Waspada, minggu 25 agustus 2013

Page 11

Cemerlang

WASPADA Minggu 25 Agustus 2013

B3

Pengemis Kecil Cerpen: Rahmat Al Muhrid MULANYA hanyalah seorang pengemis kecil yang kudorong dengan kasar sehingga jatuh terduduk ke gundukan batu-batu. Muncul dari sekelompok pengemis yang menunggu para pendaki di tepi jalan setapak menuju Gua Hira, gadis kecil itu mencegatku di deretan paling depan dan langsung menggelayuti sajadahku dengan cengkraman yang begitu kuat. “Ana miskin…ana miskin…,” rengeknya dengan tatapan mata iba sambil menadahkan tangan kanannya ke dadaku. Ketika itu aku benar-benar kehabisan uang kecil, karena terlalu banyaknya pengemis di sepanjang jalan setapak itu – konon mereka datang dari daerah-daerah miskindi AsiaTengah. Kalaupun masih ada uang receh didompetku,palingkecil10Dinar dan ini pecahan yang tidak lazim dibagikan kepada pengemis. Tetapi, ternyata tidak gampang untukmenolakpengemis-pengemisyangrata-ratamasihdibawah umuritu.Merekaakanmenggelayuti tangan, ujung baju, sarung, sajadah, atau apa saja, untuk memaksa pendaki memberi mereka uang receh. Begitulah dengan gadis kecil yang menggelayuti ujung sajadahku, sehingga aku sulit untuk meneruskan perjalanan. Berkalikali aku mencoba menolaknya dengan halus, dengan bahasa Inggris campur Arab, “No money… no more… no more…. La… la… Ana laisa fulus… laisa fulus…Halas…halas!” kataku sambil menggerakkan tangan dengan isyarat menolak, dengan harapan ia mengerti maksudku dan segera melepaskan ujung sajadahku. Tapi, gadis kecil itu masih menggelayut begitu kuat di ujung sajadahku, sampai terjadi tarikmenarik sajadah antara aku dengan si kecil yang punya “daya

juang” tinggi itu. Maka, dengan agak marah, kutarik sekeraskerasnya sajadahku, lepas dari cengkramannya. Dan, ketika gadis kecil itu tetap memburuku untuk meraih ujung baju kokoku, kuhempaskan dia dengan kasar, sehinggaterhuyung-huyungjatuh terduduk ke atas gundukan batubatu. “Ana miskin… ana miskin…,” rengeknya dengan tatapan mata cokelat yang makin mengiba ke arahku. Dan, tatapan itulah yang terus memburuku, terus menusuknusuk ulu hatiku, sampai aku kembali ke hotel. Saat makan malam, tiap menjelang shalat, dan terutama menjelang tidur, mata cokelat perempuan kecil itu seperti hadir kembali dengan seluruh dirinya. Wajahnya yang oval dengan hidung mancung, alisnya yang tebal dengan mata cokelat bulat lebar –wajah khas Afghanistan– dengan rambut panjang hitam kemerahan dikepangdua,seakanhadirseluruhnya dengan begitu nyata. Dan, suaranyasepertiterngiang-ngiang kembali di telingaku, “Ana miskin… ana miskin….” *** Perempuan kecil itu sebenarnya sangat cantik. Setidaknya, di atas rata-rata anak perempuan Indonesia.Usianyamungkinbaru sekitar 10 tahun. Posturnya yang

Karya: Latifah Harahap

tinggi-padat dengan kulit kuning bersih sebenarnya kurang pas dengan pekerjaannya sebagai pengemis. Apalagi di bukit terpencil yang terik di siang hari dan menggigilkan di malam hari. Hanya rok hijau lusuhnya yang kumal dan robek-robek, dan rambutnya yang tidak terurus, yang memberi kesan dia sebagai gembel. Sejujurnya, ketika itu kami juga sedang merindukan anak perempuan, untuk melengkapi dua anak laki-laki kami. Dan, doa inilah yang berulang-ulang kuucapkan di multazam –tempat berdoa yang paling mustajab– sehabis wukuf. “Kamu merindukan anak perempuan….Kamu terus berdoa memohon anak perempuan. Tetapi, kenapa kau tolakkehadirananakperempuan, bahkan kau sakiti hatinya?” Sebuah suara tiba-tiba menyambar batinku. Ya, perempuan kecil itu me-

