Contents Oktober 2014 MENCICIPI SAMPAN LOK BAINTAN L o k B a i n ta n , s a l a h s a tu p a s a r te ra p u n g tra d i s i o n a l ya n g m a s i h b e rd e n yu t h i n g g a d e ti k i n i . B e ra d a d i a l i ra n s u n g a i Ta b u k, d i p i n g g i ra n ko ta B a n j a rm a s i n , p a s a r i n i b e ru s a h a u n tu k te ru s e ks i s d i te n g a h m e m b a n j i rn ya p a s a r m o d e rn d a n m i n i m a rke t ya n g tu m b u h p e s a t d i Ka l i m a n ta n S e l a ta n . Ki s a h ro m a n ti s m e p a s a r ya n g s u d a h a d a s e j a k p u l u h a n ta h u n s i l a m i n i s u n g g u h s a ya n g u n tu k d i l e wa tka n
4 | Wongkentir Magazine
SOTO BANJAR
MARTAPURA
Wongkentir Magazine | 5
Editor Note Syukur Alhamdulillah, setelah penantian hampir lima bulan lamanya, akhirnya selesai juga Edisi ketiga dari Wongkentir Magazine. Waktu yang masih cukup lama antar edisi. Tapi apapun itu, aku bersyukur, diantara kesibukan, masih sempat menyelesaikan proyek idealis ini Jika di edisi sebelumnya, aku tidak jadi menulis tentang Kalimantan Selatan, padahal sudah tertulis di next edition, maka kali ini, aku tepati janjiku untuk menulis tentang Kalimantan Selatan. Kalimantan Selatan dengan ibukotanya Banjarmasin sejak lama menjadi salah satu kota yang menjadi pusat perekonomian di pulau Kalimantan. Dengan potensinya, Banjarmasin terus membangun dirinya agar semakin menarik bagi para investor yang ingin menanamkan modalnya disana. Selain itu, dengan jumlah penduduknya yang semakin padat, Banjarmasin juga terus menata kotanya agar tetap menjadi rumah yang nyaman bagi warganya Salah satu yang menarik di Kalimantan Selatan adalah kegiatan jual beli yang dilangsungkan di atas sungai atau yang lebih dikenal dengan nama Pasar Terapung. Kegiatan yang konon sudah dilakukan sejak bertahun-tahun lalu itu tetap bertahan hingga kini meski suasananya sudah tidak seramai dulu. Kehadiran pasar modern yang lebih mudah, nayamn dan bersih menjadi alasan mengapa pasar terapung kian sepi. Untuk melestarikannya, pemerintah kota dan daerah terus berkoordinasi dan melakukan berbagai upaya agar pasar ini tetap terus ada karena menjadi bagian penting dari sejarah. Cukup sekian editor note kali ini. Selamat membaca dan semoga bermanfaat Surya Hardhiyana Putra @suryahardhiyana Wongkentir Magazine Pemimpin Perusahaan Dewi Wara Shinta Pemimpin Redaksi Surya Hardhiyana Putra
Editor Surya Hardhiyana Putra Design dan Layout Surya Hardhiyana Putra Photo Editor Surya Hardhiyana Putra
Publisher Hardhiyana Corp Office Surabaya Contact surya00[at]gmail[dot]com
Cover Keriuhan Pasar Terapung Lok Baintan
Location : Lok Baintan, Kalimantan Selatan Photo by Surya Hardhiyana Putra 6 | Wongkentir Magazine
Contributors
DEWI WARA SHINTA Pecinta buku dan juga dosen di salah satu perguruan tinggi di Surabaya. Sebenarnya sangat malas untuk diminta menulis, tapi karena dipaksa, maka akhirnya bisa juga mengisi salah satu tulisan di Wongkentir Magazine edisi kali ini
Wongkentir Magazine | 7
Prolog
