Media Indonesia

Page 15

O PINI

KAMIS, 21 JULI 2011

15

Menyelamatkan BUMN

S

EBAGAI aset negara, BUMN idealnya difungsikan sebagai penopang kesejahteraan rakyat dan memaksimalkan pelayanan publik. Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 mengamanatkan, ‘Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara’. Kemudian Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menyebutkan, ‘Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat’. Sayangnya, BUMN belum mampu secara maksimal mengemban amanat konstitusi tersebut. Sebaliknya, perusahaan negara ini masih terstigma sebagai lumbung bagi akomodasi kepentingan segelintir penguasa dan pengusaha. Ia masih menjadi ‘sapi perah’ bagi para pejabat pemerintah dan para pengusaha untuk kepentingan-kepentingan politik dan pribadi. Mengapa hal ini terjadi? Jawabannya sederhana, tidak ada iktikad baik dan keseriusan pemerintah dalam mengelola BUMN. Mari berhitung! Secara keseluruhan, baik berbentuk perusahaan umum (perum) maupun perusahaan perseroan (persero), jumlah BUMN saat ini ada 142. Terdapat lima bidang usaha BUMN, yaitu bidang usaha perbankan dan jasa keuangan (22 BUMN); bidang usaha jasa lainnya (26 BUMN); bidang usaha logistik dan pariwisata (29 BUMN); bidang usaha agroindustri, pertanian,

I

SI tajuk Media Indonesia (12/7), ‘ketika citra sudah tidak bisa dipoles-poles lagi, tidak ada pilihan lain kecuali mengakui kegagalan’, terkait dengan mandeknya instruksi presiden yang memengaruhi seretnya kinerja Kabinet Indonesia Bersatu II, terasa menggelikan sekaligus menegaskan hukum besi pencitraan bahwa pemerintahan yang gigih memperjuangkan citra ketimbang kerja nyata segera membuat bangsa ini ‘masuk kotak’. Itulah yang terlihat dari degradasi kinerja pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono di masa terakhir kepemimpinannya. Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) pada (7/7) lalu melaporkan lebih dari 50% instruksi presiden yang dikeluarkan selama 2011 tidak jalan sehingga banyak program nyata pemerintah bagi rakyat terbengkalai. Padahal waktu kerja normal pemerintahan Yudhoyono hanya tersisa 1,5 tahun. Sebelumnya, hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menunjukkan tingkat kepuasan akan kepemimpinan SBY merosot dari 56,7% pada Januari 2011 menjadi 47,2% pada bulan ini. Survei dengan metode wawancara tatap muka dan margin of error plus-minus 2,9% itu mengonstatasi ketidakmampuan presiden untuk me-

PARTISIPASI OPINI

kehutanan, perce takan, dan penerbitan (39 BUMN), dan bidang usaha pertambangan, industri strategis, energi, dan telekomunikasi (26 BUMN). Keseluruhan aset BUMN tersebut diperkirakan sekitar Rp2.500 triliun. Jumlah aset sebesar itu mestinya mampu memberi kontribusi signifikan bagi negara. Namun, hanya sekitar Rp50 triliun-RP60 triliun per tahun atau 2%-3% dari keseluruhan aset yang mampu diberikan BUMN. Suatu jumlah yang sangat kecil. Bandingkan dengan Temasek (holding BUMN milik Singapura), dengan aset sekitar S$150 miliar, Temasek bisa memberikan kontribusi kisaran S$13 miliar atau hampir 9% kepada pemerintah Singapura. Bila dikelola dengan efektif dan efisien, dengan aset yang dimiliki seharusnya BUMN bisa memberikan kontribusi jauh lebih besar. Dengan melihat bunga bank saat ini, sekitar 6%, seharusnya BUMN dapat memberikan kontribusi kepada negara minimal sebesar Rp150 triliun per tahun. Fakta menunjukkan beberapa BUMN dalam kondisi sekarat, hidup segan mati tak mau. Sebut saja PT Dirgantara Indonesia (beban utang sebesar Rp3,8 triliun), PT Merpati Nusantara Airlines (utang Rp2,1 triliun), dan PT PAL (utang US$25,6 juta). Bahkan ada BUMN yang tak lagi berproduksi, seperti PT Kertas Kraft Aceh dan PT Industri Kapal Indonesia. Memang tidak semua BUMN bermasalah, tapi tidak ba-

