Waspada,senin 31 maret 2014

Page 19

Opini

WASPADA Senin 31 Maret 2014

B7

Anak Guru Diskon? Di Amerika Serikat (AS), ujar Yudian Wahyudi yang pernah jadi dosen Islamic Studies di Tufs University AS, Anda tidak akan didengar kalau hanya sekedar membanggakan keturunan, tapi Anda harus membuktikan diri sendiri. Mungkin, di situlah individualistisnya AS. Di Indonesia, status sosial dan turunan menjadi iklan calon legislatif (Caleg) kampanye untuk mengenalkan dirinya pada publik. Sebut saja contoh seorang Caleg DPRD Sumatera Utara menyebut dirinya, “Anak Guru Menuju DRPD-SU” dalam pamflet gambarnya. Apa maksud pernyataan itu? Apa karena kebanggaannya sebagai anak guru ternyata bisa nyaleg? Atau karena kelangkaan anak guru yang menjadi Caleg sehingga ia beranggapan bahwa dirinya pemecah rekor anak guru jadi DPRD? Ataukah pernyataan itu hendak menarik simpati kelompok guru agar menyoblosnya dalam Pileg, 09 April 2014? Sebelum itu, pada pemilihan walikota Padangsidimpuan, 18 Oktober 2012, Pak Rusydi Nasution sebagai salah satu calon Wali Kota Padangsidimpuan mengampanyekan dirinya: Si Anak Guru. Ternyata, kalah. Kemenangan justru berpihak pada anak Bupati Padang Lawas Utara (Paluta), yakni Andar Amin Harahap. Memang, ada juga anak guru yang menjadi Jenderal, seperti Jenderal TNI (Purn) Wiranto yang diungkap Andy Flores Noya pada acara Kick And, Metro TV. Andi F Noya mengatakan Wiranto merupakan contoh anak guru yang berhasil menjadi Jenderal. Jika dalam politik anak guru dianggap langka jadi politisi. Maka, dalam beberapa lembaga pendidikan, “Anak Guru Dapat Diskon.” Seperti yang terukir dalam brosur pendaftaran STMIK BUDIDARMA Medan TA. 2014-2015. Pada table pembayaran uang kuliah ditulis bahwa anak guru, petani, dan buruh diskon 20 persen. Seakan profesi guru sejajar dengan petani dan buruh untuk dapat diskon. Saya tidak bermaksud merendahkan petani dan buruh. Orangtua saya juga petani dan saya anak tani yang kini jadi guru. Namun, bertanya-tanya mengapa anak guru dipersepsikan kelas teri? Hal yang sama terdapat dalam kursus. Ganesha Operation (GO) Padangsidimpuan misalnya, mendiskon anak guru yang ikut bimbingan di GO sampai 50 persen dari biaya bimbingan normal? Tanpa menafikan niat tulus politisi atau pendidikan. Mungkin inilah jawaban anak guru dicatut dalam iklan kampanye atau didiskon lembaga pendidikan. Secara politik penyebutan sebagai anak guru berarti hendak menarik simpati dari kalangan guru bahwa dirinyalah mampu mengangkat martabat guru yang rendah, jika kacamatanya marxisme? Secara pendidikan, mendiskon anak guru dalam sebuah lembaga pendidikan atau kursus agar para guru mengarahkan siswanya mendaftar ke lembaga yang mendiskon anak kandungnya itu. Sebagaimana dikatakan seorang utusan promosi SMK Kesehatan kepada saya secara pribadi. Katanya, Jika saya sebagai wali kelas berhasil mengarahkan siswa ke sekolah mereka, saya akan diberi uang Rp500 ribu per siswa?” Jadi, penyebutan anak guru dalam kampanye lebih bertujuan politis atau anak guru diskon dalam lembaga pendidikan atau kursus lebih bertujuan ekonomis. Keduanya, memandang anak guru kelas rendahan? Abdul Hakim Siregar, MSI Guru MSN2 & SMASNI Padangsidimpuan Jl. Sutan Soripada Mulia Gg. Melati 11 Padangsidimpuan.

