kajian terhadap sampel kajian yang berbasis pada observasi dan eksperimen kepada putusan umum terhadap seluruh individu yang diwakili oleh sampel tersebut. Aristoteles sudah mengerti tentang induksi. Tapi perhatiannya yang utama pada silogisme membuatnya mengabaikan tema induksi dan membiarkan induksi tanpa penjelasan yang mendetail dan

35


tertentu. Karena itu dikatakan bahwa yang paling berjasa dalam menetapkan dasar-dasar metode induktif adalah filsuf Inggris Francis Bacon, lalu dikembangkan pada abad 19 oleh J.S. Mill. Kemunculan metode ini seiring dengan munculnya ilmu empiris modern dan merupakan ungkapan dari spirit ilmiah empiris yang berkuasa sejak abad ke-16. Sebab, metode silogisme yang sesuai dengan pemikiran deduktif yang berkuasa sejak masa Aristoteles sampai awal masa modern sudah tidak sesuai dengan ilmu empiris modern, karena ilmu ini terutama berbasis pada metode yang berbeda yang bertujuan mengungkap hakikat-hakikat empiris, sehingga harus ada induksi sebagai metode yang sesuai dengan perkembangan ilmiah ini. Prosedur logika induksi dalam bentuk yang diajukan oleh Bacon dan Mill terdiri dari elemen-elemen atau langkah-langkah tertentu sebagai berikut: 1.

Observasi.

Pada fase pertama ini peneliti melakukan kajian dengan mengamati fenomena yang dia kaji dengan memanfaatkan semua instrumen dan alat yang dapat membantunya untuk melakukan pengamatan yang cermat seperti teleskop atau mikroskop. 2.

Membuat asumsi

Asumsi adalah eksplanasi sementara bagi fenomena yang menjadi objek kajian yang dibuat oleh peneliti dengan dasar pengamatan yang sudah dia lakukan. Jika penelitian itu sudah mengafirmasi kesahihannya, maka asumsi itu menjadi hukum ilmiah yang menafsirkan fenomena tersebut. Jika asumsi itu tidak terbukti, maka peneliti beralih kepada asumsi lain, dst, sampai dia memperoleh asumsi yang didukung oleh semua bukti hingga menjadi hukum ilmiah. 3.

Eksperimen

Eksperimen adalah alat utama untuk menegaskan kesahihan asumsi yang dibuat oleh peneliti. Di samping oberservasi, eksperimen adalah salah satu ciri utama metode ilmiah. Eksperimen harus dirancang dalam bentuk yang sangat cermat dan hati-hati sehingga mewujudkan tujuan yang diharapkan. 4.

Formulasi hukum ilmiah

36


Pada akhirnya peneliti sampai kepada formulasi hukum ilmiah yang menafsirkan fenomena yang dia kaji. Dalam membuat formulasi ini dia menggunakan ungkapan matematis agar hukum ini nampak dalam bentuk yang cermat dan solid. Perlu diungkapkan di sini bahwa ilmu-ilmu alam tidak melaksanakan semua prosedur itu dengan cermat. Sebab, ilmu astronomi jelas tidak mungkin melakukan eksperimen dan mencukupkan diri dengan observasi. Dalam ilmu biologi pun terkadang tidak mungkin melakukan eksperimen. Apalagi dalam ilmuilmu humaniora seperti psikologi dan sosiologi. Itulah secara garis besar prosedur metode induksi klasik. Perkembangan ilmu yang luar biasa pada abad ke-18 telah membawa beberapa revisi penting atas metode klasik ini sehingga metode observasi dan eksperimen dalam format terdahulu tidak mampu mewujudkan tuntutan-tuntutan ilmu modern. Karena itu perlu digunakan metode deduksi matematis sebagaimana kita dapatkan pada ilmu-ilmu matematika dan logika di samping observasi dan eksperimen dalam metode induktif. Dengan demikian, metode ilmiah kontemporer adalah metode yang menghimpun induksi dengan deduksi. Inilah yang disebut dengan metode asumtif (al-fardi). Meskipun metode klasik dan kontemporer ini sama dalam dua fase ilmiah, yaitu membuat asumsi serta observasi dan eksperimen, tapi keduanya berbeda dalam menetapkan urutan fase-fase tersebut. Metode ilmiah kontemporer dimulai dengan asumsi-asumsi formatif dan bukannya dengan observasi. Lalu, dari asumsi-asumsi itu dideduksi konklusi-konklusi yang niscaya darinya dengan menggunakan metode deduktif. Lalu, konklusi-konklusi itu diteliti dengan menggunakan observasi dan eksperimen. Bahkan, konsep asumsi dalam pengertian metode ilmiah kontemporer berbeda dengan pengertiannya dalam metode klasik. Dalam metode ilmiah klasik, asumsi diperoleh dengan metode langsung yang berbasis pada observasi dan eksperimen. Sedangkan dalam metode ilmiah kontemporer, asumsi bukanlah hasil observasi langsung pada fenomena-fenomena alami, tapi diperoleh dengan metode deduktif dari hukum-hukum ilmiah yang sudah ada. Jadi, asumsi ini adalah asumsi formal yang menunjuk pada entitas-entitas real tapi tidak dicerap oleh indera secara langsung. Karena itu, pembuktiannya tidak dilakukan secara langsung, tapi hanya dengan

