E d i s i N o . 5 Ta h u n 2 0 1 2
Radio Merdeka Luwuk 107.7 FM Radio Merdeka Palu 107.9 FM
Pembentukan Kelas Pekerja Tambang di Morowali
http://www.ytm.or.id
SikapRedaksi
LaporanUtama D A F TA R I S I
Salam Redaksi
2
Laporan Utama
Pembentukan Kelas Pekerja Tambang di Morowali....... halaman 03
Tambang Datang Petani Mengerang...........halaman 06 Aksi-Aksi Buruh Tambang Nikel...................halaman 09
Penyingkiran Petani Melalui Ganti Rugi...... halaman 10
Sorotan Khusus
Eksporlah Biji Nikel sampai ke Negeri China.... halaman 12 Hanya Vale Dan Tuhan Yang Tahu.... halaman 14
Potret Buram Pertanian di One Pute....... halalaman 16
Setelah Nasi Jadi Bubur.....halaman 19
Opini
Menciptakan Masyarakat Adat -Studi Desa Dodolo..... halaman 20
Foto Sampul depan: Jopi Peranginangin
Diterbitkan Oleh: Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Palu. Penanggung Jawab: Lahmuddin Yoto. Pimpinan Redaksi: Moh. Amirudin Alala. Sidang Redaksi: Lahmudin Yoto, Adhi Putra, Budi Siluet, Muhajiir Aljazara (Banggai), Sigit Purnomo (Bungku), Marianto Sabintoe, Adriansyah Editing/Lay-out: Jopi Peranginangin. Sirkulasi: Marianto Sabintoe, Adriansyah. Alamat Redaksi: Jl. Tanjung Manimbaya III No 111 B Palu Sulawesi Tengah Telp/Fax: 0451 425892 E-Mail: ytm@ytm.or.id Website: http://www.ytm.or.id
Edisi No. 05 2012
Pembentukan Kelas Pekerja Tambang di Morowali
Sikap Redaksi........ halaman 02
Foto : Dokumen YTM
N
afsu tamak rezim pemburu rente menyebabkan hampir semua ijin pertambangan di Indonesia tidak melalui konsultasi dengan rakyat. Sehingga, ketika ijin pertambangan itu sudah mau beroperasi, terkadang berhadapan dengan protes rakyat. Protes rakyat itu sangat dimaklumi dan sangat konstitusional. Sebab, di mata konstitusi kita, pemilih sah kekayaan alam negeri ini adalah rakyat. Apalagi, jika proses perijinan pertambangan itu merampas hak-hak rakyat di sekitarnya. Dalam konstitusi kita juga terkandung azas: setiap penyelenggaran kegiatan ekonomi, baik yang diselenggarakan langsung oleh negara maupun swasta, mesti mendatangkan kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat. Model kebijakan pertambangan saat ini harus segera ditata ulang, terutama terkait dengan izin dan hak-hak Rakyat beserta kelas Pekerja tambang. Nasib buruh tambang sangat rentan untuk di PHK. Beberpa hal terkait tata kelola pertambangan di Indonesia, pemerintah sebaiknya melakukan; Pertama, pemerintah segera mencabut semua ijin pertambangan yang sudah terlanjur diberikan kepada perusahaan swasta (nasional dan asing). Langkah pencabutan ini adalah langkah menghentikan konflik yang muncul di berbagai daerah dan sekaligus memulihkan martabat rakyat. Kedua, setiap pemberian ijin pertambangan harus melalui konsultasi dengan rakyat: referendum. Di sini, pemerintah harus menanyakan kepada rakyat: apakah mereka setuju atau tidak jika SDA itu dikelola oleh swasta (nasional atau asing)? Jika, dalam referendum rakyat menyatakan tidak setuju, maka ijin pun tidak boleh dikeluarkan. Memang, secara hukum, referendum tidak diakui dan tidak diatur dalam ketentuan hukum kita sekarang ini. Akan tetapi, referendum juga bukan sesuatu yang dilarang oleh Undang-Undang. Kita bisa menyebut referendum sebagai metode bukan legal (tidak diatur dalam hukum) tetapi juga tidak illegal (tidak dilarang atau terlarang oleh hukum kita). Metode referendum sumber daya alam ini pernah dipraktekkan oleh Bolivia pada tahun 2004. Saat itu, gerakan rakyat Bolivia baru saja bangkit memprotes privatisasi perusahaan gas negara oleh pihak asing. Lalu, atas tekanan gerakan rakyat, pemerintah menyelenggarakan referendum. Meskipun tingkat abstain sangat tinggi, karena tidak semua gerakan rakyat setuju dengan referendum ini, tetapi hasilnya cukup positif: mayoritas pemilih setuju gas dikelola oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Frente Amplio, sebuah front kiri dan gerakan sosial di Uruguay, juga menggunakan referendum untuk membendung gempuran neoliberal. Referendum diselenggarakan pada 8 Desember 2002, yang mencoba memutuskan apakah mencabut atau mendukung UU yang membolehkan kemitraan perusahaan minyak negara dengan asing. Frente Amplio berhasil mengumpulkan 700.000 tandangan yang diperlukan. Meskipun kalah dalam referendum itu, tetapi langkah ini telah menjadi jembatan bagi Frente Amplio untuk menarik dukungan rakyat.
SeputarRakyat
Aksi May Day Di Palu
D
ari kejauhan, hutan-hutan yang dulu hijau, kini berganti kulit. Kegiatan penambangan terbuka (open pit), dengan mengupas kulit bumi, membuat warna hutan bercampur kecoklat-coklatan. Dari sela-sela perbukitan, kendaraankendaraan berat meliuk-liuk dan melepaskan debu ke udara. Kalau hujan turun kencang, sungai dan anak-anak sungai yang jernih cepat berubah warna, menghanyutkan tanah permukaan sisa-sisa galian ke tepi laut. Teluk Tolo jadinya seperti kakus raksasa, menampung kotoran penambangan.
Di tengah laut, kapal-kapal berukuran raksasa melepas jangkar, menunggu setoran gundukan biji, yang dipindahkan dari tongkang-tongkang yang hilir mudik. Di tengah desa-desa, kendaraan-kendaraan roda empat lalu lalang di jalanan licin yang dibangun pemerintah dalam beberapa tahun terakhir. Pada jam-jam tertentu, kelas pekerja memenuhi jalanan dengan aneka merek kendaraan roda dua, ketika mereka pergi dan pulang kerja. Tempat-tempat kos bagi buruh bertarif antara 250 ribu hingga 450 ribu rupiah tumbuh subur. Pedagang-pedagang
SeputarRakyat
Edisi No. 05 2012
kecil penjual bahan kebutuhan pokok dan jasa foto copy, hingga cafe hadir di mana-mana. Bank Rakyat Indonesia (BRI) baru saja membuka sebuah kantor ranting. Sebuah Anjungan Tunai Mandiri (ATM) ditaruh di depan kantor bank pelat merah itu, membuat buruh dan warga berdiri berderet-deret, antri menarik uang tunai dari mesin ajaib itu. Kini, setelah menikmati listrik siang malam, dipasok oleh sebuah perusahaan tambang, rumah-rumah warga dijejali antena parabola, memungkinkan anak-anak fasih meniru goyang Gangnam Style yang lagi naik
3
LaporanUtama tidak termasuk ratusan pekerja yang bekerja untuk perusahaan-perusahaan kontraktor yang mengikat kontrak dengan PT BDM. Jumlah pekerjanya bakal meningkat banyak, mengingat PT Sulawesi Mining Investment (SMI), perusahaan patungan antara PT BDM dan Tsingshan Group, tengah membangun smelter untuk menghasilkan nikel yang sudah diolah di Morowali. Tidak terhitung perusahaan-perusahaan lain, PT Pinxiang, PT Tridaya Jaya, dan PT Sulawesi Resources, yang juga beroperasi di Kecamatan Bungku Timur dan Kecamatan Bahudopi. Jika PT Vale Indonesia dan lebih dari seratusan perusahaan-perusahaan pemegang IUP kelak beroperasi bisa dibayangkan betapa melimpah-ruahnya kelas pekerja di wilayah itu. Persentase Penduduk yang Bekerja di Sektor Pertambangan
Sulawesi Tengah Indonesia
Sumber: BPS
2010 2012 1,50 1,10
4,0
1,51
Para pekerja tambang di Morowali datang dari berbagai wilyah di seluruh Indonesia. Warga setempat juga berduyun-duyung bekerja di perusahaanperusahaan tambang, sebagai sopir, operator alat-alat berat, satuan pengaman, juru masak, dan aneka pekerjaan klerikal. Perusahaan-perusahaan tambang memang diwajibkan memprioritaskan warga setempat untuk dijadikan sebagai pekerja. Keharusan itu merupakan buah kesepakatan antara perusahaan-perusahaan dengan warga desa dan pemerintah sebagai bagian dari pemberdayaan terhadap warga setempat. Pemerintah-pemerintah desa mengeluarkan surat rekomendasi dan surat keterangan domilisi kepada calon pekerja sebagai salah satu syarat sebuah perusahaan dalam pengangkatan pekerja. Edisi No. 05 2012
Status para pekerja bermacammacam, tergantung setiap perusahaan. PT BDM, misalnya, mengangkat pekerja dengan status “buruh kontrak” dalam masa tiga tahun, kemudian dapat menjadi pekerja permanen. Berapa banyak pekerja berstatus “buruh kontrak” dan buruh tetap di perusahaan itu masih perlu ditelusuri. Tetapi, dari informasi sementara yang dikumpulkan dari Kecamatan Bungku Timur menunjukkan sebanyak 35 pekerja berstatus “buruh kontrak” dari 5 desa di kecamatan itu, dan tak ada berstatus pekerja tetap dari desa-desa di sana yang sedang bekerja di perusahaan itu. Beroperasi di Kecamatan Bahudopi, tentu para pekerja mayoritas berasal dari desa-desa di kecamatan itu. Sumber perusahaan menyebut ratusan pekerjanya berasal dari 9 desa di kecamatan itu, tetapi angka pasti belum jelas. Yang jelas, ratusan pekerja lain berdatangan dari luar kecamatan itu. Pemandangan para pekerja yang sedang bercengkerama, bermain kartu, atau bergitar sore hari di terasteras rumah kos yang dijejali jemuran pakaian dewasa dan popok bayi di sepanjang sisi jalan desa-desa di kecamatan itu merupakan indikasinya. PT BDM adalah satu, kalau bukan satu-satunya, perusahaan yang telah mengikuti program Jamsostek (jaminan sosial ketenagakerjaan) dan telah menerapkan standar minimum keselamatan kerja bagi para pekerjanya. Tetapi, itu dilakukan setelah aksi pemogokan ratusan pekerjanya, Mei 2012. Di perusahaan ini, para pekerja umumnya bekerja selama 7 jam setiap hari dengan kewajiban lembur 2 jam. Upah buruh lumayan baik. Seorang operator kendaraan berat rata-rata bisa membawa pulang lebih dari 6 juta rupiah setiap bulan. Sementara seorang sarjana strata satu universitas yang masih segar bekerja di bagian klerikal mengakui mengantongi 5,8
SeputarRakyat
Foto : Dokumen Jopi.
4
daun di televisi-televisi di seluruh penjuru planet. Semua itu karena biji: biji nikel laterite. Itulah cerita tentang Kecamatan Bahudopi dan Kecamatan Bungku Timur di Morowali, kabupaten yang dimekarkan dari Kabupaten Poso belasan tahun lalu. Beberapa tahun lalu, keadaan kedua kecamatan itu berbeda sama sekali. Bertani, melaut, dan mengumpulkan hasil hutan merupakan kegiatan-kegiatan utama para petani di sana, guna memenuhi kebutuhan hidup seharihari. Di malam hari, kampung-kampung gelap gulita, tanpa listrik. “Desadesa di sini adalah desa mati”, tutur seorang tokoh masyarakat, melukiskan keterbelakangan desa-desa di perbatasan Provinsi Sulawesi Tengah dengan Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Sulawesi Tenggara itu. “Pemilu (pemilihan umum) sudah datang silih berganti, tetapi janji tinggal janji, listrik tetap mati”, lanjutnya. Sebuah karikatur mengenai keterbelakangan masyarakat agraris tanpa perhatian dari regim pemerintahan elektoral yang datang dan pergi. Kehadiran industri pertambangan nikel di Kecamatan Bungku Timur dan Bahodopi Kabupaten Morowali merubah semuanya. Desa-desa, kini dipenuhi kelas pekerja tambang. Proses pembentukan tenaga kerja upahan sudah dan sedang terjadi di wilayah itu. Morowali, kini menjadi kabupaten dengan konsentrasi jumlah kelas pekerja terbesar sektor industri modern di Sulawesi Tengah, khususnya industri ekstraktif. Tak heran, di Sulawesi Tengah, persentase penduduk yang bekerja di sektor pertambangan melonjak hanya dalam beberapa tahun terakhir, dari 1,50 (2010) menjadi 4,0 (2012). Satu perusahaan saja. PT Bintang Delapan Mineral (BDM), yang memusatkan aktivitas di desa Fatufia, Kecamatan Bahudopi, mempekerjakan tidak kurang dari 2000 buruh,
LaporanUtama
Aksi May Day di Jakarta
juta rupiah setiap bulannya. Kebanyakan buruh di PT BDM memperoleh upah tidak kurang dari 2,5 juta setiap bulannya. Seorang pekerja perempuan, di tingkat ini, mengakui memiliki gaji pokok 1,4 juta. Dia juga menjadi peserta Jamsostek dan memperoleh aneka tunjangan seperti tunjangan keahlian dan jabatan. Setiap bulan dia membawa pulang sekitar 2,5 juta. Gaji sebanyak itu tentu belum bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Karena merupakan tulang punggung keluarga, dengan membiayai seorang adiknya yang masih bersekolah dan keluarganya. Dari total pendapatannya, dia menyisihkan 1,4 juta setiap bulan untuk cicilan motor, laptop 400 ribu, dan 300 ribu biaya pendidikan adiknya. Sisanya dipakai kebutuhan rumah tangganya. Dia masih membutuhkan waktu setahun lagi untuk mendapatkan status sebagai tenaga kerja tetap. Bekerja di perusahaan-perusahaan pertambangan menjadi impian banyak orang. Tetapi, tak mudah. “Lebih mudah masuk surga dari pada masuk (kerja) di PT Inco”, seloroh
seorang tokoh masyarakat tentang impian panjang warga di Bungku Timur dan Bahudopi untuk bekerja di perusahaan transnasional itu. Tak ada rotan, akarpun jadi. Kini, sebagian orang memilih bekerja di perusahaan-perusahaan kontraktor, dengan pendapatan lebih kecil tanpa jaminan kepastian kerja. Itulah yang dialami Muslimin, warga desa One pute jaya, yang bekerja sebagai kru operator pengboran di PT Buena, kontraktor dari PT Sulawesi Resource yang beroperasi di beberapa desa di Kecamatan Bungku Timur. Dia sebelumnya adalah pekerja bangunan. Setelah pindah ke perusahaan, sehari-hari dia berjalan mengikuti mobilisasi mesin bor, di titik posisi pengeboran. Dia hanya menerima upah sebesar 50.000 rupiah setiap hari tanpa tunjangan. Setiap bulan, dia menghabiskan 3 minggu untuk menunaikan tugasnya dan sisanya dimanfaatkan untuk berkumpul dengan keluarga di desa. Setelah enam bulan bekerja, dia memilih berhenti, kembali ke pekerjaannya semula, kuli bangunan. Bukan saja perusahaan-perusa-
SeputarRakyat
Edisi No. 05 2012
haan kontraktor. PT Tridaya, misalnya, mempekerjakan para buruh dengan kondisi kerja yang tidak aman. Seorang operator kendaraan berat menyatakan ia bebas menggunakan sendal jepit dan celana pendek ketika mengoperasikan kenderaan berat. Kendati setiap bulan bisa membawa pulang tidak kurang dari 6 juta rupiah, ia mengakui pekerjaannya jauh lebih berat dibanding pekerjaan sejenis di perusahan-perusahaan lain. Dia harus menghabiskan waktu lebih banyak untuk bekerja lembur agar mengumpulkan lebih banyak uang. Dia berencana untuk keluar dari perusahaan secepat mungkin jika ada peluang di perusahaan lain, dengan kondisi dan keselamatan kerja lebih baik. Ketika mengunjungi pelabuhan perusahaan itu di Desa Lele, Kecamatan Bahudopi, beberapa waktu lalu, terjadi pemogokan dilakukan oleh awak kapal yang menarik tongkang pengangkut biji nikel ke kapal yang melepas jangkar di lepas pantai. Seorang buruh menyatakan bahwa pemogokan dilakukan karena perusahaan belum membayar premi kepada awak kapal (Adi Putra).
