Pemantauan usaha budidaya, penyakit dan kualitas lingkungan di pulau nguan batam

Page 1

LAPORAN PERJALANAN DINAS IDENTIFIKASI PENYAKIT IKAN, KUALITAS LINGKUNGAN DAN KELAYAKAN USAHA BUDIDAYA DI PULAU NGUAN, KELURAHAN GALANG BARU, KECAMATAN GALANG Disusun Oleh: ROMI NOVRIADI, S.Pd.Kim., M.Sc, SAIPUL BAHRI, S.St.Pi, M. SANURI, S.St.Pi, BENI OKTOMUNIS dan OSKAR PUTRA

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA BALAI PERIKANAN BUDIDAYA LAUT BATAM 2015


IDENTIFIKASI PENYAKIT IKAN, KUALITAS LINGKUNGAN DAN KELAYAKAN USAHA BUDIDAYA DI PULAU NGUAN, KELURAHAN GALANG BARU, KECAMATAN GALANG. KOTAMADYA BATAM

Pelaksanaan Kegiatan : Rabu / 25 Maret 2015 Disusun Oleh : ROMI NOVRIADI, S.Pd.Kim., M.Sc SAIPUL BAHRI, S.St.Pi, M. SANURI, S.St.Pi BENI OKTOMUNIS OSKAR PUTRA

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA BALAI PERIKANAN BUDIDAYA LAUT BATAM 2015


Identifikasi Penyakit Ikan, Kualitas Lingkungan dan Kelayakan Usaha Budidaya di Pulau Nguan, Kelurahan Galang Baru, Kecamatan Galang, Kotamadya Batam Romi Novriadi1, Saipul Bahri2, M.Sanuri2, Beni Oktomunis3, Oskar Putra4 1)

Pengendali hama dan penyakit ikan ahli muda BPBL Batam Pengawas perikanan ahli muda BPBL Batam 3) Pengawas perikanan terampil pelaksana BPBL Batam 4) Penyuluh perikanan terampil BPBL Batam 2)

Koresponding penulis: Komplek Balai Perikanan Budidaya Laut Batam, Jl. Raya Barelang Jembatan III, PO BOX 60 Sekupang. Batam -29438. E-mail: Romi_bbl@yahoo.co.id ; Staninfo_bblbatam@yahoo.com

ABSTRAK Kegiatan pemantauan ini bertujuan untuk menilai kondisi kualitas perairan, penyakit dan kelayakan usaha budidaya di wilayah Pulau Nguan, Kelurahan Galang Baru, Kotamadya Batam. Pengamatan dilakukan pada tanggal 25 Maret 2015 di dua lokasi budidaya yang fokus pada pengembangan usaha budidaya ikan laut. Pengambilan sampel air dilakukan dengan metoda gabungan tempat (integrated) berdasarkan SNI No.6989.57:2008 untuk parameter pH, salinitas, suhu, kedalaman, ammonia (NH3), nitrit (NO2), posfat (PO4) dan kekeruhan. Metoda pemantauan juga dilakukan dengan metoda wawancara untuk mendapatkan informasi terkini tentang pengelolaan budidaya ikan. Hasil pemantauan menunjukkan bahwa pH berada pada kisaran 8,01 – 8,03, salinitas 33 ‰, Nitrit < <0.1 mg/L, Ammonia (NH3) <0,009 mg/L, Posfat (PO4) <0,033 mg/L dan suhu berada pada kisaran 30,1 – 30,2 ⁰C. Sementara kedalaman dan kekeruhan menjadi faktor pembatas dalam mendukung optimalisasi produksi. Hasil uji mikrobiologi menunjukkan bahwa ikan budidaya bebas dari infeksi parasit dan virus, namun positif terinfeksi oleh bakteri Vibrio spp. Adanya upaya untuk penerapan biosekuriti dan teknologi budidaya di kedua lokasi pemantauan menjadikan Pulau Nguan sangat berpotensi sebagai sentra produksi budidaya ikan laut di Kota Batam Kata kunci: Pulau Nguan, Kualitas Air, Mikrobiologi, Cara Budidaya Ikan yang Baik

ABSTRACT The objective of the present study was to examine the water quality, diseases and aquaculture activity of Nguan Island Sub District Galang Baru, Batam. The study was conducted on 25 March 2015 at two aquaculture sites which focus on mariculture development. Integrated water sampling was used based on SNI No. 6989.57:2008 for pH, salinity temperature, water depth, ammonia (NH3), nitrit (NO2), posfat (PO4) and turbidity. This study also performed an interview to collect the aquaculture activities data from the farmers. The results shows that pH ranged from 8,01 – 8,03, salinity 33 ‰, Nitrite < <0.1 mg/L, Ammonia (NH3) <0,009 mg/L, Posphate (PO4) <0,033 mg/L and temperature ranged from 30,1 – 30,2 ⁰C. However, the depth and turbidity become a limited factor in order to support the production. The microbiology test showed that fish are free from parasite and virus infection, but positively infected by Vibrio spp. However, the effort to applied biosecurity and aquaculture technology in two aquaculture site support Nguan island as the mariculture production center in Batam Key words: Nguan island, Water quality, Microbiology, Good aquaculture practices