Karya: F Pratama

Gemercik Tangisan Alam Wanita Tua Bening awan meradang langit Desuh cahaya menyepuh surya Serat-serat angin mendesir Kepala dan dahiku Gemercik ini memecah senyap Sudahkan aku bersyukur? Indah akan di dapat Meski kemilau tak dihunus mata

Tuntunlah Aku Gelap kelam hampa dan resah Sudah berurat dalam kepingan lekositku Menjelma dalam amarah Dan keangkuhanku Tuntunlah aku Menjadi seorang yang mulia Menapaki tumpangan bumi Aku Yang tak layak ini Hendak berseru Karya: Julaiha S

Angin Kira-kira Semenit Dan aku berjalan menjelajahi jejak langkah kaki menuliskan sebuah surat dari angin-angi yang kira-kira semenit bertuip sekencang badai yang teratur Dan aku berjalan bergandengan dengan para semut menjejali suara-suara laut yang kira-kira semenit tercicipi.

Ketika Harus Kembali Ketika harus kembali ada saja hal yang perlu difikirkan kejujuran dan hal-hal puitis lainnya apa yang harus kuperbuat ketika hal baru itu datang di dalam kehidupan yang semakin zaman tak mendewasakanku Ketika harus berakhir maka yang terjadi, malam kebanjiran air lewat tangis-tangis akibat pecahnya hati dengan keadaan yang dulu tak disangka Aku tak mengerti dengan ini dengannya dengan mereka yang bercerita tentang jalanan lengang yang dilaluinya kemudian aku mulai memahami hari dengan diam

Karya: Abd. Rahman M

Agustus Yang Basah Sebening embun menyentuh tubuhmu setenang hamparan samudera agustus yang basah menyaru membasah kotamu kampungku meredup seiring lilin padam agustus beraroma basah perlahan pergi lewat mimpi-mimpi palsu

Jalan Pulang Saat lampu telah padam langkai gontai meletih di penghujung waktu kuingin pulang merindukan wajah rumah di ujung senyum ibu selalu senang aku pulang

Merajai Waktu Seiring meredupnya lilin dihempas angin perlahan pasti aku pulang kepangkuanmu buka hatimu melepas penatku di hari nanti iringi kisah kita bertemankan pedih merajai waktu

(seperti biasa) ia tampakkan wajah sepuluh hari yang akan menyudah ramadhan, wanita tua menjaja kartu ucapan lebaran

mangcukupmewakilisosokanak perempuan yang kurindukan, cantik, sehat, dan cerdas. Namun, tentu bukan pengemis. Jelas aku takkanikhlasanakkujadipemintaminta.Anakkuharusmandiridan banyak memberi. Bukan banyak meminta. Tapi, mengapa wajah perempuan kecil itu terus memburuku dan tatapan mata ibanya terus menusuk-nusukkan belati ke ulu hatiku? *** Keesokan harinya aku benarbenar kembali mendaki Jabal Noor (Bukit Cahaya) untuk menemukan gadis kecil bermata belati itu. Kuingat betul wajah kekanakannya, mata bulat cokelatnya, alis tebalnya, hidung mancungnya, bibir merekahnya, dan rambutnya yang hitam kemerahan dan dikepang dua. Juga kuingat baju hijau lusuhnya yang robek lengan dan ujung kanannya, kaki telanjangnya yang ramping, dari kelompok pengemis

