Waspada, Senin 18 Juni 2012

Page 21

Opini

WASPADA Senin 18 Juni 2012

Surat Terbuka Kepada “Penguasa” Padangsidimpuan Para penguasa Kota Padangsidimpuan, atau siapapun yang bertanggungjawab dalam hal ini, melalui surat terbuka ini saya memohon kepada Tuan-Tuan sekalian,agar kiranya membuka mata, hati dan nurani serta mengambil hikmah dari peristiwa pembakaran kantor KPU Kota Padangsidimpuan pada hari Rabu, 13 Juni 2012. Saya pribadi turut prihatin atas peristiwa tersebut. Sebagai warga jalan Mawar/Jalan Raja Enda Mora No. 12, di mana letak tempat tinggal saya dan keluarga persis berada di sebelah kanan gedung kantor KPU Kota Padangsidimpuan. Terus terang kami sangat merasa terganggu dengan keberadaan kantor tersebut, karena kami tahu persis akan resiko yang selalu mengancam keselamatan, keamanan dan kenyamanan keluarga kami. Saya yakin, kiranya Tuan-tuan lebih tahu bagaimana dinamika Pilkada serta konsekuensikonsekuensinya. Kronologi Pemindahan Kantor KPU Pemindahan kantor KPU ke Jalan Mawar berlangsung pada hari Sabtu tanggal 28 Januari 2012. Waktu itu, sekitar pukul 11 pagi kami menyaksikan langsung proses pemindahan barang-barang KPU dari jalan Kenanga ke Jalan Mawar,yang hanya berjarak sekitar 300 meter.Tidak lama berselang, Ibu Hannum,saudara kandung pemilik rumah (pemilik rumah adalah Bapak Royhan yang berdomisili di Jeddah, Saudi Arabia dan saat itu kebetulan sedang berada di Jakarta) yang selama ini menangani urusan sewa menyewa rumah tersebut, datang menemui keluarga kami untuk memberitahukan kepada kami bahwa rumah keluarga mereka akan di tempati oleh KPU. Terus terang, sebagai calon tetangga KPU kami merasa keberatan dan shock. Orang tua kami sudah menyampaikan permohonan kepada pihak KPU dan juga pemilik rumah (via telepon) untuk membatalkan kontrak rumah tersebut.Adapun alasan yang kami sampaikan pada waktu itu adalah karena kami khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan terkait pelaksanaan Pilkada Kota Padangsidimpuan 2012, mengingat di beberapa daerah lainnya sering terjadi aksi anarkisme terkait persoalan politik, termasuk Pilkada. Toh, selama ini sebagai tetangga kami tidak pernah merasa keberatan dengan keberadaan penyewa rumah tersebut, baik itu partai politik maupun organisasi pengusaha.Namun untuk KPU,terlalu beresiko.Bahkan,kami sudah menyampaikan kepada pemilik rumah dan agennya, bahwa “Pemindahan kantor KPU ini pantas dipertanyakan, karena baru saja 2 minggu mereka pindah kantor ke jalan kenanga, tepatnya pada tanggal 14 januari 2012,mengapa sekarang pindah lagi? Pertanyaan besarnya adalah mengapa kantor KPU yang selama ini berlokasi tepat di sebelah Gedung KantorWali Kota Padangsidimpuan, dan persis berseberangan jalan dengan rumah dinas Wali Kota Padangsidimpuan harus dipindahkan? Bukankah lokasi tersebut sangat strategis? Mengapa harus ke tengah-tengah pemukiman warga? Mengapa harus menjelang Pilkada ini tiba-tiba dipindahkan?” Begitu banyak pertanyaan yang muncul di benak kami atas keberadaan kantor KPU ini. Saat kami berdialog pada tanggal 28 Januari 2012 waktu itu, ketua KPU dan Sekretarisnya, serta wakil pemilik rumah sudah sepakat bahwa KPU hanya diberi kesempatan untuk berkantor di rumah tersebut selama 1 bulan.Karena pemilik rumah sudah terlanjur menerima uang muka da-ri kontrak rumah tersebut dan tidak sanggup mengembalikannya, sembari memberikan kesempatan kepada pihak KPU mencari lokasi lain yang lebih pantas.Untuk pengembalian uang muka kontrak rumah tersebut, kami sudah menyampaikan kepada pemilik rumah bahwa kami bersedia membantu secara finansial, sebagai wujud rasa tanggung jawab kami dan bukti kesungguhan hati kami bahwa ka-mi benar-benar sangat mengkhawatirkan keselamatan, keamanan, dan kenyamanan keluarga kami. Namun hanya beberapa minggu berselang, kami menyaksikan pemasangan plank merek KPU dan atribut lainnya di halaman rumah tersebut. Kami menduga bahwa kontrak rumah tidak jadi dibatalkan. Kami sangat paham, bahwa pihak KPU telah mengalami kerugian materil, namun pernahkah Tuan-Tuan memikirkan kerugian keluarga kami? Ketenangan keluarga kami telah terusik oleh keberadaan kantor KPU. • Setiap hari kami harus mendengar suara hingar bingar dari ruang kantor yang jaraknya kurang dari satu meter dari tempat istirahat kami karena begitu banyak orang berada di dalam kantor tersebut. • Setiap hari kami harus menyaksikan parkiran kenderaan yang amburadul di depan halaman rumah kami. • Setiap hari anak-anak kami yang masih kanak-kanak bermain di halaman rumah kami sendiri dengan rasa tidak nyaman karena harus bertemu dengan orang-orang “asing”. • Dan setiap hari kami harus dihantui oleh rasa takut dan cemas jika sewaktu-waktu terjadi kekacauan dan hal- hal yang tidak diinginkan. Aksi pembakaran ini, mungkin hanya salah satu bukti kekhawatiran kami selama ini. Sebab Hari “H” Pillkada masih beberapa bulan lagi, masih panjang proses menuju ke sana dan pasca hari “H”. Dan sepanjang masa itu pulalah kami dihantui oleh rasa takut. Tuan-tuan yang berkuasa di Kota Padangsidimpuan,kami adalah warga Padangsidimpuan,rakyat Tuan,yang patut Tuan lindungi dan ayomi, dan juga berhak memperoleh rasa aman dan nyaman. Oleh karena itu kami bermohon dan mengetuk nurani Tuan-tuan sekalian agar kiranya segera memindahkan kantor KPU ke lokasi yang lebih pantas, ke lokasi yang tidak mendzolimi dan melukai hati rakyat Tuan-Tuan sekalian, dan tidak mengganggu ketenangan dan keamanan rakyat Tuan. Atas kemurahan hati Tuan-Tuan saya sampaikan terimakasih. Juni Wati Sri Rizki Warga Jl. Mawar/ Jl. Enda Mora No 12 Padangsidimpuan.