Dedi Sahputra

Foliopini

dedisahputra@yahoo.com

Keinginan Tamu saya kali ini adalah seorang pria di kitaran usia 50 tahun. Gaya bicara selalu tertawa-tawa. Tapi tema ucapannya, sebenarnya tentang kesedihan. “Sudah dua hari ini kami (dia dan istrinya) puasa,” katanya. Mereka puasa bukan karena ajaran agama, tapi karena tak ada lauk untuk dimakan. Dia adalah tipikal seorang marketing sejati—men-display segala persoalan yang muncul, dan semua kekisruhan dalam hatinya dalam tampilan yang “nyaman”. Dia, yang oleh Florence Littaauer disebut orang yang berkepribadian sanguinis yang spontan, lincah, dan periang. Pria ini memang mantan marketing sukses di dua perusahaan besar sekaligus. Dia juga pernah memiliki segala keperluan hidupnya sebagai manusia; rumah, mobil, dan uang yang banyak. Tapi ia kemudian terlibat dalam berbagai aktivitas yang melambungkan angan-angannya. Ia mencari kenikmatan yang lebih banyak dengan cara instan. Hingga akhirnya dia pun terjerumus, dan sekarang tak lagi punya apapun. “Inilah orang yang tak tahu diri, lupa daratan,” katanya mengaku. *** Sewaktu kecil saya seringmembayangkan bagaimana rasanya duduk di dalam sebuah pesawat yang terbang di angkasa. Imajisaya,jugatemanteman waktu itu sering beriak-riak ketika melihat pesawat melintas di langit kampung kami. Setiap kali keluarga datang dan pergi dari Jakarta, kami selalu melambaikan tangan sambil berteriak-teriak kepada semua pesawat yang melintas. “Dia mungkin melihat kami,” batinku. Kala itu, naik becak saja sudah bernilai gengsi, apalagi naik pesawat,dansepedamasihjadibarangmewah, apalagi naik pesawat. Pada akhirnya Tuhan tak tega, hingga apa yang saya inginkan ini akhirnya saya dapati. Bukan cuma terbang tapi saya juga mengunjungi destinasi yang tak terbayangkan sebelumnya. Secara tak terduga aplikasi saya ke Jepang diterima hingga saya diundang untuk kunjungan selama sebulan di negeri Sakura itu. Waktu itu tahun 2002, saat Jepang bersama Korea Selatan menjadi tuan rumah Piala Dunia. Tapi karena alasan piala dunia ini juga panitia program kami mengundurkannyajadwalkunjungankami.Padahal betapa ingin saya merasakan langsung momenyangcumabisasayalihatmelaluitelevisi. Lagi-lagi Tuhan tak tega. Empat tahun kemudian, tepatnya tahun 2006 saya kembali mendapat undangan untuk kunjungan selama sebulan di Jerman. Kunjungan saya