Banjarmasin, sebuah kota besar di pulau Kalimantan yang memiliki sejarah cukup panjang. Kota dengan luas hampir 1 00 kilometer persegi ini adalah ibu kota propinsi Kalimantan Selatan. Untuk menuju Banjarmasin, cara tercepat tentunya dengan menggunakan pesawat. Bandara H Syamsuddin Noor yang terletak di Banjar Baru adalah gerbangnya. Beberapa kota yang mempunyai penerbangan langsung ke Banjarmasin adalah Jakarta, Yogyakarta, Surabaya dan Balikpapan. Saat ini bandara Syamsuddin Noor direncanakan akan di renovasi dan ditingkatkan statusnya menjadi Bandara Internasional. Cara kedua adalah melalui jalur laut dengan Pelabuhan Trisaksi menjadi pintunya. Pelabuhan yang dalam pengelolaan PT Pelabuhan Indonesia III ini adalah pelabuhan tersibuk di pulau Kalimantan. Selain sebagai 10 | Wongkentir Magazine
pelabuhan penumpang, Pelabuhan Trisakti juga berfungsi sebagai pelabuhan barang. Berbagai komoditas ekspor dari Kalimantan Selatan seperti kayu, rotan, getah jelatung, kulit gemor, biji tengkawang, intan hingga batubara di kirim ke penjuru dunia melalui pelabuhan trisakti. Sedangkan untuk antar kota di Kalimantan, ada jalan darat yang menghubungkan Banjarmasin dengan Balikpapan di Kalimantan Timur maupun Palangkaraya di Kalimantan Tengah. Bagi seseorang yang ingin berkeliling ke sudut-sudut kota Banjarmasin, tidak ada kata yang tepat untuk menggambarkan kegiatannya selain kata menyusuri. Kata menjelajahi tidak cocok digunakan dalam konteks berkeliling kota Banjarmasin. Ini disebabkan kondisi wilayah kota Banjarmasin yang dikelilingi berbagai sungai, mulai dari
yang kecil sampai yang besar. Tak heran Banjarmasin mendapat julukan kota seribu sungai. Bahkan beberapa daerah di kota Banjarmasin hingga kini banyak yang berupa pulau-pulau kecil (delta) yang dikelilingi oleh sungai. Karena itulah, kata menyusuri lebih cocok, karena cara terbaik untuk melihat sudut demi sudut kota Banjarmasin adalah dengan menyusuri sungai-sungainya. Sejak bertahun-tahun, sungai telah menjadi denyut nadi perekonomian Banjarmasin maupun Kalimantan Selatan, mulai dari sebagai sarana transportasi hingga jual beli. Dan kegiatan jual beli di atas sungai alias Pasar Terapung inilah yang menjadi salah satu daya tarik utama bagi wisatawan untuk datang ke Kalimantan Selatan. Ada dua pasar terapung besar di Kalimantan Selatan yang masih terus berdenyut hingga masa
kini, yaitu Pasar Terapung Kuin, yang masih di sekitar kota Banjarmasin dan Pasar Terapung Lok Baintan yang lokasinya berada di luar kota Banjarmasin. Selain Pasar Terapung, daya tarik lain yang membuat banyak orang datang ke Banjarmasin dan Kalimantan Selatan adalah Intan. Sebenarnya pusat jual beli intan sendiri tidak di Banjarmasin, melainkan di kota Martapura, sekitar satu jam perjalanan dari kota Banjarmasin. Puas menyusuri kota Banjarmasin, jangan lupa mencicipi kuliner khasnya, yaitu Soto Banjar. Bagi yang ingin merasakan sensasi lebih dalam menikmati Soto, bisa langsung menikmati Soto Banjarnya ketika berkunjung ke Pasar Terapung karena ada kelotok yang digunakan khusus untuk berjualan soto. Jadi, mari menyusuri Banjarmasin dan Kalimantan Selatan.