5
LaporanUtama
LaporanUtama
Foto : Dokumen YTM
Tambang Datang, Petani Mengerang
Pertambangan Nikel di Morowali: Sekali keruk dua tiga gunung terlewati/YTM
I
6
zin Usaha Pertambangan (IUP) dan Kontrak Karya (KK), yang diterbitkan pemerintah, selalu merugikan petani. Kerap terjadi, tanah-tanah petani disulap menjadi areal pertambangan. Akibatnya, konflik pertanahan, antara pemegang IUP dan KK dengan petani atau petani yang telah menguasai tanah secara turun-temurun kerap terjadi. PT Inco Indonesia Tbk (sekarang PT Vale Indonesia Tbk, selanjutnya Vale) – memperoleh 40 tahun KK sejak tahun 1968, lantas diperpanjang hingga 28 Desember 2025 – adalah salah satu contoh. Di Sulawesi Tengah, satu dari tiga provinsi di Sulawesi, di mana perusahaan transnasional itu beroperasi, soal tanah muncul berlarutlarut. Mengantongi izin di tangan, Vale melakukan operasi di atas lahan petani di desa Bahumotefe dan desa One Pute Jaya di Kecamatan Bungku Timur,
Kabupaten Morowali. Ketika melakukan studi kelayakan dan eksplorasi di Bahomatefe, perusahaan melakukan pemboran sampel dan pembuatan jalan kendaraan berat di areal perkebunan jambu mete tanpa diskusi dengan petani. Sementara ratusan kepala keluarga petani transmigrasi asal Jawa, Bali, dan Lombok yang sudah menempati perkampungan mereka di One Pute Jaya semenjak 1991 juga menghadapi masalah. Soalnya, Vale mengklaim lokasi transmigrasi itu sebagai areal konsesinya. Terjadi tumpang tindih lahan transmigrasi dengan areal KK Vale. Dirudung ketidak-pastian, para petani tidak mengolah lahan usaha II. Apalagi pemerintah belum menerbitkan sertifikat lahan itu. Sejak menjadi desa definitif pada tahun 1997, mestinya sertifikat tanah itu sudah diserahkan kepada para petani. LazEdisi No. 05 2012
im, setiap penyerahan Unit Pelaksana Teknis (UPT) kepada pemerintah daerah, pemerintah juga menyerahkan sertifikat tanah langsung kepada warga. Dulu beredar kabar, sertifikat itu sudah diterbitkan dan disimpan di Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Poso. Pemerintah mengurungkan niat menyerahkan sertifikat setelah muncul soal tumpang tindih areal pertambangan Vale dengan pemukiman transmigrasi. Jalan keluarnya, pemerintah hendak memindahkan para petani dengan biaya dari Vale. Tahun 1998, Vale bekerja sama dengan Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah merelokasi warga One pute jaya ke Saembawalati Kabupaten Poso. Sebagian kecil petani, 46 KK, menuruti. Tetapi, relokasi tanpa ganti rugi lahan itu ditentang keras mayoritas petani. Aksi-aksi protes pun berlangsung berulang. Desakan dan bujukan pemerintah untuk memindahkan petani terus berlangsung. Pada pertemuan 17 Mei 1999 dengan pemerintah, warga menyatakan kesediaan pindah. Syaratnya, setiap kepala keluarga memperoleh ganti rugi lahan senilai 40 juta rupiah. Mereka juga meminta pemerintah menyediakan lahan pertanian (sawah) yang sudah siap olah. Alasannya, mereka meninggalkan lahan persawahan yang sudah berulang panen. Tetapi, pemerintah tidak meladeni tawaran petani. Masalah rencana relokasi kemudian tenggelam. Berlarut tanpa kejelasan, sebagian petani One Pute Jaya menjual tanah dengan harga murah. Mereka memilih kembali ke daerah asal, Jawa, Bali, dan NTB. Sebagian lain memilih pindah ke Kendari (Sulawesi Tenggara), Tolai (Kabupaten Parigi-Moutong), dan Luwu di Sulawesi Selatan. Badaruddin, misalnya, petani asal Jawa Timur, menjual lahannya seluas dua hektar
SeputarRakyat
– pekarangan rumah dan lahan pertanian – seharga 4 juta rupiah. Dia memilih pulang ke Banyuwangi tahun 2004. Lain dengan Darto, petani asal Jawa Tengah ini, memilih pergi ke Kendari, setelah menjual lahannya seluas dua hektar dengan harga dua juta rupiah tahun 1999. Cerita berbeda terjadi dengan Boiman. Petani asal Banyuwangi ini merantau ke Tolai, salah satu daerah transmigrasi paling sukses di Sulawesi Tengah. Di lokasi transmigrasi di Kabupaten Parigi Moutong itu, Boiman menjadi buruh tani, tanpa menjual lahannya di One Pute jaya. Menghadapi rencana relokasi, para petani One Pute Jaya membentuk Tim 7, terdiri dari tujuh wakil petani. Tim memiliki mandat mewakili seluruh petani untuk berdialog dengan fihak lain, terutama pemerintah dan perusahaan. Salah satu tugas tim adalah mendesak pemerintah menyerahkan sertifikat tanah milik petani. Tim juga selalu mengorganisir para petani melakukan aksi protes. Hasilnya, tahun 2007, semua warga di unit 1 di desa itu menerima sertifikat, sementar warga di Unit II memperoleh Surat Keterangan Pemilikan Tanah (SKPT). Para petani lantas lebih sering melakukan aksi protes massa. 10 Februari 2009, lebih dari 100 petani One Pute Jaya melakukan aksi penyegelan kantor perwakilan Vale di Desa Lele. Mereka mendesak perusahaan agar membayar ganti rugi sebesar 150 juta perhektar untuk lahan II, jika Vale ingin beroperasi. Dua hari kemudian, 12 Februari 2009, para petani kembali melakukan demonstrasi di kantor Bupati Morowali. Sekitar 200 petani mendesak Pemda Morowali untuk melakukan moratorium terhadap Vale hingga tuntutan ganti rugi lahan terpenuhi. Protes juga meluas. Setahun kemudian, Himpunan Mahasiswa Peduli Tambang dan warga 13 desa – Gereasa, Kolono, Ulelere, Bahomoahi, Bahomotefe, One Pute Jaya, Lele, Dampala, Siumbatu, Lalampu, Bahudopi,
Keurea, dan Bahomakmur – di mana wilayah KK Vale berada melakukan protes bersama. Bergabung dalam Gerakan Rakyat Lingkar Tambang (Gerlita), dengan jumlah massa aksi sekitar 600 orang, mereka melakukan aksi di kantor Bupati Morowali, 9 Februari 2010. Para demonstran mendesak Vale segera melakukan aktivitas di atas lahan seluas 36,635.36 hektar di Morowali. Jika tidak, Pemda Morowali harus meninjau kembali KK Vale, karena dinilai telah merugikan rakyat di Morowali. Dirudung ketidak-pastian, para petani kembali melakukan aksi, 6 Februari 2012, di base camp Vale di kilometer 9, Desa One Pute Jaya. Tidak kurang dari 300 peserta aksi, tergabung dalam Aliansi Rakyat Menggugat (Alaram), membakar base camp, mess pekerja dan lima unit mobil. Para demonstran menuntut Vale angkat kaki dari sana. Mereka kecewa, karena perusahaan tidak pernah menaggapi tuntutan-tuntutan para petani. Perkembangan lain berlangsung cepat. Di tengah ramainya kegiatan penambangan berbasis izin usaha pertambangan, para petani di 13 desa yang masuk ke wilayah KK Vale merelakan wilayah mereka menjadi areal pertambangan, jika ada perusahaan-perusahaan lain bersedia mengganti rugi lahan. Mereka menganggap Vale tidak lagi berhak mengklaim lahan konsesinya, karena perusahaan telah diberi kesempatan mengganti rugi lahan yang dikalim sebagai KK. Di One Pute Jaya dan Bahumotefe, para petani kemudian melepaskan lahanlahan pertaniannya perusahaan-perusahaan itu. Vale sendiri sebenarnya tidak tinggal diam tentang rencana aktivitas pertambangan di Morowali. Dalam laporan tahunannya, perusahaan telah mengisyaratkan tentang hal ini. Bahkan, Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) mengenai pembangunan pabrik atau preparasi biji nikel di Blok Bahodopi Kabupaten Morowali sudah dalam tahap pembahasan akhir. Pem-
SeputarRakyat
Edisi No. 05 2012
bahasan telah dilakukan di Palu 21 November 2012, dihadiri Komisi Penilai AMDAL, Pemda Sulawesi Tengah, Perwakilan masyarakat lingkar tambang di Morowali dan Vale. Rencana pembangunan pabrik merupakan pengembangan dari pabrik di Soroako. Dengan nilai investasi 18 triliun rupiah, pabrik di Bahodopi merupakan pabrik stasiun penyaringan dan stasiun pengeringan.
**** Lain perusahaan, lain cerita. CV Tridaya Jaya (sekarang PT Tridaya Jaya) adalah perusahaan tambang nikel yang mengantongi IUP Eksplorasi SK.540.2/SK.013/ESDM/VIII/2010 dan IUP Operasi Produksi SK.540.3/ SK.003/DESDM/II/2012. Perusahaan melakukan aktivitas pertambangan di Kecamatan Bahodopi dan Kecamatan Bungku Timur, Kabupaten Morowali. Desa-desa yang wilayahnya merupakan bagian dari dari kegiatan penambangan perusahaan meliputi Desa Lele, Desa Dampala (Kecamatan Bahodopi), Desa Bahomatefe dan One Pute Jaya (Kecamatan Bungku Timur). Di Desa One Pute Jaya, kesibukan kendaraan operasional lapangan perusahaan menebarkan debu dan merusak jalan. Petani-petani One Pute Jaya melakukan protes, meminta perusahaan segera memperbaiki kerusakan jalan. Namun, perusahaan tidak merespon tuntutan warga One Pute Jaya. Sementara aktivitas pertambangan Tridaya di Desa Lele ternyata lebih dekat ke persawahan petani-petani Desa One Pute Jaya, sekitar satu 1 kilometer. Desa Lele hanya menjadi lintasan jalan houling menuju pelabuhan penampungan material biji nikel. Areal penambangan yang dekat sangat meresahkan warga petani di Desa One Pute Jaya. Pasalnya, jika hujan datang, air sungai yang merupakan sumber air persawahan petani Desa One Pute Jaya berubah warna. Sekitar tujuh hektar sawah yang berada di daerah aliran sungai tergenangi lumpur kemerah-
7
AksiMassa
LaporanUtama
Aksi-Aksi Buruh Tambang Nikel Foto : Dokumen FPR.
Foto : Dokumen YTM.
PT CMPP : Mengangkut Ore, Menggusur Petani Aksi Buruh Menuntut Upah Layak
8
merahan. Tak pelak lagi, produktivitas pertanian petani Desa One pute jaya merosot. Pengalaman buruk dialami Koseman, petani di Desa One Pute Jaya. Pertengahan Juni 2012, sawahnya seluas 0,75 hektar yang setiap musim panen biasanya menghasilkan sekitar 50 karung padi kering, hanya bisa menghasilkan sekitar 30 karung. Penyebabnya, sebagian besar areal sawahnya terendam lumpur. Cerita serupa dialami July Setiawan. Sawahnya terendam lumpur ketika musim tanam. Kejadian seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya, meskipun hujan mengguyur berhari-hari. Setelah aktivitas penambangan yang dilakukan Tridaya, sungai, yang selama ini merupakan sumber irigasi, mulai tercemari. Perusahaan tidak mau tahu dengan keadaan yang menimpa petani di One Pute Jaya. Padahal, fihak pemerintah desa One Pute Jaya telah meminta Tridaya bertanggung jawab, karena operasi perusahaan telah merusak la-
han pertanian. Fihak perusahaan tidak memberi ganti rugi atau kompensasi kepada warga yang terkenai dampak tersebut. Tridaya mempunyai pelabuhan penampung material biji nikel di perbatasan antara Desa Bahomatefe dan Desa Lele. Sebelum mempunyai pelabuhan itu, perusahaan menggunakan pelabuhan tradisional di Bahomatefe yang dulunya digunakan para nelayan. Ada kesepakatan dengan warga bahwa perusahaan akan memperbaiki pelabuhan yang berusia puluhan tahun tersebut. Namun perusahaan tidak pernah menepati janjinya. Melihat ulah perusahaan yang merugikan, sekitar 130 warga yang tergabung dalam Forum Rakyat Menggugat (FORMAT) melakukan aksi di kantor Perwakilan Tridaya Raya di desa Bahomatefe pada pertengahan Juni 2012. Mereka mendesak perusahaan untuk merealisasikan pemberdayaan masyarakat lokal dengan mengangkat tenaga kerja dari petani lokal serta bantuan-bantuan pemberEdisi No. 05 2012
dayaan di bidang pertanian, pendidikan dan kesehatan. Para petani juga menuntut agar perusahaan segera mengatasi dampak pengrusakan lahan, pertanian, pengrusakan jalan, dan debu yang ditimbulkan dari aktivitas pertambangan. Menghadapi tekanan-tekanan petani, akhir Juni 2012, berlangsung rapat di desa Bahomoahi Kecamatan Bungku Timur antara petani dengan perusahaan. Akhirnya, muncul kesepakatan, Tridaya bersedia merekrut tenaga kerja lokal dari desa One Pute Jaya, Lele, Dampala dan Bahomatefe. Perusahaan juga menyiapkan kontrak kerja dengan para pekerja sesuai dengan ketentuan ketenagakerjaan. Perusahaan juga bertanggungjawab atas pengrusakan lahan persawahan petani One pute Jaya. Perusahaan juga berjanji menanggulangi masalah pencemaran dan kerusakan lingkungan yang sudah terjadi akibat aktivitas penambangan, termasuk melakukan normalisasi aliran sungai. (Laporan: Adi Putra)
SeputarRakyat
K
etidakpuasan kerap meluas di tengah kesibukan investasi pertambangan di Morowali. Lantas muncul aksi protes massa, dengan aneka tuntutan: dari soal perburuhan hingga keuntungan dan manfaat pertambangan nikel di kabupaten itu. Eksploitasi terhadap kelas pekerja merupakan salah satu isyu utama. Sekitar 400 pekerja PT Bintang Delapan Mineral (BDM) yang tergabung dalam Serikat Pekerja Lingkar Tambang (SPLT), awal Mei 2012, melakukan aksi protes di kantor manajemen perusahaan di Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali. Dari aksi yang disertai pemogokan itu, para pekerja mengajukan aneka tuntutan, di antaranya, meminta perusahaan segera menghentikan praktik pemotongan gaji sepihak yang selama ini mereka alami. Mereka juga mendesak perusahaan membayarkan upah lembur dan jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek), sesuai aturan pemerintah. Sebelumnya, dalam melakukan pemo-
tongan Jamsosek tidak melalui pemberitahuan, tiba-tiba gaji pekerja dipotong sebesar 200 ribu sampai 300 ribu rupiah perbulan. Berbarengan dengan aksi pekerja tersebut, manajemen BDM berencana melakukan pengurangan karyawan terkait munculnya Peraturan Menteri ESDM No 7 Tahun 2012. Permen tersebut melarang ekspor bahan tambang mentah. Disebutkan bahwa setiap jenis komoditas tambang mineral logam harus diolah dan dimurnikan sesuai dengan batasan minimum pengolahan dan pemurniannya sebelum dieskpor ke luar negeri. Selama ini, BDM merupakan salah satu perusahaan yang telah melakukan ekspor biji nikel ke China secara besar-besaran. Terbitnya Permen Nomor 7 tahun 2012 telah memicu perusahaan berancang-ancang untuk melakukan pengurangan pekerjanya. Alasannya, perusahaan tidak bisa lagi melakukan aktivitas penambangan seperti biasanya. Rencana BDM telah memicu ke-
SeputarRakyat
Edisi No. 05 2012
resahan meluas di kalangan pekerja. Bukan hanya pekerja BDM, tetapi keresahaan juga terjadi di antara para pekerja perusahaan-perusahaan lain. Sehingga, 1000 buruh tambang yang tergabung dalam Solidaritas Para Pekerja Tambang Nasional (Spartan) Morowali, tanggal 05 Juni 2012, melakukan aksi protes di Palu. Mereka menuntut perhatian pemerintah terhadap ancaman PHK Massal yang dialami pekerja tambang akibat munculnya Permen tersebut. Aksi itu didukung luas warga lain di lingkar tambang di Kabupaten Morowali. “Selama ini perusahaan-perusahaan tambang di Bahodopi sudah cukup memberikan kesempatan kerja bagi warga yang berada di lingkar tambang. Meskipun perusahaan-perusahaan tersebut hanya bermodal Izin Usaha Pertambangan�, tutur Burhan, seorang tokoh masyarakat di desa Dampala (Laporan: Adi Putra),
9
LaporanUtama
LaporanUtama
Foto : Dokumen YTM
Penyingkiran Petani Melalui Ganti Rugi
Ganti Rugi Lahan di One Pute Jaya
P
erampasan tanah-tanah pertani dengan menggunakan kekerasan bersenjata, demi industri keruk, sudah jamak. Di Balaesang Tanjung, Kabupaten Donggala, Juli 2012, aparat bersenjata menembak mati seorang petani setempat dalam kasus sengketa lahan pertanian dan pertambangan dengan PT Cahaya Manunggal Abadi. Sebelumnya, Agustus 2011, di Tiaka, Kabupaten Morowali, aparat bersenjata menembak warga setempat yang berunjuk rasa karena dampak yang ditimbulkan kegiatan eksploitasi minyak terhadap nelayan setempat. Dua pemrotes meninggal dunia dan enam lainnya luka-luka. Tidak semua perampasan tanah petani berlangsung melalui kekerasan. Ganti rugi adalah salah satu modus cara-cara sukarela. Gelombang investasi pertambangan nikel di Morowali beberapa tahun terakhir telah diikuti dengan praktik-praktik ganti rugi lahan yang meluas. Itu yang sekarang terjadi di di desa Bahomatefe dan desa One Pute Jaya Kecamatan Bungku Timur. Adalah PT Vale Indonesia, dulu PT Inco Indonesia, berusaha mendapatkan lahan-lahan petani sejak belasan tahun lalu. Alas hukumnya,
10
