
3 minute read
Adaptasi Pada Perubahan - Curhat Pencinta Buku
Kembali lagi dengan Citra di sini. Kali ini saya ingin sharing tentang buku dan e-book.
Bibliosmia.
Saya selalu jatuh cinta pada aroma buku baru. Bibliosmia adalah nama aroma tersebut. Ada kepuasan tersendiri ketika membuka halaman pertama, seakan membawa saya masuk ke dunia yang baru.
Waktu di Sekolah Dasar, perpustakaan bagi saya adalah semacam safe area. Rak-rak tinggi penuh buku, rasa penasaran yang membuncah setiap kali menemukan judul yang menarik, dan keasyikan mendalami setiap cerita yang tersaji. Buku-buku menjadi teman setia, membentuk imajinasi dan cara berpikir saya. Beranjak ke SMP dan SMA, mulai berkurang rupanya keintiman dengan buku-buku di perpustakaan. Hahaha... kegiatan fisik makin banyak!
Karena faktor ekonomi, buku baru adalah sesuatu yang terhitung mewah bagi saya waktu itu. Setelah mulai berkerja, saya balas dendam dengan membeli buku sesukanya.
Seiring berjalannya waktu, teknologi berkembang pesat. Kehadiran internet dan gadget mulai mengubah cara kita mengakses informasi. Namun bagi saya, buku fisik tetap menjadi pilihan utama.
Saat sedang gandrung dengan serial Eragon karya Christopher Paolini, saya kesulitan mendapatkan rilisan baru seri ke tiga, dengan judul Brisingr. Hasrat untuk segera membaca lanjutan cerita makin kencang, tapi kondisi dompet saat itu tidak memungkinkan untuk memesan online dari penerbit di luar negeri.
"Ah, apa rasanya membaca tanpa menyentuh kertas," pikir saya skeptis sekaligus menghibur diri.
Tapi terbayang terus seperti apa kelanjutannya. Jadi dengan menarik nafas dalam-dalam, dimulailah perkenalan saya dengan e-book. Brisingr adalah e-book pertama yang saya miliki dan baca sampai tuntas.
Proses beradaptasi ke e-book tidak begitu mulus buat saya. Awalnya ada rasa canggung. Tidak ada suara halaman yang dibalik, tidak ada aroma kertas yang khas. Serasa kehilangan sentuhan emosional dengan buku fisik. Bagi seorang pencinta buku, setiap buku punya cerita. Ada kenangan di balik setiap coretan di halaman, tanda tangan penulis saat acara peluncuran, atau bahkan pembatas buku di halaman favorit.
Namun saya menemukan cara baru untuk pengalaman saya: catatan digital. Di setiap e-book, saya bisa menambahkan catatan, memberi highlight pada bagian yang menarik, dan membagikannya ke medsos.
Kendala berikutnya adalah mata lebih cepat lelah, terutama setelah berjam-jam menatap layar. Maka, saya belajar untuk mengatur pencahayaan, memilih waktu yang tepat untuk membaca, dan mengistirahatkan mata secara berkala.
Setelah melewati berbagai kendala dan penyesuaian, saya akhirnya menemukan keseimbangan antara membaca buku fisik dan e-book. Keduanya memiliki keunikan dan manfaat masing-masing. Buku fisik tetap memiliki tempat khusus di hati saya, terutama untuk koleksi klasik dan favorit. Sementara itu, e-book menjadi pilihan praktis untuk bacaan harian dan eksplorasi literatur baru.
Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa perubahan tidak selalu berarti kehilangan. Dengan literasi digital yang baik, kita bisa menikmati teknologi tanpa mengorbankan esensi dari apa yang kita cintai.
Salah satu kutipan favorit saya dari Carl Sagan berbunyi, “We live in a society exquisitely dependent on science and technology, in which hardly anyone knows anything about science and technology. ”
Kutipan ini semakin relevan di masa kini. Memahami teknologi dan cara kerjanya membantu kita mengoptimalkan manfaatnya dan menghindari jebakannya.
H A L . 0 9 | T N B U L E T I N # 9
