Media Indonesia

Page 15

T RAVELISTA Ke Solo Jangan cuma Beli Batik MINGGU, 17 JULI 2011

Solo memiliki segudang destinasi yang akan mengajak Anda bisa lebih memahami nilai-nilai budaya Jawa yang agung dan harmonis. Tidak perlu mal-mal lagi untuk menarik wisatawan.

Berkeliling Keraton Biru

ROSMERY SIHOMBING

S

AAT mengunjungi Kota Solo atau Surakarta, kata spontan yang terucap adalah batik atau keraton. Sebagian besar pengunjung ingin belanja batik atau melihat-lihat Keraton Kasunanan Surakarta dan Puro Mangkunegaran. Sebetulnya, di kota itu banyak nilai budaya dan filosofi kehidupan tersembunyi dan tidak diketahui banyak orang. Dengan memahami nilai-nilai itu, kita pun akan menghargai dan mencintai karya-karya mereka. Sebelum membeli batik, lihatlah sejenak kehidupan di balik sehelai kain batik. Di sana ada orang-orang yang tahan duduk berjam-jam dengan posisi tegak tanpa bersandar. Tangan mereka dengan luwes menggoreskan canting ke atas kain. “Kita jangan cuma tahu batik tulis, cap, atau print (pabrik), tetapi lihat nilai-nilai kehidupan di balik proses pembuatan batik itu,” ujar perancang busana Edward Hutabarat, dalam perjalanan misi pelestarian batik ‘Cintaku pada Batik takkan Pernah Pudar ’ yang dilakukan bersama Attack Batik Cleaner, beberapa waktu lalu di Solo. Menurut Edward, perjalanan misi yang sebelumnya sudah dilakukan di Pekalongan dan Madura itu mengemban tujuan memperkenalkan batik, tetapi tidak hanya dari sisi produksi dan keekonomisannya. “Batik harus dipahami dari akar budayanya. Hanya dengan cara mengalami, melihat, dan merasakan secara langsung, kita bisa menghargai value sehelai batik,” tambah perancang yang sudah berkarya selama 30 tahun itu. Menurutnya, semestinya masyarakat menghargai batik karena tahu proses menghayati denyut kehidupan di sekitarnya yang sering terabaikan. Untuk itulah perjalanan misi pelestarian batik dilaksanakan di tempat-tempat para perajin terkenal di Solo, yakni Kampung Laweyan dan Kampung Kauman. Keduanya memiliki keunikan berdasarkan sejarah. Kampung Laweyan diperkenalkan Saud Effendi sebagai kampung yang berkembang karena industri batik dan

15

FOTO-FOTO: DOK IMAGES DYNAMICS

BATIK TULIS: Gunawan dan Edward Hutabarat menjelaskan inovasi batik tulis tidak hanya diatas kain katun, tetapi juga di atas sutra dan sifon dengan panjang lebih dari lima meter.

KUE SERABI: Pembuat kue serabi Solo yang sudah puluhan tahun membantu Ibu Thresia di Panti Sari, Kepatihan. dimotori para saudagar batik pribumi yang dikenal dengan sebutan Gal Gendhu. Masa kejayaan para Gal Gendhu itu terlihat jelas dari arsitektur bangunan rumah mereka yang luas, megah, dan berbenteng tinggi. Para Gal Gendhu dari Laweyan itu merupakan cikal bakal sebuah organisasi perdagangan yang berdiri pada 1912 dan dikenal sebagai Syarekat Dagang Islam. “Kami membuat batik tulis dengan pakem-pakem tradisional khas Solo, batik cap dengan kombinasi tulis, modifikasi warna dan teknik smocked (kerut) untuk mendapatkan kesan kontemporer yang lebih segar, serta jenis batik dengan teknik lukis yang merupakan penyaluran jiwa seni saya,” ung kap alumnus Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Yogyakarta itu.

.COM/mediatravelista/

Sedikit berbeda jika dibandingkan dengan kisah Laweyan, Kampung Kauman memiliki hubungan erat dengan Keraton Solo. Dulu, perajin di Kampung Kauman secara khusus membuat batik untuk kebutuhan Keraton Kasunanan Surakarta. “Jarik atau kain yang digunakan oleh raja dan kaum bangsawan Keraton adalah bagian dari simbol dan citra mereka. Tentu saja pembuatannya diserahkan kepada orangorang kepercayaan yang pada saat itu menetap di wilayah Kauman ini,” ungkap Gunawan Setiawan, pemilik Batik Gunawan. Terus berkembang Seiring dengan perkembangan zaman dan tuntutan dunia fesyen, perajin batik tidak cuma membuat batik di atas katun, tetapi juga sutera dan

sifon dengan panjang hingga 5 meter. “Lebih sulit (membuat batik itu) dan harus teliti supaya tidak bocor cicak-cicaknya,” ujar Gunawan yang meneruskan usaha batik peninggalan orang tuanya. Menurut Gunawan, pelanggannya yang kerap datang menyaksikan langsung proses pembuatan batik justru berasal dari Jepang. “Ada pelanggan saya, ia bisa membatik dan kerap membawa muridnya ke bengkel kerja perajin saya,” kata Gunawan. Selain menyaksikan bagaimana perajin batik berkarya di kampung-kampung batik tersebut, jangan lupa mendatangi pembuatan minuman dan makanan tradisional. Untuk sarapan pagi, cobalah Soto Gading. Pagi-pagi sekali, kedai soto itu sudah dibanjiri pelanggan untuk sarapan pagi. Kemudian