perusahaan berhak atas tanah-tanah itu, sesuai Kontrak Karya (KK) dengan pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1968. Para petani melawan. Di Bahumotefe, mereka mengklaim hak-hak tradisional atas tanah-tanah pertanian itu. Di desa tetangganya, One Pute Jaya, para petani mengklaim tanah-tanah itu, karena di bawah program transmigrasi, pemerintah menempatkan mereka di sana, sejak tahun 1991. Sengketa tak bisa dihindari, Vale tak bisa ekspansi, nasib petani serba tak pasti, kendati aneka solusi sudah dicari. Tahun 1999, menghadapai desakan pemerintah dan perusahaan, para petani menuntut Vale mengganti rugi lahan usaha II mereka sebesar 40 juta rupiah perhektar. Tak ada sambutan. Lahan II, seluas satu hektar, milik setiap kepala keluarga petani pada umumnya kosong melompong, karena sejak muncul masalah lahan dengan Vale, sejak pertengahan 1990an pemerintah melarang para petani menanam tanaman keras. Alasannya, perusahaan akan beroperasi di sana. Mayoritas petani mengikuti larangan itu. Akibatnya, belasan tahun, para petani kehilangan kesempatan memEdisi No. 05 2012
peroleh pendapatan dari tanaman keras sejak larangan itu. Kini, harga tanah jatuh, karena tak ada tanaman di dalamnya. Berada di bawah tekanan bertubitubi dari pemerintah dan perusahaan untuk melepas lahan, di tahun 2004, para petani meminta pembayaran tinggi, 150 juta rupiah perhektar. Klaim lahan oleh Vale merupakan alasan utama warga melepaskan lahan pertanian mereka, kendati dengan harga rendah. “Dari pada kemungkinan lahan pertanian dirampas, lebih baik melepaskannya melalui ganti rugi�, tutur seorang petani. Bertahuntahun, rencana investasi Vale dan isyu ganti-rugi seperti hanyut ditelan bumi. Tak ada PT Vale, yang lain pun jadi. Sejak pemerintah daerah kabupaten Morowali menerbitkan ratusan izin usaha pertambangan (IUP), perusahaan-perusahaan tambang nikel berlomba mencari jalan, untuk mengeksploitasi nikel di areal yang dikuasai PT Vale, termasuk di Bahumotefe dan One Pute Jaya. Berbarengan dengan mobilisasi besar-besaran kendaraankendaraan berat yang tidak pernah muncul dalam kehidupan petani di Morowali, perusahaan-perusahaan menghampiri para petani di kedua desa untuk merelakan lahan-lahan pertanian mereka dikonversi menjadi areal eksploitasi tambang nikel. Di One Pute Jaya, berbasis pengalaman panjang menentang relokasi karena rencana investasi PT Vale, para petani membentuk Tim 7, terdiri dari wakil-wakil di antara mereka, untuk memajukan kepentingan para transmigran asal Jawa, Bali, dan Lombok itu dalam menghadapi ancaman kegiatan pertambangan. 19 Maret 2011, PT Pan China International (PCI) mengundang tim ini ke Jakarta. Tujuannya, sosialisasi terkait rencana ganti rugi lahan usaha II milik petani. PCI adalah perusahaan tambang asal Cina yang
SeputarRakyat
bekerja sama dengan PT Vale untuk membangun pabrik feronikel di Blok Bahodopi, Morowali, Sulawesi Tengah. Menurut Nurmukmin, seorang anggota Tim 7, hasil pertemuan sosialiasi itu, PCI bersedia mengganti rugi lahan usaha II para petani One Pute Jaya seluas 501 hektar. Setiap hektar tanah dihargai 35 juta rupiah. Perusahaan mematok harga itu, dengan alasan harga jual beli tanah di One pute jaya belum pernah mencapai angka sebesar itu. Rencananya, PCI akan membayar dalam dua tahap, masing 20 juta rupiah pada tahap pertama dan 15 juta rupiah pada tahap kedua. Tawaran tersebut tidak segera diterima oleh Tim 7. Alasannya, mereka harus melakukan konsultasi terlebih dahulu dengan seluruh warga One Pute Jaya. Ketika dilakukan pertemuan dengan seluruh warga di Balai Desa One Pute Jaya, 28 April 2011, mereka menolak skema pembayaran seperti itu. Para petani minta PCI membayar kontan sekali bayar, 35 juta rupiah. Lain di One Pute Jaya, lain di Bahumotefe. PCI bergerak cepat melakukan pembebasan lahan seluas 45 hektar melalui ganti rugi di desa itu. Lahanlahan itu adalah lahan perkebunan jambu mete milik petani Bahomatefe. Perusahaan membayar 35 juta rupiah perhektar, termasuk tanaman-tanaman di dalamnya, seperti sagu, jambu mete, kelapa dan kopi. Sebulan kemudian, 7 Mei 2011, mitra perusahaan PT General Sumber Mining Indonesia (GSMI Group), yaitu, PT. Cipta Mandiri Putra Perkasa (CMPP) mendatangi warga One Pute Jaya, yang bersedia menjual lahan usaha II yang selama ini dikuasai PT Vale Indonesia. Dalam pertemuan dengan warga, perusahaan menyatakan kesediaan mengganti rugi lahan usaha II. CMPP bersedia membayar tanah dengan harga 3500 rupiah permeter atau 35 juta rupiah perhektar. Perusahaan bahkan menjanjikan pembayaran royalti langsung kepada petani senilai 500 rupiah permetrik ton biji nikel untuk setiap pengapalan
dan memprioritaskan tenaga kerja setempat. Para petani menyambut baik dan meminta perusahaan membayar 35 juta rupiah secara kontan. CMPP sendiri adalah perusahaan swasta nasional yang mendapatkan IUP operasi produksi dari Bupati Morowali dengan SK 540. 3/SK.007/DESDM/ II/2012, 23 Februari tahun 2012. Luas IUP CMPP seluas 199, 8 hektar terletak di One Pute Jaya dan Bahomatefe Kecamatan Bungku Timur. Ganti rugi diberikan kepada lebih dari 500 KK dan setiap KK memperoleh 35 juta. Angka sebanyak itu diberikan kepada sekitar 284 KK pemilik hak tanah yang saat ini bermukim di One Pute Jaya. Jumlah yang sama juga diberikan kepada para petani pemilik hak yang telah meninggalkan One Pute Jaya tetapi telah mengalihkan haknya kepada petani lain melalui jual beli. Sisanya diserahkan kepada 35 KK ex transmigran yang sudah pindah ke Saembawalati tahun 1990an, karena program pemindahan oleh pemerintah. Sesuai kesepakatan, ex transmigran yang sudah pindah ke Saembawalati hanya memperoleh 20 juta, sementara 15 juta diberikan kepada pecahan keluarga di One Pute
Jaya. Ganti rugi lahan petani kini terus berlangsung. Baru-baru ini, CMPP melakukannya untuk pembuatan jalan hauling atau jalan pengangkut hasil material tambang (ore). Kini, ganti rugi mengalami kenaikan harga menjadi 15.000 rupiah permeter, karena lahan yang dibebaskan adalah areal persawahan dan perkebunan petani. Perusahaan juga mengganti rugi tanaman yang berada dalam lahan yang dibebaskan, dengan harga tertentu (lihat tabel). Dikabarkan, di Bahumotefe, ada warga memperoleh ganti rugi lahan pertaniannya hingga hampir mendekati 1 miliar rupiah. Kini, rata-rata petani One Pute Jaya hanya memiliki lahan seluas 1 hektar (0, 20 hektar untuk rumah dan 0,75 hektar untuk lahan usaha I). Tidak tertutup kemungkinan, praktik ganti rugi akan terus berjalan menyusul derasnya arus investasi pertambangan di wilayah itu. Ganti rugi menjadi mesin baru penyingkiran petani dari lahanlahan pertanian. Cara-cara represi tak mungkin dilakukan untuk mengusir para petani dari tanah-tanah mereka. Resikonya besar, sengketa berdarahdarah (Laporan: Adi Putra).
Daftar Penawaran Harga Ganti Rugi Tanaman (dalam rupiah) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Coklat Kelapa Pala Sagu Mangga Nangka Cengkeh Jambu mete Kopi Langsat Kedondong Rambutan Jati
Pohon Pohon Pohon Rumpun Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon
Sumber : Data Primer (2012) Keterangan : TBM : Tanaman Belum Menghasilkan TM : Tanaman Menghasilkan
SeputarRakyat
Edisi No. 05 2012
TBM 50.000 60.000 40.000 100.000 40.000 30.000 50.000 37.500 40.000 25.000 18.000 30.000 55.000
TM 250.000 350.000 125.000 250.000 150.000 90.000 350.000 140.000 125.000 100.000 70.000 120.000 300.000
11
LaporanUtama
Foto : Dokumen YTM
LaporanUtama
Tumpukan Ore: Berlayar jauh ke negeri China
Eksporlah Biji Nikel sampai ke Negeri China
P
enduduk dan rumah ada di mana-mana, dan tanah pada umumnya ditanami dan dibudidaya, tulis Robert Padtbrugge, Gubernur VOC di Ternate (1677-1682), dalam sebuah catatan hariannya ketika melakukan perjalanan sepanjang pesisir pantai yang dihuni orang (To) Bungku, kini bagian dari Kabupaten Morowali, di tahun 1678. VOC pada tahun itu menyebut jumlah penduduk To Bungku sekitar 43.000, terhitung besar untuk ukuran saat itu. Catatan Padtbrugge juga memberi indikasi mengenai kegiatan pertambangan yang sudah berlangsung berabad-abad di Morowali. Dia menggambarkan pegunungan di belakang To Bungku kaya dengan biji nikel dengan kandungan besi yang besar. Banyak ahli, di antaranya sejarawan Anthony Reid, telah menulis bahwa berabad-abad lamanya, daerah itu merupakan sumber penyuplai peralatan-peralatan dan senjata-senjata yang terbuat dari besi, bukan saja untuk kebutuhan daerah-daerah lain di
12
Sulawesi, tetapi juga hingga ke Maluku dan Jawa. Dalam sebuah artikelnya di Archipel (43: 27-55) “The Northern Trade Route to the Spice Islands; South China Sea-Sulu Zone-North Moluccas (14th to early 16th century), Roderick Ptak (1992) menyebut Kerajaan Banggai mengontrol hampir semua perdagangan biji besi di wilayah itu seperti disebutkan oleh sumber-sumber China pada awal abad 14. Cerita sejenis juga tertulis dalam Nagarakartagama, karya Mpu Tantular. Kisah mengenai kekayaan nikel dan perdagangan tentangnya beberapa abad lalu itu, kini hadir kembali. Bedanya, dulu biji nikel diproduksi untuk kebutuhan di kepulauan nusantara, dalam masyarakat-masyarakat prakapitalis. Kini produksi nikel Morowali berhubungan dengan geliat kapitalisme global. China, negeri yang tengah melakukan industrialisasi besar-besaran berbasis penghisapan tenaga kerja murah, memerlukan pasokan bahan baku yang besar dan teratur. Negeri itu dikenal menghasilkan Edisi No. 05 2012
nickel pig iron (NPI), yakni, ferronickel berkadar rendah. Produksi NPI relatif lebih murah dibanding produksi nikel murni. Diketahui, biji nikel yang diperlukan untuk menghasilkan NPI adalah biji laterite dengan kandungan nikel antara 1,0 hingga 2,0 persen. Indonesia memiliki biji laterite dengan kandungan nikel yang tinggi, 1,6 persen. Kendati Filipina memiliki biji laterite dengan kandungan nikel lebih rendah dari Indonesia, tetapi kedua negeri merupakan pemasok utama biji itu ke negeri China dalam beberapa tahun terakhir. Walaupun isi perut buminya tidak mengandung secuil biji nikel, China, saat ini, adalah negeri penghasil nikel yang sudah dimurnikan terbesar di permukaan planet ini. Laporan International Nickel Study Group (2012) menyebut China mengimpor biji nikel laterite masih dalam jumlah yang kecil di tahun 2005. Impor nikel negeri itu tumbuh cepat melebihi satu juta ton terjadi pada tahun 2007, lantas melampaui dua juta ton pada tahun 2010, dan melompat lebih dari empat juta ton pada tahun 2011. Data resmi pemerintah China menyebut nilai impor biji nikel laterite ke negeri itu mencapai USD 4,9 milyar di tahun 2011. Khusus Januari dan Februari 2012, impor biji nikel juga mengalami peningkatan sebesar 75,7 persen dibanding bulan yang sama tahun sebelumnya. Nilai impor dalam kedua bulan tersebut mencapai USD 604,2 juta. Penyebab melonjak impor nikel di awal 2012 di negeri itu terutama dipicu perlombaan ekspor biji nikel laterite dari Indonesia sebelum berlaku kebijakan pemerintah Indonesia yang melarang ekspor biji yang tidak diproses terlebih dahulu. Indonesia mulai menjadi pemasok biji nikel ke China sejak tahun 2007 dan bersama-sama dengan Philipina merupakan negara pengirim utama biji nikel laterite ke negeri tirai bambu itu. Seperti dilaporkan Macquarie Securities, Indonesia memasok 55 persen, atau lebih dari 2 juta ton, dari total impor biji nikel laterite Chi-
SeputarRakyat
na di tahun 2011. Lantas, dari mana sumber utama lebih 2 juta ton ekspor biji nikel laterite asal Indonesia ke China? Tak salah lagi, Sulawesi Tengah. Tahun 2011, data resmi Badan Pusat Statistik menyebut produksi biji nikel laterite di Sulawesi Tengah mencapai 1,1 juta metrik ton. Sialnya, angka produksi tidak selalu sama dengan jumlah angka ekspor. Di tahun yang sama, misalnya, Dinas Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah Perindustrian dan Perdagangan Sulawesi Tengah menunjuk volume ekspor biji nikel Sulawesi Tengah mencapai 1,5 juta ton. Ada selisih sekitar 0,4 juta ton. Angka sebenarnya bisa saja lebih tinggi, karena buruknya pengawasan pemerintah daerah terhadap rencana kerja dan anggaran belanja (RKAB) perusahaan-perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP). Padahal, dengan adanya RKAB, data yang pasti mengenai jumlah produksi dan ekspor bisa diperoleh. Mengingat sampai saat ini, tidak ada kegiatan industri pengolahan biji nikel laterite di Sulawesi Tengah, maka bisa dipastikan bahwa semua hasil penambangan biji nikel laterite di daerah ini diekspor ke luar negeri. Tujuan ekspor hanya satu negeri, China. Artinya, lebih 50 persen dari ekspor biji nikel laterite Indonesia ke China pada tahun 2011 berasal dari Sulawesi Tengah. Tak salah lagi, sebagai kabupaten terbesar dalam industri pertambangan nikel di Sulawesi Tengah, Morowali adalah sumber utama ekspor biji nikel laterite ke negeri itu.
sumber eskpor nikel yang sudah diproses ke negeri China. Tahun 2014, jika tidak ada halangan melintang, NPI akan dikirim ke China dari daerah itu. Pasalnya, investasi asing langsung China di daerah itu sudah dimulai. Tsingshan Grup, sebuah raksasa bisnis dari daratan China, tahun 2009 lalu, telah membentuk PT Sulawesi Mining Investment (SMI), berkongsi dengan PT Bintang Delapan Mineral. PT SMI telah menggelontorkan fulus sebanyak USD 320 juta untuk membangun smelter di Morowali. Proyek tahap pertama itu diharapkan dapat menghasilkan 300.000 ton NPI. Dalam rencana proyek tahap kedua kelak, dengan tambahan nilai investasi USD 640 juta, perusahaan berharap dapat menghasilkan NPI 500.000 ton. Direncanakan, smelter itu, dalam jangka panjang, juga menghasilkan baja anti karat. Morowali sebagai sumber utama ekspor biji nikel telah memicu pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah. Salah satu indikator makronya bisa dilihat dari sumbangan sektor pertambangan terhadap pertumbuhan PDRB provinsi ini. Tahun 2007, ketika belum ada aktivitas pertambangan nikel di manapun di Sulawesi Tengah, sektor ini hanya menyumbang 3,30 persen dari total PDRB Sulawesi Tengah berdasarkan harga konstan tahun 2000. Sumbangannya kemudian meningkat tajam menjadi 5,71 persen pada tahun
2011, setelah merajalelanya aktivitas eksploitasi nikel. Catatan BPS menyebut, dari Januari hingga Oktober 2011, nilai ekspor biji nikel Sulawesi Tengah mencapai USD 135,90 juta. Angka ini setara 1,2 trilyun Indonesia rupiah (IDR), jika kurs USD 1 sama dengan IDR 9000. Nilai ekspor itu sekitar 47 persen dari total ekspor daerah ini dalam tahun yang sama, yakni sekitar USD 281 juta. Nilai ekspor biji nikel itu melebihi Pendapatan Daerah Sulawesi Tengah tahun 2011, yakni, IDR 1,1 trilyun. Awal Februari 2012, ketika pemerintah Indonesia mengeluarkan Keputusan Menteri Nomor 7 tahun 2012 mengenai kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral dalam negeri selambatnya Januari 2014 menyebabkan merosotnya produksi biji nikel. Larangan itu mengakibatkan sub sektor pertambangan bukan migas mengalami konstraksi, dengan pertumbuhan minus 39% pada triwulan I tahun 2012, seperti dilaporkan Bank Indonesia. Tetapi, itu tidak berlangsung lama, hanya sesaat. Pertengahan Mei 2012, ketika terbit Permen Nomor 11/2012, keadaan berbalik. Kesibukan ekspor biji nikel kembali ramai. Angka resmi ekspor pada tahun 2012 dari provinsi ini bahkan melompat setinggi langit, hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya, mendekati 3 juta ton (Redaksi/Muhammad Alala).
Produksi Pemurnian Nikel Dunia (000 ton) 2011
Volume (ton) Ekspor Biji Nikel Sulawesi Tengah Tahun 2011 2012
Volume
1.534.820 2.927.374
Sumber: Dinas Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah Perindustrian dan Perdagangan Sulawesi Tengah (2012).
Bukan hanya ekspor biji nikel yang diolah, Morowali akan menjadi
Sumber: INSG (2012)
SeputarRakyat
Edisi No. 05 2012
13
LaporanUtama
LaporanUtama latan, khususnya sekitar Danau Matano dan Danau Towuti.