Foliopini

Dedi Sahputra dedisahputra@yahoo.com

Pilihan Menjadi pemimpin itu sebenarnya suatu kewajaran yang mutlak. Karena setiap orangorang yang berkumpul, secara alamiah akan menimbulkan keinginan mencapai tujuan yang sama—setidaknya tujuan sebagian besar dari orang-orang itu. Maka pemimpin diperlukan untuk meramu tujuan dalam suatu konsep, menyiapkan arah yang dituju, dan membawa semua rombongan ikut serta. Jadi sebetulnya, dalam tataran filosofis, menjadi pemimpin itu sederhana saja. Tapi dia menjadi rumit pada tataran empiris. Ketika menggambarkan tentang pemimpin, Lao- Tze pada 600 sebelum masehi menulis: ”Air itu berbentuk cairan, lunak, dan mudah mengalir. Tetapi air akan mengikis habis batu karang, yang berdiri kokoh, dan tidak mudah bergeser. Sebagai kaidah, apapun yang cair, lunak, dan mudah mengalir akan menguasai apa saja yang kokoh dan keras. Ini sebuah paradoks yang lain: apapun yang lunak itu kuat...” Jadi, ketika Anda memimpin, lembut-lah, maka Anda akan kuat dengan sendirinya. Ya, semudah itu... Sekali lagi, dalam tataran filosofis memang begitu. Dia adalah suatu proses sublimasi dari nilai-nilai, juga imajinasi yang dielaborasi oleh pikiran-pikiran dan perasaan—pada saatnya membentuk kepribadian. Ini seperti mengumpulkan semua seleramu dan meramunya dalam wujud model rumahmu, seperti meracik resepmu sendiri menjadi sajian kuliner lezat, atau ketika engkau membayangkan dan merasai banyak hal sebelum engkau mulai menulis. Untuk menjadi pemimpin, nilai ini yang menjadi syarat pertamamu. Tanpanya, engkau sebetulnya sudah kalah sebelum “bertarung”. *** Rasa malu itu seringkali lebih menakutkan ketimbang rasa sakit. Untuk ini Anda bisa tanyakannya kepada Agyness Deyn, seorang top model Inggris. Ketika acara peragaan amal Cannes, semua mata menatap lenggak-lenggoknya di catwalk. Baju terusan putih, ikat pinggang melilit dan sepatu hak tinggi membuat penampilannya kelihatan rupawan. Senyumnya yang mekar menambah kesan charming. Itu sebelum ia terpeleset, sebelah kakinya tertekuk ditimpali beban tubuh yang membuatnya terjatuh di tengah keramaian itu. Saya membayangkan jenis kesakitan yang menderanya. Dia tidak langsung bangkit tapi merangkak dulu sembari meredakan sakitnya— sebelum berdiri dengan wajah memerah dan senyum yang berubah kecut. Sakit itu tentu saja mengganggunya, tetapi rasa malu lebih