1. Pendahuluan Bank Dunia telah menyimpulkan bahwa tantangan kritis yang dihadapi oleh sektor penyedia pangan di masa mendatang adalah meningkatnya jumlah penduduk yang diperkirakan akan mencapai 9 milyar orang pada tahun 2050 (World bank, 2013). Tantangan untuk meningkatkan jumlah produksi pangan ini justru berhadapan dengan semakin meningkatnya degradasi lahan dan lingkungan, baik oleh tindakan manusia maupun gangguan alam (Muharam, 2011). Transformasi lahan subur menjadi lahan non pertanian menjadikan sistem produksi beralih kepada sistem (super) intensifikasi yang memerlukan input teknologi yang tinggi dan mahal untuk menghasilkan produk pangan berkualitas. Secara geografis, sumber daya alam yang didukung oleh luas perairan dan banyaknya pulaupulau kecil bisa menjadi modal yang besar dalam pembangunan ekonomi (Anggoro, 2000) dan salah satunya adalah melalui sektor perikanan budidaya. Selama tiga dekade terakhir, produksi perikanan budidaya dunia mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari 5 juta ton menjadi 63 juta ton (FAO, 2012). Volume produksi ini menjadikan sektor perikanan budidaya memiliki kontribusi terhadap suplai protein pangan hewani sebanyak 16,6% dan protein untuk konsumsi manusia sebanyak 6,5 % (FAO, 2012). Namun, munculnya wabah penyakit, degradasi kualitas lingkungan dan pengelolaan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan kepada sistem standar yang sudah ditetapkan menjadi faktor pembatas dalam menjamin keberlanjutan produksi perikanan budidaya (Novriadi, 2013). Timbulnya wabah penyakit memiliki potensi untuk menyebabkan kerugian ekonomi hingga mencapai US$ 3 miliar per tahun (Subasinghe et al., 2001) dan menurunkan jumlah produksi di seluruh dunia (Hill, 2005). Sementara kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh degradasi kualitas lingkungan juga memberikan dampak yang cukup signifikan, seperti yang dialami oleh pembudidaya ikan Kerapu di Batu licin yang menderita kerugian akibat limbah eksploitasi bauksit hingga 1,8 Milyar (Novriadi, 2013). Berdasarkan hal tersebut, diperlukan upaya pengendalian penyakit dan optimalisasi kualitas lingkungan berdasarkan informasi yang relevan tentang keragaan/dinamika penyakit tertentu pada suatu �lokasi� sebagai akibat dari fluktuasi beberapa parameter kualitas lingkungan budidaya (Taukhid, 2010). Tujuan akhir dari kegiatan monitoring tidak selalu terfokus pada pengumpulan data atau informasi tentang penyakit ikan dan kualitas lingkungan. Namun lebih diupayakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para pembudidaya dan ditindaklanjuti oleh para pengambil kebijakan menjadi sebuah regulasi yang berpihak kepada masyarakat pembudidaya ikan. Pengambilan kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan pelayanan kesehatan ikan dan lingkungan kepada masyarakat serta meningkatkan kesejahteraan seluruh komponen yang terlibat dalam industri budidaya perikanan (Cameroon, 2002; Taukhid, 2010). Untuk mendukung optimalisasi produksi, maka Balai Perikanan Budidaya Laut Batam secara aktif memberikan penyuluhan, masukan dan bimbingan teknis melalui kegiatan identifikasi kelayakan usaha budidaya dan monitoring penyakit ikan dan lingkungan. Informasi yang diperoleh melalui kegiatan ini akan dijadikan dasar untuk menyusun strategi pengelelolaan kesehatan ikan dan sistem budidaya yang efisien dan efektif agar peluang keberhasilan usaha budidaya semakin tinggi.


2. Metodologi 2.1 Pelaksanaan kegiatan Kegiatan pemantauan ini dilakukan di wilayah Pulau Nguan, Kelurahan Galang Baru, Kecamatan Galang, Kotamadya Batam pada tanggal 25 Maret 2015. Kegiatan pemantauan di lakukan di wilayah Pulau Nguan dengan pertimbangan utama bahwa daerah ini memiliki potensi untuk pengembangan sektor budidaya ikan laut. Selain hal tersebut, beroperasinya salah satu industri budidaya skala besar di bawah naungan Salim Group di wilayah Pulau Nguan menjadi salah satu daya tarik tersendiri untuk memperoleh informasi primer dan sekunder tentang aktivitas budidaya yang dikembangkan 2.2 Pengambilan contoh Metoda pengambilan contoh air pada setiap lokasi budidaya dilakukan menurut metode gabungan tempat (integrated) berdasarkan SNI No.6989.57:2008, sementara metoda pengambilan contoh ikan dilakukan secara purposive random sampling yang merupakan metoda pemilihan sampel untuk kepentingan tertentu (FAO, 2004). Program pengambilan sampel juga dilakukan dengan mempertimbangkan jalur masuk agen pencemar atau penyakit ke lingkungan laut, periode pemaparan dan mekanisme transport di badan air (Syakti, et al., 2012). 2.3 Preparasi Sampel Penanganan sampel dilakukan dengan memasukkan sampel air kedalam botol plastik tanpa gelembung udara dan selanjutnya diberi nama sampel dan lokasi pengambilan. Sampel air yang telah diberi label dipindahkan ke dalam kotak polystyrene yang mengandung es dan dipertahankan pada suhu 40 C. Untuk identifikasi virus, organ target di fiksasi dalam larutan ethanol 75% kemudian disimpan dalam kotak polystyrene terpisah untuk mencegah adanya kontaminasi. Untuk identifikasi bakteri, organ target diinokulasikan ke dalam media umum dan media khusus, kemudian diisolasi untuk menghindari kontaminasi selama proses transportasi. 2.4 Analisa Data Analisa distribusi penyakit, kualitas lingkungan dan kelayakan usaha budidaya dilakukan melalui tiga tahapan, yakni tahapan pre site, on site dan post site. Tahapan pre site merupakan tahapan pengumpulan data untuk memperoleh informasi tentang keragaan budidaya dan kesehatan ikan melalui studi literatur dan pencermatan dokumen hasil kegiatan pada periode pemantauan sebelumnya. Tahapan on site dilakukan dengan melakukan analisa penyakit ikan, kualitas lingkungan, diagnosa klinis dan data primer sistem produksi budidaya di lokasi pemantauan pada saat kegiatan dilakukan. Parameter kualitas lingkungan yang diukur di lapangan (in situ) meliputi parameter: pH (derajat keasaman), oksigen terlarut (DO), suhu, kedalaman dan kadar garam air. Sementara data primer usaha budidaya diperoleh melalui wawancara dan pencermatan dokumen terkini tentang kegiatan usaha budidaya. Tahapan post site dilakukan untuk analisa kualitas air lanjutan di laboratorium (ex situ) yang meliputi parameter Kekeruhan, Ammonia (NH3), Nitrit (NO2), Nitrat (NO3) dan Posphat (PO4) dengan menggunakan metode turbidimetri, spektrofotometri dan kolorimetri. Tahapan analisa post site juga dilakukan untuk identifikasi bakteri secara konvensional dan identifikasi keberadaan Betanodavirus sebagai agen penyebab Viral Nervous Necrosis dengan menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) konvensional.