Wongkentir Magazine | 11
Journey
Pagi itu, adzan subuh baru saja berkumandang sekitar 20 menit yang lalu di kota seribu sungai, Banjarmasin. Suasana masih sangat gelap. Di ufuk timur, matahari belum menampakkan diri secara utuh. Yang tampak hanyalah semburat jingganya. Di hari yang masih gelap itu, aku dan temantemanku sudah berada didalam mobil untuk memulai perjalanan menjelajahi ke-eksotisan budaya Kalimantan Selatan. Yap, pagi ini, kami ingin menikmati riuhnya Pasar Terapung 12 | Wongkentir Magazine
Muara Kuin. Pasar ini terletak di sungai kuin, salah satu anak sungai Barito. Mata kami semua sebenarnya masih sangat berat untuk terbuka. Tapi mau bagaimana lagi, ini adalah satu-satunya cara untuk bisa melihat eloknya pasar terapung muara kuin. Pasar terapung muara kuin mulai beroperasi dari jam 6 pagi hingga sekitar jam 8 atau maksimal jam 9 pagi. Jadi jika kami berangkat dari hotel agak siang dikit, dijamin, begitu kami sudah sampai lokasi, yang kami
temukan mungkin hanyalah sisa-sisa pasar atau bahkan sudah tiada lagi pedagang disana. Jalanan masih tampak lengang, sehingga mobil yang kami tumpangi bisa melaju cukup kencang. Perjalanan kami terhenti di sebuah dermaga kecil bernama Belitung. Disini kami menyewa sebuah kelotok alias perahu yang akan membawa kami menuju Pasar. Dengan jadwal pasar yang sangat pagi, maka sewa mobil adalah satu-satunya cara yang
bisa dilakukan untuk bisa menuju dermaga kelotok dari pusat kota Banjarmasin. Atau kalau sendiri, mungkin bisa naik ojek. Angkutan kota belum beroperasi sepagi itu. Kalau ada pun, maka akan ditempuh dengan waktu yang cukup lama karena masih sedikit penumpang yang naik. Negosiasi harga sewa kelotok berjalan cukup alot. Si Pemilik kelotok membuka harga 1 50 ribu, sedangkan kami menginginkan harga 1 00 ribu. Dengan dibantu oleh Pak Soni, Wongkentir Magazine | 13
driver dari mobil sewaan kami, kami akhirnya berhasil mendapatkan harga 1 20 ribu. Kelotok berjalan pelan menyusuri sungai barito yang sangat luas. Saking luasnya, aku merasa berada di laut daripada di sungai. Angin pagi menderu kencang dan terasa cukup dingin menembus kulit. Hal yang membuatku menyesal meninggalkan jaket di dalam mobil. Hanya beberapa menit, kami sudah sampai di lokasi pasar terapung. Suasana masih tampak cukup sepi dan lengang. Aku tidak menemukan suasana riuhnya pasar terapung seperti yang sering aku lihat di majalah, koran ataupun iklan lawas salah satu stasiun televisi swasta nasional. Entahlah, apakah mungkin karena hari masih terlalu pagi atau karena masih dalam suasana bulan ramadhan atau memang benar berita yang pernah kubaca di sebuah blog ataupun media online bahwa pasar terapung di Kalimantan selatan ini menuju kepunahan. Tanpa membuang waktu, aku keluarkan kamera dan mengambil beberapa frame. Banyak sekali hal menarik disini, hingga membuatku seperti tidak rela berhenti menekan shutter. Riak-riak kecil air sungai yang senantiasa menggoyangkan kelotok yang kami tumpangi, membuat kami harus berhati-hati ketika memutuskan mengambil gambar dengan berdiri.
