Snt15022014

Page 14

SUARA NTB Sabtu, 15 Februari 2014

Jendela Sastra

Halaman 14

CERPEN

Elegi Sang Pelegenda Oleh: Aliza Fatimah Aku berteriak, lari pontang–panting mencari perlindungan dari kejaran Jambrong.Yang lain, menonton dalam diam peristiwa pengejaranku. Mereka semua sama saja. Tak mau berbuat apa-apa. Tak tahu mesti melakukan apa. Karena bagi kami, itu hal yang wajar saja. AKU berkelit dan lari di areal halaman rumah. Mengitari pohonpohon, sembari berteriak dengan suara khasku. Lalu melompat di antara pagar-pagar bambu tapi masih saja dia bersikeras memaksakan untuk melampiaskan kejantanannya. Aku kembali mengitari pohon mangga, mencoba berkelit, berputar, berlari, dan berteriak, komplit meributkan suasana sore di halaman yang sebenarnya bagi yang lain sangat indah, tapi bagiku sangat kelam penuh ketakutan. Lama aku berlari mencari perlindungan, tak kunjung datang sebuah harapan yang bisa meredakan gulanaku. Ketahuilah, aku gulana dikejar oleh Jambrong yang selalu menganggap dirinya jantan, hanya dengan gaya bulunya yang merah bercampur biru gelap mengkilat. Aku tak tertarik untuk bercinta dengannya. Bukannya aku sombong, meski kami tak tercipta tidaklah sesempurna mungkin, tapi naluri betinaku bisa memilih, kepada siapa dan bagaimana aku mau bergumul dalam cinta. “Henny, ayolah jangan lari terus. Mari kita nikmati sore indah ini di halaman, berdua meresapi dengan indah.” Begitulah rayunya sambil mengejarku dengan penuh nafsu. Lariku semakin kalap, ketika sosok sang jantan lain memasuki halaman dengan gagah. Terpanggil oleh teriakanku. Syukur, aku terselamatkan dari pandangan gelapnya si Jambrong, yang tajam seperti elang, dan kejaran mautnya yang seperti macan kelaparan. Jantan lain yang datang itu, sepengenalku bernama Kuko, karena begitulah bocah-bocah manusia kampung ini menamainya. Jambrong, si liar dan berlagak preman, jelas merasa tersaingi dan terganggu dengan kedatangan Kuko yang gagah besar karena terpelihara. Mereka mengadu kejantanan di pojok halaman. Aku mundur menjauh, menyaksikan pertarungan dua jantan, sembari membersihkan bulu-bulu yang tertempel debu. Aku akan menjadi hadiah bagi siapa yang menang. Nasib yang tak bisa kubeli. Harapku, Kuko berbulu kuning emas nan gagah itu yang mendapatkanku. Bulu di leher mereka menipis, lalu merebah. Mereka saling adu kepala. Mata dengan mata berkilat saling pandang, mencari di mana celah yang bisa menjatuhkan lawan. Kuko mengadu duluan, Jambrong berhasil menghindar. Lalu Kuko mematuknya dari samping. Jambrong memandang sombong. Kuko mengikuti arah berputarnya Jambrong. Kuko sedikit mundur. Aku makin cemas, apakah dia ingin mengakhiri pertarungan? Mundur perlahan dan mengakui kekalahannya, dan pergi begitu saja. Kupejamkan mata sejenak. Mengusir bayangan akan percintaanku nantinya dengan Jambrong yang menyakitkan. “Kukkuruyuuk….” Sang jantan berteriak. Oughhh, aku kaget. Terlalu meresapi nasib yang mungkin menimpaku. Ternyata pertarungan selesai. Jambrong terkapar. Oh Kuko, sang pemenang. Mungkin dia tadi hanya melangkah mundur untuk mengambil ancang-ancang menyerbu kesombongan Jambrong. Merontokkan bulu merah hitam birunya, yang selalu ia kepakkan dengan sombong. Kuko melirikku. Aku berlari mengitari halaman lagi. Kuko mengejarku. Aku berteriak bukan karena ketakutan lagi, tapi karena senang. Kuko mengikuti langkahku menuju rimbunan melati yang berkembang lebat. Aku berdiam di sana, mengais tanah yang sedikit berumput. Kuko mendapatiku membuat