3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Kondisi umum lokasi pemantauan Dinamika pengembangan produksi perikanan budidaya di Pulau Nguan telah dimulai sejak ditetapkannya Pulau Nguan menjadi salah satu sentra lokasi proyek COREMAP II yang merupakan kolaborasi antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Tujuan dilakukannya proyek ini adalah untuk melindungi, merehabilitasi dan memanfaatkan ekosistem terumbu karang dan ekosistem terkait lainnya secara berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar ekosistem tersebut melalui penguatan kapasitas pengelolaan sumberdaya karang di tingkat Nasional dan Lokal/Daerah (Najamuddin, 2006). Pelaksanaan kegiatan ini secara langsung memberikan dampak positif, khususnya dalam mendukung optimalisasi produksi hasil perikanan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di Pulau Nguan .

2 1

Gambar 1. Peta wilayah pulau nguan dengan dua titik kegiatan pemantauan, titik (1) milik Bp. Josan dan (2) milik Bp. Toni (salim group) Secara geografis, Pulau Nguan berada pada ketinggian 0-50 meter dari permukaan laut, dengan suhu berkisar antara 25-30⁰ C. Sebagian besar daratan wilayah ini berbukit-bukit dan hanya 20 % wilayah daratan yang memiliki tekstur datar sampai bergelombang. Pulau Nguan dan kelurahan Galang Baru memiliki posisi 0⁰41’40” sampai dengan 0⁰36’31,1” Lintang Utara dan 104⁰12’29,2” sampai dengan 104⁰21”31,9” Bujur Timur. Sebagaimana kawasan Kepulauan Riau lainnya, wilayah Pulau Nguan berada pada garis equatorial yang berada pada dua Lintang Selatan dan Utara memiliki iklim yang khas, dimana musim hujan lebih panjang dari kemarau. Iklim yang terdapat di kawasan ini dipengaruhi oleh empat musim yaitu Musim Timur, Selatan, Barat dan Utara. Musim Timur terjadi berkisar bulan Maret sampai Mei, Musim Selatan terjadi pada bulan Juni sampai Agustus, musim Barat terjadi pada bulan September sampai Nopember dan musim Utara terjadi pada bulan Desember sampai Februari.


Secara administratif, Pulau Nguan berada dibawah pemerintahan Kelurahan Galang Baru sejak diterbitkannya Keputusan Walikota Batam No. KPTS.60/BKD-M/VI/2006. Sebelum adanya keputusan ini, penduduk Pulau Nguan berada diwilayah administratif Kelurahan Pulau Abang. Keputusan ini dinilai tepat karna untuk urusan pemerintahan, masyarakat Pulau Nguan memiliki jarak tempuh yang relatif lebih dekat. Pada wilayah pemerintahan Kelurahan Galang Baru juga memiliki Suku Laut yang merupakan suku asli (indigenous people) yang berdomisili di Pulau Nanga sekitar kawasan Pulau Sembur. Suku Laut pada awalnya adalah masyarakat yang nomaden (tidak menetap. Mereka berdiam di atas perahu yang ditutupi dengan atap kajang (anyaman dari sejenis daun pandan). Namun sebagian masyarakat dari Suku Laut ini telah tersentuh peradaban saat ini, sehingga sudah ada yang menetap dengan berkelompok (belum berbaur dengan masyarakat umumnya). Sebagian besar dari Suku Laut menganut kepercayaan animisme, dan sebagian kecil lainnya ada yang memeluk agama islam. Potensi pengembangan sektor perikanan Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh RPTK Kelurahan Galang Baru, sebahagian besar masyarakat yang ada di Kelurahan Galang Baru memiliki profesi sebagai nelayan (87,11%). Adapun keberadaan mata pencaharian lain, seperti pedagang dan buruh pada prinsipnya dilakukan untuk mendukung dinamika ekonomi di sektor perikanan. Berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa basis pengembangan sektor perikanan yang dilakiukan oleh masyarakat Galang Baru, khususnya di Pulau Nguan adalah sektor perikanan tangkap. Namun, bila merujuk kepada pendapat Sachoemar (2006), Pulau Nguan yang memiliki luas perairan kurang lebih 400 ha sangat direkomendasikan untuk pengembangan sektor perikanan budidaya, khususnya untuk komoditas ikan Kerapu macan Epinephelus fuscoguttatus. Potensi pengembangan sektor perikanan budidaya semakin diperkuat dengan dikeluarkannya keputusan Walikota Batam No. KPTS. 124/HK/VI/2003 tentang Penetapan Lokasi Kawasan Budidaya Laut dan ditetapkannya Pulau Nguan sebagai kawasan Batam Marikultur Estat (BME). Untuk menjamin keberlanjutan usaha produksi perikanan budidaya, maka dalam pengembangannya perlu disesuaikan dengan kapasitas daya dukung lingkungan dan karakteristik perairan yang ada di Pulau Nguan. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Sachoemar (2006), potensi produksi perikanan budidaya di Pulau Nguan dapat mencapai 3.750 ton ikan pertahun dalam karamba jaring apung sebanyak 3.750 unit untuk luas area efektif 50 ha atau 12,5 % dari luas perairan Nguan yang mencapai 400 ha. Potensi ini ditindaklanjuti oleh masyarakat di Pulau Nguan dengan melakukan pengembangan usaha budidaya melalui sistem Keramba Jaring Tancap (KJT) dan Keramba Jaring Apung (KJA) di wilayah pesisir Pulau Nguan. Namun, pengembangan usaha budidaya tetap harus ditata dan disesuaikan dengan prinsip-prinsip lingkungan, seperti situasi arus, morfologi pantai, alur layar untuk pengelola budidaya dan pengangkutan fasilitas pendukung kegiatan budidaya serta pertimbangan lainnya sehubungan dengan peruntukan pemanfaatan lahan perairan di Nguan seperti alur lintas pemukiman nelayan dan kegiatan lainnya yang berhubungan dengan pengembangan Batam Marikultur Estat (BME) sebagai kawasan usaha budidaya. Disamping hal tersebut, permasalahan klasik yang selalu ditimbulkan oleh aktivitas perikanan budidaya juga harus diperhatikan, seperti halnya penumpukan nutrien akibat pemberian pakan maupun adanya pergeseran keberagaman mikrobiota akibat penggunaan suplemen yang tidak bertanggungjawab (Cabello, 2003).