Hanya Vale Dan Tuhan Yang Tahu Foto : Dokumen YTM
Luas Kontrak Karya PT. Vale Indonesia di Sulawesi (dalam hektar)
Provinsi Nama Konsesi Sulawesi Kolonodale Tengah Bahudopi Sulawesi SorowakoSelatan Towuti Matano Bulubalang Lingke Sulawesi Latao Tenggara Matarape Pomalaa Suasua Total
Luas 4.512, 35 32.123, 01 108.377,25 6.176,48 2.249,33 1.584,39 3.148,11 1.679,87 20.286,19 10.372,68 190.509,66
PLTA Karebbe
S
ejarah pertambangan nikel dunia memasuki cerita baru. Tahun 2006, Vale – Companhia Vale do Rio Doce (CVRD) asal Brazil – mengakuisisi Inco Limited di Kanada dengan nilai lebih dari USD 17 billion. Akuisisi ini tercatat sebagai salah satu peristiwa merger dan akuisisi terbesar dunia dalam inudustri pertambangan di tahun itu. Nilai itu hanya kalah sedikit dari akuisisi salah satu raksasa perusahaan nikel dunia asal Kanada lainnya, yakni, Falconbridge oleh Xstrata, asal Swiss. Vale, CVRD, sendiri tadinya adalah perusahaan milik negara dan kemudian diswastakan (privatisasi) di mana saham pemerintah Brazil pada tahun 2005 hanya tersisa 12 persen. Kini, Vale terhitung sebagai satu dari tiga perusahaan pertambangan terbesar dunia selain BHP Billiton dan Rio Tinto. Menyusul peristiwa akuisisi itu,
14
Inco Limited – saat itu merupakan produser nikel nomor dua terbesar di dunia – kemudian berubah nama menjadi Vale Canada Limited. Dengan demikian, semua perusahaan di permukaan planet ini, di mana Inco Limited memiliki saham jatuh ke tangan Vale, tidak terkecuali PT International Nikel Indonesia (Inco) Tbk, yang semenjak 27 September 2011 berubah menjadi PT Vale Indonesia Tbk, setelah Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) menyetujui perubahan Anggaran Dasar perseroan. Perubahan juga telah disetujui oleh Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementrian ESDM, dan Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM). Kini Vale Canada menguasai mayoritas saham PT Vale Indonesia. Diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia, akhir 2012, tercatat ada 16147 pemegang saham dengan mengantongi 9,9 milyar lembar saham. Edisi No. 05 2012
Kepemilikan Saham Mayoritas PT. Vale Indonesia Per Desember 2012
Pemegang saham Vale Canada Limited Sumitomo Metal Mining Co., Ltd. Publik Vale Japan Ltd. Sumotomo Corporation
Persentase 58.73 20.09 20.49 0.55 0.14
Sumber: Laporan Tahunan PT. Vale Indonesia Tbk (2012)
Awalnya, PT Vale Indonesia memiliki luas KK 218.525 hektar di tiga wilayah provinsi. Tetapi, tahun 2010, pemerintah menyetujui pelepasan sekitar 28.000 hektar wilayah KK, sehingga saat ini luas KK berkurang menjadi 190.513 hektar. Areal seluas itu menyebar di Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara. Tetapi, tidak semua wilayah KK itu sudah dimanfaatkan, kecuali di Sulawesi Se-
SeputarRakyat
Khusus di Sulawesi Tengah, kendati sudah mengantongi wilayah KK seluas lebih dari 36 ribu hektar, hingga saat ini PT Vale belum melakukan aktivitas eksploitasi di lapangan. Selama belasan tahun, Vale hanya sibuk dengan rencana relokasi warga di One Pute Jaya. Pemerintah daerah Sulawesi Tengah sudah berulang kali meminta kepada perusahaan untuk segera melakukan kegiatan di lapangan. Di era Aminuddin Ponulele, kemudian Paliuju, kedua (bekas) gubernur itu sudah berulang mendesak Vale untuk segera beroperasi. Terakhir, dalam sebuah dialog yang diselenggarakan oleh Yayasan Tanah Merdeka beberapa bulan lalu, Gubernur Sulawesi Tengah yang baru, Longki Djanggola bahkan dengan tegas menyatakan Vale segera angkat kaki dari Sulawesi Tengah kalau tidak cepat melakukan kegiatan penambangan. Protes-protes juga datang silih berganti dari para petani dan warga di Morowali, mendesak Vale beroperasi, atau tidak sama sekali. Pemerintah dan rakyat boleh mendesak, tetapi soal kegiatan investasi, hanya Vale yang menentukan. Berlarut-larutnya Vale tidak
Foto : Dokumen USW
Sumber: Laporan Tahunan PT Vale Indonesia (2012).
Aksi Protes terhadap Vale
melakukan aktivitas penambangan kemudian memunculkan masalah baru. Ketika pemerintah daerah dapat menerbitkan Izin Usaha Penambangan (IUP), sesuai UU pertambangan yang baru, Pemda Morowali secepat kilat memanfaatkan kesempatan itu. Tidak tanggung-tanggung, Pemda Morowali telah menerbitkan lebih dari dua ratus IUP di wilayah itu. Celakanya, ada 45 Perusahaan yang mengantongi IUP Nikel di Kabupaten Morowali yang tumpang tindih dengan izin KK Vale. Dan seluruh IUP tersebut terbit tahun 2010 dan akan berakhir di tahun 2015. Dari 45 IUP yang tumpang tindih tersebut 12 di antaranya terdapat di Blok Kolonodale antara lain PT Bangun Bumi Indah, PT Hutama Maranti, dan PT Graha Sumber Mining Indonesia dan 33 IUP berada di Blok Bahodopi diantaranya PT Cipta Mandiri Putra Perkasa dan PT Bumi Nikel Bungku. Mungkin karena tekanan-tekanan keras dari pemerintah dan warga,
SeputarRakyat
Edisi No. 05 2012
serta perkembangan terbaru merajalelanya aktivitas pertambangan di Morowali beberapa tahun belakangan, Vale tampak mulai bergerak di Blok Bahudopi. Di blok ini, Vale berencana menambang bijih nikel saprolitik. Bijih dari Bahodopi akan digabungkan dengan bijih dari Sorowako untuk menjadi umpan bagi fasilitas pengolahan pyrometalurgi di Sorowako. Vale sedang mengkaji beberapa pilihan pembangunan fasilitas pengolahan di Bahodopi. Pembangunan pabrik persiapan bijih di bagian barat blok Bahodopi, sedianya terdiri dari stasiun pemilahan, penyimpanan bijih basah dan penghancuran. Vale juga membangun jalan dari Bahodopi ke Sorowako, baik untuk kepentingan umum maupun produksi. Tetapi, kapan persisnya aktivitas penambangan akan dilakukan? (Mungkin) hanya Vale dan Tuhan yang tahu. Wallahu a’lam bissawab (Laporan: Adi Putra).
15
SorotanKhusus
T
16
Potret Buram Pertanian di One Pute
Foto : Dokumen YTM
ahun 1991 dan 1992, pemerintah Orde Baru menempatkan ribuan transmigran asal Jawa, Bali dan Lombok di UPT Bahumotefe (sekarang desa One Pute Jaya) dan UPT Bahudopi (sekarang desa Bahumakmur). Bersama dengan para transmigran juga disisipkan penduduk lokal dikenal sebagai APPDT. Setiap kepala keluarga (KK) peserta transmigrasi dan APPDT mendapatkan pembagian tanah seluas 2 hektar. Rinciannya, 0,5 hektar untuk tanah pekarangan rumah dan 0,95 hektar lahan pertanian/ladang. Dari luas lahan pertanian, dikenal sebagai lahan I, 0,20 hektar untuk lahan basah (sawah) dan 0,75 hektar untuk lahan kering. Pemerintah juga memberikan 1 hektar lahan cadangan kepada setiap KK petani, lazim dikenal sebagai lahan II. Pada umumnya, di One Pute Jaya lahan produksi I merupakan basis perekonomian petani. Dari pembagian lahan produksi, lahan basah seluas 0, 20 hektar dapat dijadikan sebagai persawahan. Walaupun demikian, bukan berarti lahan-lahan tersebut memiliki tingkat produktivitas panen yang sama. Karena, produktifitas lahan persawahan ditentukan oleh tingkat kesuburan tanah, input teknologi dan tenaga kerja. Dan yang tergolong subur, merupakan lahan persawahan yang terletak di hamparan yang relatif rendah dan mudah dijangkau pengairan. Sedangkan lahan produksi I lain, yakni lahan kering seluas 0,75 hektar, pemanfaatannya tergantung dari letak lahan tersebut. Jika berada di areal yang terjangkau saluran irigasi swadaya, maka para petani memanfaatkannya sebagai sawah. Sedangkan lahan kering 0,75 hektar, yang berada di dataran lebih tinggi, tidak bisa dijadikan lahan persawahan. Para petani mengolahnya sebagai kebun, pada umumnya, jambu mente. Awalnya, para petani menggarap lahan produksi I sebagai sawah, bervariasi antara 0,20 – 0,95 hektar. Karena sering terjadi proses jual-beli tanah di antara sesama petani, sehingga ketimpangan dalam kepemilikan tanah sudah kian terlihat. Saat ini, ada petani yang memiliki areal persawahan
One Pute Jaya: Panen lumpur di sawah petani
seluas 2-3 hektar, dan ada juga yang hanya 0,20 hektar. Semenjak mengolah pertanian tahun 1991, para petani tidak pernah menikmati fasilitas irigasi tehnis yang bisa dimanfaatkan untuk mengairi persawahan mereka. Terdapat irigasi swadaya, tetapi tidak menjangkau seluruh lahan persawahan. Irigasi hanya bisa mengairi sawah secara terbatas. Ketiadaan irigasi teknis merupakan soal serius. Pada musim kemarau, para petani sering mengalami gagal panen. Sejauh ini, mereka hanya bisa menikmati hasil panen pada musim hujan dan musim sedang. Kalau panen pada musim kemarau, mereka hanya dapat mengantongi maksimal 6-8 sak gabah, dari lahan seluas 0, 20 hektar. Dibandingkan desa-desa di sekitarnya, One Pute Jaya memiliki produktifitas pertanian lebih rendah. Di desa Lele dan desa Dampala, misalEdisi No. 05 2012
nya, hasil panennya tergolong tinggi. Di atas lahan 0,75 hektar, para petani di sana dapat menghasilkan 75-80 sak gabah bersih, sudah dipotong biaya panen. Juga, di dua desa itu, ketika musim kemarau, usaha pertaniannya masih tetap berjalan stabil, karena terdapat irigasi tehnis yang mengairi sawah mereka. Usaha petani One Pute Jaya meningkatkan produktifitas pertanian, tidak hanya terkendala pada tidak tersedianya irigasi tehnis saja. Soal lain, para petani juga sulit memperoleh pupuk bersubsidi dan obatobatan yang sangat langka. Alternatifnya, mereka menggunakan pupuk kandang itupun jika ada. Cara lain, para petani memanfaatkan jerami dari sisa-sisa padi, dengan menghamburkannya ke sawah yang akan diolah. Karena, menurut para petani, jerami yang telah membusuk dapat
SeputarRakyat
SorotanKhusus menyuburkan tanaman. Cara ini paling umum dilakukan untuk mengganti kelangkaan pupuk di desa tersebut. Kendala lain adalah serangan hama, seperti babi hutan, tikus, wereng dan lainnya. Letak lahan persawahan di dekat hutan, hama babi paling merusak. Untuk mencegah serangan hama babi, semenjak padi mulai berbuah, para petani mengantisipasinya dengan melakukan ronda setiap malam. Kegiatan ini dilakukan hingga selesai panen. Berbagai kendala yang dihadapi oleh petani One Pute Jaya, menyebabkan produktifitas pertanian rendah. Akibatnya, para petani tidak bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Sebagian anak-anak mereka hanya tamat SMA, bahkan sebagian juga hanya tamat di tingkat menengah pertama dan dasar. Mereka hanya bisa membantu orang tuanya di sawah, sementara sebagian juga memilih merantau mencari kerja. *** Pada tahun-tahun awal penempatan transmigran, aktivitas produksi pertanian sawah di desa One Pute Jaya masih mengunakan peralatan sederhana dan mengandalkan tenaga kerja yang banyak. Buruh tani masih melimpah. Banyak petani pemilik lahan memanfaatkan jasa buruh tani, misalnya, pada saat mencangkul, menanam, mencabut rumput dan memanen. Di One Pute Jaya, kesepakatan kerja antara buruh tani dan petani pemilik tanah, dilakukan dengan dua cara. Pertama, sistem borongan, yaitu, mekanisme kerja dengan memborong, atau pekerjaan yang upahnya diperhitungkan untuk keseluruhan pekerjaan tertentu. Pengupahan dengan mekanisme borongan, ini ditentukan luas lahan yang dikerjakan dan jenis pekerjaan yang di kerjakan. Kedua, kesepakatan kerja harian, atau kesepakatan kerja dengan upah dibayarkan berdasarkan kerja perhari. Para buruh tani pada umumnya adalah para petani yang sebenarnya memiliki lahan garapan. Tetapi, lahannya tidak subur, sehingga mencari penghasilan tambahan, menjadi buruh tani, dengan menjual tenaga kerjanya.
Upah buruh berbeda-beda menurut jenis pekerjaan. Pada musim mencangkul, di era kerja manual, buruh cangkul masih menjadi pilihan bagi petani pemilik lahan, apalagi bagi petani yang memiliki lahan garapan luas. Kesepakatan kerja antara buruh cangkul dengan pemilik lahan, dilakukan dengan cara kerja borongan. Upah kerja borongan buruh cangkul di atas lahan seluas 0, 20 hektar sebesar 90.000 rupiah. Pada musim tanam, yang terlibat dalam kerja pada umumnya ibu-ibu yang membuat kelompok kerja, terdiri dari 2-3 orang. Kelompok kerja ini siap dipanggil para petani pemilik tanah untuk menanam bibit padi di lahanya. Kerap, kelompok ini tidak dipekerjakan hanya untuk menanam, tetapi juga mencabut bibit yang akan ditanam. Adapun mekanisme kesepakatanya adalah kerja borongan. Untuk menanam di lahan seluas 0,20 hektar upah borongan bagi kelompok kerja adalah 30.000 rupiah. Jika menanam dan mencabut bibit maka upah menjadi 50.000 rupiah. Di musim mencabut rumput bagi petani yang memiliki garapan sedikit, misalnya, hanya seluas 0,20 hektar, mekanisme pengerjaannya dilakukan dengan mengerahkan tenaga kerja berbasis rumah tangga. Sedangkan petani yang memiliki garapan cukup luas, maka para petani pemilik lahan memperkerjakan buruh tani dengan kontrak kerja harian. Untuk kontrak kerja harian dalam mencabut rumput pada umumnya upah disepakati atas ketentuan upah harian. Pada pertengah 2000an, upah harian 25.0000 dan 30.000 perhari pada tahun 2000. Selain upah harian, petani pemilik lahan juga menyediakan makanan. Pengerahan tenaga kerja melimpah terjadi pada musim panen. Memanen padi merupakan pekerjaan yang tergolong rumit, karena melalui beberapa proses seperti menyabit, mengumpulkan hasil sabitan dan dikumpulkan di suatu tempat, merontokkan, membersihkan dari rumput dan padi yang tak berisi, menyimpan dalam karung dan memindahkan ke rumah petani. Di musim panen, mekanisme memperkejakan buruh tani
SeputarRakyat
Edisi No. 05 2012
banyak dilakukan denga kesepakatan borongan. Para buruh tani membentuk kelompok kerja yang terdiri dari 3-4 orang untuk setiap kelompok. Sistem pengupahan untuk kerja borongan di musim panen, bukan melalui pembayaran uang tunai, tetapi berdasarkan persentase tertentu dari hasil panen yang disepakati antara buruh dan petani pemilik tanah. Biasanya pembagiannya 6:1, yakni, enam karung hasil panen untuk pemilik tanah, buruh borongan mendapatkan satu karung. Pemanfaatan inovasi teknologi pertanian secara perlahan mulai diperkenalkan di One Pute Jaya. Tahun 1999, para petani sudah mulai menggunakan mesin bajak, traktor, dengan kemampuan kerja lebih cepat dibandingkan kerja otot. Kendati pengunaan traktor saat itu belum menonjol, tetapi kehadirannya secara perlahan merubah pola kerja dalam pengolahan pertanian dan meningkatkan produktivitas. Pengunaan teknologi pertanian lebih masif terjadi di tahun 2008, di mana 6 kelompok tani di One Pute Jaya masing-masing memperoleh bantuan traktor dari pemerintah. Dinamika perubahan pola pertanian terjadi. Kehadiran mesin traktor berdampak langsung pada pengurangan buruh tani. Pekerjaan yang dulunya dikerjakan tenaga manusia dalam jumlah banyak, sekarang mengalami penghematan pengerahan tenaga kerja manusia. Teknologi menghemat jumlah tenaga kerja manusia. Kesempatan dan pola pengerahan tenaga kerja di musim panen pun berubah. Dulu pengerahan tenaga kerja dan pola kerja dilakukan dengan cara manual, mengandalkan alat-alat sederhana dan membutuhkan tenaga manusia yang banyak. Saat ini, para petani, pada umumnya, lebih memilih mengunakan mesin perontok. Sebelum diperkenalkan mesin perontok, diperlukan 4-5 buruh tani untuk memanen 0,20 hektar sawah dalam waktu 3-4 hari. Sekarang, hanya memerlukan 2-3 pekerja dengan waktu kerja 2-3 hari. Pengupahan masih tetap menggunakan sistem kerja borongan, tetapi penggunaan mesin telah men-
17
SorotanKhusus
***
Pada tahun 1996, petani desa One Pute Jaya menghadapi masalah besar. Pemukiman dan lahan pertanian mereka dengan Kontrak Karya PT Inco. Pemerintah pernah merencanakan untuk memindahkan seluruh petani One Pute Jaya di tahun 1998. Sebelum rencana relokasi, muncul isu larangan untuk menanam tanaman jangka panjang di lahan produksi II seluas 1 hektar. Pasalnya, lahan yang menjadi sengketa dengan KK PT Inco itu akan digantirugi oleh perusahaan. Mendengar isu ini, para petani tidak mengolah lahan-lahannya. Padahal, sebagian petani sudah berencana menanam karet dan jambu mente. Dari sekitar 500 KK warga One Pute Jaya, sebagian warga, sekitar 46 KK, sudah dipindahkan ke Saembawalati. Sebagian besar yang direlokasi adalah warga di unit 3 atau Blok G. Blok ini adalah dusun yang terletak paling ujung di One Pute Jaya. Dulu, masih kita jumpai aktivitas pertanian di dusun ini. Di pagi hari, suami istri berbondong-bondong ke sawah, sementara anak-anak kecil berbaris di pingiran jalan memakai seragam merah putih menuju sekolah. Sekarang, dusun tersebut sudah tidak berpenghuni, dengan pepohonan jambumente yang tidak terawat. Alasan warga Blok G memilih pindah dari desa One Pute Jaya adalah produktifitas pertanian yang rendah. Penyebabnya, kondisi persawahan yang tidak subur, tingginya serangan hama (babi hutan), dan juga ketiadaan sumber air. Mereka pernah berinisiatif menanam jambu mente di lahan kering seluas 0,75 hektar. Tetapi, tanaman itu tidak berbuah manis, karena harus menunggu musim kemarau untuk mendapatkan hasil panen yang bagus. Sedangkan, ketika musim hujan, bunga jambu mente rontok, panenpun hanya sedikit. Itulah faktor pebab sebagain besar warga di blok G memilih mengikuti program relokasi ke Saembawalati Kabupaten poso tahun 1998. Program
18
relokasi itu dibiayai oleh PT Inco senilai 3 milyar rupiah. Karena mengikuti relokasi, hanya tersisa beberapa warga di blok G. Mereka kemudian memilih bergabung dengan warga One Pute Jaya lain di unit 2. *** Cerita tentang One Pute Jaya adalah tentang pertanian dengan tingkat produktivitas yang rendah. Bertahun-tahun harus menghadapi ketidak pastian menanti hasil panen. Bahkan tak jarang gagal panen terjadi. Sebagai warga yang mengandalkan perekonomian dari hasil pertanian semata, tentu hal ini merupakan masalah besar yang dihadapi petani untuk menjamin keberlangsungan masa depan anak-anak mereka dengan memberi pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Tetapi, kenyataannya tak sedikit dari anak-anak mereka harus mengikuti jejak orang tuanya menjadi petani, karena tidak memiliki biaya untuk meneruskan sekolah. Problem pertanian juga menjadi salah satu penyebab para petani di One Pute Jaya harus menjual tenaga kerjanya di luar desanya. Mereka menjadi buruh tani di wilayah yang lebih maju pertaniannya, bahkan harus menempuh perjalan ratusan kilometer ke Tolai di Kabupaten Parigi Moutong. Tidak hanya itu, di antara para petani bahkan ada yang menjual tanahnya, memilih pindah ke Jawa atau pindah berdomisili ke wilayah lain. Indikasinya, saat ini, 170 petani pemilik lahan sejak proyek transmigrasi dimulai, kini sudah mengalihkan kepemilikannya kepada petani lain. Sebagian
di antaranya sudah mengangkat kaki dari One Pute Jaya. Ketika Morowali kebanjiran investasi pertambangan nikel dalam tiga tahun terakhir, ganti rugi lahan berlangsung lebih masif. Sebagian petani sudah menyerahkan lahannya kepada perusahaan melalui mekanisme ganti rugi. Luas lahan-lahan pertanian kian menyempit, diganti aktivitas pertambangan. Bersama-sama dengan desa-desa lain di Kecamatan Bungku Timur dan Bahudopi, industri pertambangan telah menyulap One Pute Jaya menjadi sumber tenaga kerja cadangan yang melimpah ruah. Menyusul rendahnya produktivitas pertanian dan berlangsungnya transfer lahan-lahan pertanian menjadi lahan industri pertambangan, sebagian petani dan anak-anak mereka melirik dengan penuh harap untuk bekerja di perusahaan-perusahaan itu, ketimbang mengolah sawah. Sebagian di antara mereka kini sudah memikul status sebagai kelas pekerja, bukan lagi petani. Akibatnya, pertanian kini menghadapi kelangkaan tenaga kerja. Saat ini sulit mendapatkan buruh tani. “Jika di masa lalu, buruh tani yang mencari-cari pekerjaan, kini pemilik tanah yang repot mencari buruh tani�, tutur seorang petani pemilik. Di masa lalu, hanya berkisar antara 30.000 rupiah hingga 50.000 rupiah. Sekarang upah buruh harian pertanian melonjak tajam, antara 50.000 rupiah hingga 75.000 rupiah. Tetapi, mendapatkan buruh tani saat ini, sulitnya bukan main (Laporan: Muhammad Alala).