Eriko Sotarduga BPS Anggota Komisi VI DPR RI nyak pula yang berhasil. Dari sejumlah BUMN yang ada, hanya beberapa yang bisa diandalkan, di antaranya PT Pertamina (laba bersih pada 2010 sebesar Rp11,47 triliun), PT Telkom (Rp8,99 triliun), PT Bank Mandiri (Rp6,38 triliun), PT Perusahaan Gas Negara (Rp4,69 triliun), dan PT Semen Gresik (Rp1,62 triliun). Di lain pihak, performa sebagian besar BUMN yang ada biasa-biasa saja.

dengan BUMN terkait untuk membantu BUMN lain yang bermasalah, baik dalam bidang permodalan, penyediaan bahan baku, manajemen, maupun pemasaran. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian selayaknya berkoordinasi dengan

Minim sinergi Kurangnya koordinasi dari pemerintah merupakan penyebab utama terpuruknya BUMN. Mereka justru dibiarkan berjalan sendiri di tengah persaingan yang semakin tinggi dan kondisi perekonomian yang kian berat. Memang agak sulit dipercaya bila ternyata pemerintah minim koordinasi dengan perusahaan negara. Sebab, selain memiliki Kementerian BUMN, pemerintah memiliki Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Kementerian BUMN mestinya dapat berkoordinasi

institusi pemerintah lainnya, khususnya dalam menentukan arah dan kebijakan untuk memberdayakan BUMN termasuk untuk menyelamatkan BUMN yang bermasalah. Artinya, permasalahan BUMN akan dapat diatasi bila pemerintah mempunyai grand design yang jelas. Ironisnya, penyelesaian masalah melalui bantuan pihak asing lebih diutamakan sebagai jalan pintas ketimbang revitalisasi dan restrukturisasi serta keseriusan pengelolaan di internal BUMN. Keseriusan revitalisasi Dari gambaran kondisi tersebut, selayaknya pemerintah cepat bertindak menyelesaikan segala permasalahan yang me lingkupi perusahaan negara itu. Pertama, restrukturisasi dan revitalisasi terhadap BUMN bermasalah, terutama BUMN industri strategis seperti PT Dirgantara Indonesia dan PT PAL Surabaya. Bila tidak, BUMN itu hanya akan membebani pemerintah. Bukan sekadar persoalan keuangan,

melainkan juga masalah sosial terkait dengan nasib para karyawannya. Pada posisi itu, k penyegaran manajemen, kep uangan, dan alat-alat produksinya mesti segera dilakukan. Direksi dan komisaris yang diduga ‘orang titipan’, sebagai politik balas jasa, harus diganti dengan para profesional yang berada di luar berbagai kepentingan politik dan kekuasaan. Kedua, meningkatkan modal usaha secara optimal sehingga BUMN dapat meningkatkan performa melalui beragam kelengkapan alat produksi yang canggih. Tidak akan terjadi peningkatan performa bila modal kurang dan alat produksi sudah usang. PT Pindad Bandung yang masih menggunakan mesin-mesin tua akan kesulitan bersaing dengan perusahaan swasta dan asing. Banyak order yang terpaksa ditolak karena kemampuan mesin produksi yang tidak memadai. Sebenarnya pemerintah saat ini tengah ‘mencoba’ melakukan restrukturisasi dan revitalisasi terhadap beberapa BUMN, khususnya yang masuk industri strategis, seperti PT Dirgantara Indonesia, PT PAL, dan PT Pindad Bandung. Pemerintah bersama DPR telah sepakat memberikan penyertaan modal negara (PMN) dan konversi soft loan agreement (SLA) atau rekening dana investasi (RDI). PT Dirgantara Indonesia, misalnya, mendapat Rp5,89 triliun, PT PAL mendapat Rp3,361 triliun, dan PT Pindad mendapat Rp1,287 triliun hingga 2012. Namun di domain praksis operasional, konsistensi dan