Data keragaan budidaya Berikut ditampilkan data keragaan budidaya melalui kegiatan wawancara di dua lokasi pemantauan di wilayah Pulau Nguan, Kelurahan Galang Baru, Kecamatan Galang, Kota Batam Tabel 1. Data keragaan budidaya di lokasi pertama pemantauan milik Bp. Bujang / Bp. Josan No

Data primer

Keterangan

1 2 3

Nama pemilik Nomor kontak Lokasi budidaya

4

Luas budidaya

5 6 7

Struktur KJA Tingkat teknologi Kapasitas produksi

8

Jenis komoditas

Kerapu bebek Cromileptes altivelis, Kerapu cantang Epinephelus sp, Bawal bintang Trachinotus blochii, Kakap putih Lates calcarifer

8

Asal benih

9 10 11 12

Padat tebar Waktu tebar Tingkat kelulushidupan Jumlah kematian

13

Sejarah penyakit

14 15 16 17

Upaya pengendalian penyakit Bobot serangan Taksiran kerugian Pakan

18 19

Biosekuriti Sertifikat

Bali dan Situbondo untuk komoditas Kerapu bebek dan Hybrid BPBL Batam untuk Bawal bintang dan komoditas Kakap putih Âą 1000 ekor / unit KJA Penebaran awal dilakukan bulan Januari 2014 Rendah Pada masa awal pemeliharaan terdapat mortalitas Kerapu bebek (4-5 cm) sejumlah 40.000 ekor, Kakap putih 20.000 ekor dan Kerapu hybrid 10.000 ekor Umumnya terjadi pada masa tiga minggu setelah penebaran. Diawali dengan serangan parasit dan disertai dengan luka di tubuh ikan Dilakukan dengan perendaman menggunakan obat kuning (Tidak terdaftar di KKP) Tinggi Âą Rp. 600.000.000, Ikan rucah (harga Rp. 6000 - 8000/kg) Pelet Otohime Negatif Bebas penyakit untuk benih dari BPBL Batam

20

Mekanisme pasar

21

Harapan

Bp. Bujang dan Bp. Josan 081268185333 Pulau Nguan, Kelurahan Galang Baru, Kecamatan Galang, Kotamadya Batam 130 unit KJA Kayu dengan 40 unit berukuran 3x3 m dan 90 unit berukuran 3 x 5 m Kayu Sederhana Estimasi volume optimal untuk satu siklus produksi 15 ton

Seluruh hasil produksi dijual ke pengumpul dari Singapore dan beberapa restaurant Seafood yang rutin melakukan pembelian Diperlukan bantuan pemerintah utamanya terkait subsidi pakan dan subsidi pembelian benih


Tabel 2. Data keragaan budidaya di lokasi pertama pemantauan milik Bp. Toni (Salim Group) No 1 2 3 4 5 6 7 8

9 10

11

12

Data primer

Keterangan

Nama pemilik Nomor kontak Lokasi budidaya

Bp. Toni / Bp. Hendra 081276565918 Pelabuhan hasyim, Kelurahan Galang Baru, Kecamatan Galang, Kotamadya Batam Luas budidaya ± 2 ha dengan komposisi 560 lubang dengan ukuran @ 4 x 5 m Struktur KJA Kayu Tingkat teknologi Tinggi Kapasitas produksi Target perusahaan 50 – 70 ton / tahun Asal benih 1. Kerapu macan Epinephelus fuscoguttatus dari BPBL Batam 2. Bawal bintang Trachinotus blochii dari BPBL Batam 3. Kakap putih Lates calcarifer dari BPBL Batam Padat tebar ± 1200 ekor / unit Waktu tebar Perusahaan resmi beroperasi bulan Mei tahun 2014 dan penebaran awal dilakukan pada bulan yang sama untuk ketiga komoditas Tingkat kelulushidupan 1. Kerapu macan Epinephelus fuscoguttatus SR : 60 % 2. Bawal bintang Trachinotus blochii SR: 40 % 3. Kakap putih Lates calcarifer SR : 30 % Penyakit mulai diamati pada masa dua minggu awal sejak penebaran Sejarah penyakit perdana atau sekitar Bulan Juni 2014 yang ditandai dengan ekor bunting, nafsu makan berkurang, perubahan warna dan luka dipermukaan tubuh

13 14

Waktu serangan Upaya pengendalian penyakit

Bulan Juni 2014

15 16

Bobot serangan Taksiran kerugian

17 18 19

Pakan Biosekuriti Sertifikat

Tinggi Menurut penanggungjawab sejauh ini kerugian yang dialami ± Rp. 200 juta Mayoritas pellet (Matahari Sakti dan pakan dari Jepang) Positif Positif (Specific Pathogen Free certificate)