persis di saat momen piala dunia diselenggarakan, and guess what, Jerman adalah tuan rumahnya. Maka di sana saya bisa merasakan langsung atmosfir piala dunia itu; Memasuki stadion Olimpiade di Berlin, melihat langsung Allianz Arena markasnya Bayern Munich yang bisa berubah-ubah warna itu. Saya juga merasakan bahwa sepakbola bagi negara-negara di dunia tidak sekedar olahraga, tapi dia juga “agama”. Ketika peristiwa meledaknya WTC Di New York tahun 2001, saya sungguh menyimpankeinginanuntuktahulebihbanyak tentangnegeriPamanSamitu.Inikeinginan yang sudah lama sekali sebetulnya. Karena setiapkalisayanontonfilmHollywoodsetiap kali keinginan itu muncul. RupanyaTuhan jugataksampaihatimembiarkansayabegini. Ketika Konjen Amerika di Medan dijabat Sean B Stein tahun 2007, saya diundang untuk berkunjung ke Amerika.Setahun kemudian saya ke London untuk melihat bagaimana kantor berita reuters bekerja meng-cover berita-berita dari seluruh dunia. Ini memuaskan dahaga keinginan saya. Hebatnya, apa yang sudah saya dapatkan ini belum-lah apaapa. Karena saya punyaderetankeinginan yang tak terhitung jumlahnya yang sudah terwujudkan. Begitulah,sayacukup punya keinginan, danTuhan kemudian mewujudkannya. *** KetikaTuhanmenurunkankenikmatan, Dia akan melibatkan banyak pihak. Alam raya seolah saling dukung bekerjasama mewujudkan kehendakTuhan.Tapi ketika Dia menurunkan bencana, itu cuma karena ada tangan manusia yang melakukan kejahatan. Itu sebabnya ketika Aisyah Pulungan, bocah 8 tahun ini cuma punya satu keinginan,yaknibapaknyayangsakitterawatsecara semestinya, maka kehendak Tuhan kemudian bekerja melalui tangan-tangan manusialain.DanketikahujansekejabdiMedan kemarin menggenangi di banyak titik, itu cuma karena tabiatmu buang sampah sembarangan sudah sangat keterlaluan. Pria marketing itu kini memahami, bahwakesulitanhidupnyakinicumakarena perbuatan tangannya sendiri. Dua juga sadarbahwauntukkeinginannya,diahanya perlu bermimpi dan alam yang akan memberi. Bahkan hidup ini sudah terlalu banyak memberi,tetapiyanglebihseringdiingatnya justru apa-apa yang belum dipunyai.

Kolom foliopini dapat juga diakses melalui http://epaper.waspadamedan.com

(Vol.453, 31/3/2014)

Lampet Sub-Ordinat Tumpeng Oleh Shohibul Anshor Siregar Masalah yang lebih serius tentu motif festivalisasi yang menyebabkan modifikasi lampet menjadi tumpeng atau setidaknya mensub-ordinasikan diri pada ide pokok tumpeng.

L

ampet adalah sejenis makanan dari Tapanuli. Ia bisa berbahan dasar beras.Jugabisaberbahandasarberas pulut.Diduda(digiling)sampaihalus, diayak lagi, dibentuk dan dibungkus dengan daun pisang yang masih muda setelah memasukkan kelapa dan gula merah sebagai intinya. Meski pada perkembangannya lampet bisa juga berbahan dasar ubi, jagung dan lain-lain, tetapi dalam proses memasaknya sama saja, yakni dikukus. Melihatfaktabahwapangananyangsama atau hampir sama juga terdapat di luar Tapanuli, agaknya perlulah mencari sejarah dan asal-muasal lampet ini. Jika di tempat lain mungkin dikenal dengan lepat, dan bentuk serta ukurannya juga bisa beragam, maka pertanyaan awal tentulah yang mana yang lebih tua (lampet, lopek atau lepat). Paling tidak, dugaan “jangan-jangan ia berasal dari Melayu dan orisinalnya mungkin dari India”, sangat relevan. Mengatakan lampet sebagai panganan khasBatakjugatakadamasalah,sebagaimana suku-suku lain di Sumatera juga dapat mengklaim serupa sepanjang sejarah asal-muasal ini belum jelas. Kita lihatlah misalnya ketika Wikipedia bertutur. Katanya, lepat adalah makanankhasIndonesia,yangbanyakdijumpai pada masyarakat Sumatera, seperti Minangkabau, Aceh, dan Melayu. Ditambahkan,padamasyarakatGayoadakaitanreligius. Di sana lepat lazim disajikan pada hari-hari tertentu, terutama menjelang puasa (megang) dan Lebaran. Orang Gayo mahir memasak lepat yang bertahan lama, tergantung pada waktu memasak atau mengasapinya. Lampet Panjaitan Rabu pagi pekan lalu, laporan khusus sebuah tv swasta memaparkan tentang lampet raksasa yang digunakan sebagai simbol pemersatu sekaitan perayaan ulang tahun

