Jejak Wanita Dalam Ritual Haji

Page 1

JEJAK WANITA DALAM RITUAL HAJI Ahmad Fadhil, Lc., M.Hum. Dosen Filsafat Islam dan Direktur Iran Corner Fak. Ushuluddin Dan Dakwah di IAIN SMH Banten, mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Haji adalah ritual yang sangat agung. Hanya haji yang menjadi salah satu nama surah di dalam al­Quran. Ritual lainnya tidak. Haji juga memuat karakteristik ritual­ritual lain, mulai dari ibadah hati, ibadah lisan, ibadah badan, ibadah berpantang, dan ibadah harta. Artinya, di dalam haji orang harus membaca kalimat mulia seperti zikir, doa, dan membaca al­Quran, melakukan gerakan badan seperti di dalam shalat, menahan diri dari pantangan tertentu seperti dalam puasa, dan mengeluarkan harta seperti dalam zakat dan sedekah. Sudah maklum bahwa haji adalah napak tilas atas fragmen historis yang dilakoni oleh Ibrahim, Hajar, dan Ismail. Prosesi ini, jika dilihat sekilas, boleh jadi nampak aneh dan lucu, sebenarnya penuh hikmah. Penuh makna. Prosesi ini mengajari orang untuk taat dan berserah diri kepada perintah Allah, yang ajaran­Nya bukanlah permainan dan kesia­siaan, apalagi kezaliman, melainkan semata­mata demi kebaikan kita manusia. Sebagai contoh, sai, yaitu berlari­lari kecil dari Shafa ke Marwa sebanyak tujuh kali. Sai adalah napak tilas dari sebuah fragmen yang sangat unik dan istimewa di dalam sejarah umat manusia, yang memperlihatkan bersatunya tiga faktor penyebab turunnya rahmat Allah yang mewujud dalam bentuk air zam­zam yang tidak habis­habis, meskipun setiap tahunnya jutaan orang membawanya ke negeri masing­masing. Di dalam ritual ini, jejak perjuangan seorang wanita, yaitu Siti Hajar, sangat jelas terlihat. Ritual ini mengangkat pribadi Bunda Hajar sebagai simbol ketabahan dan ketegaran seorang ibu dalam mengatasi krisis yang menimpa dirinya dan anaknya dengan hanya berbekal usaha yang berlandaskan kepada keimanan dan kepasrahan kepada Allah. Pada momen itu, di dalam diri Bunda Hajar, telah terhimpun faktor­faktor penyebab turunnya rahmat, yaitu: 1) Keterhimpitan dan krisis dalam level maksimal. 2) Doa dan permohonan secara maksimal. 3) Usaha dan upaya juga secara maksimal. Kisah seputar sai ini diawali ketika Nabi Ibrahim as diperintah Tuhan untuk membawa istri dan anaknya yang masih bayi, yaitu Ismail, ke sebuah lembah yang tandus. Lalu Nabi Ibrahim as diperintahkan untuk meninggalkan mereka di gurun yang kering kerontang itu untuk mengerjakan tugas lainnya dari Allah. Dalam waktu singkat, habislah persediaan air bagi ibu dan bayi itu. Sang bayi kehausan. Ia akan segera binasa oleh rasa dahaga. Sang ibu tahu, pada saat itu, ketika krisis sudah mengancam nyawa, tidak ada siapa pun atau apa pun yang dapat ia jadikan sandaran, kecuali Allah. Dalam kondisi seperti itulah dia menghadapkan diri sepenuhnya kepada Allah, memohon dan berdoa kepada­Nya, lalu segera bangkit mengerjakan daya upaya yang ia bisa. Doa dan usaha yang maksimal dalam setiap langkah dan hembusan nafasnya. Siti Hajar melihat anaknya yang masih bayi memukul­mukul tanah dengan kaki dan tangan. Ia berlari mendaki gunung Shafa. Di sana ia memandang ke cakrawala yang jauh dan berharap melihat air. Tapi tidak ada satu pun jejak yang menunjukkan keberadaan apa yang ia cari. Maka ia turun dan kembali berlari tergopoh­gopoh hingga ke lereng gunung Marwa. Dia tidak berhenti ketika usahanya yang pertama tidak berhasil. Harapan akan rahmat Allah memenuhi hatinya. Maka ia kembali melakukan perbuatan serupa hingga tujuh kali dia bolak­ balik dari Shafa ke Marwa. Maka, Allah melapangkan mereka dari himpitan itu. Ia memancarkan air dari bawah kaki si bayi. Ia menjadikan krisis, harapan kepada­Nya semata­mata, serta usaha manusia secara maksimal sebagai syarat terbukanya pintu rezeki. Dengan bersuka cita Bunda Hajar segera mengumpulkan air untuk menghilangkan dahaga puteranya. Dengan tangan ia menggali kolam untuk mengumpulkan air yang memancar dari bumi.