komitmen pemerintah masih dipertanyakan. Artinya, BUMN industri strategis akan mampu bangkit manakala pemerintah tidak setengah hati dan all out dalam konteks eksekusi. Ketiga, BUMN yang sudah tidak dapat dipertahankan harus segera di-merger, bahkan dilikuidasi. Pilihan ini memang sulit, tetapi pemerintah harus bisa bertindak tegas. Keempat, holdingisasi terhadap seluruh BUMN agar lebih efektif dan efisien. Sayangnya, holdingisasi yang sedang dijalankan pemerintah tidak dilakukan secara serius. Holdingisasi tidaklah sederhana. Mesti ada produk hukum (perundangan) dan revaluasi. Akan tetapi, itu bukan alasan karena pemerintah bersama DPR dapat bekerja sama membuat undang-undang yang berkaitan dengan holdingisasi. Komisi VI DPR RI beberapa waktu lalu telah mendorong pemerintah segera melakukan holdingisasi BUMN. BUMN adalah aset besar negeri ini. Menyelesaikan permasalahan dari dalam melalui beragam program revitalisasi, grand desain, dan pengoptimalan peran pemerintah akan menghasilkan solusi yang lebih tepat dan mapan ketimbang mencari alternatif solusi instan melalui bantuan (utang) asing. Dengan memberdayakan sumber daya sendiri, bukan mustahil kita mampu membiayai negara ini, tanpa harus berutang dan bergantung pada negara lain. Seperti salah satu diktum Trisakti yang dicetuskan Bung Karno, kita harus berdikari dalam bidang ekonomi!

Pengakuan yang Menyakitkan nyelesaikan akumulasi kasus nasional yang mencuat menjadi sebab anjloknya popularitas SBY. Menurut Direktur PT Lingkaran Survei Kebijakan Publik Sunarto Ciptoharjono (26/6), tingkat kepuasan publik atas kinerja pemerintahan SBY untuk pertama kali sejak 2009 di bawah 50%. Itu dianggap sebagai angka kritis (Media Indonesia, 27/6). Sikap mengakui kegagalan memang tidak salah. Namun mengakuinya setelah selama ini banyak energi pemerintahan telanjur dihabiskan untuk memproduksi citra, justifikasi, dan mengelola kepentingan politik yang jauh dari kemanfaatan publik bahkan aneka kebohongan adalah sebuah hal menyakitkan rakyat. Bagaimana tidak, selama ini pemerintah rajin membentengi diri dengan mengklaim kesuksesan kinerja mereka. Akan tetapi, setelah didesak berbagai survei dan rapor merah evaluasi UKP4, barulah pemerintah mengakui kegagalan itu. Kompensasi Banyak hal yang menyebabkan pemerintahan SBY seolah-olah menggiring bangsa ini masuk kotak degradasi. Presiden tersandung turbulensi masalah kompleks dan rumit yang sebenarnya bisa diatasi jika sejak dulu ia bersikap tegas dan konsisten. Pola penyelesaian kasus Gayus, Nazaruddin,

Umbu TW Pariangu Dosen Fisipol Undana, Kupang dan mahasiswa pascasarjana Fisipol UGM atau Andi Nurpati, misalnya, bisa menjadi salah satu indikasi konsistensi dan inkonsistensi pemerintah dalam mengambil sikap yang propenegakan hukum dan keadilan, sebab itu sangat menyentuh sisi kebatinan rakyat kecil. Padahal penuntasan kasus tersebut ‘berpeluang’ mengompensasi kegagalan menyelesaikan masalah substrat, kemiskinan dan pengangguran, meskipun secara makro ekonomi ada ‘prestasi’. Namun perlu diingat, ‘prestasi’ itu pun dibayar mahal dengan invasi ekonomi multinasional yang menguasai ekonomi Tanah Air sehingga usaha-usaha rakyat kecil gulung tikar. Jadi anggapan bahwa pertumbuhan ekonomi tinggi dengan pendapatan per kapita US$3.000 per tahun, yang oleh Menko Perekonomian RI Hatta Rajasa disebut sebagai energi sosial, perlu dipertanyakan. Jika mau jujur, angka kemiskinan rakyat sebenarnya belum bergerak naik secara signifikan. Bahkan dalam hitungan PBB, hampir separuh penduduk Indonesia berpenghasilan di bawah US$2 (Rp20 ribu) per hari sehingga rakyat kesulitan bersaing dengan harga kebutuhan hidup mereka yang meroket.