14 | Wongkentir Magazine
Beberapa menit menuyusuri pasar, kelotok kami didekati oleh beberapa pedagang. Mereka menawarkan dagangannya yang berupa hasil bumi seperti sayur dan buah. Sambil mendayung perahunya, yang dalam bahasa banjar disebut Jukung, mendekati kelotok kami, para pedagang yang kebanyakan adalah ibu-ibu ini, meneriakkan barang dagangan mereka. Tertarik dengan keranuman buah-buahan yang mereka tawarkan serta dalam rangka turut berpartisipasi dalam kelestarian pasar terapung ini, kami pun membeli beberapa buah-buahan. Salah satu buah yang menarik perhatianku adalah Kesemek. Bukan apaapa, tapi sepanjang hidupku, aku belum pernah makan buah kesemek sama sekali. Dalam transaksi kali ini, kami hanya bisa pasrah dan percaya pada si pedagang bahwa buah yang dia jual rasanya manis. Kami jelas tidak bisa mencicipinya karena tengah beribadah puasa ramadhan. Jika berkunjung ke pasar ini tidak pada bulan ramadhan, konon akan ada kelotok yang khusus berjualan makanan. Salah satu yang laris manis adalah Soto Banjar, makanan khas Banjar. Disini wisatawan bisa merasakan sensasi makan soto banjar yang lezat itu di atas kelotok. Semakin siang, suasana pasar ternyata tidak terlalu bertambah ramai.
Masih lengang seperti di awal kedatangan kami beberapa menit yang lalu. Mungkin memang benar berita-berita bahwa pasar terapung ini menuju kepunahan. Arus modernisasi yang diikuti dengan tumbuh suburnya pasar-pasar tradisional maupun modern di daratan serta ditunjang dengan mudahnya dan murahnya mendapatkan kredit sepeda motor membuat pasar terapung kehilangan geliatnya. Orang-orang Banjar kini lebih memilih membeli motor daripada perahu/jukung. Untuk belanja, mereka bisa melakukannya di daratan.
Pembeli di Pasar Terapung berkurang. Akibatnya penjual pun berkurang. Kini, yang bisa kusaksikan hanyalah sebuah sisa-sisa kejayaan pasar terapung yang dulunya merupakan denyut nadi ekonomi warga Banjar yang konon sudah berjalan sejak 4 abad silam. Masih beruntung diriku bisa menikmati sisa-sisa itu. Jika pemerintah tidak turun tangan dan tidak segera melakukan sebuah tindakan pelestarian, sisa-sisa ini akan menjadi tidak berbekas. Pasar terapung Muara Kuin pun hanya tinggal nama dan legenda. Semoga ini semua tidak terjadi.
Wongkentir Magazine | 15
Cullinary
Awal
Bulan September 201 2 ini, aku berkesempatan mengunjungi lagi Kalimantan Selatan. Lagi-lagi masih dalam rangka dinas. Dan masih dengan rekan-rekan yang sama kala keberangkatan bulan Agustus yang lalu. Satu hari kami stay di kota Banjarmasin, sedangkan tiga hari lainnya kami habiskan di kota Asam Asam. Dalam kesempatan stay sehari di kota Banjarmasin, kami memanfaatkannya untuk berkunjung kembali ke Pasar Terapung Muara Kuin. Kali ini bukan pasar terapungnya yang membuat penasaran, tetapi sensasi sarapan pagi Soto Banjar di atas kapal yang membuat kami datang kembali ke Muara Kuin. Pada kunjungan pertama yang lalu, kami tidak sempat merasakan sensasi itu, karena saat itu tengah berpuasa ramadhan. Konon, kata seorang teman, dari daerah
Kuin-lah, Soto Banjar berasal. Tak heran di beberapa tempat, banyak sekali penjual Soto Banjar menambahkan tulisan “Asli Kuin� di spanduk warung mereka. Entahlah benar tidaknya. Mungkin nanti jika ada pembaca yang asli Banjar bisa memberikan komentarnya. Kami berangkat dari hotel ketika hari sudah sangat terang. Saat itu sekitar jam 6.1 5 pagi WITA. Karena kelelahan akibat perjalanan semalam, kami semua tidak bisa bangun pagi, he he. Sekitar jam 7 pagi, kami sampai di sungai kuin. Pasar sudah sangat sepi. Hanya tertinggal beberapa gelintir pedagang. Karena memang niatnya makan, kami pun meminta supir kelotok mengantar kami ke salah satu warung terapung. Setelah sampai, kami pun berpindah kelotok. Wongkentir Magazine | 17
Begitu memasuki dalam kelotok, aroma sedap soto Banjar langsung menyergap hidungku. Dengan cepat otakku merespon stimulus itu dan memerintahkan mulutku untuk memesan seporsi soto Banjar. Selang 5 menit kemudian, sepiring soto banjar telah tersaji di hadapanku. Hap, satu sendoknya masuk ke mulutku. Hmm.. sebuah rasa yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Pokoknya kalau kata Pak Bondan, “Mak Nyus�. Kuah sotonya yang kental dan gurih benar-benar memanjakan lidahku. Slluurrppp.. ahh> Karena memang di atas perahu, maka kami makan dengan kondisi bergoyang-goyang. He he he.. asyik juga. Meski terkadang harus hati-hati.