mengganggunya berkali-kali. Katimbang terasa sebagai musibah, jatuh itu lebih terasa sebagai aib. Ada masalah profesionalitas, kepercayaan orang, dan masalah psikologis berupa rasa percaya diri di sini. Maka jatuh itu lebih kepada peristiwa aib ketimbang musibah. Dan karena rasa malu adalah pakaian manusia tertinggi, maka aib seperti ini bisa jadi musibah terbesar manusia. *** Lantas mengapa menjadi pemimpin itu jadi rumit pada tataran empiris? Ini antara lain karena keragaman pilihan, dan strata prioritas yang sangat variatif. Karena ketika engkau jadi pemimpin, sekuat apapun dirimu, dia akan datang menguji kepiawaianmu. Engkau akan selalu dikelilingi orang-orang dengan ragam kepentingan, ragam perilaku. Engkau akan disibukkan dengan ragam undangan dan ragam keinginan-keinginan. Di antara mereka ada kualitas loyang ada pula yang emas, ada kualitas pucuk-pucuk madu ada pula jerami, ada yang tulus ada pula yang dipenuhi syahwat. Kualitas kepemimpinanmu ditentukan oleh seberapa piawai engkau memilih mereka, seberapa tepat dirimu mendekati prioritasmu, ditambah seberapa kuat engkau menanggung risiko-risiko keputusanmu. Satu hal lagi, konsistensimu dan daya tahanmu mempertahankan sikap fair-mu. Ini juga penting. Seperti ketika engkau luput berjanji kepada temanmu, saat engkau masih seorang tukang sayur, misalnya. Besok-besok saat pertemuan tak disengaja engkau bisa dengan ringan mengatakan begini: sory ya coy... dan masalah selesai dengan sendirinya. Ini karena resistensimu terbatas dan kecil saja. Tapi berbeda ketika engkau jadi pemimpin, maka engkau punya resistensi yang luas bahkan tidak terbatas. Maka konsekuensi atas sikapmu akan jauh lebih berdampak. Jadi ini memang cukup kompleks. Sebagai pemimpin engkau tidak saja harus lulus pada tataran filosofis, tapi juga harus menyelami tataran empiris sampai palung terdalam— engkau harus memahami keragaman itu lengkap dengan segala konsekuensinya. Engkau harus mempertimbangkan segala risiko keputusanmu, engkau harus piawai memilih, dan engkau harus terus menjaga sikap fair-mu. Tanpa itu semua, engkau cuma akan memproduksi rasa malu bagi orang lain. Tanpa itu engkau bisa saja salah pilih loyang di antara emas-emas. Salah-salah, loyang pun tidak, engkau cuma bisa dapat tinja.(Vol.322,18/6/2012)

Kolom foliopini dapat juga diakses melalui http://epaper.waspadamedan.com

B7

Surat Dari Tanah Suci Oleh M Ridwan Lubis Sekeras apapun hati manusia bila mengingat kematian maka semua motif tidak baik seperti sombong, dengki, khianat termasuk korupsi, penyalahgunaan kekuasaan akan hilang dengan sendirinya.