37


membuktikan konklusi-konklusi yang niscaya dari asumsi-asumsi tersebut. Bahkan terkadang konklusi-konklusi itu tidak dapat dibuktikan dengan eksperimen langsung. Lebih dari itu, tujuan asumsi formal bukanlah menafsirkan fenomena alamiah sebagaimana halnya pada metode induksi klasik, melainkan bertujuan menafsirkan asumsi-asumsi atau hukum-hukum yang telah diperoleh sebelumnya untuk mendapatkan tambahan penafsiran dan perampatan. Metode kontemporer ini muncul sebagai jawaban atas tuntutan ilmu modern yang mengkaji hal-hal yang secara prinsip tidak tunduk kepada observasi empiris seperti kajian tentang nuklir dan elemennya atau yang seperti itu. Karena itu, peneliti memulai dengan hukumhukum ilmiah terdahulu untuk mendeduksi asumsi-asumsi yang niscaya darinya, lalu menanti aplikasi yang berbasis pada asumsiasumsi tersebut untuk menjadi kriteria kebenaran atau kesalahannya. 3.

Logika simbolis atau matematis

Ini adalah logika terbaru dan dianggap sebagai pengembangan dari logika klasik karena muncul dalam bentuk menyempurnakan kekurangan logika klasik dan menghindari kesalahan-kesalahannya. Ciri utama logika simbolis atau materimatis adalah penggunaan bahasa simbol yang serupa dengan bahasa simbol yang digunakan dalam ilmu hisab dan aljabar, di mana perhatian terfokus pada format logis saja, selain keringkasan dan kecermatan yang diberikan oleh bahasa ini yang tidak diberikan oleh bahasa lain. Perbedaan logika Aristoteles klasik dengan logika simbolis secara jenis tidaklah sempurna. Perbedaannya hanya dari segi level saja. Tapi, perbedaan level ini cukup besar dan berarti sehingga dikatakan bahwa perbedaan antara kedua logika ini serupa dengan perbedaan antara anak-anak dengan orang dewasa. Kematangan logika yang sempurna tidak kita dapati kecuali pada logika simbolis baik dari segi objek yang dikaji maupun dari segi bahasa yang mengungkapkan proposisi-proposisi dan argumentasi-argumentasinya. Banyak ahli logika dan ahli matematika yang telah berkontribusi dalam membangun logika simbolis. Yang pertama adalah filsuf dan matematikawan Leibnitz pada abad ke-17. Dia berpendapat bahwa

38


pemikiran tidak dapat mewujudkan kejelasan, keyakinan, kemudahan, dan efektivitas kecuali jika dikemas dalam bahasa yang baru, cermat, dan bebas dari kesalahan-kesalahan, yaitu bahasa yang serupa dengan bahasa aljabar dan aritmatika. Ini adalah peringatan pertama bagi generasi-generasi ahli logika berikutnya akan pentingnya membebaskan argumentasi logis dari kesaraman yang ada padanya jika dikemas dengan bahasa alami atau bahasa biasa. Jika Leibnitz hanya menjadi penyeru logika jenis ini dan bukannya pendiri pondasinya, maka George Paul—pencipta matematika murni pada abad ke-19—adalah pendiri sesungguhnya bagi logika ini. Sejak Paul, kajian-kajian semakin beragam dan banyak hingga awal abad ke-20 di mana kita mendapati prestasi terbesar dalam logika simbolis atau matematis. A.N. Whitehead (w. 1947) dan B. Russell (w. 1913) menulis buku mereka yang berjudul Principia Mathematica (3 jilid pada tahun 1910-1913) yang dianggap sebagai batu penanda yang besar dalam ilmu logika dan titik pemisah antara dua fase pengkajiannya. Buku yang dianggap sebagai karya terbesar akal manusia ini dikenal oleh semua orang yang mengkaji logika dan matematika. Whitehead dan Russell telah berhasil menguasai matematika yang berkembang hingga pertengahan kedua abad ke-19 serta upayaupaya yang telah dikerahkan dalam bidang logika. Karena itu, mereka dapat menyusun logika matematis dalam bentuk yang nyaris final dalam kemunculannya hingga sekarang. Ada banyak keistimewaan logika simbolis ini, di antaranya adalah sebagai berikut: Pertama, dia menggunakan bahasa simbolis yang dapat mewujudkan kecermatan logis. Ini adalah bahasa artifisial (lughah istina‘iyyah) yang dibuat oleh para ahli logika untuk mewujudkan tujuan logika dalam memformulasi prinsip-prinsip dan argumentasiargumentasi logis dan bahasa ini tidak penting sama sekali dalam bahasa sehari-hari. Karena itu, dia tidak dapat digantikan dengan bahasa-bahasa alamiah. Tidak ada bahasa simbolis yang mengklaim kesempurnaan dalam hal pengungkapan seperti yang dimiliki oleh bahasa-bahasa alami. Hanya saja bahasa alami dari segi kealamian dan tujuannya memuat beberapa kesamaran yang membuatnya terkadang tidak dapat mengungkapkan secara cermat. Karena itu, ilmu-ilmu menggunakan bahasa simbolis yang khusus untuk mewujudkan