18 | Wongkentir Magazine
Jangan sampai, niatnya nyendok ke mulut, gara-gara perahunya goyang dan kurang konsentrasi, nasinya malah masuk ke hidung. Habis seporsi, sebenarnya pengen nambah lagi. Terutama pengen merasakan bagaimana nikmatnya soto banjar jika memakai lontong. Tapi niat itu akhirnya kubatalkan karena memang perut sudah cukup kenyang dan sepertinya sudah tidak ada space tersisa lagi. Setelah puas menikmati sarapan, kami pun bergegas pulang. Pasar sudah makin sepi. Mungkin dalam 20 menit kedepan, aktivitas jual beli di Pasar Kuin untuk hari ini sudah usai. Sebuah pengalaman yang sangat berharga. Bagiku, pengalaman ini menjadikanku menambah satu lagi khazanah menu masakan favoritku, Soto Banjar.
Wongkentir Magazine | 19
Journey MENCICIPI SAMPAN LOK BAINTAN Text and Photo By Surya
Hardhiyana Putra
Alunan riak-riak air mengalun di telingaku. Suaranya lirih dan merdu. Mereka berdendang berirama dengan hembusan sang bayu yang menerpa wajahku. Di ufuk timur sana, langit tampak jingga merona. Matahari masih belum mencapai bulat sempurna. Di pagi yang hening itu, sebuah sampan kecil bergerak pelan membelah sungai. Ada dua penumpang diatasnya, aku dan pak Roni, sang nakhoda. Usianya sudah hampir 50 tahun, tapi lengannya masih kokoh dan kuat untuk mendayung, mengemudikan sampan. Ribuan butir air terbang ke udara setiap kayuhan dayungnya mencabik badan sungai. Mereka tampak berkilau keemasan terpapar sinar sang surya. Semakin jauh sungai disusur, semakin pudar hitamnya kegelapan, keheningan semakin 20 | Wongkentir Magazine
lenyap. Berganti keriuhan yang perlahan demi perlahan muncul. Dan setelah tiga puluh menit berlalu, sampailah kami di pusat keramaian. Lok Baintan, kusapa lagi pesonamu. Ku nikmati kembali kesederhanaanmu. Kureguk puas keramahanmu. Keriuhan pasar, tawar menawar, saling sapa, gelak tawa berpadu gemericik air yang terpapar dayung. Ada damai menjalar di relung jiwa ketika berada disini. Menyaksikan sejumput keramahan bersanding dengan kearifan lokal. Sungguh terasa nyaman di kalbu. Kadang kupikir, bukan kemewahan yang memberikan kebahagiaan, justru malah kesederhanaan. Itulah yang membuatku kembali. Tepat setahun yang lalu, aku menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di desa Lok Baintan. Ketika itu, mobil yang ku tumpangi bersama