Untuk informasi lengkap dunia travelista.

nasi pecel Pasar Beling untuk makan siang. Bila ingin menikmati jajanan pasar, sempatkanlah datang ke Panti Sari, Kepatihan. Di sana ada seorang ibu yang sudah sepuh bernama Theresia. Ia ditemani beberapa pembantunya sudah turun-temurun membuat kue yang biasa dipesan keluarga Keraton. Getuknya sangat lembut, semar mendemnya pun unik karena disiram campuran santan dan gula merah. “Getuk, semar mendem, dan serabinya Ibu Theresia ini paling digemari oleh PB XII. Bahkan almarhum ibunda Theresia sering mendapat pesanan makanan yang dipakai untuk sesaji para rajaraja dulu,” ujar Febri, pelestari budaya dari Himpunan Ratna Busana yang masih kerabat Keraton Solo. Menurut Theresia, setiap hari ia tidak terlalu banyak membuat jajanan pasar tersebut. Ia tidak menitipkan dagangannya ke toko-toko. Para pembelilah yang datang ke rumah tuanya itu. Setelah menikmati makanan, sempatkan diri Anda menikmati jamu tamtaman yang terdiri dari beras kencur dan kunyit asam. Jamu yang masih dibuat secara tradisional itu bisa dipesan untuk dikirim melalui paket ke luar Kota Solo. Setelah melihat kerja para perajin batik, pembuat kue dan jamu, pelajaran yang bisa dipetik yaitu mereka bisa setia dan sabar selama belasan bahkan puluhan tahun mengerjakan rutinitas itu. Dengan kesederhanaan, mereka mempertahankan cita rasa dan kualitas. (M-1) miweekend @mediaindonesia.com

SALAH satu pusat pemerintahan kerajaan-kerajaan Jawa ialah Keraton Kasunanan Surakarta yang masih menjadi primadona, baik bagi para wisatawan maupun masyarakat lokal yang ingin berlibur atau belajar sejarah. Namun sayang, kondisi bangunan megah yang dibangun pada 1745 dan berada tepat di jantung Kota Solo, Jawa Tengah, itu agak mengkhawatirkan. Beberapa benda pusaka keraton dikabarkan raib. Pada Pendopo Sasono Sewoko, sebagai bangunan utama keraton yang merupakan tempat perayaan adat, ritual, dan keagamaan, serta tempat raja-raja dilantik dan beraktivitas, sudah mulai rapuh. Genting hingga pilar-pilar yang berasal dari kayu jati keropos. Pihak keraton pun terpaksa tidak bisa menyalakan keseluruhan lampu di bangunan tersebut. Pasalnya, genting yang bocor membuat instalasi listrik rusak. Keraton yang memiliki nilai sejarah yang tinggi itu terakhir dipugar pada 1987. “Setelah itu tidak ada perbaikan lagi,” ujar GRA Kusmurtia Wandansari, Pengageng Sasono Wilopo (sekretaris negara Keraton Surakarta) saat ditemui Media Indonesia. Sesuai peraturan pemerintah, keraton yang semula kerajaan itu telah menyepakati tunduk kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, pada praktiknya sering dianggap bukan milik negara. “Ini yang tidak dipahami pemerintah. Sehingga tidak ada tanggung jawabnya untuk melestarikan budaya bangsa,” kata Kusmurtia. Karena tak ada jalan lain untuk menambah pemasukan yang nantinya digunakan biaya pemeliharaan bangunan, sejak 1962, Pakubowono XII menyatakan Keraton Surakarta dibuka untuk umum sebagai salah satu objek pariwisata hingga saat ini. Termasuk bangunan Museum Surakarta yang berada tepat di samping pintu utama keraton. Sekarang, hanya dengan membayar Rp8.000 per orang dan Rp15.000 untuk turis asing, para pengunjung dapat menikmati berbagai peninggalan sejarah yang berada di dalam museum. Mulai dari kereta jenazah raja besar yang dibuat abad ke-10 hingga tonggak kayu dono loyo yang berusia 200 tahun lebih, yang berada di tengah halaman museum.

Sesuai peraturan pemerintah, keraton telah menyepakati tunduk kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, pada praktiknya sering dianggap bukan milik negara.”

Koleksi keraton Berbagai koleksi peninggalan pustaka, keris, gamelan, dan meriam zaman dulu hingga fragmen candi atau batu-batuan dari Candi Borobudur dan Prambanan bisa dijumpai di Keraton. Beberapa abdi dalem yang bertugas pun siap untuk menemani para pengunjung berjalan-jalan sambil memberikan pemaparan mengenai sejarah barangbarang peninggalan dan keluarga keraton. Di perpustakaan keraton tersimpan dokumendokumen berupa naskah lama yang berumur ratusan tahun. Termasuk Alquran dengan huruf Jawa, hingga ciptaan para pujangga Surakarta zaman dulu. Selain itu ada bangunan utama pendopo, bangsal magangan, yakni pendopo yang biasa digunakan untuk acara penerimaan pegawai baru, dan bangunan lain yang bisa dikunjungi. Nuansa dominan warna biru yang identik dengan warna langit, hamparan pasir pantai selatan dan deretan pohon sawo besar di halaman membuat Keraton Surakarta tampak menarik. Satu yang perlu diingat, Tamu perempuan dilarang memakai celana jins dan diharuskan memakai rok panjang selutut atau kain. Adapun tamu pria diharuskan memakai celana panjang. Seluruh tamu pun dilarang memakai sandal jepit, topi, dan kacamata hitam. (SN/M-1)


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.