Penempatan Transmigran: Jumlah KK dan Jiwa UPT Bahumotefe dan UPT Bahudopi
Tahun Penempatan 1991/1992 1992/1993 Jumlah
Kepala Keluarga (KK)
Jiwa
162 104 141 100 198 198 110 1.020
556 397 534 468 745 894 445 4.039
Sumber: Dinas Tenaga Kerja & Transmigrasi
Edisi No. 05 2012
Asal Daerah NTB Jatim Bali APPDT Jateng NTB APPDT
SeputarRakyat
Foto : Dokumen YTM
gurangi ongkos atau upah yang dikeluarkan untuk buruh tani.
SorotanKhusus
Tanah Vale di lahan petani
Setelah Nasi Jadi Bubur
D
i daerah-daerah transmigrasi, dukungan pemerintah dalam bidang pertanian sangat penting untuk menunjang produktivitasnya. Paling menononjol dukungan itu adalah pembangunan irigasi teknis, aplikasi teknologi pembajakan seperti traktor, bibit, dan pupuk, yang menjadi faktor kunci keberhasilan program transmigrasi. Di One Pute Jaya, faktor-faktor ini merupakan soal. Tampaknya, pemerintah memang tidak memikirkan masalah pertanian di One Pute Jaya semenjak warga ditempatkan di sana. Soalnya, selama belasan tahun, rencana pemerintah adalah memindahkan ekstransmigran itu, karena tumpang tindih dengan wilayah kontrak karya PT Inco. Sejak ditempatkan di sana pada awal tahun 1990an, para petani di One Pute Jaya berhadapan dengan soal pengairan yang tidak sepenuhnya dapat mengairi sawah-sawah mereka. Ada irigasi, tetapi warga membangunnya secara swadaya dengan kapasitas terbatas. Setelah bermukim hampir 20 tahun, menyusul ketidak jelasan pemindahan karena perlawanan petani di One Pute Jaya, pemerintah Kabupaten Morowali mulai menaruh perhatian terhadap petani di desa itu. Tahun 2008, Pemerintah Morowali
membuat irigasi, dengan memanfaatkan air sungai yang mengalir di dusun 3 atau Unit II Desa One Pute Jaya. Sayangnya, irigasi yang dibangun melintas pinggiran sungai dan memotong jalan di desa itu sepanjang kurang lebih 2 kilometer tersebut, belum berfungsi maksimal. Sebagian sawah belum bisa mendapat pasokan air. Banyak petani mengeluh. Di One Pute Jaya, terdapat kelompok tani yang dibentuk para petani. Selain sebagai wadah pengembangan pertanian dan juga sebagai wadah pengelolaan bantuan pemerintah dalam bentuk apapun. Tetapi, kelompok tani di sana tidak berjalan sebagaimana diharapkan, salah satu di antaranya karena tidak ada dana, termasuk bantuan pemerintah. Tahun 2009, kelompok-kelompok tani itu disegarkan kembali, karena dipicu oleh bantuan-bantuan dari pemerintah yang mulai mengalir. Sekarang, ada 6 kelompok tani yang aktif, yakni, Kelompok Tani Karya Makmur 1, Kelompok Tani Pade Girang, Kelompok Tani Pade Angen, Kelompok Tani Mertosari, Kelompok Tani Karya Makmur 2 dan Kelompok Tani Catur Tani. Tahun 2009, pemerintah melalui program Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), mulai mengadakan penyuluhan per-
SeputarRakyat
Edisi No. 05 2012
tanian di One Pute Jaya lewat program percontohan varietas unggulan. Pelaksanaanya adalah pengerjaan sawah percontohan melalui enam kelompok tani. Setiap kelompok tani dalam setiap masa panen memilih satu persawahan percontohan. Semua pembiayaannya bersumber dari pemerintah. Ini dilakukan secara bergantian bagi setiap kelompok tani. Perhatian pemerintah terus mengalir. Tahun 2010, pemerintah Morowali melakukan program perceatakan sawah baru seluas 10 Ha dengan dana perhektar senilai 4 juta rupiah. Lahan-lahn yang diolah adalah sawah-sawah yang tidak digarap pemiliknya, karena sebagian telah pindah ke Saembawalati, pulang ke daerah asalnya, merantau ke luar daerah, atau milik petani yang tinggal di One Pute Jaya namun tidak menggarapnya. Melalui program ini, para petani di desa itu berkesempatan menjadi tenaga kerja dan memungkinkan mereka menggarap sawah baru. Pemkab Morowali juga memberi bantuan masing-masing satu unit traktor untuk setiap kelompok tani. Sementara para anggota kelompok tani mendapatkan 20 kilogram bibit padi. Bantuan lain adalah pupuk kandang. Tetapi menurut keterangan warga, pupuk kandang jarang digunakan para petani di sana. Alasannya, tidak memberikan banyak pengaruh hasil panen. Mengalirnya dukungan pemerintah di bidang pertanian beberapa tahun ini sangat kontras dengan situasi belasan tahun sebelumnya. Jangankan memberikan bantuan, pemerintah malah hendak membersihkan One Pute Jaya dari hunian penduduk. Kini, di tengah-tengah gempuran pertambangan di Morowali, terutama di One Pute Jaya dan sekitarnya, bukankah bantuanbantuan itu sia-sia? Jika, laju aktivitas ekspansi pertambangan berlangsung seperti beberapa tahun belakangan, maka lahan-lahan pertanian bakal semakin terdesak. Deru eskavator bukan saja menelan bunyi mesin-mesin traktor yang riuh rendah, tetapi tak tertutup kemungkinan menggali kuburan bagi pertanian di wilayah itu. Nasi sudah jadi bubur. (Sigit Purnomo).
19
Opini
Opini
MENCIPTAKAN MASYARAKAT ADAT
Satudunia, 2011). Akan tetapi, dalam penerapannya di Sulawesi Tengah, FPIC dalam modul yang di susun oleh AMAN SULTENG membedakan hak Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal3. Secara nasional, gerakan ini
Studi kasus desa Dodolo Yang Berbatasan TNLL Dengan Masuknya Isu Persiapan REDD+ di Sulawesi Tengah Ferry Rangi
Foto : Dokumen YTM.
Penandatanganan kesepakatan atas aksi reclaiming terhadap PT. Hasfarm oleh petani Lore timur dan Lore Peore
Pendahuluan Sejak proses mobilisasi yang dimulai tahun 1993, secara internasional keberadaan indigenous people terus digalakkan oleh aktivis. kongres pertama AMAN1 menandai masuknya konsep “indigenous people” yang diterjemahkan menjadi “Masyarakat Adat” secara formal sebagai bagian dari beberapa kelompok yang menuntut serta berupaya mendefinisikan kembali posisinya di Indonesia setelah terbukanya ruang politik paska rezim Suharto yang panjang dan represif. AMAN secara literal dimaknai sebagai orang-orang yang masih menganut adat-istiadat (Li, 2001). Pada tanggal 13 september 2007 Sidang majelis umum PBB menyepakati dan menerima Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat (United Nations Declaration on the Rights of Indig1
Aliansi MasyarakatAdat Nusantara, adalah Organisasi Masyarakat Sipil yang mengklaim sebagai keterwakilan Masyarakat Adat di Indonesia.
20
enous People,UNDRIP). Deklarasi ini menandai pengakuan secara internasional atas hak-hak Masyarakat Adat. Deklarasi tersebut menjadi sebuah tonggak penting dalam upaya memajukan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat sebagai subyek hukum legal dalam ranah instrumen hukum internasional. Hak-hak dan kebebasan dasar dari Masyarakat Adat menjadi inti dari UNDRIP yang seluruh pasal dan ayatnya mengatur tentang pengakuan, perlindungan penghormatan, dan pemenuhannya. Termasuk di dalamnya hak untuk menerima atau menolak berbagai usulan atau rancangan pembagunan yang dilaksanakan dalam wilayah adat mereka. Prinsip tersebut dikenal sebagai FPIC2(Free, 2
FPIC adalah suatu hak masyarakat adat untuk menentukan bentuk-bentuk kegiatan apa yang mereka inginkan pada tanah mereka. Secara lebih rinci dapat dirumuskan sebagai: Hakmasyarakat untuk mendapatkan informasi (Informed) sebelum (Prior) sebuah program atau proyek pembangunan dilaksanakan dalam
Edisi No. 05 2012
Prior, and Informed Consent) (Yayasan
wilayah mereka, dan berdasarkan informasi tersebut, mereka secara bebas tanpa tekanan (Free) menyatakan setuju (consent) atau menolak atau dengan kata lain sebuah hak masyarakat (adat) untuk memutuskan jenis kegiatan pembangunan macam apa yang mereka perbolehkan untuk berlangsung dalam tanah adat mereka. Itu berarti pengakuan terhadap hak masyarakat untuk mengatakan ‘Ya!’,atau ‘Tidak!’. Artinya, pihak atau orang luar, yang hendak masuk ke dalam wilayah-wilayah masyarakat adat, harus berurusan dengan mereka sebagai pemilik yang sah, karena masyarakat dikaruniai dengan hak, dengan kewenangan yang jelas atas seluruh wilayah adat mereka. Itu berarti pula menghargai sistem pengambilan keputusan masyarakat adat dan menghormati tata aturan adat dalam menentukan perwakilannya .Itu berarti juga bahwa jika pihak atau orang luar mau masuk ke dalam wilayah-wilayah masyarakat adat mereka harus menjelaskan apa yang hendak mereka lakukan, dan berunding dengan masyarakat bersangkutan, mengingat bahwa masyarakat bisa setuju ataupun tidak setuju terhadap apa yang diusulkan.Free atau ‘Bebas’ – keputusan-keputusan hendaknya dicapai melalui proses-proses saling menghargai tanpa kekerasan, tekanan, gertakan, ancaman atau penyuapan. Tidak boleh ada rekayasa hasil perundingan. Prior atau ‘Mendahului’ – perundingan-perundingan seharusnya dilakukan sebelum pemerintah, para pemodal dan perusahaan-perusahaan memutus-
SeputarRakyat
kan rencana yang hendak dikerjakan. Itu berarti harus sudah terjadi perundingan-perundingan sebelum bulldozer datang dan sebelum para tukang survei dan penilai datang untuk mengukur dan melihat-lihat sekitar tanah-tanah masyarakat adat. Informed atau ‘Diinformasikan’ – pihak atau orang luar harus memberikan semua informasi yang mereka miliki kepada masyarakat, terkait dengan kegiatan yang direncanakan, dalam bentuk-bentuk dan bahasa yang dapat dipahami masyarakat. Itu berarti memberikan waktu kepada komunitas untuk membaca, menilai dan membicarakan keterangan ini. Itu berarti memerlukan waktu untuk mengumpulkan semua keterangan yang terkait, dengan partisipasi semua orang jika mereka mau, sehingga orang tahu apa implikasi dari usulan rencana kegiatan tersebut. Consent atau ‘Persetujuan’ – Meski dalam bahasa Inggris kata consent memiliki makna ‘persetujuan’ namun makna istilah ini dalam FPIC adalah ‘keputusan’. Apapun keputusan atau kesepakatan yang dicapai harus dibuat melalui sebuah proses terbuka dan bertahap yang menghargai hukum adat dan otoritas yang dianut oleh mereka sendiri. Itu berarti mengakhiri pola pembuatan berbagai keputusan oleh seorang ‘tokoh’ masyarakat yang dipaksakan tanpa merujuk kepada aspirasi anggota komunitas (Marcus Colchester, 2006). 3
Hak-hak masyarakat adat dalam program REDD+ dan unsur-unsur pembeda antara masyarakat adat dan masyarakat lokal: (1) Masyarakat Adat mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri atau Right to self determination sebagai HAK KOLEKTIF atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam yang diwarisi secara turun temurun.(2) Masyarakat Adat mempunyai hak menentukan “IYA” atau “TIDAK” atas implementasi Program Redd+ hal ini berhubungan dengan sejarah asal usul (3) Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal mempunyai ha katas pembangunan, hak katas informasi dan hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (baik yang berdampak langsung maupun tidak terhadap mereka). Dalam kepemilikan dan pengelolaan sumber daya alam, masyarakat adat memiliki 2 hak kepemilikan, yaitu;(1) Hak kepemilikan bersama/keolektif yaitu tanah dan sumber daya alam yang ada di wilayah adat termasuk tanah desa adalah milik bersama masyarakat adat yang ada di wilayah tersebut. hak kepemilikan bersama/ kolektif ini tidak diperkenankan diperjualbelikan, disewakan (dikontrakan) kepada siapapun. Hak kepemilikan bersama/kolektif pengelolaannya terbatas yang diatur oleh kelembagaan adat. (2)Hak kepemilikan pribadi/individu yaitu tanah dan segala sumber daya alam dapat menjadi milik pribadi/individu apabila sudah dike-
membuat Nota Kesepahaman dengan KOMNAS HAM4 pada tanggal 17 Maret 2009, Kementrian Lingkungan Hidup5 pada tahun 2010 dan pada tahun 2011 dengan Badan Pertanahan Nasional6. Setiap Nota Kesepahaman dan deklarasi menjadi kekuatan untuk lola (pembukaan pertama hutan), pemberian secara cuma-cuma dan hasil pembelian. Dalam Panduan Pelaksanaan FPIC program Redd+, Masyarakat transmigrasi, migrasi nasional maupun lokal selain masyarakat adat tidak diberikan hak untuk menerima atau menolak program Redd+ mereka hanya mendapatkan informasi. Masyarakat yang hidup di sekitar dan wilayah TNLL jika dipilah berdasarkan konsep Masyarakat Adat versi AMAN maka, ditemukan mayoritas masyarakat bukanlah Masyarakat Adat (Anggota Pokja FPIC, 2012) 4
Terdapat lima poin Nota Kesepahaman dengan KOMNAS HAM, yaitu; Pertama; mensosialisasikan Deklarasi PBB (UNDRIP) tentang hakhak Masyarakat Adat. Kedua; menyelenggarakan pertukaran informasi secara berkala/teratur. Ketiga; Melakukan kajian tentang keberadaan Masyarakat Adat dan hak-hak asasinya di Indonesia. Keempat; mengembangkan mekanisme penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi Masyarakat Adat. Kelima; mendorong ratifikasi protocol Opsional Konvenan Internasional tentang hak-hak ekonomi sosial dan budaya. 5
Nota Kesepahaman dengan Kementrian Lingkungan Hidup, terdapat empat poin, poin kedua hingga keempat, menerangkan Nota Kesepahaman ini berlaku selama 5 tahun dan kegiatan yang difasilitasi oleh kerdua pihak dari sumberdana yang tidak mengikat. Poin pertama yaitu; Kerjasama meliputi kegiatan: identifikasi keberadaan dan hak adat serta pengelolaan kerifan local dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, penguatan kapasitas kadar lingkungan hidup, pemberdayaan Masyarakat Adat, dan pertukaran informasi tentang MasyarakatAdat. 6
Kesepakatan dengan Badan PertanahanNasional, seperti yang tertulis dalam pasal Bab II Ruang Lingkup pasal 2 dengan poin-poin sebagai berikut, yaitu; (1) Melakukan pertukaran informasi dan pengetahuan antara BPN dan AMAN dalam rangka meningkatkan perandan tugas Para Pihak. (2) Mengakomodirhak-hak Masyarakat Adat dan wilayah adatnya dalam konteks pembaruan hukum dan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. (3) Melakukan indentifikasi dan iventarisasi keberadaan Masyarakat Adat dan wilayah adatnya dalam rangka menuju perlindungan hukum hubungan antara wilayah adat dan Masyarakat Adatnya. (4) Merumuskan mekanisme penanganan dan penyelesaian sengketa, konflik dan perkara pertanahan di wilayah Masyarakat Adat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. (5) Pengembangan model-model reforma agraria di wialayah adat.