M

inat umat Islam untuk melakukan ibadah umrah yang sering disebut dengan haji kecil tampaknya semakin meningkat dari waktu ke waktu. Ketika penulis berada di Tanah Suci beberapa hari lalu dalam rangka ibadah umrah, sempat mengamati fenomena tersebut. Bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan adalah bulanbulan sibuk umat Islam berkunjung ke Tanah Suci. Kesemarakan ibadah umrah dimulai dari kebijakan pemerintah melakukan program konversi yaitu mendorong umat Islam beralih ke pelaksanaan ibadah umrah—sebagai akibat dari tidak seimbangnya permintaan menunaikan ibadah haji dengan jatah yang tersedia. Pada beberapa daerah, jumlah daftar tunggu pendaftar haji telah semakin panjang beberapa tahun ke depan. Di satu sisi hal itu menggembirakan karena dapat menjadi salah satu indikator tingginya minat umat Islam untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Tetapi di sisi lain, hal itu cukup memprihatinkan mengingat minat yang demikian besar dari umat Islam dalam rangka menunaikan ajaran agamanya akan tetapi tidak terpenuhi akibat dari hambatan daya tampung di Arab Saudi. Betapapun pemerintah Arab Saudi selaku pelayan dua Tanah Suci (khadim al haramain) telah melakukan berbagai upaya untuk memberikan pelayanan untuk kenyamanan jamaah— seperti yang ditunjukkan dengan pemandangan di sekitar Masjidilharam sekarang ini dilakukan berbagai pembongkaran hotel-hotel tempat penampungan jamaah—nyatanya minat yang demikian besar itu belum terpenuhi semuanya. Oleh karena itu, dapat dipahami manakala pemerintah mengambil jalur lain yaitu mendorong umat Islam untuk beralih dari minat berhaji kepada umrah bagi yang belum memperoleh porsi untuk berangkat haji. Dalam pelaksanaan ibadah umrah tampaknya pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada perusahaan perjalanan yang tumbuh demikian subur ibarat cendawan di musim hujan. Perusahaan biro perjalanan itu tidak hanya berkembang di Jakarta akan tetapi juga merambah ke kota-kota kecil. Sehingga, sesuai dengan teori klasik ekonomi yaitu kaitan antara permintaan dengan penawaran. Semakin tinggi permintaan dari masyarakat maka semakin tinggi pula penawaran yang dilakukan oleh perusahaan perjalanan. Sehingga harga untuk memperoleh tiket keberangkatan umrah tergantung dari kemampuan jamaah. Bagi yang berkemampuan terbatas maka tentulah harus rela dengan tarif yang lebih rendah dengan tingkat pelayanan yang terbatas pula. Sebaliknya bagi kalangan yang memiliki kemampuan berkelebihan maka tentulah tersedia pula perusahaan lain yang menawarkan harga yang lebih tinggi dengan tingkat pelayanan yang

