Waspada, jumat 10 januari 2013

Page 30

Mimbar Jumat

WASPADA Jumat 10 Januari 2014

C7

Doa Bukan Lampu Aladin Anjuran Menikah Dan Larangan Membujang Agar Hidup Tenteram (1) Menikah itu sunnah Nabi Muhammad SAW, nilai ibadahnya sangat tinggi dan mulia, asalkan dijalani dengan penuh kasih sayang dalam balutan sakinah, mawaddah dan wa-rahmah. Terkait dengan anjuran menikah ini Allah SWT berfirman: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah ke-pada Allah yang dengan (mem-pergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (S. An-Nisaa’:1). Dalam ayat lain disebutkan: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS. Ar-Ruum: 2). Selanjutnya: Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan. (QS. Ar-Ra’d : 38).Kemudian: Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nuur) (Sumber: Kumpulan Hadits Shahih).

Pacaran Islami, Adakah ? Oleh Junaidi, M.Si Dosen FU IAIN, FAI UMSU dan Sekretaris Majelis Tarjih PDM Medan

P

acaran sudah menjadi trend para remaja masa kini dan bahkan banyak yang menganggapnya sebagai sebuah kewajiban. Bisa dipastikan hampir semua remaja masa kini pernah melakukannya. Pandangan ini akan mengakibatkan remaja yang tidak pacaran dianggap sebagai re-maja yang kuno, tidak gaul, kampungan dan ketinggalan zaman. Banyak remaja yang karena takut dikatakan kampungan dan ketinggalan zaman akhirnya mereka juga ikut-ikutan pacaran, bahkan banyak yang sampai kebablasan. Kita sering melihat muda-mudi Islam yang sedang pacaran jalan berduaan sambil bergandeng tangan, nongkrong dan mojok berduaan di tempat yang sepi. Sekilas Pandang tentang Pacaran Dalam kamus bahasa Indonesia, kata “pacaran” mempunyai beberapa arti (Purwodar-minto, 1976) yaitu: Pertama, Pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan, bersuka-sukaan mencapai apa yang disenangi mereka. Kedua, Pacaran ber-arti “bergendak” yang sama artinya dengan ber-kencan atau berpasangan untuk berzina. Ketiga, Pacaran berarti berteman dan saling menjajaki kemungkinan untuk mencari jodoh berupa suami atau istri. Pengertian pertama dan kedua menunjukkan bahwa aktivitas pacaran tidak dibenarkan karena mengandung unsur-unsur mendekati perzinahan. Bukankah Allah SWT berfirman dalam surat Al-Isra’ ayat 32 yang artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. Kalau kita perhatikan aktivitas pacaran rema-ja masa kini jarang sekali yang bisa menghindar-kan diri dari aktivitas berduaan (khalwat). Padahal Islam melarang laki-laki berduaduan dengan perempuan yang bukan muhrimnya. Hal ini ditegaskan oleh Ra-sulullah SAW dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim yang artinya: “Dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw berkhutbah, ia berkata: Jangan sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat dengan se-orang perempuan kecuali be-serta ada mahramnya, dan ja-nganlah seorang perempuan melakukan musafir kecuali beserta ada mahramnya”. Di samping berduaduaan, orang yang pacaran umumnya juga saling berpegang tangan, berpelukan, ciuman dan bahkan lebih dari itu. Dalam sebuah wawancara yang pernah penulis lakukan pada 10 orang mahasiswa/mahasiswi yang pa-caran, semuanya mengatakan pernah berpegangan tangan, berpelukan dan bahkan berciuman. Semua aktivitas tersebut adalah bagian dari perbuatan zina. Perhatikan hadits Rasulullah SAW yang ber-asal dari Abu Hurairah RA. “Telah ditulis bagi setiap Bani Adam bagiannya dari zina, pasti dia akan melakukannya, kedua mata zinanya ada-lah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lidah(lisan) zinanya adalah berbi-cara, tangan zinanya adalah memegang, kaki zinanya adalah melangkah”. Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh wanita yang tidak dihalalkan untuk disentuh baik dengan memegang atau yang lainnya adalah zina tangan. Mengayunkan langkah menuju wanita yang menarik hatinya atau menuju tempat perzinaan adalah zina