SeputarRakyat
Edisi No. 05 2012
mendapatkan perlakuan khusus dari kebijakan pemerintah, program donor yang dibawa oleh aktivisme, dan setiap kegiatan yang melibatkan komunitas dan tanahnya masuk dalam pengaturan AMAN. Di sisi lain, menjadi Masyarakat Adat, harus sesuai dengan kategori yang AMAN tentukan pada kongres pertama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara pertama pada tanggal 17 Maret 1999, yaitu; “Masyarakat Adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah,dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya, yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya”. Selain itu, empat warisan (asal-usul) leluhur sebagai unsur pembeda Masyarakat Adat dari dengan masyarakat yang lain, yaitu; pertama, Kelompok Orang dengan Identitas Budaya yang Sama : bahasa, spritualitas, nilai-nilai, sikap dan perilaku yang membedakan kelompok sosial yang satu dengan yang lain. Kedua, Sistem Nilai dan Pengetahuan: (kearifan) tradisional bukan sematamata untuk dilestarikan, tetapi juga untuk diperkaya/dikembangkan sesuai kebutuhan hidup berkelanjutan. Ketiga, Wilayah Hidup : tanah, hutan, laut dan SDA lainnya bukan sematamata barang produksi (ekonomi), tetapi juga menyangkut sistem religi dan sosial-budaya. Ke empat, AturanAturan dan Tata Kepengurusan Hidup Bersama Sosial (Hukum Adat dan Lembaga Adat) : untuk mengatur dan mengurus diri sendiri sebagai suatu kelompok sosial, budaya, ekonomi dan politik (Setra, 2010). Meski berbagai pihak berwenang percaya bahwa mereka mengetahui apa yang dimaksudkan dengan adat, beragam penafsiran dan pemahaman atas istilah ini justru membuat adat semakin sulit untuk dikontrol. Mengungkapkan adat berarti mengklaim kemurnian atau keaslian demi kepentingan seseorang. Secara paradoks, adat juga membentuk
21
Opini
Opini
Foto : Dokumen YTM.
berbatasan dengan Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu setelah masuknya wacana persiapan skema RDD+. Menjadi pertanyaan, pertama, siapakah orang Dodolo? Kedua, bagaimana proses penaklukkan orang Dodolo? Ketiga, Bagaimana proses masuknya wacana REDD+ di Desa Dodolo? ke empat, dengan memberikan “identitas” sebagai “Masyarakat Adat’ pada orang Dodolo apakah kepentingan AMAN Sulteng terkait dengan agenda persiapan REDD+? Dalam artikel ini, saya akan mencoba menjelaskan gerakan keterwakilan Masyarakat Adat ketika bersentuhan dengan proyek REDD+ yang bernaung dalam agenda konservasi Dinas Kehutanan, di salah satu desa yang berbatasan dengan Taman Nasional di Sulawesi Tengah.
Aksi Petani Sawit di Luwuk
sebuah arena intervensi karena adat dianggap sebagai sesuatu yang rapuh, kekurangan, atau sedang merosot sehingga butuh perlindungan, butuh pengokohan dan pemulihan. Ciri-ciri dari istilah adat ini membuatnya dapat digunakan untuk berbagai proyek yang bersifat politis (Li, 2010:367; Friedman, 1997: 70-89, Rangi, 2011). Gerakan masa yang mendengung-dengungkan identitas keaslian dan adat memang memiliki efek animo besar masyarakat tempatan Sulawesi Tengah yang terlarut oleh sejarah masa lalu akan kejayaan adat yang sebenarnya pemaknaannya kabur. Gerakan ini menjadi bertentangan, yang menjadi tuntutan adalah akses terhadap sumber daya yang sejak rezim orde baru tidak diakui, tetapi membawa isu perbedaan indentitas(Li, 2001). Masyarakat dipahami sebagai kelompok yang statis, tanpa kelas, homogen dan terpinggigirkan, sehingga perlu untuk diberdayakan dan diatur serta diwakili suaranya agar posisi mereka tidak terganggu oleh kepentingan negara yang terbukti tidak mampu melepaskan mereka dari keterpurukan, pengusaha perkebunan dan pertambangan yang telah menaklukkan negara dan dengan leluasa menguasai tanah
22
dan hutan mereka yang tidak memiliki bukti formal yang dikehendaki negara. Tanpa menyadari, bahwa pola-pola pengaturan seperti ini adalah bentuk yang dilakukan oleh rezim orde baru hingga orde reformasi saat memberikan identitas “komunitas adat terpencit”, “masyarakat terasing”, “suku terasing”(li, 2012) dan saat ini menjadi “Masyarakat Adat”. Kepentingan negara dan AMAN adalah jelas, bahwa di tanah tempat masyarakat tempatan hidup, terdapat sumber daya. Untuk mendapatkan akses tersebut, negara dan AMAN memberi “identitas” berbeda bagi warga negara, agar leluasa mengontrol sumber daya mereka. Klaim keterwakilan masyarakat tempatan oleh AMAN, ternyata secara sadar atau tidak pada awalnya bercitacita melepaskan kontrol negara, justru menjembatani kekuatan kontrol pasar internasional yang kian menguat di bawah alibi penyelamatan bumi melalui agenda perubahan iklim yang masuk melalui agenda pembangunan rezim reformasi. Hadirnya wacana perubahan iklim dengan berbagai skema di dunia akhir-akhir ini, secara langsung mengusik kembali keberadaan masyarakat tempatan yang tinggal dan hidup di Edisi No. 05 2012
dalam atau sekitar hutan. Negara-negara melakukan berbagai perundinganperundingan mengenai kesepakatan skema apa yang tepat di gunakan untuk menempatakan wacana perubahan iklim. Dalam kondisi seperti itu, hutan dengan segala isi dan potensi telah menjadi sarana perebutan kepentingan oleh elit sekitar dan dalam hutan, perusahaan-perusahaan, negara dan dunia. Termasuk hutan di Sulawesi Tengah, yang merupakan hutan terbaik di Pulau Sulawesi. Kota Palu yang menjadi ibu kota Sulawesi Tengah yang memilki suhu panas karena dilalui garis khatulistiwa tiba-tiba bak menjadi “gula” dihampiri oleh “semutsemut” dari mana saja. Bukan karena keindahan kotanya, pemandangannya, atau adanya bencana tetapi karena hutannya seakan memiliki kekuatan magnet yang besar sehingga mampu menyedot perhatian semua kalangan untuk membicarakannya. Tanpa menyadari ada yang terlupa, mereka datang bukan karena tinggal di sekitar hutan atau dalam hutan bahkan sangat jauh dari hutan dan bisa jadi di tempat mereka tidak terdapat hutan. Tapi, dalam hal ini mereka lebih berkepentingan. Presiden Susilo Bambang Yu-
SeputarRakyat
Peta Desa-Desa yang berbatasan dengan TNLL
doyono dalam presentasinya pada COP 157 di Copenhagen menyatakan komitmen Indonesia bersedia menurunkan emisi karbonnya hingga 26% dan jika mendapat pendanaan dari negera-negara internasional barkomitmen akan menurunkan emisi karbon hingga 41%. Yang kemudian selanjutnya, di respon oleh Gubernur Sulawesi Tengah melalui pidatonya pada konfrensi Durban tahun 2011 menyatakan bahwa Sulawesi Tengah siap berpartisipasi dan berkomitmen dalam upaya dunia untuk mengurangi emisi karbon sampai 4%. Para penguasa sibuk melakukan negosiasi-negosiasi terkait kebijakan yang akan berdampak terhadap hutan dan segala isinya, tanpa perlu tahu apa yang sedang terjadi pada masyarakat yang tinggal dan hidup di dalam dan sekitar hutan. Praktisi, akademisi, aktifis, peneliti, lembaga-lembaga swadaya masyarakat beramai-ramai berkoalisi, melakukan kajian cepat 7
Conference of Parties atau dikenal dengan konfrensi parapihak yang masuk dalam agenda perubahan iklim internasional.
saji untuk merespon negosiasi-negosiasi yang sedang berlangsung agar mendapat peran. Klaim-klaim keterwakilan menjadi barang dagangan yang masih ampuh untuk diperjualbelikan. Sementara masyarakat tempatan dibalik gunung disekitar hutan dan di dalam hutan itu hanya menerima dua kata manis yang dibungkus dalam kata pemberdayaan, dengan pilihan “menerima” atau “menolak”. Tetapi untuk urusan mengetahui apa yang mereka “terima” dan “tolak”, itu bukan urusan mereka. Jadi, diletakkan di mana posisi masyarakat tempatan sekitar dan di dalam hutan, yang hutan mereka diperebutkan? Salah satu skema yang kemudian hadir dan direspon oleh berbagai pihak di Sulwesi Tengah, adalah skema REDD+. Saat saya melakukan penelitian di Sulawesi Tengah, skema REDD+ masih dalam tahap persiapan setelah proses kesiapan. Artikel ini memfokuskan pada penaklukan dan pragmatisme gerakan Masyarakat Adat pada masyarakat tempatan hidup dan mencari hidup di desa Dodolo yang
SeputarRakyat
Edisi No. 05 2012
(Penaklukkan Orang Dodolo) Masa Pengembaraan Dari DI/TII hingga PERMESTA Masyarakat Tempatan yang memilih hidup dan mencari penghidupan di dataran tinggi atau pegunungan Sulawesi, bukanlah tanpa sebab. Pulau Sulawesi yang sejak awal menjadi arena penaklukkan memaksa penduduk untuk mengembara dari dataran rendah atau pesisir menuju dataran tinggi. Pemburu budak yang merambah hingga ke wilayah pesisir Sulawesi di zaman perbudakan(Li, 2001), perburuan biji besi untuk pemenuhan perang di abad pada masa perniagaan akhir abad 19 (Reid, 2011), penaklukkan masa kolonial yang mengakumulasi hasil sumber daya mereka untuk mendanai perang dan perdangangan Kerajaan Belanda (li, 2012). Setelah proses penjarahan sumber daya alam dan manusia dari masa perbudakan hingga kolonial ini. Penaklukkan orang Sulawesi yang telah tercerai berai dan memilih lari ke dataran tinggi untuk menghindari perbudakan dan kolonial, kembali terusik keberadaannya. Dodolo adalah suatu wilayah di daerah Pegunungan Verbek, masuk dalam dalam pemerintahan Distrik
23
Opini Masamba, Kabupaten Luwu, Propinsi Sulawesi Selatan. Dodolo merupakan nama wilayah tempat mereka diwilayah Rampi.Berawal pada tanggal 1 Maret 1953, 8 Kepala Keluarga mengungsi pada malam hari dari Rampi menuju Utara karena masuknya tentara Pemberontak DI/TII8 menyerang 8
Ketika perang kemerdekaan usai, masalah baru segera dihadapi oleh pemerintah RI. Masalah penyelesaian gerilya; yang sebenarnya terjadi hampir di seluruh propinsi yang telah dibentuk. Namun, berbeda dengan daerah lainnya, masalah gerilya di Sulawesi Selatan telah berkembang menjadi amat rumit, berliku-liku. Karena itu untuk menyelesaikannya memerlukan waktu yang lama dan melalui jalan kekerasan. Kecewa permintaan agar KGSS menjadi Devisi Hasannudin dengan menetapkan Overste Qahhar Mudzakkar sebagai komandan devisi. Inilah yang menjadi permasalahan gerilya dalam penyelesaiannya dan berkembang menjadi benih yang tumbuh sebagai alasan pertentangan diantara pemerintah/Komandan Komando Teriorium VII Wirabuana dengan KGSS. Permasalahan timbul karena kedua belah pihak tidak dapat mempertemukan keinginan-keinginan mereka. Singkatnya, dalam dekrit yang dikenal dengan decreet Kawilarang, intinya menyebutkan bahwa “KGSS dan organisasi gerilya di luar APRIS dianggap telah bubar dan segala usaha untuk melanjutkan dan menghidupkan organisasi tersebut termasuk larangan tentara”. Sejak itulah Abdul Qahhar Mudzakkar bergerilya di hutan-hutan Sulawesi Selatan dan tidak aktif lagi di APRI (Gonggong, 1990:193-198). Konflik internal diantara militer dalam perebutan posisi komando, dan kekecewaan Abdul Qahhar Mudzakkar akan posisinya yang menjadi perwira tanpa jabatan dan makin terisolasi dari lingkungan pimpinan APRI sampai saat ia dikirimkan ke Sulawesi Selatan tahun 1950; sejak itulah dia tidak pernah lagi kembali dalam lingkungan organik APRI. Ia menjadi pimpinan pemberontak. Pasukan-pasukan inti sebanyak ±800 orang adalah bekas tahanan Nusakembangan yang berhasil dibebaskan olehnya saat masih menjabat sebagai pejabat di APRI dan kemudian dilatih secaramiliter di daerah Pingit Yogyakarta. Gerakan ini lebih dikenal berideologi Islam, sebelum menjadi DI/TII, ideologinya adalah pancasila, yaitu pada awal didirikannya pada tahun 1951.DI/TII didirikan sejak tahun 1952. Setelah memproklamasikan menjadi bagian NII Kartosuwirjo di Jawa Barat pada 7 Agustus 1953, barulah kemudian ideologi Islam menjadi dasar perjuangan. Hal ini dilakukan melalui perhitungan matang, dan memahami bahwa mayoritas penduduk Sulawesi Selatan beragama Islam, dengan harapan mendapat dukungan dari masyarakat Sulawesi Selatan. Upaya revolusi yang dilakukanoleh Abdul Qahhar dan pasukannya, hingga mampu bertahan selama kurang lebih 15 tahun di mulai di Sulawesi Selatan sampai memaksamereka
24
Opini wilayah Rampi, dengan maksud mengislamkan mereka yang sebelumnya telah menjadi Kristen. Kedelapan Kepala Keluarga tersebut dipimpin oleh sesepuh kampung yang bernama Landu Lowe. Perjalanan mereka menuju utara pada awalnya, tiba di wilayah lembah Bada Distrik Lore Kabupaten Poso Propinsi Sulawesi Tengah, dengan perjalanan kurang lebih 10 hari melintasi hutan. Mereka hanya melakukan perjalanan pada malam hari, karena pada siang hari mempersiapkan bahan makanan. Sejak saat itu, gelombang pengungsian dari Rampi menuju Lembah Bada semakin meningkat. Tetapi, kedelapan kepala keluarga ini yang kemudian berkembang memilih tetap tinggal bersama di Desa Runde wilayah Bada. Setelah Pemilihan Umum tahun 1955 oleh inisiatif Tuana
melakukan gerilya dan menghimpun pasukan serta sumber-sumberdaya untuk mendanai perjuangannya, dengan memperluas ekspansinya kewilayah lain di pegunungan Sulawesi kecuali Sulawesi Utara. Hal ini tampak bagaimana ia membangun jaringan perjuangannya selain menarik simpati dari para kaum ulama dan bangsawan juga para pedagang. Abdul Qahharmenyadari betul pentingnya pendanaan bagi perjuangan mereka. Latarbelakangnya sebagai pedagang, orang-orang disekitarnya yang juga memilki pengalaman sama. Abdul Wahid salah seorangkoman dan bawahannya, mempunyai perdagangan hasilbumi di Makassar dan Surabaya. Amin Larekeng juga salah seorang komandan pasukannya, merupakan “penguasa” perdagangan kopra melalui jalur Sulawesi Tenggara, Makassar dan Surabaya. Sitti Hami, istri ke-4 Abdul Qahhar Mudzakkar merupakan “pedagang kaya” yang menetap di Sulawesi Tenggara yang mempunyai jaringan perdagangan di Sulawesi Selatan hingga Sulawesi Tengah. Pedagang yang mempunyai arti penting untuk memobilisasi dana gerakan ini memperoleh perlakuan khusus dari Abdul Qahhar Mudzakkar. Untuk menyatukan jaringan dagang yang membiayai perjuangannya, maka didirikanlah Rahasia Chusus Organisasi Revolusi (URCOR). Abdul Qahar juga mempunyai hubungan dengan seorang bangsawan selama bertahun-tahunya itu Andi Selle (Mattola), tetapi hubungan ini bukanlah hubungan politis dan ideologis, hanyalah hubungan dagang saja. Hubungan yang terjadi dengan cara mengirimkan bahan-bahan mentah dari daerah yang dikuasainya kepada Andi Selle yang membayarnya dalam bentuk mengirimkan peluru, senjata ringan dan berat serta pakaian tentara kepada Abdul QahharMudzakar (Gonggong, 1990:239).