sebuah lembaga pendidikan di Medan. Ukuran (tingginya) tidak tanggung-tanggung, 1 meter. Herannya lagi, bentuknya pun dibuat seperti tumpeng Jawa yang menjulang bagai gunung.Adaarak-arakandiiringitortor(tarian) untuk lampet raksasa itu. Acara ini dimaksudkan sebagai penanda ulang tahun sebuah sekolah swasta di Medan. Ketua panitianya seorang bermarga Panjaitan. Rupanya simbolisasi lampet raksasa sebagaipemersatuinisudahdimulaidariJakarta pada awal tahun lalu. Inilah catatannya. Pertama, pesta bona taon (pesta awal tahun) punguan (perkumpulan) marga Pandjaitan dohot boruna (klan Panjaitan) se-Jabodetabek 2013, di Jakarta, Minggu tanggal 27 Januari. Dikhabarkan khalayak dikejutkan ketika para naposo(kelompokremaja)tiba-tibamengarak lampet raksasa berbentuk gunungan berdiameter 3 meter, dengan tinggi lebih kurang 1 meter, ke tengah-tengah acara. Artinya, ada nilai kejutan karena dua hal (tak lazim dan tak disangka). Apalagi dibumbui dengan konstruk baru bahwa lampet lambang persatuan, sesuatu yang mungkin akan menjadi pertanyaan bagi orang di luar perencana acara. Kedua,jugaperayaanbona taon punguan raja panjaitan dohot boruna (PRPB), yang jika dibahasa Indonesiakan adalah perayaan tahunbaruklanPanjaitan,untukKotaMedan, yang dilaksanakan di sebuah hall milik orang Batak tanggal 7 Februari 2014. Lampet raksasa dihadirkan lagi, juga setinggi 1 meter. Jika tema yang diusung pada pesta bona taon tahun lalu di Jakarta adalah “Pandjaitan Martumba untuk Indonesia” (keluarga besar Panjaitan menari dan berdendang untuk Indonesia), maka pada perayaan awal tahun ini di Medan tema yang diusung ialah “aku cinta keluarga Panjaitan” dan dengan sub-tema yang direfleksikan dari Kolose 3:14, yakni “dalam cinta kasih-nya; dari Panjaitan kepada

Panjaitan untuk kota Medan dan negara.” Sub-ordinasi Dan Komodifikasi Bagaimana lampet bisa sebagai substitusi simbol sakral yang dikenal lama dalihan na tolu (tiga tungku sejarangan) atau suhi ni ampang na opat (empat komponen esensial dalam struktur inti masyarakat Batak)— adalahproblemyangmengindikasikanproses pencarian makna baru yang sayangnya dapat sebagai bentuk kegalauan atau keterjebakan masyarakat modern akibat ketakmenentuan diterpa arus globalisasi. Atau mungkin ini bisa sebagai bentuk “pemberontakan” atas nilai lama? Masalah yang lebih serius tentu motif festivalisasi yang menyebabkan modifikasi lampet menjadi tumpeng atau setidaknya mensub-ordinasikan diri pada ide pokok tumpeng. Akan tergodalah setiap orang untuk bertanya apakah tumpeng harus diakui lebih hebat dari lampet. Orang bisa mengundang pemikiran Sutan Takdir Ali Syahbana yang tak mengakui hegemoni sepihak karena baginya kebudayaan nasional itu hanyalah puncak-puncakkebudayaanlokalyangjamak. Tidak ada yang harus dipertarungkan, karena BhinnekaTunggalIkabukanladangkompetisi saling mengeliminasi. Ia bukan gagasan yang identik dengan melting pot (pot peleburan). Komodifikasi memang semakin lazim saja. Pertengkaran seputar pemberian marga SiregarkepadaSBYbeberapatahunlalumasih segar dalam ingatan. Bukankah semua orang tahu maksudnya ketika Gatot Pujo Nugroho menjadi Lubis dan T Erry Nuradi menjadi Nasution menjelang Pemilukada 2013? Jelas ini bukan sekadar sebentuk reifikasi (proses pendangkalan makna) yang lazim berakar pada proses komodifikasi (commodification), melainkan komodifikasi itu sendiri. Gejala ini sedang terjadi besar-besaran tak hanya sebagai pengaruh turisme yang memaksa penyederhanaan berlebih hingga menyebabkan entropi yang serius. Jika menyimak diskusi Karl Marx, komodifikasi adalah proses bagaimana membuat barang nonsaleable becoming saleable,danitusemuaberlangsung dalam lingkup motif yang tak selalu dapat dipertanggungjawabkan di hadapan keluhuran budaya. Dari segi momentum introduksi makna baru lampet khas keluarga besar Panjaitan ini telah berlangsung dalam iklim yang sangat

