Maimun
Mahasiswa Pascasarjana, Program Sains Politik, Universiti Kebangsaan Malaysia
Aceh: Sebuah Refleksi Pergerakan dan Masa Depan Perdamaian
Aceh telah lama menjadi pembicaraan bagi banyak kalangan, baik nasional maupun internasional. Alasan utama yang mungkin dapat diterima kenapa Aceh sering manjadi perhatian adalah karena Aceh merupakan lahan perang dan Aceh juga merupakan wilayah yang pernah mendapatkan bencana besar, berupa tsunami. Aceh dan perang, bagaikan dua suku kata yang kerap digabungkan. Sehingga perang—bagi orang Aceh bukan lagi kata yang asing, kata perang— sesungguhnya telah melekat dalam setiap ingatan orang Aceh. Realitas ini terjadi, setelah berabad-abad orang Aceh harus berhadapan dengan perang kolonialis Belanda. Pascaproklamasi kemerdekaan Indonesia 1945, Aceh juga harus merelakan diri untuk berperang melawan “kolonialis” pemerintahan yang hegemoni, sejak digabungkannya Aceh ke dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1949. Karena perang telah menjadi perkataan yang lumrah, maka orang Aceh akan sangat siap untuk terus berperang mempertahankan Islam, adat-resam serta budaya sebagai intisari jatidiri bangsa Aceh, dari ancaman genocide ataupun ethnic cleaning pemerintah yang otoriter. Maka sesungguhnya, adalah sesuatu yang fatal apabila pemerintah pusat telah menangani Aceh dalam periode yang silih berganti