lebih tinggi pula. Tegasnya, minat yang semakin besar umat Islam dalam melaksanakan ibadah umrah menjadi lahan baru yang bersifat ekonomi. Proses transformasi sosial yang melahirkan moderisasi juga ikut berimbas kepada persoalan kehidupan beragama. Ibadah umrah pada masa lalu, sebagaimana halnya juga ibadah haji, dalam pandangan pragmatisme adalah identik dengan tindakan inefisiensi atau pemborosan. Biaya puluhan juta yang dikeluarkan untuk keperluan keberangkatan umrah dipandang sebagai hal yang tidak produktif. Selain dari itu, pada masa lalu peminat untuk berumrah adalah kalangan masyarakat desa atau yang berlatar belakang pondok pesantren. Ditambah lagi, umumnya mereka yang sudah berusia senja. Tetapi sekarang ini, peminat melaksanakan ibadah umrah telah mengalami diversifikasi yaitu mulai dari kalangan masyarakat perdesaan sampai menengah perkotaan, mulai dari yang tua sampai yang muda bahkan anak-anak. Memasuki masa liburan sekolah seperti sekarang ini jamaah umrah dari Indonesia bervariasi yaitu bercampur antara orangtua dengan anak-anak. Sementara pada masa sebelumnya, pilihan untuk berlibur bagi anak-anak perkotaan menghabiskan masa liburan panjang berkunjung ke pusat-pusat perbelanjaan yang terkenal di seantero jagat ini. Hal ini adalah merupakan dampak dari proses transformasi masyarakat Indonesia ketika terjadi perubahan dari masyarakat agraris menjadi masyarakat modern. Dalam perhitungan ke depan, minat untuk melaksanakan umrah karena hal itu secara tidak langsung sebagai respons terhadap gelombang modernisasi. Dalam memahami kasus pertumbuhan semangat berumrah didapati suatu prinsip baru yaitu semakin modern sebuah masyarakat maka akan semakin rindu mereka kepada tradisi spritualitas yaitu pencerahan batin. Maka selayaknya, masyarakat pengusaha dan pemerintah tidak hanya memandang perkembangan ibadah umrah sebagai gejala sosial semata akan tetapi hendaklah berupaya menangkap penting di balik proses perubahan ini untuk kepentingan pembangunan bangsa. Kesempatan melakukan perjalanan ibadah umrah adalah semata hasil kreativitas mereka. Peran pemerintah dalam hal ini terbatas pada himbauan kepada masyarakat agar tidak memaksakan diri berada dalam daftar penantian panjang untuk berangkat melaksanakan ibadah haji. Himbauan ini ternyata cukup ampuh menggugah minat umat Islam untuk memanfaatkan kesempatan berkunjung ke dua tanah haram yaitu Makkah dan Madinah. Ketika di Makkah mereka melakukan tawaf, sa’i dan selanjutnya tahallul setelah sebelumnya menjelang tiba di Makkah menggunakan pakaian ihram sejak dari Miqat. Hal itu dimulai dari titik start memulai suatu pekerjaan besar yang disebut Miqat dan berakhir

di tempat tahallul yaitu ketika mereka kembali ke dunia kehidupan sehari-hari berinteraksi dengan lingkungannya. Selama dalam berihram, mereka dihimbau tidak melakukan berbagai perbuatan, ucapan maupun sikap yang mengakibatkan cederanya niat umrah. Selama prosesi umrah, setiap umat Islam dibawa ke alam lain yaitu sesuatu yang selama ini dianggap sebagai hal yang biasa akan tetapi dengan berpakaian ihram mereka seakan didekatkan dengan kematian. Karena nasehat yang paling tinggi adalah apabila manusia diingatkan kepada kematian yang akan dihadapi setiap yang bernyawa tanpa kecuali. Tentulah sekeras apapun hati manusia namun apabila mengingat datangnya kematian maka semua motif yang tidak baik seperti sikap sombong, dengki, khianat termasuk perilaku korupsi, penyalahgunaan kekuasaan akan hilang dengan sendirinya. Apabila dipandang dari atas ketika manusia berkumpul sedang melaksanakan tawaf dengan mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali, maka arus perputaran manusia yang tawaf itu laksana pusaran air bah yang terus bergelombang sebagai bentuk gerakan yang dinamis dan saling melekat antara satu dengan yang lainnya. Hal itu memberi makna paling tidak dua hal. Adanya potensi kekuatan umat Islam yang sesungguhnya dapat melakukan perubahan terhadap tatanan dunia menuju kepada yang lebih baik. Letak kekuatan itu terletak pada etos umat yang tersimpul dalam mujahadah, ijtihad dan jihad . Selanjutnya, setiap Muslim yang melakukan tawaf tentulah selalu ingin mendekat dan merapat ke Ka’bah dan dengan sendirinya hubungan antara satu orang dengan orang lain tanpa melihat suku bangsanya menyatu dalam satu tarikan nafas yaitu persaudaraan sejagat umat Islam. Solidaritas umat Islam memiliki tujuan yang luhur yaitu untuk membawa rahmat bagi sekalian alam yang bermakna pesan kasih sayang Islam itu bersifat universal lintas etnis, geografis dan budaya. Dengan bertawaf mereka menyatu dalam satu tekad penghambaan diri sesungguhnya kepada Allah SWT. Semangat penguatan keimanan umat Islam ini semakin kentara lagi apabila mereka saling berlomba men-