Setiap orang tentu menginginkan perbaikan dan kemajuan bagi kehidupannya. Yang perlu ditanamkan adalah Perubahan kearah yang lebih baik hanya dapat dilakukan oleh diri sendiri. kaki.Sedangkan pengertian ketiga menunjukkan bahwa pacaran adalah perbuatan yang boleh dila-kukan. Hal ini karena pada umumnya suatu per-kawinan terjadi setelah melalui beberapa proses, yaitu proses sebelum terjadi akad nikah, proses akad nikah dan proses setelah terjadi akad nikah. Proses sebelum terjadi akad nikah melalui beberapa tahap, yaitu tahap penjajakan, tahap peminangan dan tahap pertunangan. Tahap penjajakan mungkin dilakukan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan atau sebaliknya, atau pihak keluarga masing-masing. Rasulullah SAW memerintahkan agar pihak-pihak yang melakukan perka-winan melihat atau mengetahui calon jodoh yang akan dinikahinya, Seba-gaimana hadits Rasulullah SAW riwayat An-Na-sai Ibnu Majah dan At-Tirmidzi yang artinya “Dari Abu Hurairah ra ia berkata: berkata se-orang laki-laki sesungguhnya ia telah meminang seorang perempuan Anshar, maka berkata Rasulullah kepadanya:“Apakah eng-kau telah melihatnya? Lakilaki itu menjawab: “Belum”. Berkata Rasulullah: “Pergilah dan perhatikan ia, maka sesungguhnya pada mata perempuan Anshor ada sesuatu” . Hadits di atas menarangkan bahwa perlu ada masa penjajakan untuk memilih calon suami atau isteri sebelum menetapkan keputusan untuk malakukan peminangan. Penjajakan ini mungkin dilakukan oleh pihak laki-laki atau pihak perempuan atau keluarga mereka. Pacaran Islami, Adakah? Dalam rangka melegalkan perbuatan pacaran, banyak orang yang mengatakan bahwa pacaran yang ia lakukan adalah pacaran islami. Lalu benarkah ada pacaran yang islami? Jika ada pacaran Islami, apakah ada pacaran yang kafiri? Lantas, bagaimana caranya kalau ingin merubah pacaran kafiri menjadi pacaran Islami? Apakah harus disucikan terlebih dahulu? Tentu saja tidak, karena pacaran bukanlah barang najis yang harus disucikan. Pacaran merupakan simbol (kata-kata) dari salah satu bentuk pergaulan bagi orang-orang yang sedang jatuh cinta (khususnya mudamudi). Pacaran pada dasarnya bukanlah merupakan sesuatu yang najis dan kotor. Adapun yang kotor dan najis adalah perilaku menyimpang dari orang-orang yang melakukan aktivitas pacaran tersebut. Dengan demikian, berarti tidak ada istilah islami atau kafiri dalam pacaran, hal ini karena pacaran hanyalah sebuah simbol. Yang perlu menjadi perhatian adalah perilaku orang yang pacaran, mau yang Islam atau yang bukan Islam, kalau melakukan perbuatan terlarang maka tetap salah dan yang salah adalah orang tersebut, bukan pacarannya. Tidak etis membawa-bawa nama Islam dalam aktivitas negatif. Kalau anda mau pacaran jangan bawabawa nama Islam jangan jadikan Islam sebagai tameng melegalkan aktivitas pacaran anda, sebab itu hanya akan membawa kesengsaraan di akhirat kelak. Wallahu A’lam.

Oleh Azhari Akmal Tarigan Wakil Dekan I Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam IAIN.SU