20

Harapan

Dilakukan perendaman dengan menggunakan antibiotika, namun penanggung jawab usaha enggan menjelaskan jenis antibiotika yang digunakan dan tim monitoring kesulitan mengidentifikasi dikarenakan seluruh bahasa yang digunakan adalah mandarin dan tidak ada registrasi obat dari KKP

Bimbingan dari pemerintah tentang pengelolaan cara budidaya ikan yang baik


Proses pengambilan data sekunder melalui wawancara dengan pembudidaya

Pakan rucah yang digunakan pembudidaya di Pulau Nguan (harga Rp. 6000-8000/kg)

Unit usaha budidaya KJA milik Bp. Toni (Salim Group) di Pulau Galang Baru

Lokasi unit budidaya milik Bp. Bujang/Bp. Josan di Pulau Nguan

Keramba Jaring Tancap yang diaplikasikan oleh pembudidaya di Pulau Nguan

Jenis pakan yang digunakan oleh Usaha Budidaya Salim Group


Berdasarkan data yang ditampilkan pada Tabel 1 dan Tabel 2 diketahui bahwa dua unit usaha budidaya yang menjadi lokasi pemantauan, dikategorikan sebagai usaha baru mengingat awal masa produksi budidaya dilakukan pada tahun 2013. Secara finansial, dua unit usaha budidaya ini memiliki kondisi keuangan yang cukup sehat dalam mendukung produksi budidaya yang berkelanjutan. Namun, hasil produkis budidaya ikan dapat mengalami kenaikan ataupun masa paceklik akibat adanya infeksi mikroorganisme patogen maupun degradasi kualitas lingkungan (Novriadi et al, 2014). Menurut Wahyono et al (2001), pendapatan yang diperoleh dari usaha perikanan sangat berbeda dengan jenis usaha lainnya, seperti pedagang atau bahkan petani. Jika pedagang dapat mengkalkulasikan keuntungan yang diperolehnya setiap bulannya, begitu pula petani dapat memprediksi hasil panennya, maka usaha budidaya perikanan dihadapkan kepada permasalahan yang penuh dengan ketidakpastian (uncertainty) serta bersifat spekulatif dan fluktuatif. Variabel kenaikan harga pakan dan harga benih di beberapa daerah yang menjadi sentra produksi benih ikan laut seperti Bali dan Situbondo memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap menurunnya volume produksi. Kondisi ini diketahui dari menurunnya jumlah pembelian benih yang dilakukan oleh kedua unit usaha budidaya untuk menjamin keberlanjutan produksi. Berdasarkan hasil wawancara, kedua variabel ini menjadi fokus para pembudidaya agar dapat dijadikan sebagai objek subsidi oleh Pemerintah dalam rangka mengurangi ongkos produksi. Menurut BPP-PSPL Universitas Riau (2009), ketersediaan benih dan pakan merupakan faktor yang telah menjadi tantangan tersendiri dalam pembangunan sektor perikanan budidaya mandiri khususnya di daerah hinterland di wilayah administratif Kotamadya Batam. Produktivitas usaha budidaya di sebahagian besar para pelaku usaha budidaya di Pulau Nguan sangat bergantung kepada para penampung dan pemodal. Kondisi yang berbeda dijumpai di unit usaha budidaya milik Salim Group dimana hasil produki dipasarkan ke tiga negara tujuan, yakni China, Hongkong dan Korea Selatan. Peran tauke dalam kehidupan pembudidaya di Pulau Nguan cukup tinggi, dimana para tauke ini turut serta sebagai pemasok bagi seluruh keperluan usaha budidaya, perobatan hingga keperluan keluarga, namun kmudian harga hasil produksi akan ditentukan secara sepihak oleh para tauke (BPP-PSPL Universitas Riau, 2009). Kondisi ini harus segera dicarikan alternatifnya, karna usaha budidaya akan bergairah bila masyarakat memiliki minat untuk melakukan usaha budidaya dan minat akan datang bila permintaan pasar cukup tinggi dan memberikan nilai ekonomi positif bagi masyarakat. Berdasarkan hasil pemantauan, juga diketahui bahwa tingkat mortalitas akibat infeksi mikroorganisme patogen menjadi salah satu faktor pembatas bagi usaha budidaya. Data yang diperoleh di lokasi pemantauan menunjukkan bahwa tingkat kerugian yang dialami pembudidaya cukup signifikan. Di unit usaha budidaya milik Bp. Josan, kematian puluhan ribu ekor ikan Kerapu bebek Cromileptes altivelis, Kakap putih Lates calcarifer, Kerapu cantang dan cantik Epinephelus spp dan Bawal bintang Trachinotus blochii telah menyebabkan kerugian hingga mencapai 600 juta rupiah. Hal yang sama juga dialami oleh usaha budidaya milik Salim Group dimana kematian ribuan ekor ikan Kerapu macan Epinephelus fuscoguttatus, Kakap putih Lates calcarifer dan Bawal bintang Trachinotus blochii telah menyebabkan kerugian hingga mencapai 200 juta rupiah. Kondisi ini membuktikan bahwa masalah penyakit dalam Industri budidaya ikan memerlukan perhatian yang sangat serius


Berdasarkan kondisi diatas, tim pemantauan hama dan penyakit ikan melakukan analisa post site di laboratorium terhadap sampel yang diambil dengan menggunakan metoda purposive sampling. Hasil analisa identifikasi keberadaan mikroorganisme patogen dari sampel yang diperoleh pada kegiatan pemantauan, disajikan pada Tabel 3 berikut Tabel 3. Hasil analisa mikrobiologi terhadap sampel kegiatan pemantauan No