rekan-rekan berhasil menembus jalanan desa yang bergelombang hingga sampai di pusat Pasar Terapung. Tapi kali ini, mobilku tidak mampu mencapai pusat pasar. Jalanan yang rusak, berlubang serta penuh lumpur menghadang perjalanan kami, sehingga akhirnya kami harus menyewa sampan untuk bisa sampai ke pusat pasar. Tapi justru inilah asyiknya. Menikmati pasar terapung sambil ikutan mengapung di sungai. Berbaur langsung dengan para pedagang. Bagi pecinta fotografi human interest, mungkin inilah salah satu surga baginya. Seorang ibu mendekatkan kelotoknya di sampanku. Raut mukanya tampak tua, dengan tangan-tangan yang kekar memegang dayung. Bedak putih nan dingin terpulas dengan tak rata di wajahnya. Sebuah topi lebar terpasang di kepalanya. Asesoris wajib sekaligus pelindung dari teriknya panas. Di kelotoknya tersaji aneka gorengan dan makanan kecil. Ada ubi goreng, pisang
goreng, kue lumpur, kroket, hingga donat. Tampaknya sang ibu baru saja menemukan pembeli potensial. Anak muda luar kota yang tengah berwisata dengan kondisi belum sarapan. Dengan ramah dia menawarkan dagangannya. Beberapa detik kemudian wajahnya berseringai gembira karena anak muda itu tampaknya mulai tertarik. Singkat cerita, beberapa makanan kecil itu berpindah ke dalam sampan yang kutumpangi, bertukar dengan selembar uang lima ribuan. Sang ibu kemudian mengucap terima kasih dan mohon diri. Bismillah, hanya dalam hitungan menit, lima potong makanan itu sudah ludes. Yang tersisa hanya sebuah robekan kertas pembungkus. Alhamdulillah Sampan yang kutumpangi terus menyusuri jengkal demi jengkal sungai. Pak Roni begitu lihai mengendalikan sampannya. Di tengah sungai yang penuh dengan perahu, Pak Roni bermanuver dengan cekatan untuk Wongkentir Magazine | 21
menghindari tumbukan dengan perahu yang lain. Sesekali mataku menatap ke arah barang dagangan yang melintas. Beras, bawang, cabe, jahe, bumbu-bumbuan, sayur mayur, ayam, ikan, daging dan juga buah-buahan. Tiba-tiba aku teringat akan sesuatu. Buah Mentega. Yap buah mentega. Setahun yang lalu, aku membeli buah mentega di pasar ini. Tetapi karena saat itu adalah bulan ramadan, maka aku harus menunggu hingga maghrib untuk bisa mencicipinya. Malangnya, ketika maghrib tiba, sekerangjang buah mentega itu ternyata sudah habis dilahap teman-temanku. Aku hanya kebagian beberapa iris saja. Yang sedikit itu ternyata meninggalkan kenangan yang manis buatku sehingga ingin rasanya mencicipinya kembali. Tapi kali ini, aku tidak berjodoh dengan sang buah mentega. Bulan-bulan ini tidak ada satupun pedagang yang menjual buah mentega karena memang belum musimnya. Sempat terbesik kecewa karena lidahku sudah berekspektasi tinggi bahwa pagi ini dia akan mengurai rasa buah mentega yang meleleh di mulut. Tapi itu hanya sebentar saja. Pagi yang cerah ini terlalu sayang untuk dilewatkan dengan hati yang kecewa.
