Media Indonesia

Page 27

P OP KOMUNITAS

JUMAT, 16 SEPTEMBER 2011

27

MI/RAMDANI

BUKAN SULAP: Komunitas

Indonesian Card Artist

Indonesian Card Artist, di Kemang, Jakarta, Rabu (14/9). Card flourish bisa diartikan sebagai seni memainkan kartu secara artistik tanpa menampilkan unsur magis atau sulap.

Ini Seni, bukan Judi Kartu remi bukan cuma untuk berjudi atau sulap. Komunitas ini membuktikan kartu remi bisa menjadi sebuah seni. CHRISTINE FRANCISKA

T

UMPUKAN kartu berserakan di sebuah meja di deretan belakang sebuah restoran cepat saji. Di sekelilingnya, Rabu (14/9), beberapa anak muda tampak asyik berkumpul, mengutak-atik kartu di tangan sambil bertegur sapa. Jika dilihat dari kejauhan, mungkin banyak orang beranggapan miring mengenai hal itu. Kartu dan anak muda kerap diasosiasikan dengan berjudi. Atau paling tidak, mereka akan dicap sebagai anak muda yang bisanya main-main saja, tak berguna. Namun, Bayu Ajie, 23, dan kawan-kawan tak pernah berjudi. Kartu remi di tangan mereka pun tidak digunakan untuk bermain poker, black jack, atau 41. Mereka adalah card flourisher, seniman yang rajin mengutakatik kartu melalui teknik khusus dengan tangan mereka. Card flourish memang menjadi kegemaran baru bagi anakanak muda di Jakarta dan kota besar lain di Indonesia. Card flourish bisa diartikan sebagai sebuah seni memainkan kartu secara artistik tanpa menampilkan unsur magis atau sulap.

“Jadi ini murni teknik, bukan trik. Kalau sulap, ada gerakan rahasia yang penonton tidak boleh lihat. Kalau di card flourish, semua kita tampilkan apa adanya,” kata Bayu. “Intinya adalah seni ini membutuhkan latihan yang terusmenerus. Kalau sulap, asal kita tunjukan triknya, semua orang pasti bisa dalam sekejap. Lain dengan card flourish yang membutuhkan latihan rutin terus-menerus. Keahlian didapat bukan karena tahu triknya, melainkan dari latihan,” kata Sham Mingkid, 26, yang rajin berlatih keterampilan ini satu setengah tahun terakhir. Bagi Sham, card flourishing itu merupakan hal yang unik. Selain memiliki teknik yang bervariasi, seorang card flourisher bisa memodifikasi dan berkreasi menciptakan gaya-gaya baru. “Dan tumpukan kartu remi itu kan kecil. Bisa dibawa ke mana-mana, bisa dimainkan kapan saja,” katanya. Sementara Bayu merasa tertarik oleh card flourish karena itu terlihat sangat berbeda dari persepsi orang kebanyakan tentang kartu. “Ini menarik dan keren. Dulu, kartu cuma identik dengan magic dan judi.

Saya baru tahu kalau kartu juga bisa dimainkan dengan teknik tertentu,” ujar Bayu, yang pertama kali mengenal card flourishing dari sebuah iklan kartu di Youtube. Bertukar Ilmu Bayu, Sham, dan banyak anak muda lain di Jakarta tergabung dalam sebuah komunitas bernama Indonesian Card Artist (ICA), yang resmi berdiri pada Februari 2009 lalu. ICA bermula dari pertemuan lima orang flourisher Indonesia yang mengenal satu sama lain lewat jejaring sosial. Seiring dengan waktu, komunitas ini terus berkembang. Dari hanya beranggotakan tujuh orang, kini komunitas ini memiliki lebih dari 100 anggota lewat forum dan pertemuan rutin mereka. “Setengah tahun terakhir komunitas ini membesar karena didukung oleh pemberitaan di banyak media. Di Jakarta, kalau ada pertemuan rutin, bisa kumpul 10 hingga 30 orang. Di luar Jakarta ada juga yang punya komunitas sejenis. Misalnya, di Bandung, Manado, Solo, Palembang, bahkan ada di Papua,” jelas Bayu.