mana ia muncul dan di mana ia kuhempaskan. Tetapi anehnya, sesampai di lerengyangkuyakinisebagaitempat perempuan kecil bermata belati itu kuhempaskan, tak ada satu pun pengemis yang mencegatku. Beberapa pengemis kecil, kebanyakan perempuan, tetap asyik bermain di dekat bebatuan atau duduk-duduk santai di atas gundukan batu. Kusapukan pandanganku berkali-kali ke seluruh penjuru lereng itu, tapi tidak kutemukan juga perempuan kecil bermata belati itu. Akhirnya, anak-anak gembel itulah yang kupanggil untuk mendekat sambil berharap perempuan kecil yang kucari itu segera muncul dari balik bebatuan atau dari dalam gubuk kayu beratap kainkain lusuh tidak jauh dari jalan setapak itu. Beberapa kelompok pengemis kecil sudah mendekat dan segera pergi lagi setelah semua

mendapatuangrecehdariku,tapi tidakkutemukanjugaperempuan kecil bermata belati yang kucari itu. “Ah, mungkin anak itu sudah pindah ke lereng yang agak ke atas,” pikirku. Aku sudah hendak melangkahkan kaki untuk mendaki lagi, namun ujung sajadahku tiba-tiba terasa berat. Aku menengok ke belakang, dan kulihat seorang perempuan kecil menggelayut di ujung sajadah tipis yang kuikatkan di pinggangku. “Ini dia!” teriakku dalam hati. Aku yakin, dialah perempuan kecil bermata belati yang kucari itu. Kurogoh saku baju kokoku, dan kuberi dia beberapa Dinar. “Syukron… syukron!” katanya sambil menghitung-hitung uang itu dan meloncat-loncat kecil menjauhiku. Melihat kegembiraan itu, dadaku terasa plong, seperti baru sajamelunasihutangpadakawan sekantor yang begitu mengganjal perasaan karena ia sering mena-

Puisi-puisi

di trotoar beratap trembesi ia gelar kain selembar di atasnya rapi ia jajar yang ia simpan di kardus mi (seperti biasa) gelagat pejalan kaki entah kapan hendak berhenti sengaja ia pajang lebar senyuman semoga, berpindah selembar barang dagangan

Sembuhkan Hati Biakan aku pergi Bersama luka hati Yang sinarnya kini t’lah mati Relakan kisah ini Cukup berakhir sampai di sini Semoga ini memberi arti Sebab aku pergi untuk sembuhkan hati

KetikaAku Mulai Menjauh Ketika aku mulai menjauh Adasederetraguyangmenahanlangkahku Dan wajahku kembali dipertemukan Pada sisi yang sudah lama ingin kusudahi Aku ingin pergi Melepas kisah ini Membiarkan diriku sendiri Tapi kembali aku terjatuh dalam perih Karya: Tommy Sianturi

Sarapan Aku tak pernah muak, sayang Melahap sarapan kerinduan Yang kau hidangkan Ketika mentari mencubitku Karya: Harry Akbar

Perpisahan Disaat dunia telah memisahkan kita Aku tak mampu menahan rindu Air mata ini seakan mengerti kepedihan hati ini Kini kau sudah berada jauh di pelupuk mata Bahkan suaramupun sudah tak lagi mungkin terdengar Aku hanya mampu berdoa kepadaTuhan Semoga dapat mempertemukan kita di keabadian.

Telah redup sekian lama Jalan tertutup tuk berbagi cerita Lama terkelungkup Di atas pebaringan kusut Sekian janji telah terbagi Hingga sibuk menggali satu persatu Separuh hari telah melayang Membumbung tinggi lenyap oleh siang Hingga mulut acap berdusta Karena waktu tersiksa Tinggal setengah rokok lagi

Siapa kau Menjaring bayang Di punggung kesunyian Menari bahang Lupakan tubuh tak berbadan Anjing berkuduk remang Kau biarkan Liurnya menjadi tambang Selasakan erang Di parumu Petitih lekuk tubuh Pairaan kuda nafsu Menginjak-injak harkatmu Busukkan namamu