politis dan memang di tahun politik. Demokratisasi sebagai nilai modern dan universal dicoba untuk ditundukkan pada primordialitas yang amat lokalistik, atau setidaknya mencampuradukkannya. Kesimpulan ini agaknya tidak terlalu jauh dari tanda-tanda yang dapat dimaknai. DiTapanuli (khususnya eks Tapanuli Utara), kini dapat disaksikan model-model penyatuan proses demokratisasi kepemiluan dengan nilai lokal berbasis dalihan na tolu. Banyak baliho yang memampangkan nama dan gambar calon legislatif (Caleg) dengan mementingkan pencantuman nama isteri dan marga mertuanya. Itu dimaksudkan untuk memicu simpatik dan diharapkan dilanjuti dengan keputusan memilih. Tetapi jika semua Caleg yang berharap mendapat dukungan solidaritas mekanistik melalui sentimen dalihan na tolu ini berada pada daerah pemilihan (Dapil) yang sama, dengan partai yang sama atau berbeda, tentulah pemilih harus mencari rasionalisasi tersendiri untuk menentukan pilihan. Penutup Keluarga besar Panjaitan berangkat dari sebuah ekslusivitas dengan tema pesta bona taon tentulah susah menyangkal motif komodifikasi dalam tema dan sub-tema ini. Juga tak mungkin dibantah bahwa jika kepercayaan diri yang berlebih keluarga Panjaitan yang secara numeric menganggap dirinya bisa berbuat sesuatu, tentu perasaan dan konsolidasi serupa pasti sedang terjadi pula pada marga-marga lain, khususnya yang saat ini memiliki Caleg. Ataumungkinkahsetiapmargainisedang berangan-angan pula untuk mengelus anggotanya menjadi Capres atau Capres dan kalkulasi apa gerangan yang membuatnya sebegitu optimis? Lalu pengkotak-kotakan ini akan menghasilkan apa untuk orang Batak yang jumlahnya semua orang sudah tahu? Tak sulit menebak hasil akhirnya bukan? Siapa yang tak dapat berhitung tentang akibat pemosisian eksklusivitas kelompok-kelompok kecil ini? Horas be ma (selamat sejahteralah kita semuanya).

Penulis adalah Dosen FISIP UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

Ihwal Memilih Kepala Daerah Oleh Agus Adhari Pemilihan bupati/wali kota tetap dilakukan secara langsung mengingat belum matangnya proses demokrasi kita...