kaisan tanah yang sedikit kulubangi. Ia lalu menindihku, menunjukkan kejantanannya. Kuberikan betinaku dengan luapan gembira. Meski kami hanya ayam-ayam kampung, tapi hasrat bercinta kami melebihi manusia-manusia. Nantilah kuceritakan lagi. Biarkan kami berdua meneguk cinta di sore yang indah ini. Langit biru menjadi penghias percintaan kami. Sore yang indah menjadi saksi peraduan kami. Saksi bisu bagaimana cinta tersalur dalam ketulusan. Melati tersinari hangatnya matahari sore. Angin bertiup lembut mendesahkan bahagia. Awan putih, berarak gemulai tertiup angin sawang. Aku tertiup lemah kejantanan Kuko. Kami lalu saling melepas. Terlepas oleh waktu. Seperti matahari melepas siang. Selayak langit biru melepas awan putih yang berarak, dan terganti dengan mega. Tapi kami berjanji untuk bertemu lagi. Menjemput kebahagiaan lewat kebersamaan. Seperti halnya petang bersama malam. Bulan dan bintang dalam remang gelap. Kami beranjak pulang ke kandang masing-masing. Aku bertengger pada pohon mangga yang kuitari sore tadi. Diam-diam mengintip bulan di balik dedaunan. Padahal, cahaya bulan selalu membuaiku. Tapi entah, rembulan kali ini tersenyum padaku. Sedikit terasa berbeda bagiku, ayam betina yang baru beranjak dewasa. Tak berotak, tapi bernaluri. Aku ingin menunjukkan rasa banggaku pada bulan lewat pancarannya pada setiap semburat partikel malam. Aku mampu bercinta dengan pilihanku sendiri, bukan dengan sembarang ayam. Aku, Heny, betina berbulu emas kuning kecoklatan, terpelihara sekali oleh anak-anak manusia. Sewaktuku kecil, aku dikandangkan di sangkar bekas sarang Piji, si merpati yang kini telah satu sangkar dengan pasangannya. Piji dan Leon benar-benar pasangan putih yang setia. Pantas, setiap ada acara perkawinan, mereka selalu diajak berfoto, agar harapan cinta anak manusia yang telah terikat perkawinan berlandaskan kesetiaan yang saling melengkapi dan membahagiakan. Dan membahagiakan adalah proses seumur hidup. Ugh, cinta begitu manis dan indah jika berada dalam dekapan orang yang kita butuhkan, bukan sekedar orang yang kita inginkan. Seandainya semua makhluk seperti itu, harapku. Elegi yang sungguh filosofis, yang kudapatkan dari peristiwa sore tadi. “Kuk-kuk… Hen, masih belum tidur rupanya.” Sapa Kuko dari bawah. Aku melongo, kenapa mata rabunnya bisa melihatku di atas pohon mangga yang gelap. “Aku bisa menciummu dari kotoran-kotoran yang kau cecerkan ke tanah.” Lanjutnya lagi, seolaholah menjawab kebingunganku. Begitulah, sekali bercinta dengan ketulusan, bau pasangan apupun dikenal dengan mudah dan tepat. “Kenapa kamu ke sini?” Tanyaku sembari melihatnya terbang naik, hinggap di dekatku. “Aku melarikan diri dari kandang.” Jawabnya singkat. Namun, dari bawah pohon, samar-samar, terdengar suara riuh. Ada sorotan cahaya yang menimpa kami. Ternyata, mereka bocah-bocah manusia yang mengejar Kuko. “Itu dia. Kuko naik ke atas pohon itu. Cepat, lempar-lempar.” Kata seorang bocah manusia yang menyoroti kami dengan senternya. Duuukkk. Kuko terkena lemparan. Terkapar. Aku pun ikut turun dari pohon, lalu lari mende-

kati Kuko yang terkapar. Untungnya Kuko bisa berdiri lagi, meski kami berdua terkepung dalam lingkaran besar beberapa bocah manusia. Kuko mengajak untuk berkelit, untuk keluar dari kepungan. Kami mengintip di antara celah-celah kaki manusia. Mencari jalan pelarian kami. Penjagaan semakin ketat, karena lingkaran manusia semakin mengecil. Kuko memberikanku isyarat untuk lari ke arah timur, menuju pagar halaman yang sedikit bersemak. Halaman makin gaduh karena teriakanku lagi. Rayuan tangan manusia untuk mendekap kami makin dekat. Kuko melesat di antara kaki bocah manusia yang berdiri membuka kaki. Tapi aku masih dalam kepungan mereka. Kuko terus berlari terbirit-birit menuju semak-semak yang ditunjukkan tadi. Untungnya, bocah manusia itu tidak mengincarku. Tapi mereka tetap mengejar Kuko. Aku pun ikut berlari di belakang mereka, namun melesat sedikit untuk masuk ke semak, karena Kuko sudah masuk ke dalam semak. Bocah-bocah manusia itupun berhenti mengejar kami. Keadaan kembali sepi. Kami keluar dari semak-semak untuk menjauhi rumah-rumah bocah manusia itu. Berjalan beriring dalam gelap, walau mata kami rabun. Bertengger sekenanya pada pohon yang kami rasa jauh dari rumah bocah-bocah manusia. “Kenapa kamu dikejar Ko? Padahal anak-anak manusia itu memeliharamu dengan baik.” Kataku memperbaiki tempat bertengger. “Ya, aku senang dipelihara oleh anak-anak manusia itu. Aku diberinya makan tiap hari. Kandangku dibersihkan, tapi itu untuk tujuan lain.” Jelasnya belum terang. “Tujuan apa?” “Mereka ingin membuatku menjadi ayam jagoannya. Ayam aduan seperti si Jambrong. Padahal, hidupku cuma sekali, aku ingin melakukan yang terbaik sesuai dengan kodratku sebagai