KODE SAMPEL SAMPLE CODE

PARAMETER PARAMETERS

HASIL UJI TEST RESULT

1

Bawal bintang

2

Kakap putih

3

Kerapu cantik

Parasit* VNN Bakteri Parasit* VNN Bakteri Parasit* Bakteri

Negatif (-) Negatif (-) Vibrio sp Negatif (-) Negatif (-) Vibrio sp Negatif (-) Vibrio sp

500 bp

SPESIFIKASI METODE METHODE SPESIFICATION IKM/5.4.2/BBL-B (Mikroskopis) IKM/5.4.5/BBL-B (PCR) Isolasi dan Identifikasi Konvensional IKM/5.4.2/BBL-B (Mikroskopis) IKM/5.4.5/BBL-B (PCR) Isolasi dan Identifikasi Konvensional IKM/5.4.2/BBL-B (Mikroskopis) Isolasi dan Identifikasi Konvensional

420 bp

M

(-)

1

2

(+)

Keterangan gambar : M (-) 1 2 (+)

= Marker ( penanda berat Molekul 100 bp) = Kontrol negatif = Contoh uji negatif (tidak ada pendaran pita DNA 420 bp) ikan Bawal bintang = Contoh uji negatif (tidak ada pendaran pita DNA 420 bp) ikan Kakap putih = Kontrol Positif ( berpendar pada pita DNA 420 bp)

Gambar 2. Hasil identifikasi Betanodavirus sebagai agen penyebab penyakit Viral Nervous Necrosis dengan menggunakan metoda Polymerase Chain Reaction terhadap sampel monitoring.


Berdasarkan hasil analisa diketahui bahwa bakteri Vibrio spp positif diketahui keberadaannya di seluruh sampel ikan yang diperoleh dari kegaiatan pemantauan. Menurut Irianto (2005), Vibrio digolongkan sebagai bakteri dengan sifat gram negatif, berbentuk batang dan sebagian besar hidup di perairan laut dan payau. Secara umum, infeksi akibat Vibrio disebut sebagai Vibriosis, kadang dikenal pula sebagai Salt water furunculosis, red boil dan pike pest. Bakteri vibrio diketahui sebagai bakteri oportunistik dan merupakan bakteri yang sangat ganas dan berbahaya pada budidaya ikan laut karena dapat bertindak sebagai patogen primer dan sekunder. Sebagai patogen primer bakteri masuk tubuh ikan melalui kontak langsung, sedangkan sebagai patogen sekunder bakteri menginfeksi ikan yang telah terserang penyakit lain, misalnya oleh parasit (Post, 1987). Penyakit yang disebabkan oleh vibrio juga merupakan masalah yang sangat serius dan umum menyerang ikan-ikan budidaya laut dan payau. Penularannya dapat melalui air atau kontak langsung antar ikan dan menyebar sangat cepat pada ikan-ikan yang dipelihara dengan kepadatan tinggi. Gejala klinis awal dari ikan yang terinfeksi penyakit ini adalah anorexia atau hilang nafsu makan yang disertai dengan warna tubuh menghitam (Tendencia dan Lavilla-Pitogo, 2004). Ikan yang terinfeksi juga akan mengalami kehilangan keseimbangan dan menunjukkan perilaku berenang yang tidak normal. Bakteri vibrio yang menginfeksi ikan laut pada stadia juvenil selain lemah dan berwarna kehitaman, juga akan merangsang produksi lendir yang berlebihan. Pada tingkat akut, sirip punggung dan sirip ekor gripis dengan permukaan kulit menghitam seperti terbakar (Schubert, 1987). Secara umum, menurut Irianto (2005), infeksi Vibriosis dapat menyebabkan mortalitas > 50% pada ikan budidaya. Dalam keadaan tertentu, terutama apabila padat tebarannya tinggi, seringkali menyebabkan mortalitas hingga 100 %. Kondisi ini selaras dengan jumlah mortalitas yang dialami oleh para pembudidaya di lokasi pemantauan, dimana tingkat mortalitas akibat infeksi penyakit ini dapat mencapai 40 – 50%. Upaya pengendalian terbaik yang dapat dilakukan adalah melalui pendekatan prophylaksis diantaranya melalui penguatan sistem kekebalan tubuh dengan menggunakan immunostimulan atau melalui aplikasi vaksinasi dan probiotik untuk mereduksi jumlah bakteri patogen di dalam lingkungan (Novriadi et al., 2014a). Hal yang harus dihindari dalam mengatasi bakteri Vibrio spp ini adalah penggunaan antibiotika yang dapat menyebabkan resistensi baik pada bakteri target maupun bakteri non-target dan bahkan dapat menyebabkan alergi pada manusia yang mengkonsumsi produk budidaya yang memiliki kandungan residu antibiotika (Cabello, 2006). Tindakan pengendalian penyakit lainnya dapat dilakukan dengan mengaplikasikan sistem biosekuriti baik pada media pemeliharaan maupun peralatan yang digunakan. Sterilisasi media pemeliharan dapat dilakukan dengan menggunakan klorin 25 pm selama 12 jam untuk menghasilkan air laut yang steril dan dan kemudian dilanjutkan dengan dengan penambahan larutan Natrium thiosulfat (Na2S2O3) dengan dosis yang sama (25 ppm) untuk menetralisir residu zat klorin yang mungkin masih tersisa dalam media pemeliharaan. Sementara untuk peralatan, program biosekuriti dapat dilakukan dengan merendam seluruh peralatan pada air yang telah diberi larutan klorin dengan dosis 50 ppm selama 6 jam, kemudian dibilas hingga bersih. Aplikasi biosekuriti ini cukup vital dalam sistem budidaya mengingat penyakit dapat ditularkan melalui peralatan yang terkontaminasi (Munday and Nakai, 1997) ataupun melalui media air pemeliharaan yang terkontaminasi (Ransangan and Manin, 2012)