M

engapa disebut Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan bukannya Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada)? Hal ini merujuk pada kata “umum” yang berarti secara umum atau bersama dilaksanakan secara umum di Indonesia. Karena pelaksanaan Pilkada dilakukan tidak serentak maka kata “umum” menjadi tidak tepat disisipkan dalampenyebutanpemeilihankepaladaerah. Menarik membahas mekanisme pemilihan kepala daerah yang masih banyak revisi dilakukan guna mencapai model pemilihan yang baik dan lebih patut untuk disebut demokrasi. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang dipilih secara langsung merupakan tolok ukur demokrasi masa kini yang mengenyampingkan sila keempat sebagai filosofische grondslag. Pada sila keempat jelas dikatakan “permusyawaratan perwakilan”, dengan demikian pemilihan harus dilakukan oleh perwakilan rakyat daerah yang duduk di parlemen daerah (DPRD). Konstitusi tidak mengisyaratkan jika pemilihan dilakukan secara langsung. Karena kata “dipilih secara demokratis” memiliki banyak makna dan bertentangan dengan semangat konstitusi yang menjujung tinggi kedaulatan daerah dalam menentukan siapa yang menjadi calon pemimpin dan mekanisme pemilihan. Penyeragaman mekanisme pemilihan kepaladaerahmerupakanbentukpemaksaan demokrasi yang tidak pernah diamanatkan dalam konstitusi, sehingga menodai posisi wakil rakyat daerah di parlemen daerah. Dalam sistem pemerintahan daerah penyelenggara pemerintah daerah adalah kepala daerah dan DPRD (Pasal 1 (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah), sehingga dalam penyelenggaraan pemerintah daerah harusbekerjasama.DPRDmenjadiperwakilan rakyat karena anggotanya dipilih secara lang-

sung oleh rakyat, dengan demikian DPRD memilikikewenanganmemilihkepaladaerah karena suara DPRD merupakan suara rakyat. Pemilihan kepala daerah secara langsung dapat menimbulkan konflik politik, terlebih lagi jika kepala daerah bukan dari partai mayoritas DPRD, dan dalam pengambilan kebijakan yang butuh kerja sama DPRD akan menimbukan politik transaksional. Dari model pemilihan langsung, kepala daerah seolah menjadi badan eksekutive daerah dan DPRD menjadi Badan Legislatif Daerah yang saling mengawasi satu sama lain. Padahal sejak UU Pemerintahan Daerah (UU No. 22 Tahun 1999) diamandemen (UU No 32 tahun 2004), posisi kepala daerah dan DPRD juga berubah menjadi pemerintahan daerah. Kedudukan DPRD adalah sebagai bagian dari penyelenggara pemerintahan daerah yang merupakan representasi rakyat. Dengan demikian tidak melanggar konstitusi jika DPRD memilih kepala daerah karena bila kedua komponen dalam pemerintahan daerah tersebut dipilih langsung, maka akan menimbulkan dualisme kepentingan. Karena setiap komponen merasa sebagai perwakilan paling demokratis. Banyak pertanyaan terkait calon independen yang tidak akan mendapatkan dukungan jika pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD menjadi perhatian serius. Hal ini yang menjadi alasan jika pemilihan kepala daerah harus dilakukan langsung, sehingga kandidat kepala daerah independen juga dapat ikut bertarung dengan fair. Menjawab pertanyaan di atas, para ahli masih memikirkan cara paling efektif dan efisien.Salahsatuyangdapatdilakukanadalah membedakan pemilihan gubernur dan bupati/wali kota. Karena gubernur hanya merupakan pejabat administratif yang secara tingkat keotonomannya masih di bawah kabupaten/wali kota, karena pemerintahan gubernur tidak terlalu dekat dengan rakyat alias