39


kemajuan yang diharapkan seperti yang terjadi pada ilmu matematika dan ilmu-ilmu alam. Penggunaan bahasa simbolis dapat memecahkan banyak problematika yang tidak dapat dipecahkan dengan penggunaan bahasa biasa. Selain itu, bahasa simbolis membantu kita untuk mengungkapkan secara cermat semua langkah pemecahan itu. Artinya, bahasa ini memberikan kecermatan yang diperlukan oleh pemikiran logis dan valid dalam derajat yang tidak mungkin diberikan oleh bahasa biasa. Selain itu, bahasa simbolis juga memberikan keringkasan dalam pemikiran sehingga memungkinkan untuk melakukan inferensi-inferensi yang rumit yang tidak dapat dilakukan dengan penggunaan bahasa biasa. Untuk menjelaskan tingginya urgensi penggunaan bahasa simbolis, mari kita perhatikan contoh berikut ini: Andaikan seseorang meminta Anda memecahkan masalah berikut ini: Jika Zaid lebih muda enam tahun, maka umurnya adalah dua kali lipat dari umur Amir. Jika Zaid lebih tua 9 tahun, maka umurnya tiga kali lipat dari umur Amir ketika Amir lebih muda 4 tahun. Berapa umur Zaid dan Amir sekarang? Jika Anda berusaha langsung memecahkan masalah itu dengan menggunakan proses menambah dan mengurang, maka dalam waktu sebentar saja Anda pasti akan pusing. Tapi, coba Anda ambil kertas dan pulpen, lalu membuat simbol untuk umur Zaid dengan huruf X dan umur Amir dengan huruf Y, lalu Anda menulis perbandingan tersebut dengan cara yang Anda pelajari di SD, maka Anda akan mengerti nilai dan keistimewaan bahasa simbol seperti yang sudah kami ungkapkan. Kedua, salah satu karakteristik utama logika simbol adalah kita dapat menyebutnya sistem deduktif, karena fungsi logika adalah mendeduksi hukum-hukum logis dengan prinsip yang sesedikit mungkin (aksioma dan hukum deduksi) dengan cara yang cermat dan lengkap. Atau, proposisi-proposisi logika simbolis diurut dalam bentuk sistem deduktif yang serupa dengan sistem geometri yang dimulai dengan premis-premis (definisi, musadarat, dst), lalu kita mendeduksi teori-teori atau bukti-bukti demonstratif (al-mubarhanat) yang niscaya dari premis-premis itu. Ketiga, formalitas murni yang merupakan ciri utama logika. Sebab, selama logika simbolis hanya menggunakan simbol-simbol

40


yang berubah dan beberapa prinsip logis, maka perhatian utamanya tercura pada format logikaa saja dan tidak pada kandungannya atau materinya yang tertentu. Logika simbolis diterima dengan dua sikap yang berbeda dari kalangan ahli logika dan ahli matematika. Banyak filsuf dan matematikawan besar menerimanya, tapi banyak juga yang menolaknya. Tapi, tidak dapat diragukan bahwa logika simbol telah memainkan peran penting dalam filsafat kontemporer dan berjasa dalam perkembangan banyak aliran filsafat. Karena itu dikatakan bahwa menguasai logika ini adalah syarat bagi orang yang ingin mengerti filsafat kontemporer. Selain itu, logika simbolis berperan penting dalam banyak cabang ilmu, karena sekarang banyak aplikasi penting darinya dalam bidang matematika, fisika, biologi, psikologi, hukum, etika, ekonomi, dan masalah-masalah praktis, bahkan dalam bidang metafisika.