K

asus Do’a berbayar yang akhir-akhir ini menjadi topik yang dihangat dibicarakan di berbagai media menyadarkan kita betapa agama sesungguhnya sangat rentan untuk dikomersialisasikan.Upaya yang harus kita lakukan ke depan adalah meningkatkan pemahaman keagamaan. Agama sesungguhnya bukan hanya memiliki dimensi pengamalan semata. Namun di dalamnya ada pemahaman. Bahkan rasa (dzauq). Agama juga harus “dirasakan.” Merasakan kedekatan dengan Allah ketika Shalat atau Thawaf. Merasakan tak berjarak dengan Allah ketika berdo’a. Justru pada level yang disebut terakhir inilah, seseorang akan merasakan kenikmatan beragama. Dalam konteks artikel ini, ketika Islam dipahami dengan benar dan dalam tingkat tertentu mampu “merasakan” – setidaknya ritual-ritualnya, maka kita sesungguhnya tidak membutuhkan orang lain dalam membangun relasi dan kontak dengan Allah SWT. Termasuk dalam do’a. Bukan berarti kita perlu do’a orang lain. Bukan pula salah meminta orang lain mendo’akan kita. Pointnya justru kita tidak akan menggantungkan nasib do’a kita pada orang tertentu. Lebih parah dari itu adalah, ketika kita lebih percaya kepada orang lain untuk meminta kepada Allah ketimbang kita sendiri. Sungguh do’a bukan seperti lampu aladin. Nabi Zakaria membutuhkan waktu 80 tahun berdo’a barulah do’anya terkabul. Ia hanya meminta seorang anak. Sampai tulang belulangnya mulai rapuh. Rambut putihpun sudah menutupi kulit kepalanya. Barulah Allah anugerahkan seorang anak yang bernama Yahyah. (QS. Maryam:1-5). Demikian pula halnya dengan Nabi Musa yang berdo’a agar kezaliman yang dilambangkan dengan sosok Fir’aun dihancurkan. Nabi Musa menunggu waktu 40 tahun, barulah Fir’aun yang zalim itu tenggelam di laut merah. Tentu ada banyak do’a para Nabi lainnya yang tidak seperti Nabi Musa. Do’a Nabi Muhammad adalah do’a yang cepat diijabah Allah. itulah do’a seorang kekasih kepada kekasihnya. Do’a sesungguhnya bermakna seruan atau ajakan. Dalam bahasa Arab “meminta” itu lebih tepat diwakili kata asta’in. Di dalam QS. AL-Fatihah terdapat ayat yang berbunyi, “iyyakan na’budu wa iyyaka nasta’in.” (hanya kepadamu aku menyembah dan hanya kepadamu aku minta pertolongan). Allah

adalah al-musta’an (tempat meminta). Jika demikian do’a hakikatnya bukanlah meminta. Do’a adalah seruan sang hamba kepada Allah SWT. Seruan yang penuh kelembutan dalam keheningan. Alquran menyebut panggilan Nabi Zakariya itu dengan kalimat, “nida’an khafiyya” (panggilan yang halus, lembut). Di dalam do’a tentu tidak ada pemaksaan. Tidaklah pantas sang makhluk memaksa khaliknya untuk memenuhi keinginannya. Sebaliknya di dalam do’a ada ajakan dan seruan kepada sosok yang maha agung. Seruan yang kita meminta Allah untuk menatap dan memperhatikan kita dan menyayangi kita. Do’a juga mengandung rasa cemas dan khawatir jika Allah tidak lagi memperdulikan kita. Mengabaikan dan lebih parah dari itu, marah kepada kita hambanya. Dalam tingkat tertentu kita hakikatnya merayu Allah untuk selalu menyertai dan bersama kita. Di dalam Alquran, Allah SWT tidak hanya menjelaskan urgensi do’a seperti pada QS. Al-Baqarah yang menjadi rangkaian ayat-ayat puasa. Ternyata Allah SWT juga mengajarkan bagaimana kalimat-kalimat do’a tersebut dilantuntankan. Tidaklah mengherankan jika di dalam Alquranbanyak do’a yang diawali kalimat rabbana atau rabbi. Hemat saya hal ini luar bisa. Allah mengajarkan bagaimana cara kita memanggilnya. Bahkan Allah mengizinkan umatnya untuk memanggilnya dengan 99 nama terbaik (al-asma’ al-husna). Pesan yang penulis tangkap, pada saat Allah mengajarkan kalimatkalimat do’a dengan lafaz rabbana atau rabbi, atau lafaz lain seperti do’ado’a dalam hadis, itu menunjukkan bahwa manusia tidak memerlukan perantara dalam menyampaikan do’anya. Bahkan dalam kasus Nabi Adam yang berdosa tersebut, Allah masih izinkan Adam untuk menyampaikan permintaan-nya. Rabbana zhalamna anfusana wa in lam taghfirlana wa tarhamna lanakunanna min al-khasirin. Inilah do’a orang yang zalim. Sekali lagi, Allah masih mengizinkan orang yang zhalim untuk memanggil namanya. Justru jika ada orang yang menitip do’a dan lebih percaya bahwa orang yang membawa do’a-do’anya, maka orang tersebut sesungguhnya tidak berbeda dengan orang-orang jahiliyyah. Bukankah menurut sejarah, orang-orang quraisy itu sebelum masa Nabi adalah orang saleh keturunan nabi Isma’il. Namun lama-lama karena mereka merasa dirinya kotor dan karenanya tidak pantas berhubungan dengan Allah,