22 | Wongkentir Magazine
Lebih dari satu jam setengah aku habiskan waktu bersama pak Roni dan para pedagang di Lok Baintan. Perjalanan kali ini aku tidak terbatas waktu, karena memang tidak ada agenda kerja di hari itu. Itu pun aku terpaksa mengakhiri perjalanan karena pasar yang semakin sepi. Ketika hari beranjak makin siang, para pedagang mulai berpencar. Ada yang langsung kembali pulang. Ada pula yang masih mencoba menjajakan dagangannya dengan mendatangi rumah ke rumah. Sebelum mengakhiri perjalanan, aku menyempatkan membeli sepuluh butir buah jeruk. Hanya sepuluh butir dengan harga lima belas ribu rupiah. Nilai transaksi yang kecil memang, tapi aku berharap, nilai yang kecil ini mampu membantu perekonomian para pedagang dan melestarikan kelangsungan pasar tradisional yang sudah melegenda ini. Dan aku berharap, bagi rekan-rekan pembaca sekalian yang berkesempatan untuk bertandang kesana, jangan hanya melihat-lihat dan memotret saja. Lakukanlah transaksi. Belilah dagangan mereka. Meskipun kecil, aku yakin, itu sangat membantu perekonomian para pedagang dan pada akhirnya berimbas pada kelestarian pasar.
Wongkentir Magazine | 23
Journey
Berkunjung
ke kota Banjarmasin dan propinsi Kalimantan Selatan, tidak lengkap rasanya kalau tidak mampir ke Martapura. Kota yang terletak di sebelah timur kota Banjarmasin dan hanya berjarak satu jam perjalanan saja ini sudah lama tersohor sebagai penghasil intan terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Intan, salah satu jenis bahan mineral yang dimanfaatkan sebagai perhiasan selain emas, perak dan permata, adalah komoditas utama Martapura dan salah satu roda penggerak ekonomi utama propinsi Kalimantan Selatan, selain batubara. Intan di martapura sudah digali sejak ratusan tahun yang lalu, tepatnya ketika masa penjajahan kolonial Belanda. Salah satu kawasan yang paling terkenal sebagai pusat penambangan intan di Martapura adalah Desa Cempaka. Kandungan intan di desa Cempaka ini adalah yang terbesar di antara wilayah lain. Sejarah mencatat, pada tahun 1 846, pernah 24 | Wongkentir Magazine
ditemukan intan seberat 20 carat (satuan berat untuk intan. 1 carat kurang lebih sekitar 0.2 gram) di Martapura. Dan empat tahun kemudian, tepatnya di tahun 1 850, ditemukan lagi intan yang lebih besar lagi, seberat 1 67,5 carat. Kondisi wilayah yang kaya akan intan ini serta merta membuat mata pencaharian penduduk di sekitarnya tidak jauh dari intan. Sebagian besar penduduk di desa Cempaka adalah pendulang intan, dan ini sudah diwariskan secara turun temurun. Mendulang intan diibaratkan seperti mengadu nasib. Tidak mudah ternyata untuk menemukan butir demi butir intan diantara gumpalan lumpur basah. Perlu ketelitian tingkat tinggi dan keberuntungan. Kondisi ini ditambah dengan makin banyaknya pendulang, sehingga persaingan untuk mendapatkan intan juga semakin tinggi. Tapi, kondisi ini tidak lantas membuat para pendulang berkecil hati, karena selain hanya mendulang intan-lah satu-satunya keahlian
yang mereka miliki, harga intan yang super mahal juga menjadi daya tarik tersendiri. Sekali mereka berhasil menemukan butirbutir intan, maka pundi-pundi jutaan rupiah dipastikan akan mengucur deras ke kantong mereka. Selanjutnya intan yang berhasil ditemukan akan dibawa ke tempat pengolahan intan yang banyak terdapat di pusat kota Martapura. Disini nantinya intan akan dibersihkan, digosok dan kemudian diolah menjadi berbagai macam bentuk perhiasan. Setelah itu intan siap untuk diperjual belikan di pasar maupun di kirim ke berbagai wilayah Indonesia maupun dunia. Pasar intan terbesar di Martapura adalah kompleks pertokoan Cahaya Bumi Selamat (CBS) yang terletak di jantung kota Martapura, tepatnya di Jalan Ahmad Yani, Martapura. Di kompleks CBS ini yang dijual tidak hanya intan, melainkan juga berbagai macam pernak pernik seperti gantungan kunci, bros, tasbih, kalung dan lain sebagainya. Meski menyandang status sebagai pusat perdagangan batu permata dan cindera mata, tetapi kondisi kompleks pertokoan Cahaya Bumi Selamat ini tidak semewah namanya.