Akibatnya, kualitas hidup h rakyat kita rendah. Mestinya kita tak perlu kaget dengan laporan Bank Dunia yang berjudul Making the New Indonesia Work for the Poor. Laporan itu menyebutkan masih ada 39,1 juta orang atau sekitar 17,75% masyarakat miskin karena

Pemerintah bukannya sibuk memelihara dan membesarkan dukungan serta kepuasan rakyat, melainkan malah membesarkan kecemasan demi kecemasan publik bak memelihara anak macan.” memang masih banyak balita Indonesia yang kekurangan gizi dan diserang busung lapar. Nasi aking dan tiwul menjadi menu ‘primadona’ keseharian warga ketika harga beras terus memeras air mata. Bangkai ayam yang dimakan bahkan tikus got yang diburu sebagai lauk pengganti ikan bukanlah fenomena yang asing lagi. Pemerintah tak bisa gegabah mengklaim kesejahteraan rakyat

kalau banyak warga yang membereskan kesulitan hidup mereka dengan cara bunuh diri karena terjepit utang dan tak kuat menanggung derita dan penyakit yang tak kunjung sembuh akibat harga obat selangit. Itulah kenapa Hugo Chaves berpidato, ‘Kita tak ingin menjadi negara yang menindas hak hidup buruh dan anak serta melukai martabat manusia. Kita tak mau jadi negara yang hanya berpikir untuk menaikkan pendapatan, kita mesti menjadi negara yang memprioritaskan kehidupan rakyat’ (Hamengkubuwono, 2008). Perjamuan koruptor Meski bermodal kekayaan alam yang luar biasa, kita masih kalah cepat dengan proyek penyejahteraan rakyat di Malaysia, Vietnam, apalagi Singapura. Pengelolaan (potensi kekayaan alam) negara yang salah membuat negeri ini ibarat ruang perjamuan massal bagi para pejabat korup untuk memuaskan hasrat dan kerakusan mereka. Pemerintah malah berkesan turut menikmati penyakit kekuasaan itu dengan melanggengkan sikap kompromi yang menegas akal sehat publik. Sikap kekuasaan destruktif dan kepemimpinan yang tak

peka hanya memperlebar jurang ekspektasi publik sehingga g memancing persoalan demi persoalan baru yang kontrop versial, seperti kebiasaan pemerintah bermeditasi dengan citra dan popularitas yang oleh banyak kalangan dinilai hanya membuang-buang waktu mereka untuk konsisten mengurus rakyat. Dengan pendirian yang serbafanatik terhadap mesin sekuritas pembentukan citra sambil abai membentuk modal sosial, pemerintah ibarat sedang mengoleksi benih-benih kekecewaan dan frustrasi rakyat yang suatu saat bisa meledak. Dengan susu bayi atau pupuk padi yang mahal dan tak terbeli saja, itu bisa memicu energi kemarahan rakyat seperti revolusi di Timur Tengah. Lebih-lebih tatkala rakyat menyaksikan pola hidup keseharian pejabat yang extravagant, melampaui ambang batas solidaritas, yang ditempuh melalui cara-cara kotor (melanggar hukum). Semula penulis berasumsi, dengan modal elektabilitas kepemimpinan pasca Pilpres 2009, SBY setidaknya memiliki kemampuan dalam dua hal secara bersamaan, yakni ability to do things better dan ability to do things difference. Yang pertama, ia mampu mengapitalisasi dukungan rakyat itu melalui pengerahan segenap atribut kepemimpinan terbaiknya dengan memobilisasi pem-

bantu dan bawahannya untuk melakukan berbagai terobosan kebijakan propopulisme yang vital, terutama dalam menjamin peningkatan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat. Yang kedua, presiden (apalagi telah memasuki periode terakhir) mampu menciptakan langkah yang menegaskan suatu perbedaan pemerintahannya dengan pemerintahan Megawati, Gus Dur, Habibie, terlebih Soeharto, misalnya dalam hal eliminasi korupsi. Perbedaan ini bukan saja dalam segi memproduksi sejumlah komisi/satgas dan aturan/ inpres antikorupsi, melainkan juga perbedaan perihal ketegasan dan keberanian menjalankan politik yang memerangi kejahatan para koruptor absolut tanpa pandang bulu, sekalipun itu menyentuh lingkar kekuasaannya sendiri. Jika dua kemampuan itu dijalankan, pastilah presiden akan didukung penuh oleh rakyat. Namun ibarat pegadaian, pemerintah bukan mengatasi masalah tanpa masalah. Pemerintah seolah-olah mengatasi masalah, tetapi kenyataannya malah menimbulkan masalahmasalah baru. Pemerintah bukannya sibuk memelihara dan membesarkan dukungan serta kepuasan rakyat, melainkan malah membesarkan kecemasan demi kecemasan publik bak memelihara anak macan.