Karya: Syamsul Olenka G

Parade Taman Hati (1) Karya: Winda Prihartini

Cermin Kusut Cermin-cermin memecahkan diri Bayang gelap hilang ragam Kepala-kepala berbenturan Masing-masing melumpuhkan badan di tanah Segalanya mati Daun-daun memisahkan tubuhnya Di lorong semut-semut memadat Semakin kusut Terbelah Bebayangan dibawa burung terbang tega Dan menanggalkan bangkai yang sedang bercinta di kuncup malam wewangian kita ikut memudar pun lara

Luka Berjuta Pertanyaan di waktu menggelantungkan jiwa Seperti apa rasanya siksa yang membuat suara menggema Angan memijaki kesadaran Dalam darah mengalir kepedihan Luka-luka tumbuh jadi berjuta Bola mata berguling menahan siksa “alahai aku rasa langit hilang” Dalam kegigilan panjang di surau tinggal rangka tak elok rasa Melantunkan lafaz suci hanya igau-igau kecil lalu menjelma debu mengikuti udara Sampai bulan jatuh, tubuh masih berada pada sembilu Tanpa pinang dan rayu seperti musim lalu Karya: Eva Rosanti Halawa

Intimidasi Kusebut kau si jahat menghantuiku dengan intimidasi berharap kepercayaan diriku berhamburan sehingga kau bebas mengolok-olokku damaiku adalah kerisauan bagimu dengan usaha kau coba jatuhkanku ke sumur yang tak berdasar akh, yakinku usahamu akan sia-sia

Karya: Wyaz Ibnu Sinentang

Kunang-kunang Dalam Gelas : Gadis malam Sajian warna kata-kata kau pilih merebak Lampu kerlap-kerlip pada ruang tiga kali empat Suasana malam minggu masyuk menggugur Aroma parfum bersetubuh dalam hangar-bingar Hentakan dangdut menyulut emosi Malam boleh saja bertahta bangga Rembulan gemintang bersanding setia Tapi detak jantungmu memburu etika tak bermoral Hiasan dunia memang selalu menggairahkan Sebatas fana meraba-raba kebenaran Anggur merah kau sulang dalam gelas saling berebut angan-angan tak bermakna Nilai kehidupan pun porak poranda Celoteh busuk sudah tak terukur waktu Malammu roboh bersimbah memeluk luka Karya: Anhar

Nyanyian Sunyi Seberapa lama lagi aku harus menunggu Ditempatyangmengundangkenangandirimu Senyum di wajahmu masih tertinggal di sini Menyisakan kenangan yang sering menghampiri Kini aku merindu, dalam penjara sunyi Aku sendiri.

Hanya Mimpi Aku mengerti tentang wajahmu Meninggalkan sejuta ke indahan di bawah awan biru Senyum melengkung sempurna Di wajah cantik yang kau punya Tapi ini hanya mimpi siang Yang harus ku hapus di perasaan riang Karena aku tak mungkin memilikimu Dengan wajah dan parasku.

Terimakasih atas atensi para penulis yang telah mengirimkan karya cerpen dan puisi ke Redaksi Harian Waspada. Pengiriman karya puisi dan cerpen melalui email: sunanlangkat@yahoo.com

Karya: M Asqalani Erneste

Siapa Kau?

Kutuliskan bait kalam Bukan untuk mereka bergumam Hanya untuk seseorang Sesuatu rasa hanya terpendam Hingga Dia meraba apa masih terbungkam Sepanjang wajahnya masih terlihat buram Tak pernah habis aku meluap asa Aku masih bersembunyi dalam bayang senja

Pengadzan tua menabur panggilan pepohon menegak dedaun meriap bebunga menguak setelah hingar bingar perihal bulan mengkal