hanyapanjangtanganpresiden.Bahkanpembahasan Lemhanas mengatakan jika ada wacana gubernur diangkat langsung oleh Presiden. Namun mekanisme ini dianggap bertentangan dengan konstitusi karena dalam konstitusigubernuritudipilihdankata“dipilih” berbeda dengan “diangkat” sehingga yang paling tepat adalah mekanisme pemilihan gubernur harus dilakukan oleh DPRD yang merupakan representasi rakyat. Pemilihan bupati/wali kota tetap dilakukan secara langsung mengingat belum matangnya proses demokrasi kita yang membuat Kepala Daerah dan DPRD seperti “musuh” dimana terdapat jarak di antara keduanya. Meminimalisir Korupsi Konstitusi Tak dapat disangkal lagi jika salah satu penyebab masuknya virus korupsi di tubuh MahkamahKonstitusi(MK)disebabkanpenanganan sengketa Pilkada dialihkan dari MahkamahAgung(MA)keMK.Denganberalihnya kewenangan rakyat dalam pemilihan kepala daerah kepada DPRD diharapkan kasus pengujiansengketaPilkadadapatdiminimalisir dan secara otomatis mengurangi indikasi korupsi di tubuh MK. Berdasarkan Pasal 107 UU No 12 Tahun 2008, pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dinyatakan sebagai pemenang dalam Pilkada adalah pasangan yang mendapat suara lebih 50 persen dari suara sah. Jika tidak ada pasangan yang mendapat suara lebih dari 50 persen, maka pasangan yang mendapat suara lebih dari 30 persen dinyatakan sebagai pemenang. Apabila tidak ada pasangan yang mendapat suara lebih dari 30persen,makaakandiadakanputarankedua yang akan diikuti oleh pemenang pertama dan kedua. Denganmodelkemenangandiatas,tentu biaya mahal menjadi salah satu keharusan, terutama biaya kampanye hingga serangan fajar yang lazim dilakukan oleh pasangan calonkepaladaerah.Jikakalahmakapasangan kandidat akan mencoba cara lain yaitu menggugat ke MK, hingga mempengaruhi publik jika pemenang Pilkada terindikasi curang. Fungsi Pemerintahan Daerah Jika kualitas demokrasi negeri ini sudah

maju,tentusemuakepaladaerahbaikguberur, bupati/wali kota dapat dipilih oleh DPRD, setelah DPRD dipilih oleh rakyat. Karena sangat aneh jika pada awalnya masyarakat memilih wakil namun tidak percaya ketika wakilnya memilih calon kepala daerah. Terkait kepala daerah independen, sebenarnya tidak ada masalah jika DPRD harus memilihnya karena sejatinya kepala daerah adalah pihak yang menjalankan pemerintah daerah. Sedangkan DPRD adalah sebagai pengawas bukan pelaksana pemerintah daerah. Jika DPRD menjadikan kewenangan pengawasan sebagai alat tekanan pada kepala daerah (dalam kasus penyusunan RAPBD), maka kepala daerah harus mampu membuktikan tekanan itu pada publik dan jika bisanamapartainyajugaditunjukan.Sehingga legitimasi rakyat untuk “memblokir” partai dan anggota DPRD penyalahguna wewenang dapat dilakukan. Kepaladaerahmenjalankanfungsisebagai pelaksana yang bertugas membentuk kebijakan demi terselenggaranya tujuan mengurus dan membangun daerah. Sementara DPRD sebagai pengawas harus berkerjasama dan bukannya menjadi panelis yang menjatuhkan pemerintahan daerah terlebih lagi karena perbedaan partai politik. Karena jika dilihat posisi DPRD lebih rendah dari kepala daerah saat ini (kepala daerah dipilih langsung sementara DPRD dipilih langsung namun jumlah suaranya tidak sebanyak kepala daerah).SebabitualangkahbijakjikaDPRDmemberikan pengawasan yang konstruktif bukan menjatuhkan. Semoga dengan bertambahnya usia negaraini,kualitasdemokrasijugabertambah, sehingga DPRD semakin bijak mengenyampingkan kepentingan partai dan menjadi perwakilan rakyat yang sebenarnya. Apabila hal ini terwujud, bukan masalah lagi jika kandidat kepala daerah non parpol dapat ikut dipilih oleh DPRD sebagai perwakilan rakyat.

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Panca Budi.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.