Kirimkan ke email: opini@mediaindonesia.com atau opinimi@yahoo.com atau fax: (021) 5812105, (Maksimal 7.100 karakter tanpa spasi. Sertakan nama. alamat lengkap, nomor telepon dan foto kopi KTP).

Pendiri: Drs. H. Teuku Yousli Syah MSi (Alm) Direktur Utama: Rahni Lowhur-Schad Direktur Pemberitaan: Saur M. Hutabarat Direktur Pengembangan Bisnis: Alexander Stefanus Dewan Redaksi Media Group: Elman Saragih (Ketua), Ana Widjaya, Andy F.Noya, Bambang Eka Wijaya, Djadjat Sudradjat, Djafar H. Assegaff, Laurens Tato, Lestari Moerdijat, Rahni Lowhur Schad, Saur M. Hutabarat, Sugeng Suparwoto, Suryopratomo, Toeti Adhitama Redaktur Senior: Elman Saragih, Laurens Tato, Saur M. Hutabarat Deputi Direktur Pemberitaan: Usman Kansong Kepala Divisi Pemberitaan: Kleden Suban Kepala Divisi Content Enrichment: Gaudensius Suhardi Deputi Kepala Divisi Pemberitaan: Abdul Kohar Sekretaris Redaksi: Teguh Nirwahyudi Asisten Kepala Divisi Pemberitaan: Ade Alawi, Fitriana Siregar, Haryo Prasetyo, Ono Sarwono, Rosmery C.Sihombing Asisten Kepala Divisi Foto: Hariyanto

Redaktur: Agus Mulyawan, Anton Kustedja, Cri Qanon Ria Dewi, Eko Rahmawanto, Eko Suprihatno, Hapsoro Poetro, Henri Salomo Siagian, Ida Farida, Jaka Budisantosa, Mathias S. Brahmana, Mochamad Anwar Surahman, Sadyo Kristiarto, Santhy M. Sibarani, Soelistijono Staf Redaksi: Adam Dwi Putra, Agung Wibowo, Ahmad Maulana, Ahmad Punto, Akhmad Mustain, Amalia Susanti, Andreas Timothy, Aries Wijaksena, Aryo Bhawono, Asep Toha, Basuki Eka Purnama, Bintang Krisanti, Christina Natalia S, Cornelius Eko, David Tobing, Denny Parsaulian Sinaga, Deri Dahuri, Dian Palupi, Dinny Mutiah, Dwi Tupani Gunarwati, Edwin Tirani, Edy Asrina Putra, Emir Chairullah, Eni Kartinah, Eri Anugerah, Fardiansah Noor, Fidel Ali Permana, Gino F. Hadi, Heru Prihmantoro, Heryadi, Ignatius Santirta, Iis Zatnika, Irana Shalindra, Irvan Sihombing, Iwan Kurniawan, Jajang Sumantri, Jerome Eugene W, Jonggi Pangihutan M., K. Wisnubroto, M. Soleh, Mirza Andreas, Mohamad Irfan, Muhamad Fauzi, Nurulia Juwita, Panca Syurkani, Raja Suhud V.H.M, Ramdani, Ratna Nuraini, Rommy Pujianto, Selamat Saragih, Sidik Pramono, Siswantini Suryandari, Sitriah Hamid, Sugeng Sumariyadi, Sulaiman Basri, Sumaryanto, Susanto, Syarief Oebaidillah, Thalatie Yani, Tutus Subronto, Usman Iskandar, Wendy Mehari, Windy Dyah Indriantari, Zubaedah Hanum Biro Redaksi: Dede Susianti (Bogor) Eriez M. Rizal (Bandung); Kisar Rajagukguk (Depok); Firman Saragih (Karawang); Yusuf