Karya: Mega Yudia Tobing

Karya: Irsa Mustafa

hempaskan itu. Mereka melangkah serentak ke arahku, seperti mumi-mumi hidup, dengan pakaian compang-camping, sambil menadahkan tangan dan koor, “Ana miskin… ana miskin….” Dengan begitu cepat pengemis-pengemis kecil itu mengepungku, sehingga aku tak dapat menghindardarimereka.Dengan agresif tangan-tangan kecil mereka pun menadah di sekelilingku, bertempelan di dadaku, di lengan kanan-kiriku,dipunggungku.Dan, dengan tatapan-tatapan iba yang menghunjamkan puluhan pisau belati ke ulu hatiku, mereka memaksaku untuk menguras seluruhisisakubajuku,sakucelanaku, dan dompetku. Dengan tangan gemetar dan perasaan tak menentu, kubagikan semua sisa recehan satu Dinar, lima Dinar, dan bahkan sepuluh Dinarku. Satu demi satu mereka pun pergi meninggalkanku, kembali ke balik bongkahan-bongkahan batu, ke dalam gukuk-gubuk beratap kain lusuh dan ke celahcelah pebukitan tandus Jabal Noor. Dengan tubuh lemas dan perasaan tak menentu, akhirnya aku turun, dan langsung menuju Masjidil Haram. Usai shalat Ashar aku meninggalkan masjid untuk kembali ke hotel. Tapi, di pintu keluar aku masih dicegat seorang perempuan kecil bermata belati itu. Dan, ini yang paling persis di antara gadis-gadis kecil bermata belati yang kutemukan di Jabal Noor tadi. Rambutnya masih dikepang dua, dan roknya juga masih hijau lusuh dengan robekan kecil pada lengan kiri dan ujung bawah kanannya. Maka, tanpa pikir panjang kurogoh dompetku dan kucari sisa uang receh yang ada. Tapi, tak ada lagi uang receh di sana. Yang kutemukan tinggal selembar 50 Dinar. Dan, tidak tahu apa yang terjadi dengan diriku, uang itu kuberikan begitu saja padanya. Sampai di kamar hotel aku baru sadar, yang kuberikan pada perempuan kecil bermata belati itu ternyata satu-satunya sisa uang sakuku. ***

Janji Asap Rokok

Bait Kalam

Pengadzan Tua

Pengadzan tua menabur panggilan gaung menyahut gema gema menyahut gaung usai sudah bulan setelah hingar bingar seruan-seruan akbar

gihnya. Maka, dengan perasaan lega akupun meneruskan perjalanan ke puncak, sebab masih terlalu siang untuk kembali ke hotel. Setidaknya, aku bisa shalat Ashar di puncak Jabal Noor atau di Gua Hira –tempat Nabi Muhammad SAW dulu menerima wahyu pertama. Tetapi, baru sekitar 50 meter melangkah, aku melihat gadis kecil yang sangat mirip dengan perempuan kecil bermata belati yang kucari. Penampilannya masih seperti kemarin. Rambutnya masih dikepang dua, dan ketika kudekati, tatapan ibanya yang mengandung belati masih tajam menusuk ulu hatiku.“Ah, janganjangan ini yang benar,” pikirku. Dan yang bersamanya, aku ingat, adalah pengemis-pengemis kecil yang kemarin juga. Hanya warna bajunya, lagi-lagi, yang berbeda. Kemarin hijau lusuh, kini kuning kecoklatan. Maka, kurogoh lagi saku bajuku lalu kuberi dia lima Dinar. Dengan wajah terbengong gadis kecil itu menerimanya. Namun, ketika aku hendak melangkahlagi,tiba-tibaadayang terasamenggelayutitangankiriku, dan ternyata seorang perempuan kecil yang wajahnya sangat mirip dengan gadis kecil bermata belati yang baru saja berlalu. Rambutnya pun hitam kemerahan dan dikepang dua. Bajunya juga hijau lusuh seperti baju gadis kecil yang kucari itu. “Ana miskin… Ana miskin…,” rengeknya sambil menadahkan tangan kanannya, persis seperti rengek perempuan kecilyangkemarinkuhempaskan ke atas gundukan batu. Ini yang benar, pikirku. Inilah perempuan kecil yang kucari. Maka, segera kurogoh lagi saku celana jinku, dan kuberikan beberapa Dinar kepadanya. Tetapi, bersamaan dengan itu, seperti serentak muncul pengemis-pengemiskecildaribalikbongkahan batu, dari celah bukit, dari dalam gubuk-gubuk beratap kain lusuh, lima, sepuluh, lima belas, tiga puluh …. dan banyak di antara mereka yang wajahnya sangat mirip dengan perempuan kecil bermata belati yang kemarin ku-