ayam. Ayam punya hak untuk hidup baik-baik.” Tuturnya berharap dengan gagah, tapi bernada emosi kecewa. “Kodrat sebagai ayam? Aku baru tahu itu. Memang, kodrat kita sebagai ayam apa? Hak ayam juga apa?” Aku menyerbunya dengan memulai diskusi bertemakan kemanusiaan. “Yah paling tidak, kita bukan alat aduan mereka. Itu hak hidup kita. Dan kodrat hidup kita seperti merpati sebagai simbol setia manusia. Paling tidak, jangan diadu. Aku lebih suka kejantananku kupakai untuk melindungimu dari ayam-ayam liar yang lain.” Katanya sangat menyanjungku. “Hanya untuk melindungiku?” Tanyaku belum puas. “Dagingku juga sangat rela aku korbankan untuk acara roah kebian1, waktu dekat ini.” Katanya bangga. Aku terkesima. Begitu bangganya ia menjadi ayam jantan. Tahu bagaimana cara berterima kasih dan bersyukur dalam hidup. Berdentang filosofi hidup ayam di hatiku. Bergetar naluri betinaku untuk mendampinginya setia melawan hidup yang tak berperikehewanan. Tersirat bagaimana kami harus menunjukkan sedikit kehormatan dan kelebihan yang kami punya. Ya, meskipun kami hanya ayam. “Tapi tidakkah kau sadar, Ko, kita juga adalah pedoman cara bercinta anak manusia masa kini.” Unjukku melanjutkan perbincangan. “Seperti apa?” tanyanya kaku. “Ya, manusia mulai bercinta dengan gaya hewan. Tidak mengenal tempat, tidak tahu halal dan haramnya, sekali merasakan kenikmatan, akan terjerumus terus. Terlebihnya, bocah-bocah ingusan yang baru beranjak dewasa, yang menamakan hubungan tulus dan indah mereka dengan nama pacaran. Tapi, pacaran zaman sekarang seperti setengah persen orang-orang yang sudah nikah. Colek sana-sini. Manusia telah berkaca pada

peradaban dunia kita. Mereka yang melakukan itu memang buta dan bodoh, mungkin sama seperti kita. Tapi, setidaknya otak mereka lebih mampu berpikir dengan baik.” Kataku bersikeras menyalahkan kebodohan manusia. “Benar. Layaknya menjadi budak dari nafsu. Mereka malah kalah dengan kita. Ayam juga punya kelebihan lagi dalam bercinta. Aku dan Jambrong kalau bercinta harus dengan peraduan kejantanan untuk mendapatkanmu. Tapi jika dibandingkan dengan kebanyakan manusia zaman sekarang, kita lebih terhormat. Para betina jika dicumbui oleh banyak jantan, maka para jantan tidak akan bertarung atas siapa yang pantas mendampingi si betina. Tapi apa yang terjadi?” Kata Kuko lagi, namun berhenti sesaat, memberikanku kesempatan untuk mencerna maksud ceritanya. “Para jantan akan sama-sama mengganyang si betina itu bergantian. Sungguh, amoralisme cinta yang benar-benar hewani. Seperti babi saja.” Kata Kuko bernada ketus. “Benar sekali ya. Mungkin itu yang membuat mereka suka makan babi. Padahal, setahuku di bangsa ayam, walaupun aku tidak pernah sekolah, tapi aku tahu barang apa yang kita makan, maka seperti itulah hidup kita nanti. Saling mengkhianati.” Filosofi kami semakin mendalam. Mendongengkan cerita anak manusia. Memotret legenda binatang jalang seperti kami, lalu dijadikan model hidup. Manusia memang tahu bagaimana caranya hidup, tapi kadang langkah selalu diselingi dengan jalan yang menyimpang. Mencari segala sesuatu atas apa yang ia inginkan, bukan atas dasar ia butuh untuk kebaikan hidup. Naluri dikuasai atas nafsu. Mencuri cara berpikir kami yang tanpa otak dan hati. Mencari idolapun tak sesuai dengan keadaan diri masingmasing. Memaksakan diri seperti idola yang dibanggakan. Jati diri pun aus ditelan ambisi menjadi