Data kualitas air budidaya Meningkatnya infeksi penyakit tidak dapat dilepaskan dari kualitas lingkungan media pemeliharaan (Lio-Po and de la Pena, 2004). Bahkan di beberapa lokasi, adanya degradasi kualitas lingkungan menyebabkan para pembudidaya tidak dapat melanjutkan usaha produksi dan beralih ke jenis usaha yang lain (Novriadi, 2013). Hasil pemantauan kualitas lingkungan di dua lokasi pemantauan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Karakteristik kualitas air di lokasi pemantauan, Lokasi 1 merujuk pada unit KJA milik Bp. Josan (Pulau Nguan) dan Lokasi 2 merujuk pada unit produksi Bp. Toni (Salim Group) Parameter pH* Suhu* Kedalaman* Salinitas* Nitrit (NO2) Ammonia (NH3) Posfat (PO4) Kekeruhan

Satuan â °C m g/L mg/L mg/L mg/L NTU

Hasil Uji Kualitas Air Lokasi 1 Lokasi 2 8,01 8.03 30,1 30,2 6 7 33 33 <0.1 <0.1 <0,009 <0,009 <0,033 <0.033 0.565 0.68

Metoda Analisa SNI 06-6989.11-2004 Elektrometri Bathimetri Refraktometri Kolorimetri IKM/5.4.6/BBL-B IKM/5.4.8/BBL-B IKM/5.4.9/BBL-B

Keterangan: * : Analisa dilakukan di lokasi pemantauan (In situ) Berdasarkan analisa diketahui bahwa di kedua lokasi pemantauan, parameter pH, suhu, salinitas, Nitrit (NO2), Ammonia (NH3) dan Posfat (PO4) masih berada dalam kisaran yang layak untuk mendukung optimalisasi produksi (Sirajuddin, 2009; Adipu et al, 2013). Menurut Sachoemar (2006), perairan di Pulau Nguan digolongkan kedalam kategori perairan oligotrofik, yaitu perairan yang tergolong sangat baik, bersih, sehat dan jernih untuk pengembangan kegiatan budidaya ikan. Dasar perairan yang ada di wilayah Pulau Nguan umumnya memiliki tekstur karang berpasir serta jauh dari muara sungai menjadikan perairan ini sangat sesuai untuk pengembangan komoditas budidaya ikan dalam Keramba Jaring Apung. Adanya sirkulasi air yang baik dalam beberapa jam menjadikan perairan di wilayah Pulau Nguan memiliki kemiripan dengan kolam air deras raksasa yang dapat digunakan untuk memacu produktivitas. Namun, berbagai aktivitas yang muncul di sekitar lokasi usaha budidaya, seperti pelabuhan, industri es, pembuangan oli oleh beberapa kapal dan kegiatan reklamasi yang ada di sepanjang garis pantai Galang dan Galang Baru dapat berpotensi untuk mengganggu kegiatan budidaya dan berbahaya bagi aktivitas biota perikanan. Hal ini terlihat dari tingkat kekeruhan yang diamati di lokasi pemantauan yng berada pada kisaran 0.57 – 0.68 NTU. Menurut Fisesa et al., (2014), Nilai kekeruhan pada perairan merupakan gambaran dari banyaknya bahan-bahan yang tersuspensi di perairan, diantaranya adalah liat, debu, plankton dan organisme renik. Konsentrasi kekeruhan yang melebihi baku mutu akan berdampak kepada terhambatnya penetrasi cahaya matahari yang masuk keperairan dan mempengaruhi kehidupan organisme akuatik, seperti gangguan pada sistem pernafasan, penglihatan dan mekanisme penyaringan makanan.


Kedalaman perairan di dua lokasi pemantauan berkisar antara 6 – 7 m, dimana di lokasi 1 memiliki rata-rata kedalam 6 m dan lokasi 2 memiliki rata-rata kedalaman 7 m. Menurut Adipu et al. (2013), kedalaman pada budidaya ikan di Keramba Jaring Apung minimal ditentukan oleh dimensi kantong jaring, perbedaan pasang surut dan jarak minimal antara dasar kantong dan dasar perairan. Jika kantong jaring memiliki tinggi 3 m, beda pasang surut 2 m dan jarak antara dasar kantong dan dasar perairan 2 m, maka kedalaman KJA minimal 7 m. Menurut Ramelan (1998), kedalaman untuk budidaya ikan di Keramba Jaring Apung setidaknya harus melebihi 8 m. Kondisi ini menyatakan bahwa kedalaman di kedua lokasi pemantauan kurang layak untuk usaha budidaya dan memberikan peluang yang besar bagi substrat dasar perairan, seperti pasir ataupun mikroorganisme patogen terdeposit dalam tubuh ikan. 4. Kesimpulan Kegiatan pemantauan kelayakan usaha budidaya dan sebaran mikroorganisme patogen (geographical distribution) pada kegiatan usaha budidaya merupakan salah satu kegiatan yang outputnya dapat digunakan dalam mendukung keberhasilan produksi dan pengendalian penyakit ikan, baik pada level usaha, kawasan atau sentra budidaya, antar daerah dan perdagangan produk hasil perikanan budidaya antar negara. Aktivitas usaha sebaiknya juga disertai dengan memenuhi kaidah-kaidah yang dipersyaratkan dalam konsep Cara Budidaya Ikan yang Baik (Good Aquaculture Practices) dan pengelolaan kesehatan ikan yang baik (Good Health Management Practices). Berdasarkan hasil pemantauan dapat disimpulkan bahwa: 1. Perairan Nguan merupakan perairan oligotrofik – mesotrofik yang kandungan unsur haranya masih sangat rendah. Perairan ini sangat baik dan potensial untuk pengembangan usaha budidaya ikan secara intensif berskala industri tetapi tetap berwawaskan lingkungan. 2. Pengembangan sektor usaha perikanan budidaya sudah cukup baik, namun masyarakat sangat mengharapkan perhatian dan dukungan dari Pemerintah khususnya terkait dengan subsidi pakan dan benih agar dapat mengurangi biaya produksi. 3. Pengujian parasit dan virus menunjukkan hasil negatif, namun analisa bakteri menunjukkan bahwa bakteri dalam genus Vibrio spp terdeteksi positif pada komoditas ikan di lokasi pemantauan. Tindakan pengendalian yang dapat dilakukan, antara lain dengan memperkuat sistem biosekuriti di lokasi budidaya serta mengutamakan tindakan pencegahan penyakit melalui penggunaan immunostimulan, multivitamin, vaksinasi dan probiotik. 5. Ucapan terima kasih Penulis dan seluruh tim monitoring mengucapkan terima kasih kepada jajaran Kelurahan Galang Baru atas ijin yang diberikan untuk dilakukannya kegiatan pemantauan dan Bp. Bujang dan Bp. Hendra yang mewakili pemilik unit usaha budidaya dalam melakukan wawancara selama kegiatan pemantauan