Kini, Nona cantik telah pergi Tak ada puisi, tak ada syair Dan tak ada lagi sajak roman Tak apalah Jika sekumpulan opini Menganggap ini aneh Tapi aku merasa lebih baik Tanpa perasaan membebaniku, Nona Benar kata orang-orang Keinginan adalah sumber penderitaan Kini tanpamu aku merasa lebih baik Aku tak lagi dirundung kegalauan Aku nyamn, aku aman

Parade Taman Hati (2) Aku menyematkan senyum kecil Untuk membingkai perasaanku Yang tenang aman dan nyaman ini Kupejamkan mata beberapa saat Menyelami alam hati yang penuh Dihiasi bunga-bunga yang bersemi Merekah dengan eloknya Hamparan Horison nampak begitu kokoh Menopang langit-langit jiwa Bertabur ribuan bintang Bercahaya dengan sinar pijar Tak terlalu terang menambah keharmonisan Parade taman cahaya dalam hati Damai tanpa Nona manis Aku menemukan dunia indah lainnya Selain dirimu Terpikir olehku Ini cukup untuk melupakan sejenak Riwayat Nona manis yang menyebalkan Karya: Putri Desifa Parahima

Buat Malam di Larut Buat malam di larut Dinginnya sepi Untuk kepompong asa menggelantung Nyerinya sorot mata di sudut pelupuk Atau hampanya kosong melompong Sampai kapan? Aku menanggung perih Dari luka tanpa goresan Buat apa? Aku telan fitnah ini bulat-bulat? Sebab apa, aku tercantum Dalam lirik di dinding teater itu Buat malam di larut Mereka cuman anggap aku salah Lantas tak perduli pada absurdnya fitnah Mereka anggap aku belenggu Lantas menjauh, dan tak tahu Sampai kapan, larut malam

Karya: Pilo Poly

Membawa Ingatan Kadang kita tak butuh hujan Untuk membelai tanah kemarau Kita juga tak butuh angin supaya Mengerti seperti apa itu gigil Kita hanya butuh melangkah Mencari arah sebenarnya kelahiran Lalu setelah kita mendapati itu Nyawa kita telah berpulang Dan tak ada yang kita ikut sertakan Karya: Revy Ansyah

Kemarau Diam (1) Kemarau diam di jiwaku Serangkai Bayang-bayang rindu tumbang Bersiadzan Pengan pilu Pahamilah bagaimana mataku rabun Jumpalitan, begitu cemburu Aku susuri ketiakmu Tapi rupanya jalanan makin malam Meski aku telah tinggalkan dirimu Sepanjang keriuhan kelu Mayatku terpencil Ingus para pejalan bergayutan Di jenggotku

Kemarau Diam (2) Seluruh kesumat dan derita memacu Pengetahuanku Arwahku memanggil namamu Sementara panorama lebur Selangkah demi selangkah Memudar, menjejali batu Di dasar pijaran kabut Aku adalah jenazah Bagi setiap hasrat dan kesintalanmu Kegembiraanku Mengintip tato kupu-kupu di pusarmu Malam makin dingin, mendzikirkan diam Penampakan-penampakanku gaib Samun, mencair Hitam bersama salju Karya: Fajar Azwar

Melodi Dalam Hati Dentuman melodi yang meledak Dalam jiwa… Berpencar meredam hantu di hati Yang melekat di dasar hati Dentuman melodi yang meledak Berpencar mencari-cari Dimana letak hantu di cakrawala raga Yang menempel di dinding hati Dentuman melodi dalam hati Berceramah di dalam hati Menghantui dalam hati Berteriak seraya mengancam Mengancam hantu di dasar raga Untuk pergi tak kan kembali Dentuman melodi dalam hati Membawa harmoni menuju mentari


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.