Manusia tidak memerlukan perantara dalam menyampaikan doanya. Bahkan dalam kasus Nabi Adam yang berdosa tersebut, Allah masih izinkan Adam untuk menyampaikan permintaannya maka mereka ciptakanlah perantara. Lahirlah patung yang akhirnya menjadi objek sembehan mereka. mereka menyembah patung karena patung itulah yang selanjutnya akan menyampaikan do’a-do’a mereka kepada Allah SWT. Dengan demikian, kita menyadari bahwa setiap manusia lebihlebih muslim memiliki hak yang sama untuk mengakses Allah SWT. Setiap kita berhak untuk memanggil, menyeru dan menyapa Allah SWT. Bahkan orang yang paling zhalim sekalipun, berkubang maksiat, haknya untuk menyeru dan meminta kepada Allah tidak akan hilang. Dalam kekumuhan dosa itulah ia memanggil Allah yang maha suci dengan penuh penyesalan diri. Orang ini justru akan disambut Allah dan memberinya kabar gembira. Persoalannya hemat saya adalah bagaimana sesungguhnya pada bagaimana adab kita dalam berdo’a. Pada dasarnya, tidak ada aturan khusus tentang do’a. Setiap orang boleh menyeru, meminta kepada Allah dengan bahasanya sendiri juga gaya dan cara tersendiri. Semuanya akan di dengar Allah yang maha sami’. Justru yang kerap diperbincangkan para ulama adalah bagaimana adab kita dalam berdo’a. Oleh sebab itu, di dalam buku-buku keagamaan, telah dirumuskan urutanurutan do’a misalnya diawali dengan hamdalah, lalu shlawat, do’ado’a dalam Alqurandan akhirnya permintaan sendiri. Ada yang menambahkan dengannya orang yang berdo’a harus berwudhu’, menghadap kiblat dan menutup do’anya dengan al-fatihah. Aturan-aturan tersebut tentu saja absah untuk diikuti. Namun bagi saya, do’a itu sesungguhnya sangat personal. Do’a sejatinya ibadah tidak bisa diintervensi oleh siapapun. Oleh karena itu saya lebih melihat do’a sebagai suara hati. Ungkapan jiwa yang paling dalam kepada sesuatu yang maha agung namun sangat dekat dengan dirinya. Jika do’a kita terjemahkan dengan seruan, maka do’a itu adalah seruan kekasih dengan kekasihnya. Sekali lagi substansi do’a itu adalah

seruan jiwa yang terdalam dari seorang hamba. Syarat yang utama, kita harus merasakan kedekatan dengan Allah. Dekat yang tak berjarak (wa iza saalaka ‘ibadi ‘anni fainni qariib). Kita yang sudah merasa dekat dengan Allah maka kita dapat menyerunya dengan suara jiwa. Tidak lagi dengan suara raga. Dalam bahasa Alqurandisebut dengan nida’an khafiyya. Sampai di sini, ada tiga model do’a. Pertama, model meminta (isti’anah) kepada Allah. kalimat-kalimat yang kita gunakan adalah kalimat perintah walaupun dalam makna permintaan. Ya Allah, berikanlah aku...limpahkan kepadaku...anugerahkan aku, dan lain-lain. do’a seperti ini tidak salah. Namun do’a jenis ini adalah permintaan hamba kepada Tuhannya yang serba maha. Kedua, model pernyataan. Seperti do’a Nabi Ibrahim yang artinya, jika aku sakit, Dialah yang menyembuhkankanku. Nabi Ayub yang tidak meminta untuk disembuhkan tapi menyatakan betapa sakitnya membawanya semakin dekat dengan Allah SWT. Ketiga, model pengakuan. Pada level ini, ia tidak meminta kepada Allah. tidak juga membuat pernyataan. Ia lebih banyak mengungkapkan dirinya dihadapan Allah. ia telanjangin dirinya dihadapan Allah. Tak ada yang dia sembunyikan dari Allah. Kalimat-kalimatnya adalah kalimat orang yang tidak ingin berpisah dari Allah walau sekedipan mata. Ungkapan rindu dari sang kekasih. Tegasnya, ia berbicara dan berdialog dengan Allah melalui suara hatinya. Sekali lagi do’a adalah ibadah yang sesungguhnya amat personal. Di dalam do’a yang muncul adalah alnafs dan suara jiwa kita. Dengan cara ini kita akan mampu merasakan kedekatan dengan Allah SWT. Akankah Allah akan membiarkan kita merana padahal kita telah masuk dalam kelompok orang-orang yang dicintainya. Perlukah lagi kita meminta yang kita butuhkan pada hal Allah tahu apa yang kita perlukan. Bukankah seorang kekasih akan memberikan yang terbaik buat kekasihnya tanpa harus didahului dengan permintaan ? Semoga....