1


Karena khawatir air itu akan terbuang, ia pun berseru, “Zam, zam.” Artinya, “Berkumpullah ... Berkumpullah.” Jika ia tidak mengatakan seperti itu, boleh jadi air tersebut akan menjadi aliran sungai. Dan boleh jadi pada saat itu Siti Hajar memang tidak tahu bahwa air tersebut tidak hanya mencukupi kebutuhan dirinya dan anaknya, melainkan mencukupi umat manusia beribu­ribu tahun lamanya. Boleh jadi ia tidak pernah tahu bahwa setiap tahun akan ada berjuta­juta orang membawa air itu ke kampung halaman mereka masing­masing. Komentar apa yang dapat kita berikan terhadap episode bersejarah ini? Tidak ada yang pantas kita ucapkan kepada Siti Hajar, Bunda Ismail, Bunda kita, selain terima kasih yang sedalam­dalamnya. Allah telah menjadikan keturunannya (Muhammad saw) sebagai fasilitas bagi rahmat­Nya, tidak hanya yang bersifat fisik, yaitu air zam­zam yang menghilangkan dahaga tubuh kami, tapi juga yang bersifat spiritual, yaitu hidayah, keimanan, dan cahaya yang menerangi jiwa kami. Jika Bunda Hajar tidak mengalami kesendirian di gurun Hijaz, dia tidak akan mengalami krisis serupa itu. Jika dia tidak mengalami krisis itu, dia tidak bersandar hanya kepada Allah. Jika dia tidak bersandar hanya kepada Allah, rahmat Allah tidak turun kepadanya dan putranya. Kondisi batinnya yang bersandar sepenuhnya kepada Allah ini, dikristaliasi oleh Allah, untuk dinapaktilasi dan dipelajari oleh umat manusia hingga akhir zaman, dalam ibadah Sai. Dari Bunda Hajar inilah kita mempelajari media untuk mengundang turunnya rahmat Allah; mempelajari metode menjadikan diri kita sebagai wadah yang pantas diisi dengan anugerah Allah; dan mempelajari kiat menggunakan anak kunci untuk membuka pintu barokah Allah. Jika kita melihat kondisi kita sekarang, maka kita pantas untuk memohon maaf kepada beliau, Bunda Hajar, karena kita tidak merawat dengan baik kunci pusaka yang dia wariskan lewat anaknya Ismail, lalu anak­anak Ismail, hingga kita terima melalui Muhammad al­ Mushthafa Rasulullah saw. Kita harus memohon maaf kepadanya karena kita telah mengabaikan dan menelantarkan pusaka para nabi itu hingga kita tenggelam dalam kubangan hawa nafsu dan thogut. Bunda Hajar pasti malu jika dia melihat kondisi kita pada saat ini. Bunda Hajar mengajarkan kita ketundukan yang total kepada Allah. Air zam­zam yang kita minum adalah buah dari ketundukan total beliau di hadapan Allah. Ketundukan inilah sikap manusia yang harmonis dengan alam semesta. Alam semesta semuanya telah menyatakan diri tidak akan melakukan apa­apa selain tunduk kepada Allah. Mereka semua bersujud dan berdoa kepada Allah. Orang­orang yang wukuf di Arafah akan merasakan bahwa tenda, gunung, dan seluruh makhluk tunduk kepada Allah. Tinggal kita manusia, harus segera menentukan pilihan, mau tunduk kepada Allah atau tidak? Ketundukan kepada Allah SWT adalah kunci kemenangan, keberhasilan, dan kejayaan. Dia berfirman, “Wahai orang­orang yang beriman, rukulah, sujudlah, sembahlah Tuhanmu, dan lakukanlah kebajikan supaya kamu mendapatkan kemenangan.” Semoga di bulan yang penuh barokah ini umat Islam yang mengerjakan ibadah haji, juga kita pada umumnya, dapat menyerap makna­makna yang agung di dalam ritual ini, agar jiwa kita segar oleh hidayah, iman, dan ketundukan kepada Allah, seperti segarnya badan kita oleh air zam­zam yang penuh hikmah.

2


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.