dekat ke raudlah, makam Rasul serta tempat-tempat yang memiliki nilai sejarah terutama di Madinah. Hal itu membuktikan bahwa Islam bukan sebuah legenda akan tetapi suatu semangat perjuangan penegakan akidah yang terus menyala dalam hati sanubari setiap muslim sepanjang masa. Prestasi rohani yang diperoleh mereka yang berangkat menunaikan ibadah umrah dapat dipandang sebagai sebuah pengayaan rohani (spritual enrichment), pencerahan rohani (spritual enlightenment) untuk menuju kepada derajat kehidupan yang lebih baik. Kondisi seperti itulah yang dapat mengantarkan seseorang mencapai derajat kehidupan yang bahagia. Pemerintah tanpa mengeluarkan biaya sesungguhnya memiliki modal dasar bagi pembangunan bangsa dengan memanfaatkan prestasi rohani mereka yang telah berangkat haji dan umrah di tengah gejala kegersangan nilai-nilai kebaikan yang dirasakan sekarang. Gejala penyimpangan sosial yang terus terjadi di dalam kehidupan masyarakat adalah merupakan hal yang bisa dipandang sederhana karena pada akhirnya berdampak kepada kelangsungan Indonesia sebagai sebuah bangsa. Karena itu, sudah sepatutnya pemerintah memetik kesempatan ini dengan memanfaatkan potensi kecerahan batin ini sebagai modal dasar peneguhan komitmen seluruh bangsa. Umat Islam yang kembali dari ibadah umrah selayaknya dihimpun menjadi suatu kekuatan besar bagi peneguhan komitmen terhadap nilai moral. Sekarang ini yang terjadi, ibadah umrah masih bersifat pekerjaan personal belum berdampak bagi kepentingan pembangunan bangsa. Tetapi, sayangnya pemerintah masih kurang memberikan perhatian terhadap perjalanan ibadah ini baik sebelum maupun sesudah umrah sehingga kesucian rohani pasca ibadah umrah belum didayagunakan sebagai potensi pembangunan bangsa. Padahal dahulu, kolonial Belanda sangat menakuti umat Islam yang kembali dari ibadah haji karena dikhawatirkan memperkokoh semangat nasionalisme dan patriotisme melawan penjajahan. Penulis adalah Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Krisis Multidimensional & Moral Pejabat Oleh Fariz Alnizar Maka, diam-diam idiologi bangsa ini adalah culturalpredestination (Qadariyah Kultural)—sebuah ideologi yang menganut paham bahwa hidup ini seperti kapas ditiup angin.

N

ampaknya apa yang dikatakan oleh sejarawan abad 17, Edward Gibbon dalam The History Of the decline and Fall Of The Roman Empire mulai sangat nampak di negeri ini. Ia mengatakan kemerosotan moral dengan gejala hidup mewah dan berlebihan itulah penyebab utama hancurnya sebuah negara. Gejala itu nampaknya sudah mengkristal menjadi semacam gumpalan akumulasi gejala. Jika melihat pola hidup para pejabat dan kaum elit negeri ini maka tentu yang terbayang di benak kita adalah kesan kemewahan yang sangat, gaya hidup yang lebih mementingkan libido duniawi. Betapa tidak, bagi kita tentunya sangat tidak sulit menemukan “jamur” kemewahan gaya hidup pejabat negeri ini. Logika yang mereka pakai adalah semakin tinggi fasilitas berbanding lurus dengan kualitas dan prestasi hasil kerja. Pada tataran konsepsi-teoritis memang hal itu bisa dibenarkan, tapi jika kita “bumi-kan” ia pada tataran praksis maka jawabannya akan lain. Karena banyak pejabat negeri kita yang dengan sekian lengkapnya fasilitas ia tetap “mandul”, baik produktifitas, etos ataupun elan kerjanya. Hal itu sudah jauh-jauh hari diramalkan Karl Gunnar-Myrdal bahwa bangsa kita adalah bangsa lembek (Soft -State) yakni ne-