Kondisinya sama seperti pasar tradisional di indonesia pada umumnya. Bahkan beberapa toko sering terlihat tutup daripada buka. Ini disebabkan sang pemilik toko lebih senang berjualan secara asongan yakni menawarkan langsung barang dagangannya kepada calon konsumen dari pada harus menunggu konsumen datang ke tokonya. Salah satu hal yang perlu diperhatikan bagi wisatawan yang berminat untuk membeli intan adalah untuk selalu memeriksa keaslian batu intan. Bisa dengan mengajak rekan yang memiliki pengetahuan tentang intan atau dengan memeriksakannya menggunakan peralatan yang dimiliki oleh hampir seluruh toko di sini. Jika hanya bermodal percaya saja, tanpa memeriksa keasliannya, maka bisa jadi intan yang dibeli adalah palsu. Didepan pertokoan Cahaya Bumi Selamat, terukir salah satu firman Allah, yakni sepenggal dari ayat ke-275 dari surat Al Baqarah yang artinya “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba� Jadi, bagi anda penggemar dan pecinta intan, berburu intan di Martapura tentu saja menjadi kegiatan wajib yang tidak boleh anda lewatkan. Selamat berburu
Wongkentir Magazine | 25
Story
Kala mentari baru saja memancarkan sebagian energinya. Kala sisa-sisa dinginnya angin malam masih terasa menembus kulit. Kala nadi pasar terapung masih berdenyut di antara riakriak sungai kuin yang berwarna kecokelatan. Kala itu, sepasang mataku menatap lekat seorang ibu yang tengah mengayuh jukungnya di belantara sungai kuin yang sangat luas. Tidak ada yang istimewa dari ibu itu sebenarnya. Pakaiannya, jukungnya, bedak dinginnya, hampir sama dengan ibu-ibu pedagang lain yang meramaikan suasana pagi di pasar terapung muara kuin. Yang membuat dirinya beda adalah kenyataan bahwa ibu itu mendayung jukungnya justru menjauhi keramaian pasar. Tatkala pasar masih sangat riuh oleh transaksi, dia justru pergi meninggalkannya. Pulang, itulah tak lain tujuannya. Purna sudah tugasnya di hari ini. Sekeranjang jeruk, dua keranjang kesemek dan lima sisir pisang yang menjadi penumpang jukungnya sejak pagi masih buta beberapa jam yang lalu hanya tinggal menyisakan dua sisir pisang. Dua sisir pisang itu sekarang ditemani oleh beberapa ikat sayuran, lima kilo beras serta sedikit pundi-pundi rupiah. Pasar memang tidak terlalu ramai sekarang ini. Karena itu tidak banyak yang dia bawa untuk dijual. Mending sedikit, tetapi habis dan cukup untuk dibelikan atau ditukarkan dengan barangbarang yang diperlukan. Di masa kini, orang-orang banjar lebih senang belanja di darat. Praktis, cepat, dan nyaman. Tidak perlu berusah payah bangun pagi dan mendayung jukung menembus dinginnya angin. Denyut nadi banjar sudah berubah. Sungai-sungai yang dulunya sumber penghidupan, kini seolah kehilangan pesonanya. Sang Ibu telah kembali pulang hari ini. Tapi esok, dia akan kembali lagi. Menyusuri riak-riak kecil sungai kuin yang sangat dicintainya. Sebuah harapan terpatri erat di dadanya, semoga Allah selalu menjaga sang sungai, sumber rizkinya selama ini. Tidak hanya untuk esok, tapi juga lusa, minggu depan, bulan depan, tahun depan, selamanya. 26 | Wongkentir Magazine