Waspada Melalui Waspada Oleh Fachrurrozy Pulungan Sekretaris Majelis Dakwah Al Washliyah Sumatera Utara dan Ketua FKLD Sumut.

“D

an apabila kamu melihat mereka, tubuhtubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata, kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka seperti kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka-mereka itulah musuh kamu, maka waspadalah terhadap mereka, Allah akan membinasakan mereka. Bagaimana mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran) ” . Qur’an surah al Munafikun ayat 4. Kata Waspada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai, “ tidak lengah, berjagajaga”. Digunakan juga sebagai kata seru yang bermakna hati-hati. Dalam Alqur’an kata ‘waspada’ atau hati-hati diterjemahkan dengan kata hidzr, dan beberapa kali disampaikan kepada umat manusia, khususnya kepada umat Nabi Muhammad SAW, seperti contoh pada ayat pembuka di atas. Tidak lengah atau hati-hati mengajarkan kepada kita untuk selalu melihat kedepan sehingga tidak terjerumus kedalam lobang yang sama, atau setidak-tidaknya bisa menghindarkan diri dari sesuatu yang tidak kita harapkan terjadi pada diri kita, maupun keluarga kita. Banyak hal yang harus kita waspadai dalam menjalankan kehidupan ini. Hal-hal yang mungkin kita anggap selama ini baik-baik saja, ternyata memiliki dampak/akibat yang sangat membahayakan kehidupan kita dan keluarga kita, bahkan membahayakan masyarakat luas, dan boleh jadi dapat menghancurkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai contoh, maraknya dakwah di kalangan masyarakat yang sebelumnya kita menganggap hal itu merupakan suatu kemajuan karena kesadaran masyarakat akan agamanya. Ternyata di balik dakwah itu terselip sesuatu yang menakutkan, yaitu pembunuhan, perampokan, dan penculikan dengan kedok agama. Tidak sedikit kemudian orang tua yang merasa was-was anakanaknya akan menjadi korban, atau sebagai pelaku itu sendiri. Pembunuhan dengan bom bunuh diri, atau jenis bom lainnya tidak mengenal sasaran maupun tempat. Bom bunuh diri di dalam masjid ketika semua orang dalam keadaan shalat, adalah suatu per-

buatan keji yang tak termaafkan bagi pelaku dan jaringannya. Karena Allah ‘Azza Wajalla telah mengharamkan membunuh jiwa orang lain tanpa hak. Hal itu tegas dan jelas disampaikan Alqur’an dalam berbagai surat. Dakwah dengan menebar kebencian merupakan hal yang perlu di waspadai. Islam adalah agama perdamaian, ajarannya penuh dengan kasih sayang. Namun bukan berarti Islam berdamai atau bertoleransi dengan segala bentuk kemaksiatan dan tidak pula berdamai dan toleransi terhadap kekerasan. Disamping itu maraknya peredaran narkoba yang telah menjangkau ke seluruh lapisan masyarakat, bahkan sudah menjalar kepada anak-anak yang duduk di sekolah dasar. Hal ini terlihat dari tingginya prevelensi pengguna narkoba di kalangan pelajar. Hasil penelitian Badan Narkotika Nasional (BNN) bekerjasama dengan Universitas Indonesia (UI) menunujukan 22 persen pelajar di Indonesia pernah mencoba bahkan menjadi pecandu dari barang haram tersebut. Fenomena ini menunjukkan bahwa narkoba tidak mengenal usia, jenis kelamin, status pekerjaan dan lain-lain. Siapa saja bisa terjerumus pada penyalahgunaan narkoba, ketika kewaspadaan dan kontrol sosial di keluarga, sekolah dan lingkungan mulai longgar. Disamping itu, kejadian di atas menjadi momentum untuk memodifikasi strategi pemberantasan narkoba, seperti target sosialisasi bahaya narkoba tidak hanya pelajar dan mahasiswa, tetapi juga masyarakat luas, seperti pejabat pemerintah, anggota legislatif dan kalangan swasta, termasuk terhadap aparat penegak hukum sendiri. Tidak salah selama ini kita sangat khawatir dengan penggunaan narkoba oleh pelajar dan mahasiswa, namun jangan lupa bahwa narkoba tidak kenal usia dan money oriented. Sehingga tidak aneh ketika ada oknum pejabat atau aparat yang terlibat. Oleh karena itu, kewaspadaan harus dimiliki oleh siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Untuk itu diperlukan alat atau media yang bisa memberikan informasi semua bentuk yang mengkhawatirkan diri kita, dan itu bisa melalui media cetak. Media cetak atau bahasa asingnya ‘printed publication’ adalah