gara yang pemerintah (pejabat) dan warganya tidak memiliki ketegaran moral sosial politik (Myrdal: 1988). Lihat saja, mestinya dengan segudang fasilitas untuk menunjang dan membantu meningkatkan kreativitas serta produktivitas, alih-alih bangsa kita malah terjerembab dalam berbagai masalah baru yang kita saja sangat sulit untuk merumuskannya. Moralitas Rendah Rendahnya moral sosial-politik sebagaimana yang dikatakan oleh Myrdal, jika kita gabungkan dengan apa yang dikatakan Gibbon membuat kita hari ini tak kunjung bisa lepas dari apa yang kita istilahkan dengan krisis multidimensional. Bahkan Nurcholis Madjid mengatakan bahwa krisis multidimensional itu adalah semacam penyakit akut yang akan terus menggrogoti kita, ia tak hanya sekedar krisis finansial-moneter sebagaimana negara-negara tetanngga kita. (Nurcholish Madjid :2003) Maka sebagaimana yang kita dapati sekarang, sementara negara-negara tetangga sudah berhasil melepaskan diri dari krisis finansial-moneter yang diidapnya, kita tetap bergelut di pekatnya endemik krisis multidimensional tesebut. Selain itu Azhar Arsyad mengatakan bahwa di samping rendah moral

sosial-politiknya negara kita juga sangat miskin akan dambaan prestasi (Need Of Achievement). Betapa tidak? Ribuan peserta didik dan penduduk negara kita “buta” dan sulit merumuskan apa yang ingin dicapainya kelak— karena seakan-akan masa depan adalah sesuatu yang mahal sebab masa depan hanya milik mereka yang dekat dengan kekuasaan. Maka, diam-diam idiologi bangsa ini adalah ideologi cultural-predestination (Qadariyah Kultural)—mak-sud saya sebuah ideologi yang menga-nut paham bahwa hidup ini seperti kapas yang ditiup angin. Semua sudah ada yang mengatur jadi kita tinggal mengikuti alur aturan yang sudah digariskan dan ditentukan oleh Tuhan saja. Negara Halaman Belakang Tanpa disadarai, hari ini kita sudah berada pada tahun keduapuluh tiga sejak pengamat negara industri Asia Timur, Louis Kraar meramalkan bahwa Indonesia duapuluh tahun ke depan akan menjadi halaman belakang (Back Yard) negara-negara Asia Timur. Indonesia akan ditinggalkan oleh negara-negara tetangganya yang berkembang menjadi negara maju semacam Singapura ataupun Malaysia. (Kraar: 1988) Kalau dianalisis lebih mendalam tentu pangkal masalah adalah terletak pada etos kerja yang lembek yang budaya korupsi. Tentu kelembekan etos kerja itu terbukti dengan adanya moratorium penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil sampai 2013 misalnya. Hal ini secara tidak langsung dapat disimpulkan bahwa ada yang tidak beres terkait pembagian beban dan

tugas kerja pada Pegawai Negeri Sipil. Kelembekan etos kerja diperparah dengan hobi korupsi di segala lini, korupsi budaya, korupsi waktu, korupsi uang, korupsi anggaran serta korupsi apapun. Bahkan ada satu pernyataan ekstrim bahwa kalaulah umur itu bisa dikorupsi tentu masyarakat kitalah yang paling pertama mengorupsinya. Kiranya tidak terlalu berlebihan dan salah jika dikatakan bahwa saat ini gejala negara kita sudah mulai memasuki fase transformasi menjadi negara back-yard Asia. Indonesia sudah semakin tertinggal. Juga ungkapan akan krisis multidimensional itu memang merupakan gambaran tentang kerusakan bangsa secara holistik-kolegial. Kerusakan yang dimulai dari krisis finansial 1998 itu—sebagaimana bangsa-bangsa Asia lain mengalaminya—seharusnya bisa dibatasi hanya pada wilayah ekonomi nasional saja. Tapi sebagaimana yang kita dapati sampai hari ini bangsa ini gagal membatasi krisis tersebut disebabkan oleh lemahnya Manajerial (Weak Governance) dalam urusan pemerintahan. Kenaikan Bahan Bakar Minyak yang direncakkan per-1 April 2012 kendatipun ditunda ini adalah bagian kecil dari buah lemahnya dan rendahnya manajerial pemerintahan kita. Sekali lagi, ini masalah moralitas. Wallahu A’lam Penulis adalah Peneliti Pada Lembaga Penelitian, Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat (LP3M) Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta, Aktif Di Kajian Tafsir Ibukota (KTIK).


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.