41


MANFAAT MEMPELAJARI LOGIKA Penjelasan terdahulu sudah menunjukkan urgensi logika dalam mencari pengetahuan yang benar. Urgensi ini terlihat jelas pada zaman sekarang karena telah terbukti adanya ikatan yang kuat antara logika dengan banyak ilmu, sehingga logika pada zaman sekarang menjadi mata kuliah utama bagi banyak cabang ilmu di banyak universitas Eropa dan Amerika, baik ilmu alam maupun ilmu humaniora. Di sini kami akan menjelaskan beberapa manfaat yang dapat diperoleh pelajar logika apa pun bidang spesialisasinya: Pertama, jika kita memandang logika sebagai “ilmu”, maka mempelajari logika menjadikan pelajarnya “memahami” karakter prinsip-prinsip yang menjadi dasar inferensi dan cara melakukannya baik inferensi itu deduktif maupun induktif. Pemahaman ini sangat penting bagi peneliti atau pemikir mana pun. Kedua, jika kita memandang logika sebagai “keterampilan”, logika membantu pelajarnya untuk mengembangkan kemampuan berpikir secara cermat dan menjadikannya lebih mampu daripada orang lain dalam mengemukakan dalil, menjadikannya lebih mampu memilah dalil-dalil yang mencukupi dan yang tidak mencukupi bagi suatu keyakinan atau pendapat, juga membantunya mengetahui dalil apa yang harus dia kemukakan atas kebenaran klaimnya untuk melegitimasi keyakinan atau keimanannya. Ini adalah manfaat logika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam relasi seseorang dengan orang lain yang berdebat atau berinteraksi dengannya. Ketiga, tidak diragukan lagi bahwa kita sering cenderung kepada sesuatu bukan karena keyakinan rasional, melainkan karena pengaruh psikologis. Kita meyakini sesuatu yang kita bolehkan karena pengaruh berbagai instrumen psikologis seperti ketertarikan emosional, tekanan mayoritas, atau pengaruh propaganda yang massif. Karena itu, mempelajari logika dapat membuat seseorang menyadari perbedaan

42


antara kecenderungan pada sesuatu karena pengaruh instrumeninstrumen tersebut atau karena penerimaan pada dalil yang logis. Ini akan membuat orang waspada terhadap pengaruh propaganda dan melawan opini-opini yang menyesatkan yang disebarkan dengan gencar. Keempat, logika membantu pelajarnya untuk membentuk kritis terhadap klaim dan praanggapan yang melatarbelakangi argumentasinya atau argumentasi orang lain dalam banyak bidang, seperti politik, ekonomi, hubungan antar bangsa, dan tema-tema ilmu humaniora lainnya, sehingga dia tidak menerima suatu pandangan sebelum mengkajinya, karena banyak hal di dalam bidang-bidang tersebut yang belum terbukti secara sempurna dan seringkali mengandung elemen taklid, pengutamaan, dan penilaian subjektif. Kelima, logika menjadikan pelajarnya terbiasa dengan istilahistilah logika yang khusus, seperti “inferensi”, “logis”, “sofis”, “dalil”, “kontradiksi”, “niscaya”, dll. Jika kita mencermati kata-kata tersebut, maka kita akan mendapatinya di dalam semua buah karya pemikiran, dan tidak hanya terdapat di dalam filsafat dan ilmu saja, tapi tersebar di semua karya yang mengkaji masalah-masalah pemikiran atau kemajuan pengetahuan. Pemahaman tentang kata-kata tersebut secara mendalam dapat diperoleh dengan mengkaji aktivitas yang ditunjukkan oleh kata-kata itu, dan itu terdapat di dalam logika. Keenam, logika menjadikan pembaca menyadari kesamaran yang terdapat di dalam lafal-lafal dan susunan-susunan bahasa, serta fungsi bahasa yang bermacam-macam. Dengan demikian, dia akan terhindar dari terjatuh dalam kesalahan karena penggunaan bahasa. Ini akan mendorongnya untuk lebih cermat dan teliti, dan sebagai akibatnya akan membuatnya lebih mampu menggunakan simbol-simbol bahasa dengan benar. Ketujuh, logika adalah gerbang utama bagi prosedur dan metode ilmiah sebagaimana terlihat pada observasi, inferensi indukti, penetapan asumsi, dan pembuktiannya. Meskipun aktivitas tersebut tidak mungkin dikuasai secara sempurna kecuali lewat pengalaman praktis, tapi kami yakin bahwa mempelajarinya akan membuat pelajar dapat mengambil banyak manfaat dan menggunakannya dalam memecahkan masalah-masalah sederhana yang mungkin terjadi di da\lam kehidupannya sehari-hari.

43


Selesai diterjemahkan di Puri Kartika Banjarsari Cipocok Jaya, Serang, Banten, pada hari Minggu, 25 Safar 1432 H./30 Januari 2011 M.

44


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.