Edisi No. 05 2012
Mahile bersama Kampu Pole yang saat itu menjadi Kepala Distrik memindahkan pengungsi tersebut ke Kalawara Desa Gintu yang saat ini disebut Bumi Jambu. Sejak awal tiba di wilayah Bada, sampai pada tahun 1955 kehidupan pengungsi Rampi sangat sulit, mereka kekurangan makanan dan hanya bekerja sebagai buruh tani pada warga setempat. Keadaaan inilah mendorong sesepuh mereka saat itu, yaitu landu Lowe menghadap Kepala Distrik untuk meminta lahan garapan meskipun hanya bersifat pinjam pakai. Pada tahun 1956, kehidupan para pengungsi mulai membaik setelah lahan pinjam pakai yang mereka gunakan memberikan hasil. Keadaan tersebut tidak berlangsung lama, pada tahun 1957 terjadi peristiwa pemberontakan PERMESTA9 dan masuk ke wilayah Bada. Memaksa pengungsi dari Rampi kembali mengungsi mencari tempat yang aman. Khususnya kedelapan kepala keluarga yang telah berkembang tadi memilih mengungsi dengan menyusuri ke hulu sungai Lariang dan tiba di lembah Behoa. Saat tiba di Lembah Behoa, atas persetujuan masyarakat setempat mereka dibuatkan pondok besar berupa barak yang dapat menampung beberapa keluarga serta diizinkan untuk mengelola tanah di wilayah Lengi, sekitar 4 Km dari Kampung Bariri. Pada tahun 1959 oleh sesepuh dari Katu, yang bernama Humpui Tome menemui salah satu sesepuh pengungsi yang bernama Tong9
Timbulnya pemberontakkan ini di picu oleh kecemburuan dan kekhawatiran terhadap pemerintah pusat, di dominasi oleh 5 partai politik besar, salah satunya PKI yang mendapat angin pesat dari pusat semakin memperluas pengaruhnya, Amerika Serikat mengkhatirkan hal ini, mendanai pemberontakan-pemberontakan di daerah yang menolak ideologi komunis. Selain itu, perbedaan mendasar mengenai pembagian alokasi dana pembangunan yang tidak seimbang antara pusat dan daerah. Sulawesi Tengah saat itu masih masuk dalam Propinsi Sulawesi Utara-Tengah, dengan ibukota propinsi di Kota Menado. Propinsi Sulawesi Utara-Tengah saat itu menjadi penghasil kopra terbesar dari wilayah lain di Indonesia di awal kemerdekaan. Akan tetapi, hasilnya, lebih besar dinikmati oleh pusat (Sulu, 2011; Wibowo, 2010)
SeputarRakyat
ki Lule agar mereka mau dipindahkan kewilayah Kampung Katu juga, mereka yang setuju saat itu berjumlah 15 Kepala Keluarga yang dipimpin oleh Tongki Lule. Selanjutnya, tahun 1960 beberapa keluarga yang masih bertahan di Bada ikut pula bersama keluarganya menuju Katu.
Dari Katu hingga Toe/Dodolo Pada tahun 1962, jumlah Kepala Keluarga yang mengungsi dari Rampi dan melalui proses panjang hingga tiba di wilayah Katu, sebanyak 32 Kepala Keluarga. Kemudian, oleh orang katu diberi keleluasaan untuk membentuk desa sendiri, yang selanjutnya nama desa tersebut tetap mereka namakan desa Dodolo. Pada tahun itu, desa Dodolo diresmikan menjadi satu desa devinitif berdampingan dengan desa Katu di Kecamatan Lore Utara Kabupaten Poso dan dingkatlah Tole Ntindi sebagai Kepala Desa Pertama, yang sebelumnya yaitu pada Tahun 1951 ketika masih di Rampi, juga sebagai Kepala Desa Kampung Dodolo sebelum peristiwa pengungsian terjadi. Sebagai Desa Definitif, orang Dodolo menempati wilayah pemberian dari Desa Katu seluas 1475 Ha dan digunakan sebagai lahan pertanian dan pemukiman. Pada tahun 1976, terjadi pergantian Kepala Desa yang digantikan oleh Reu Raho, akan tetapi kepemimpinan Reu Raho hanya bertahan beberapa bulan saja dan digantikan oleh juru tulisnya, yaitu Petrus Pahu’u yang kemudian menjabat sampai tahun 1980. Dan pada tahun 1981 hingga tahun 1986 Kepala Desa dijabat oleh Horu Tapue. Sejak tahun 1986 hingga tahun 1994 Kepala Desa Dodolo dijabat kembali oleh Reu Raho. Masyarakat Dodolo mendiami wilayah pemberian orang Katu selama 29 tahun, yang kemudian terusik kembali dengan penetapan wilayah Katu sebagai bagian dari Kawasan Hutan Lindung dengan status Margasatwa Lore Kalamanta, yang saat ini menjadi wilayah kawasan Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL). Had-
irnya klaim negara atas wilayah Katu dan Dodolo, menjadi petaka baru bagi orang Dodolo dalam beraktivitas untuk hidup dan keberlangsungan hidup mereka. Aktivitas hidup menjadi petani dianggap sebagai ancaman oleh negara terhadap ekosistem hutan. Selama kurang lebih 3 tahun pemerintah melalui Depsos (Departemen Sosial) membujuk masyarakat Desa Dodolo untuk mau dipindahkan dari Dodolo kewilayah lain di Sulawesi Tengah. Akhirnya, pada tanggal 1 februari 1989 orang Dodolo berhasil digiring dari Katu dengan mengusung 4 orang tua yang saat itu sudah tidak mampu lagi berjalan kaki. Tanggal 2 Februari 1989 orang Dodolo tiba di Kampungnya yang baru di Toe (Penamaan wilayah oleh warga sekitar karena terdapat sungai Toe), yaitu suatu wilayah diantara desa Wanga dan desa Kaduwa wilayah Napu. Perpindahan ini ternyata tidak memberikan solusi bagi orang Dodolo, tetapi justru menciptakan masalah baru, setelah menempati wilayah tersebut, orang Dodolo benar-benar memulai hidup dari awal dengan diberikan padang belantara yang tidak layak untuk diolah, karena lahan gambut dan berbatasan langsung dengan Taman Nasional Lore Lindu. selain itu, ternyata sungai Toe yang mengalir di tengah desa positif besiko schistosomiasis10. Tanah dan Orang Dodolo Tanggal 22 April 2012, saya mendapatkan kesempatan pertama untuk memasuki kawasan KKM11 ber10
Karena di desa yang baruini, terdapat focus penyakit schistosomiasis– yang di Indonesia hanya terdapat di sekitar Danau Lindu (Kabupaten Sigi) dan Lembah Napu (Kabupaten Poso). Tahun 1991, yakni dua tahun setelah mereka dipindahkan ke situ, 37 orang positif kena schistosomiasis atau 17,37 % dari 213 penduduk yang diperiksa saat itu. Tahun 2001, 12 orang dinyatakan positif, dan tahun 2002 6 orang positif (Seputar Rakyat, 2003) 11
Kesepakatan Konservasi Masyarakat. Kesepakatan ini difasilitasi oleh TNC sejak tahun 1999. Menurut laporan TNC, adalah merinci prinsip-prinsip yang akan mengatur hubungan antara masyarakat dan BTNLLatas areal yang telah terlanjur dijadikan kebun di wilayah
SeputarRakyat
Edisi No. 05 2012
sama dengan Nasar salah satu petani desa Dodolo. Melihat langsung perkebunan masyarakat di kawasan BTNLL. Saat menuju hutan, saya bertemu Papa Epi (samaran), salah satu warga yang memiliki kebun juga di Kawasan BTNLL. Beliau sedang mengolah air nira menjadi minuman saguer12. Kami singgah untuk bebarapa saat sambil minum saguer. Kami berdiskusi beberapa saat. Dari diskusi tersebut saya mendapatkan informasi mengenai jumlah tanah yang diambil oleh Dinas Sosial saat mengurus program PKMT13, Petugas Dinas mengambil tanah yang menjadi hak warga sekitar lebih dari 40 Ha. Saat ini, sebagian tanah tersebut telah di jual kepada migran bugis. Menurutnya, awal tiba di Desa Dodolo, tanah yang diserahkan saat itu 80 are dengan rincian lahan persawahan, 40 are untuk lahan kering serta lahan perkebunan masing 20 are.Janji pemerintah akan di serahkan 1 Ha awalnya dan kemudian ditambah lagi 1 Ha. Akan tetapi, janji tersebut tak kunjung tiba. Cerita ini memang beragam dari setiap petani. Tanah yang dikurangi sesuai dengan janji
TNLL,. Kesepakatan tersebut diterapkan melalui pembentukan Lembaga Konservasi Desa, yang diberi mandat untuk menyusun dan menegakkan aturan, menegosiasikan hak akses khusus dengan pengelola BTNLL, serta ikut memantau hasil-hasil yang di capai bersama petugas BTNLL (Li, 2012). Dalam peta yang dibuat oleh TNC, KKM yang di sepakati 99,1ha (lihat lampiran). Tapi, beberapa petani menyatakan bahwa wilayah yang mereka tanami sejak pendudukan lebih dari 200ha. Sampai saat ini mereka tetap memanen hasilnya.Sampai saat ini, Zona KKM tersebut masih dalam perdebatan panjang untuk hak kelolanya oleh BTNLL dan Orang Dodolo. 12
Salah satu minuman tradisional beralkohol, terbuat dari pohon nira dengan penyedap rasa akar salah satu pohon di hutan. Orang Dodolo menyebutnya, torode. 13
Pemukiman Kesejahteraan Masyarakat Terasing, adalah nama proyek di bawah Dinas Sosial untuk memindahkan orang Dodolo dari desa Katu yang telah di klaim berada di Zona Inti Taman Nasional Lore Lindu ke Toe yang saat ini menjadi desa Dodolo. Proyek pemindahan ini di realisasikan pada tahun 1989 (Lampiran Fatwa Tata Guna Tanah “sebagai pelaksanaan UUPA Tahun 1960 Pasal 14 dan 15 Bahan Pertimbangan Pemberian Hak Pengelolaan oleh Direktorat Jenderal Agraria, 1986).
25
Opini
Opini
Foto : Dokumen YTM.
Deklarasi front perjuangan korban tambang Sulawesi Tengah
14
The Nature Conservancy program yang berupaya mengubah perilaku dan mengarahkan keinginan masyarakat agar mau terlibat menjaga kawasan Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu. TNC menyebut pendekatan ini sebagai “Pengelolaan Kolaboratif� (collaborative management), sebuah istilah tepat untuk menggambarkan kombinasi tak jenak antara kerjasama dan penghianatan yang di-
26
dan memfasilitasi KKM, oleh BTNLL mereka disarankan untuk menanam kayu Leda di wilayah KKM. Akan tetapi, menurutnya kayu Ledamemang baik untuk ramuan bangunan tetapi kurang baik tumbuh di tanah tempat
tuntut dari para partisipan. Proyek ini bertujuan membentuk komunitas masyarakat yang patuh dan setuju untuk tidak masuk dalam kawasan BTNLL sehingga keanekaragaman hayati di dalamnya bisa dijaga. Dalam prosesnya seringkali, aturan hukum atau teknoilmiah secara tegas hendak ditegakkan, tetapi kemudian diikuti oleh kompromi yang terpaksa di tempuh untuk memberi tempat bagi tuntutan masyarakat. Kompromi memfasilitasi subyek-subyek baru yang mengakui nilai-nilai konservasi, sekalipun hal itu membuka arena perjuangan baru di mana nilainilai konservasi tersebut di permasalahkan. Program dengan langkah-langkah pengendalian yang sifatnya “top-down� ternyata gagal mendatangkan manfaat, justru mengakibatkan perlawanan yang terjadi di desa-desa yang berada di sekitar BTNLL yang berujung pada konflik antara Masyarakat Tempatan dengan petugas jagawana dan pembakaran posnya hingga pendudukan Dongi-dongi yang berada di Zona Inti BTNLL, termasuk juga pendudukan kawasan yang saat ini menjadi KKM di Dodolo, pendudukan Masyarakat Tempatan di wilayah BTNLL (Li, 2012)
Edisi No. 05 2012
kebunnya. Karena bertumbuh dengan lambat dan kerdil ditambah lagi, mematikan tanaman kakau. Memang saat saya melihat kayu leda di desa Dodolo, seperti yang disampaikan Nasar, berbeda dengan yang ada di tempat lain, dimana leda tumbuh dengan baik tapi bukan di sekitar perkebunan kakau. Saat saya menanyakan kronologi proses pembagian tanah kepada petugas Dinas Sosial yang sudah mengundurkan diri dari kedinasan sejak memilih menetap di desa Dodolo, ia menceritakan sesuai dengan prosesyang dijanjikan oleh pemerintah. Tapi, saat informasi tersebut saya diskusikan suatu malam dengan beberapa petani, mereka sangat yakin bahwa hak mereka telah diambil. Sayangnya, mereka menyadarinya ketika beberapa tahun kemudian saat aktivis dari YTM (Yayasan Tanah Merdeka)15 datang ke desa mereka untuk mengadvokasi perjuangan mereka menduduki BTNLL. Saat menduduki BTNLL, beragam persepsi dari petani Dodolo dian15
Salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat di Sulawesi Tengah.
SeputarRakyat
gat banyak membuat struktur tanah yang lembek sampai sedalam 100 meter ke dalam tanah. Beberapa petani menjadikannya kolam, sisanya tidak dapat di kelola sama sekali. Karna jika di kelola, saat musim hujan, air dari gunung mengalir melaui sungai melewati desa dan langsung ke rawa. Beberapa tahun sebelumnya, saat rawa tersebut dialihfungsikan menjadi persawahan, air yang mengalir dari hutan melewati desa mereka setelah sampai di rawa, air tersebut kembali dan membanjiri desa. Sejak saat itu, tanah tersebut dibiarkan menjadi rawa. Tanah rawa yang saya maksudkan termasuk wilayah tanah yang di janjikan saat proyek PKMT bagi orang Dodolo. Beberapa penduduk desa saat ini, sebagian kecil memiliki tanah lebih dari dua hektar terutama dua petugas Dinas Sosial yang mengundurkan diri dan memilih menetap di Desa Dodolo, belasan migran bugis yang menetap di tempat tersebut dengan berdagang dan memiliki kios. Dari belasan mi-
gran Bugis, terdapat dua migran yang memiliki kebun yang luas dari orang Dodolo dan migran bugis lainnya. Selain membeli dari Petugas Dinas Sosial, juga membeli dari orang Dodolo. Orang Dodolo sebagian lagi membeli tanah dari desa tetangga, yaitu desa Wanga dan desa Kaduwaa. Orang Dodolo yang menjual tanah kepada migran bugis memang memiliki alasan yang beragam. Terutama karena orang Bugis berani membeli dengan harga lebih mahal daripada masyarakat tempatan di desa tetangga atau di desa sendiri, beberapa petani juga ada yang kembali ke desa Katu setelah mendengar kabar telah mendapat pengakuan dari BTNLL dan tanah di desa Dodolo dijualnya, juga ada yang karena tuntutan biaya sekolah anak di kota, denda adat atas pelanggaran adat dan diwajibkan tanah sebidang tanah sebagai sanksi adat dan lain sebagainya. Suatu hari, sore menjelang malam, saya berdiskusi dengan beberapa petani di tempat minum saguer di mana
Foto : Dokumen Jopi
2 ha berkurang antara 20 sampai 40 are. Selain itu beliau juga menjelaskan mengenai susahnya hidup saat di awal-awal datang ke Dodolo. Mereka diberikan ikan asin, beras, minyak goreng, gula dan kopi serta beras selama 2 tahun awal masuk di Desa Dodolo. Saat ini, dengan memiliki anak 6 orang dengan lahan yang terbatas, menjadi sangat sulit. Saat mengambil lahan di kawasan BTNLL, masyarakat tidak memiliki kesepakatan berapa yang akan dikelola. Masing-masing mengambil sesuai dengan keinginannya. Setelah minum saguer, kami melanjutkan perjalanan menuju ke kebun Nasar dengan tujuan mengambil kayu bakar di kebunnya.Setelah tiba di kebun Nasar, dalam perjalan, Nasar menjelaskan bahwa saat TNC14 masuk
taranya, di desak oleh orang Kaduwaa, harga kakau yang saat itu menjanjikan sehingga membutuhkan lahan yang lebih luas untuk perkebunan kakau serta kebutuhan mereka akan tanah yang kian mendesak seiring mengetahui bahwa tanah yang menjadi hak mereka ternyata di ambil oleh orang Dinas Sosial. Upaya pendudukan ini mendorong kebutuhan mereka akan bantuan aktivis kian besar. BTNLLmelalui Polisi Hutan tidak segan-segan memburu mereka. Tahun 2001, beberapa dari petani di desa Dodolo mendapat Surat Panggilan dari Kepolisian Sulawesi Tengah karena dianggap provokator di desa. Satu-satunya yang membantu mereka untuk menghadapi kekuatan pemerintah adalah aktivis LSM. Sejak saat itu, kepercayaan antara orang Dodolo dan LSM terjalin, hingga cenderung bergantung. Kondisi persawahan Desa Dodolo, memang beberapa lahan yang tidak produktif untuk dikelola, karena tanah rawa, dengan kandungan air yang san-
Lembah Napu dimana Desa Dodolo berada
SeputarRakyat
Edisi No. 05 2012
27
Opini
Masuknya wacana persiapan REDD+ di desa Dodolo Primodialisme AMAN Sulteng Sangaji mengkritisi lemahnya konseptualisasi Masyarakat Adat berdasarkan definisi WALHI dalam pertemuan di Toraja yang digunakan oleh Ornop di Sulawesi Tengah. Dimana konsep ini berefek pada mobilisasi masyarakat yang memperjuangkan haknya atas tanah akibat hegemoni negara dan pengusaha-pengusaha yang telah mendapat restu dari pemer-
28
Foto : Dokumen climate-connections.org
mereka biasa melepas lelah sepulang bekerja di sawah atau ladang. Papa Linda (samaran) bercerita, “Coba lihat jari saya (sambil membuka telapak tangannya dengan maksud menunjukkan ke sepuluh jarinya pada saya), saya tinggal di sini hanya mengandalkan ini. Saya orang Toraja yang menikah dengan orang Dodolo. Istri saya tidak dapat tanah, karena tanah orang tuanya tidak cukup untuk dibagikan ke semua anak-anaknya. Jadi saya di sini hanya bekerja di sawah orang dengan sistem bagi hasil” Beberapa generasi setelah pemindahan sejak tahun 1989 dari Katu yang saat itu belum berkeluarga, saat ini telah memiliki keluarga sendiri, sebagian besar tidak memiliki tanah. Demikian juga generasi yang lahir di desa Dodolo dan saat ini yang telah memiliki keluarga. Tidak hanya anak perempuan seperti hal nya istri Papa Linda, tetapi juga anak laki-laki yang saat ini telah berumah tangga sendiri. Beruntung bagi anak-anak yang oleh orang tua mereka dapat melanjutkan sekolah di kota, memiliki alternatif lain untuk mencari pekerjaan di Kota atau ke daerah lain. Tetapi bagi yang tidak memiliki tanah dan tidak mendapat kesempatan sekolah, kebanyakan menjadi buruh tani di sawah dan buruh perkebunan pada pemilik lahan. Hal ini tidak pernah,sekalipun di singgung oleh AMAN Sulteng yang sibuk rapat di hotel dan balai pertemuan di Kota Palu terkait agenda REDD+ yang saya ikuti pertemuannya.