idola. Di lain tempat, sang idola mencontohkan gaya hedonis yang negatif. Jarang ada yang tampil seperti model yang baik untuk diidolakan. “Tok petok-petoooook……” Aku makin geram. Emosiku makin larut dalam kelam. Mata rabun kami tak mengenal waktu. Hanya pertanda, sang fajar mulai terlukis di timur Lombok. Perbincangan telah selesai. Tinggal merenungi apa yang kami bicarakan. “Kukkuruyuuuuukkk.…. kukkuruyuuuuugooooookkkkk ………… ……..” Kuko berkokok nyaris membelah fajar di timur Lombok. Lalu meneropong jauh, berjalan lagi ke belahan Lombok lain. Takkan kembali terpelihara oleh bocahbocah manusia yang bernafsu. Suara sahutan kokokan pun mulai terdengar. Saling sambut nan berirama. Membangunkan manusia lagi dalam dekapan alam, dan menyadarkannya bahwa kehidupan pun dimulai lagi. Kami menjaga Lombok sampai pagi. Berbincang tentang apa yang kami amati. Lombok, kami ayam-ayam kecil, memohon dengan sangat, jangan sampai kau runtuh oleh peradaban manusia yang biadab. (Footnotes) 1 Roah kebian: Syukuran secara besar-besaran dalam satu kampung di daerah Lombok menyambut bulan suci Ramadhan yang dilakukan di sore hari.

Penulis lebih ingin dikenal dengan nama pena Aliza Fatimah. Meski jauh dari nama asli Lizana Hariyanti. Lahir di Praya, 5 September 1989 silam. Hobi, tentu saja menulis dan tambahannya senang sendiri dalam kota khayal. Saat ini tinggal di Sandik, Batu Layar.

PUISI Bola Mata Anak Tanggung

Siapa yang kau percayakan mengembalakan hati sebagai peniup angin kemana mau-maunya membawa arah membacakan hasrat semesta berubah semudah hatiku

Hari-hari dalam berbagai peristiwa seorang anak tanggung yang mengirimkan bola matanya getaran gelombang dari orang seberang mahluk-mahluk tak jelas bergerak, bagai remote control mencari-cari signal bola mataku Membuat limbung sesaat adakah yang mampu menahan laju getaran buatan manusia ketika Ciwa bertahta atas kebenaran membuatmu mengerjap berulang-ulang hai anak tanggung, carilah cara berdoa yang benar tanpa mesti mengusik kenyamanan kedamaian itu sungguh keabadian yang tinggi dan maha mulia mimpi-mimpi buruk akan segera menghantui berbagai wajah-wajah tak jelas tak pelak menyinggahimu keberadaan yang kau kucilkan sebagai sebuah kekuatan mata angin yang membenturkan cuaca menjadi surut sesaat untuk selalu berubah-ubah kemana maunya apakah itu yang akan menghampirimu Bola mata anak tanggung, membelit jiwa basah : dalam jiwa yang tanggung mengelantang hati kepuasan tak membentuk makna mengelantang arah angin yang tak jelas kisarnya

Lereng Pengsong 2013

Lereng pengsong 2013

Oleh: DG Kumarsana Kembara Hari Siapa yang kau percayakan mengembalikan cemas sangsi yang telah kau anggap punah terbakar kecemburuan hasrat hati yang penyok berkarat termakan dendam beginilah cinta yang kau percayakan pada satu hati membelit manakala hilang diri lupa kesetiaan hanyalah janji-janji meruang bawah sadar yang mudah kau lempar sesuka hati, semau igauan hidup tak jelas

Oleh: AA.Hamid Setangkai Mawar untuk Engkau Aku merangkai kata dan do’a Jua mawar tanpa warna Seikat, ingin ku bawa serta Hari ini di ujung segala tanda Ingin ku ucapkan segala resah di kepala Tentang aku dan kamu Bukankah purnama suluh duhai cinta Aku merapal segala do’a Segala cahaya hendak ku haturkan jua Sukma mematri nama Telah kurentangkan segala harap Senja tak akan membunuh asa


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.