Riaman (NTB); Baharman (Palembang); Parulian Manulang (Padang); Haryanto (Semarang); Widjajadi (Solo); Faishol Taselan (Surabaya) MICOM Asisten Kepala Divisi: Tjahyo Utomo, Victor J.P. Nababan Redaktur: Agus Triwibowo, Asnawi Khaddaf, Patna Budi Utami, Widhoroso Staf Redaksi: Heni Rahayu, Hillarius U. Gani, Nurtjahyadi, Prita Daneswari, Retno Hemawati, Rina Garmina, Rita Ayuningtyas, Yulia Permata Sari, Wisnu Arto Subari Staf: Abadi Surono, Abdul Salam, Budi Haryanto, Charles Silaban, M. Syaifullah, Panji Arimurti, Rani Nuraini, Ricky Julian, Vicky Gustiawan, Widjokongko DIVISI TABLOID, MAJALAH, DAN BUKU (PUBLISHING) Asisten Kepala Divisi: Gantyo Koespradono, Jessica Huwae Redaktur: Agus Wahyu Kristianto, Lintang Rowe, Regina Panontongan Staf Redaksi: Adeste Adipriyanti, Arya Wardhana, Handi Andrian, Nia Novelia, Rahma Wulandari CONTENT ENRICHMENT Asisten Kepala Divisi: Yohanes S. Widada Periset: Heru Prasetyo (Redaktur), Desi Yasmini S

Bahasa: Dony Tjiptonugroho (Redaktur), Aam Firdaus, Adang Iskandar, Mahmudi, Ni Nyoman Dwi Astarini, Riko Alfonso, Suprianto ARTISTIK Redaktur: Donatus Ola Pereda, Gatot Purnomo, Marjuki, Prayogi, Ruddy Pata Areadi Staf Redaksi: Ali Firdaus, Ananto Prabowo, Andi Nursandi, Annette Natalia, Aria Mada, Bayu Wicaksono, Budi Setyo Widodo, Dharma Soleh, Endang Mawardi, Fredy Wijaya, Gugun Permana, Hari Syahriar, Haris Imron Armani, Haryadi, Lisa Saputra, Marionsandez G, M. Rusli, Muhamad Nasir, Muhamad Yunus, Nana Sutisna, Novi Hernando, Nurkania Ismono, Permana, Putra Adji, Tutik Sunarsih, Warta Santosi PENGEMBANGAN BISNIS Kepala Divisi Marketing Communication: Fitriana Saiful Bachri Kepala Divisi Marketing Support & Publishing: Andreas Sujiyono Asisten Kepala Divisi Iklan: Gustaf Bernhard R Asisten Kepala Divisi Sirkulasi-Distribusi: Tweki Triardianto Perwakilan Bandung: Arief Ibnu (022) 4210500; Medan: Joseph (061) 4514945; Surabaya: Tri Febrianto (031) 5667359; Semarang: Desijhon (024) 7461524; Yogyakarta: Andi Yudhanto (0274) 523167; Palembang: Andi Hendriansyah, Ferry Mussanto (0711) 317526, Pekanbaru: Bambang Irianto 081351738384.

Telepon/Fax Layanan Pembaca: (021) 5821303, Telepon/ Fax Iklan: (021) 5812107, 5812113, Telepon Sirkulasi: (021) 5812095, Telepon Distribusi: (021) 5812077, Telepon Percetakan: (021) 5812086, Harga Langganan: Rp67.000 per bulan (Jabodetabek), di luar P. Jawa + ongkos kirim, No. Rekening Bank: a.n. PT Citra Media Nusa Purnama Bank Mandiri - Cab. Taman Kebon Jeruk: 117-009-500-9098; BCA - Cab. Sudirman: 035-306-5014, Diterbitkan oleh: PT Citra Media Nusa Purnama, Jakarta, Alamat Redaksi/Tata Usaha/Iklan/Sirkulasi: Kompleks Delta Kedoya, Jl. Pilar Raya Kav. A-D, Kedoya Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat - 11520, Telepon: (021) 5812088 (Hunting), Fax: (021) 5812102, 5812105 (Redaksi) e-mail: redaksi@mediaindonesia.com, Percetakan: Media Indonesia, Jakarta, ISSN: 0215-4935, Website: www.mediaindonesia.com, DALAM MELAKSANAKAN TUGAS JURNALISTIK, WARTAWAN MEDIA INDONESIA DILENGKAPI KARTU PERS DAN TIDAK DIPERKENANKAN MENERIMA ATAU MEMINTA IMBALAN DENGAN ALASAN APA PUN


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.