Opini
Poster Penolakan REDD
intah untuk mengelola hutan, ternyata tidak relevan dalam konteks Masyarakat Adat di Sulawesi Tengah. Menurut Sangaji (2010:365-366), komunitaskomunitas Masyarakat Adat di Sulawesi Tengah bukanlah entitas yang terisolasi dan tidak pernah berubah, tetapi telah mengalami perubahan sedemikian rupa pada sejarah mereka yang panjang dalam migrasi, peralihan agama, dominasi politik oleh kekuatan politik di luar mereka. Mereka juga terintergrasi ke dalam ekonomi pasar. Komunitas semacam ini yang dianggap sebagai Masyarakat Adat harus dipahami sebagai entitas yang kompleks dan dinamis. Sangaji menganggap bahwa kehadiran gerakan Masyarakat Adat di Sulawesi Tengah, pertama-tama harus dilihat sebagai Edisi No. 05 2012
reaksi terhadap pembangunan yang restriktif, pembangunan yang hadir di masyarakat tidak bersahabat dengan kelompok yang disebut Masyarakat Adat. Berdasarkan informasi yang berkembang di masyarakat Sulawesi Tengah, isu Masyarakat Adat mulai dibawa AMAN di Toro, sebuah desa yang merupakan bagian dari wilayah kecamatan Kulawi. Oleh AMAN, masyarakat diperjuangkan untuk tetap menghuni kawasan Taman Nasional Lore-Lindu dan memanfaatkan potensi alamnya untuk kepentingan bertahan hidup (Sangadji, 2010; Li, 2010). Kehadiran AMAN khususnya di Sulawesi Tengah sebagai keterwakilan Masyarakat Adat yang diawali di Desa Toro hingga kemudian menyebar di
SeputarRakyat
berbagai wilayah baik desa maupun komunitas.Gerakan masa yang mendengung-dengungkan identitas keaslian dan adat memang memiliki efek animo besar Masyarakat Tempatan Sulawesi Tengah yang terlarut oleh sejarah masa lalu akan kejayaan adat yang sebenarnya pemaknaannya kabur. Pada tanggal 18 februari 2011 Surat keputusan-SK Gubernur Sulawesi Tengah no. 522/84/Dishutda – G.ST/2011 mengenai penetapan Pokja REDD+ di Sulawesi Tengah. Tanggal 14 Maret 2011, diadakan acara pengukuhan oleh Gubernur Sulawesi Tengah dengan visi pembangunan kehutanan Indonesia, yakni: “Hutan Lestari Untuk Kesejahteraan Masyarakat Yang Berkeadilan”(News Letter III). AMAN Sulteng termasuk dalam Pokja REDD+. Desa Dodolo berbatasan langsung dengan BTNLL, merujuk pada Surat Usulan BTNLL sebagai Demonstration Activity (DA) REDD+ No: S. /IV-T.13/ TU-Um/2012. Terdapat empat poin sebagai alasan BNTLL menjadi DA REDD+ di implementasikan16. Awal kedatangan saya ke desa Dodolo, mengikuti Pengurus Wilayah (PW) AMAN Sulteng, dalam rangka sosialisasi Program Kerja AMAN Sulteng terkait REDD+ dan unsur pendukung FPICnya. Menurut Markus Laki (46) Pengurus Daerah AMAN di wilayah keadatan Tampo Lore17 di bentuk sejak bulan Juli 2011. Sejak saat itulah, 16 17
Surat terlampir.
Wilayah Keadatan Tampo Lore adalah wilayah yang diklaim oleh suku bangsa yang pertama datang ke Lembah Napu, yaitu suku bangsa to pekurehua (saat ini mereka menyebut diri mereka sebagai Orang Napu). Menurut legenda Masyarakat Tempatan, Napu berasal dari kata naopu yang artinya habis atau dihabiskan. Alkisah, ketika terjadi perang antar suku, Suku Kaili dari wilayah keadatanto kaili (kerajaan Sigi) menyerang wilayah keadatan to pekurehua. Tetapi perlawanan to pekurehua sangat hebat sehingga tidak bisa ditaklukkan. Akhrinya, pasukan kerajaan sigi, menyebarkan racun melaui air sungai yang berasal dari gunung dan turun ke lembah Napu di mana penduduk bermukim. Proses ini menghabiskan sebagian besar penduduk to pekurehua atau dikenal dengan naopu.(kisah ini saya dapatkan dari seorang peatni di Desa Maholo)
orang Dodolo diklaim sebagai anggota AMAN Sulteng.Sejarah singgkat Orang Dodolo dan menghubungkan dengan konsep Masyarakat Adat yang menjadi ukuran identifikasi unsur pembeda dengan masyarakat lokal olehAMAN terdapat ketidak konsisten. Menjadi pertanyaan dan kecurigaan saya, apa kepentingan AMAN dibalik ini, terutama pengabaian mereka terhadap Masyarakat Tempatan yang datang terlebih dahulu dan secara pragmatis megangkat Pengurus Daerah AMAN yang justru datang terkemudian di lembah Napu yang menjadi wilayah keadatan to pekurehua serta pengabaian AMAN Sulteng akan akses tanah yang menjadi kebutuhan dasar orang Dodolo? Menurut Pak Markus Laki dan Mono Tohea, ada keterhubungan antara Orang Toro dan Orang Dodolo, sudah terjalin sejak awal sejarah orang Dodolo lari dari wilayah Rampi karena masuknya penyerangan pasukan DI/ TII pimpinan Abdul Qahhar Muzakkar. Sebagian pelarian itu banyak yang saat ini berada di Desa Toro. Bahkan beberapa penduduk yang saat ini, tinggal di desa Dodolo, sebelumnya pernah menjadi warga Toro. Selain itu, telah terjadi proses perkawinan antara warga Toro dan warga Dodolo. KetuaPengurus Wilayah AMAN, berasal dari Toro, yaitu Rizal Mahfud. Rukmini termasuk Pengurus Besar (PB) AMAN Jakarta, yang lebih memilih menetap di Palu. Rizal Mahfud selaku Ketua Pengurus Wilayah AMAN Sulteng adalah suami dari Rukmini dan beberapa pengurus lain adalah keponakan dari pasangan suami istri Rizal Mahfud dan Rukmini. Merekalah yang masuk semua Sub Pokja REDD+. AMAN Sulteng dalam hal ini, layaknya organisasi keluarga. Dan sayap-sayap perjuangannya di desa Dodolo dan di Sub Pokja REDD+ adalah juga tidak lepas dari bentuk perpanjangan rantai hegemoni berdasarkan kultur keluarga. Markus Laki sebagai Pengurus Daerah (PD) AMAN di wilayah keadatan to pekurehua menceritakan
SeputarRakyat
Edisi No. 05 2012
pada saya bahwa di masa mudanya pernah tinggal di Toro, di rumah orang tua Rukmini dan sudah menganggap Rizal Mahfud dan Rukmini adalah keluarga. Posisi AMAN Sulteng di Pokja REDD+ sangat strategis hal ini tidak lepas dari hegemoni mereka yang mampu menciptakan imajinasi secara internasional bahwa yang dikatakan sebagai indigenous people di Sulawesi Tengah itu ada. Nota Kesepakatan dari KOMNASHAM, Kementrian Lingkungan Hidup dan Badan Pertanahan Nasional di jadikan alat untuk menciptakan kesadaran Masyarakat Tempatan yang kian bergantung di bawah bayang-bayang gerakan imajinasi sebagai Masyarakat Adat, juga menjadi legitimasi mereka mewakili Masyarakat Tempatan yang telah meraka klaim sebagai Masyarakat Adat. Saat saya ke kantor AMAN Sulteng di Kota Palu dan mengkonfirmasi data mereka mengenai orang Dodolo, salah satu anggota Pengurus Wilayah memberikan sejumlah data Masyarakat Adat yang mereka klaim, dalam bentuk soft fileMicrosoft Word. Setelah saya memeriksa data tersebut, terdapat tulisan singkat orang Dodolo yang berisi upacara adat, sejarah singkat, serta ritual dan yang berlaku. Saat saya mengkonfirmasi, pengurus tersebut menyampaikan bahwa orang Dodolo masih baru masuk dalam keanggotaan dan masih dalam proses penelusuran data. Di sisi lain, saat mereka membicarakan informasi mengenai keberadaan Masyarakat Adat di Sulawesi Tengah dalam agenda pertemuan atau sosialisasi REDD+ di Sulawesi Tengah, mereka selalu menyampaikan bahwa mereka telah memiliki anggota di 10 Kabupaten di Sulawesi Tengah. Presentasi AMAN Sulteng terkait sosialisasi dan pertemuan REDD+, mengenai siapa Masyarakat Adat, pengurus AMAN Sulteng selalu memaparkan presentasi Masyarakat Adat Toro dan wilayah adat mereka yang telah terpetakan oleh BRWA (Badan Registrasi Wilayah
29
Opini
18
Bertugas membuat peta wilayah adat secara partisipatif bersama Masyarakat Adat (MA) yang di klaim oleh AMAN
30
DaftarPustaka
Foto : Dokumen YTM
Adat)18 dan mencoba mencocokkannya dengan Masyarakat Tempatan di mana sosialisasi dilaksanakan demikian juga saat pertemuan. Jika mengikuti konsep AMAN, tanah di mana mereka hidup dan mencari hidup saat ini, adalah tanah adat to pekurehua yang saat ini menjadi desa tetangga mereka desa Wanga dan desa Kaduwaa yang jelas lebih berhak. Meski saat ini, hal tersebut belum terjadi konflik secara langsung, tetapi cibiran dari desa tetangga sudah menjadi buah bibir yang memanaskan muka dan telinga orang Dodolo. Seperti saat suatu hari, saat saya ke desa Wanga, seorang petani yang saya wawancarai menyampaikan, “orang Dodolo itu tidak tau diri, tanah kami yang mereka pakai saat ini. Mereka jual sama orang Bugis. Itu dulu tanah kami, tempat kami kase makan kerbau”. Herman Pahu’u yang menjadi ketua Lembaga Konservasi Desa hasil KKM oleh TNC perwakilan dari desa Dodolo, saat megikuti pertemuan di kecamatan. Menyampaikan bahwa orang Kaduwaa dan Wangga protes saat orang Dodolo ikut mengokupasi BTNLL yang saat ini menjadi wilayah KKM orang Dodolo.Orang Dodolo tidak punya hak atas hutan tersebut, karena itu adalah tanah adatnya orang to pekurehua yang ada di desa Wanga dan Kaduwaa. Sementara konsep FPIC yang ditawarkan oleh AMAN Sulteng sebelum REDD+ diimplementasikan, tidak berbicara mengenai jaminan akses akan tanah karena berharap peta wilayah adat yang selama ini di buat cukup untuk menjadi alat negosiasi. Di sisi lain harapan orang Dodolo adalah jelas, nasib jaminan mereka atas tanah yang sampai saat ini menjadi perdebatan antara orang Dodolo dan BTNLL. Setiap pergantian Kepala BTNLL, selalu terjadi perubahan kebijakan. Sampai saat saya meninggalkan Sulawesi Tengah, peta wilayah
Opini
Penandatanganan Kesepakatan pasca aksi reclaiming petani di Lore Timur
adat orang Dodolo yang menjadi alat negosiasi untuk REDD+ belum di buat oleh AMAN Sulteng. Jika peta wilayah adat itu di buat, tidak menutup kemungkinan menghadirkan konflik dengan Masyarakat Tempatan yang lebih dahulu hadir dan mengklaim desa Dodolo adalah wilayah adat mereka.
Kesimpulan Penaklukan panjang hingga memaksa orang Dodolo melarikan diri, telah menciptakan mereka menjadi manusia yang bergantung pada Masyarakat Politik19, dimana kekuasaan dianggap bersumber dengan harapan, sumber-sumber kekuasaan itu akan adil dan berpihak pada mereka terutama akses mereka akan tanah serta insentif-insentif yang diterima oleh Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu yang kabarnya mensejahterahkan masyarakat yang hidup di sekitarnya. Tapi sampai saat ini, kabar itu tidak pernah terbukti. Ketika identitas Masyarakat Adat disematkan pada 19
Saya mengunakan konsep ini merujuk pada pemerintah, LSM, Juga Ornop seperti AMAN.
Edisi No. 05 2012
mereka, persetujuan dan anggapan siapa mereka atas indentitas tersebut serta merta di terima dan mereka pakai.Sumber-sumber kekuasaan bukan tanpa kepentingan. Saat AMAN Sulteng masuk ke desa Dodolo untuk membawa identitas Masyarakat Adat untuk disematkan pada mereka bertepatan denganproyek persiapan REDD+,hanya untuk memperkuat posisi AMAN Sulteng di pokja REDD+ yang apabila diimplementasikan di BTNLL. Semakin banyak desa yang menjadi anggota AMAN, semakin luas wilayah adatnya, semakin kuat pula hegemoni AMAN dalam posisi REDD+ dan semakin besar peluang REDD+ diimplementasikan di wilayah tersebut.Menjadi kegelisahan saya, tidak ada yang menjamin dana insentif REDD+ akan sampai kepada mereka yang diklaim sebagai Masyarakat Adat, atau insentif dana dari REDD+ terus berlangsung. Klaim disematkan sebagai Masyarakat Adat, bukanlah lahir dari kesadaran orang Dodolo, tetapi bagaimana kesadaran mereka telah di bentuk untuk takluk, kemudian diberikan identitas baru.
SeputarRakyat
Anggota Pokja FPIC., 2012 “Laporan Pelaksanaan Sosialisasi dan Training of Trainers Fasilitator Uji Coba Panduan FPIC REDD+ Sulawesi Tengah”. Disusun oleh anggota Sub Pokja FPIC REDD+ Sulawesi Tengah. Palu: Dokumen Dinas Kehutanan Sulawesi Tengah. Eyerman, Ron., 1981 “False consciousness and Ideology in Marxist Theory”. Lund: Departement of Sociology, Lund University. Friedman, Jonathan.,1997 “Global Crises, The Struggle for Cultural Identity and IntelectualPorkbarrelling: Cosmopolitans Versus Locals, Ethnic and Nationals in an Era of De-Hegemonisation”, di dalamPninaWerbner and Tariq Modood (Eds.), Debating Cultural Hybridity Multicultural Identities and the Politics of Anti-Racismhlm. 70-89. London and New Jersey: Zed Books Gonggong, Anhar.,1990 Abdul Qahhar Mudzakkar dan Gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan, 1950-1965. Jakarta: Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia. Gramsci, Antonio.,1971Selections From Prison Notebooks, edited and translated by Quentin Hoare and Geofrey N. Smith. London: Lawrence and Wishart Li, Tania M., 2012. The Will To Improve: Perencanaan,Kekuasaan dan Pembangunan, terjemahan Herry Santoso dan Pujo Semedi. Jogjakarata: Margin Kiri -------2010 “Adat di Sulawesi Tengah: Penerapan Kontemporer”, di dalam Jamie Davidson, dkk (Eds.), Adat Dalam Politik Indonesia hlm. 367-405. Jakarta : YOI dan KITLV -------2001 “Masyarakat Adat, Difference, and The Limits of Recognition in Indonesia’s Forest Zone”. Cambridge: University Press Printed in The United Kingdom UN-REDD Prgramme Indonesia., 2011 News letters edisi perdana hingga edisi ke empat. Palu: Dokumen UN-REDD Rangi, Ferry., “Peran dan Politisasi Lembaga Adat di Kabupaten Sigi (Studi kasus Lembaga Adat di Kulawi)”. Jogjakarta: Antropologi UGM Reid, Anthony.,2011 Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid I : Tanah di Bawah Angin. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesi Sangaji, Arianto., 2010 “KritikTerhadapGerakanMasyarakatAdat di Indonesia”, di dalam Jamie Davidson, dkk (Eds.), AdatDalamPolitik Indonesiahlm. 347-366. Jakarta: YOI dan KITLV Setra, Mina Susana., 2010 “Penyiapan Masyarakat Adat Dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Hasil-hasil konsultasi nasional Masyarakat Adat tentang perubahan iklim”. Jakarta: Dokumen AMAN Sugionno, Muhadi., 2006 Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: Pustaka Pelajar Sulu, Phill M.,2011PERMESTA dalam Romantika Kemelut dan Misteri. Jakarta: Gramedia Suseno, Franz Magnis.,2003Dalam Bayangan Lenin: Enam Pemikir Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka. Jakarta: Gramedia Tim Penulis Pokja IV., 2011 Panduan Pelaksanaan FPIC dalam Program UN-REDD di Sulawesi Tengah. Palu: Dokumen AMAN Sulteng Wibowo, Boogie., 2010 Di Bawah Bayang-Bayang Amerika Serikat (Keterlibatan Amerika Serikat dalam Pemberontakan PRRI/PERMESTA 1955-1961). Jakarta: Penerbit Narasi YayasanSatudunia., 2011 “Question and Answer TentangKeadilanIklimEdisi I”. Jakarta: YayasanSatudunia
SeputarRakyat
Edisi No. 05 2012
31