Media berita menjadi faktor utama dalam hubungan masyarakat, yang mengontrol arus publisitas melalui saluran-saluran komunikasi umum, yang amat penting. media untuk menyampaikan informasi melalui tulisan yang tercetak. Media cetak merupakan media yang sudah lama dikenal dan mudah dijumpai di mana-mana.Media ini sangat besar manfaatnya, sebab ia termasuk dari beberapa media masa yang mampu membentuk opini masyarakat, ia hampir bisa di sebut sebagai “makanan pokok”. Masyarakat mendambakan informasi dan untuk selalu bisa mengikuti perkembangan lingkungan disekitarnya maupun perkembangan dunia. Baik perkembangan yang menyangkut ekonomi, politik, pendidikan, budaya dan bahkan agama. Dari informasi yang diberikan media, masyarakat bisa waspada terhadap sesuatu yang membahayakan dirinya maupun keluarganya. Media berita menjadi faktor utama dalam hubungan masyarakat, yang mengontrol arus publisitas melalui saluran-saluran komunikasi umum, yang amat penting. Cerminan media dalam masyarakat merupakan pokok pembahasan yang memang tidak terlepas dari peran aktif media tersebut dalam melakukan peningkatan kualitas dalam penulisan, thema pembahasan yang harus sesuai dengan persoalan gejala sosial yang terjadi pada masyarakat, sehingga akan menciptakan cerminan yang baik atau berdampak positif pada masyarakat. Harian WASPADA adalah salah satu media yang memberikan informasi kepada masyarakat tentang semua yang dibutuhkan. Realitas sosial menunjukan bahwa jumlah orang yang aktif dalam berdakwah jauh lebih sedikit dengan jumlah orang yang menjadi sasaran dakwah. Disinilah peran media untuk lebih dapat melaksanakan dakwah, sehingga masyarakat dapat mengetahui dan mendalami ajaran agama nya. Waspada, sebagai salah satu media terbesar di Sumatera Utara dan NAD, telah melaksanakan hal itu, walau disadari masih ada kekukarangan-

kekurangannya. Namun hal itu sudah banyak membantu para da’i dalam mewaspadai ajaran-ajaran yang menyimpang dalam agama. Memberikan informasi kepada masyarakat khususnya umat Islam, tentang bahaya Singkretisme, Liberalisme, Radikalisme-Ekstrimisme dan isme-isme lain yang sangat meresahkan. Waspada dengan kolom Mimbar Jum’at nya merupakan salah satu media saluran informasi dan mengandung unsur dakwah yang sangat efektif untuk melakukan perubahan dan peningkatan pola berfikir serta menjadikan alat media penghubung antara satu tradisi yang ada pada masyarakat di Sumatera Utara dan NAD, sehinggga mewujudkan kedamaian dan kekondusifan antra suku-suku yang berbeda. Disamping itu media ini juga miningkatkan rasa kecintaan dan menumbuhkan kwalitas ibadah kepada Allah SWT dan merupakan salah satu media yang mampu menaikan derajat Islam lebih tinggi lagi. Dalam hal pencerminan media, Waspada sampai saat ini cukup efektif, karena setiap wartawanwartawan yang ada di harian ini telah ditempatkan disetiap daerah di Sumatera Utara dan Nangroe Aceh Darussalam, sehingga informasi dan gejala sosial, ekonomi, budaya dan politik di setiap daerah mampu mereka tuangkan secara obyektif. Artinya, media ini mampu mengoptimalkan situasi keadaan masyarakat yang sebenarnya terjadi dengan berita dan tulisan yang berimbang. Dan terlebih dalam kolom Mimbar jum’at yang ada di Waspada mampu menampilkan hal-hal yang hangat di bincangkan baik di daerah, nasional dan internasional yang dipadukan dengan nilai-nilai Islam pada umumnya. Dari hal seperti inilahWaspada mampu memberikan sebuah cerminan keadaan masyarakat yang sebenarnya, sehingga masyarakat bisa waspada. Selamat Ulang Tahun Waspada ke 67 tahun.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.