"Kedai Merahh: Kumpulan Karangan"

Page 96

soal Cina!” Ibu pemuka wanita jemaat itu merah padam, menatapku, lalu menjauh. Teman-teman bincangnya juga. Aku merasa sebagai si kusta dalam Injil. Setelah berpisah dari Romo, dan meninggalkan gereja, aku melamun dalam taksi. Sebagai bujang lapuk 47 tahun aku teringat para keponakanku. Yang cewek juga pakai kaos kalau ke gereja. Apalagi yang cowok – malah ada yang pakai celana 7/8, dan tampil di depan saat mengisikan musik akustik. Lima dari tujuh cowok itu memakai anting. Yang dua bertato di lengannya karena lengan kemejanya digulung, bahkan lengan baju itu punya kancing agar gulungan tak melorot sehingga menampakkan lengan kencang. Zaman sudah berubah. Aku ingat simbah kakungku saat ke gereja, tiga puluh tahun silam. Kalau bukan berbusana rapi – dengan setelan khaki tersetrika licin (bajunya seperti safari lengan panjang, dengan pengetat pinggang) dan peci ala Bung Karno – Mbah Kakung memakai kain batik, surjan, dan blangkon. Ke gereja itu seperti berdinas, katanya. Harus rapi melebihi sehari-hari, katanya lagi. Dulu, ketika aku masih semester pertama dan di gereja duduk di sebelahnya, Mbah Kakung melihat Puma putihku dan berbisik, “Kamu ini mau olahraga atau kebaktian?” Oh, zaman! Aku semakin tua! Aku mulai gagap melihat perubahan. Tak terasa taksi tiba di depan lobi hotel. Saat petugas

86

Antyo Rentjoko


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.