MI/RAMDANI

Lewat ICA, anggota tidak hanya mempelajari seni card flourishing untuk diri sendiri. Dengan berbagai penampilan di video dan acara-acara gathering serta festival, mereka juga ingin mempromosikan keterampilan ini lebih luas lagi. Sebagai ajang unjuk gigi, ICA mengadakan kompetisi bernama Indonesian Cardistry Contest (ICC) pada 2008 dan 2009 lalu. Sistem kompetisi itu terbilang unik. Alih-alih bertanding langsung secara tatap muka, para card flourisher harus unjuk kebolehan teknik dalam sebuah video berdurasi 3 menit. Pemenang akan dinilai dari berbagai kriteria, seperti orisinalitas, kreativitas, eksekusi, move, dan editing video. ICA

juga rajin menyebarkan informasi lewat Twitter @indocardist, page Facebook Indonesian Card Artist dan forum di indocardists. com/forum. Bisa jadi profesi Dalam dunia card flourish, ada berbagai macam teknik seperti cutting, fan, shuffle, swing card, spread, aerial, dan display. Tiap teknik ini biasanya memiliki variasi gerakan tersendiri. Inilah yang membuat mereka tak pernah merasa bosan, karena banyak gerakan baru bermunculan. “Awal belajar memang berat sekali. Tapi enam bulan latihan sudah semakin lancar,” kata Bayu yang kini punya 20 pak kartu di rumahnya. Selain se-

bagai hobi, card floursih sudah menjadi profesi di beberapa negara maju. “Ada banyak orang yang bisa hidup dengan menjadi card flourisher. Seperti Dan dan Dave Buck dari Amerika, mereka bisa mencari uang dengan mendesain kartu dan menciptakan trik-trik baru,” kata Sham. Walau sudah semakin dikenal, masih ada satu hal yang mengganjal ketika mereka melakukan pertemuan rutin tiap minggu. “Susah sekali melawan stigma negatif bahwa nongkrong dengan kartu remi berarti berjudi. Kita bahkan pernah diusir dari tempat latihan yang dulu,” kata Sham. (M-6) christine@mediaindonesia.com

Te s t i m o n i Agung Yugo, 19

Adam Sukmawijaya, 30

Dimas Bhaskara Putra, 21

Rohmatul Insan, 22

Mahasiwa

Freelancer

Freelancer

Mahasiswa

SAYA kenal card flourishing dari ICA saat mereka buka stand di acara kampus. Sebelum gabung di komunitas ini, saya sempat merasa buntu belajar seni kartu karena terbatas teknik dan ilmu yang saya miliki. Tapi sejak gabung, saya banyak dapat bimbingan dan teknik-teknik baru MI/RAMDANI sehingga kemampuan saya cepat berkembang. Anggotanya juga enggak pelit ilmu. Tapi yang pasti kita memang harus punya inisiatif dan keinginan kuat untuk berlatih. Sekarang saya sudah bisa kembangkan sekitar 20 teknik dasar dengan variasi yang cukup banyak.

BELAJAR card flourishing dari video di Youtube itu susah. Beda kalau kita belajar langsung lewat komunitas. Sejak November 2010, saya gabung di ICA dan enjoy sekali dengan anak-anak di sini. Saya kagum dengan teknik-teknik yang ada. Enggak pernah membayangkan kalau setumpuk MI/RAMDANI kartu yang cuma berjumlah 52 lembar ini dibentuk berbagai rupa dengan cepat dan kreatif.

BANYAK gerakan yang masih belum saya kuasai. Misalnya teknik cutting yang namanya mocking bird atau L-Cut. Dari sekian banyak teknik flourishing, saya memang paling suka bereksplorasi dengan teknik cutting karena menurut saya lebih mudah dibuat variasinya. Kalau sudah suka dengan MI/RAMDANI card flourishing, kita juga pasti jadi punya koleksi kartu favorit. Di rumah saya misalnya, mungkin ada sekitar dua lusin kartu. Yang paling saya sayang adalah kartu Tally Ho pabrikan yang lama. Saya masih simpan satu pack yang belum dibuka bungkusnya, sayang kalau dipake.

WAKTU kuliah saya tertarik untuk belajar sulap. Tapi setelah kenal card flourishing dari teman, saya jadi lebih tertarik untuk belajar teknik kartu ini. Waktu pertama belajar sih, susah banget! Tiap gerakan punya tantangan yang beda-beda. Tapi kalau memang niat dan semangat latihan, biMI/RAMDANI asanya lima sampai enam bulan sudah bisa lancar. Kalau sudah bisa banyak teknik, tinggal dikembangkan sendiri saja dan jangan lupa ikut kompetisi juga. Biar seru! (CE/M-6)


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.