Daftar pustaka Adipu, Y., Lumenta, C., Kaligis, E., Sinjal, H.J. 2013. Kesesuaian lahan budidaya laut di perairan Kabupaten Boolang Mongondow Selatan, Sulawesi Utara. Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis 9 (1), 19-26 Anggoro, S. (2000). Pemanfaatan sumber daya pesisir dan lautan berwawasan lingkungan. Seminar Nasional Fakultas Teknik dalam rangka Dies Natalis Universitas Diponegoro ke 43. Universitas Diponegoro. Semarang BPP-PSPL Universitas Riau. (2009). Laporan akhir : Studi potensi pengembangan budidaya perikanan di Lokasi Coremap II Kota Batam. Universitas Riau. Pekanbaru Cabello, F.C. (2006). Heavy use of prophylactic antibiotics in aquaculture: a growing problem for human and animal health and for the environment. Environ Microbiol (8): 1137-1144. Cabello, F.C. (2003). Antibiotics and aquaculture. An analysis of their potential impact upon the environment, human and animal health in Chile. Fundacion Terram. Analisis de Politicas Publicas No. 17, pp. 1–16 Cameron, A. (2002). Survey Toolbox for Aquatic Animal Diseases. A Practical Manual and Software Package. ACIAR Monograph, No. 94, 375p Fisesa, E.D., Setyobudiandi, I., Krisanti, M. (2014). Kondisi perairan dan struktur komunitas makrozoobentos di Sungai Belumai Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara. Jurnal Depik, 3(1):1-9 Hill, B.J. (2005). The need for effective disease control in international aquaculture. Dev. Biol. (Basel) (121): 3–12 Irianto, A. (2005). Patologi Ikan Teleostei. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Lio-Po, G.D and de la Pena L.D. 2004. Viral diseases. In: Nagasawa, K. and E. R. CruzLacierda (eds.). Diseases of cultured groupers. Southeast Asian Fisheries Development Center. pp. 3-4 Muharam. (2011). Pengembangan model konservasi lahan dan sumberdaya air dalam rangka pengentasan kemisikinan. Solusi Unsika (10): 9 – 17 Munday B.L. and Nakai T. (1997). Special topic review: Nodaviruses as pathogens in larval and juvenile marine finfish, World J. Microbiol. Biot.,13, 375–381 Najamuddin. (2006). Perencanaan penelitian kelautan dan perikanan. Disampaikan pada Lokakarya Agenda Penelitian, Proyek COREMAP II Kabupaten Selayar, 9-10 September 2006 Novriadi, R. (2013). Studi komparasi dan dampak hasil keputusan gugatan perdata pencemaan lingkungan budidaya ikan laut di pulau Bintan. Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, 8 (2): 41-45 Novriadi, R., Agustatik, S., Bahri, S., Sunantara, D., Wijayanti, E. (2014a). Distribusi patogen dan kualitas lingkungan pada budidaya perikanan laut di Provinsi Kepulauan Riau. Jurnal Depik 3(1), 83-90 Novriadi, R., Agustatik, S., Hendrianto., Pramuanggit, R., Wibowo, A.H. (2014b). Penyakit infeksi pada budidaya ikan laut di Indonesia. 88 p Post, G. (1987). Texbook of Fish Health. T.F.H. Publications Inc. USA. 288 pp. Ramelan, H.S. (1998). Pengembangan budidaya ikan laut di Indonesia dalam: Kumpulan makalah seminar teknologi perikanan pantai. Denpasar 6-7 Agustus 1998. Balitbang Departemen Pertanian dan JICA. p. 1-8


Ransangan, J. and Manin, B.O. (2012). Genome analysis of Betanodavirusfrom cultured marine fish species in Malaysia, Vet. Microbiol.,(156), 16-44 Sachoemar, I.S. (2006). Analisis daya dukung lingkungan perairan marikultur batam estat (BME) Batam. Jurnal Hidrosfir 1 (2): 52-60. Schubert, G. (1987). Fish Diseases a Complete Introduction. T.F.H. Publications Inc. USA. 125 pp. Sirajuddin, M. 2009. Informasi awal tentang kualitas biofisik perairan teluk waworada untuk budidaya rumput laut (Eucheuma cottonii). Jurnal Akuakultur Indonesia. FPIK IPB 8 (1), 110 Subasinghe, R. dkk. (2001). Aquaculture development, health and wealth. In aquaculture in the third millennium. Technical proceedings of the conference on aquaculture in the third millennium (Subasinghe, R.P. et al., eds). pp. 167-191. Bangkok and FAO, NACA Taukhid. (2010). Dukungan monitoring dan pemetaan sebaran jasad patogen bagi upaya pengendalian penyakit ikan. Makalah disampaikan pada Pembahasan Pedoman Monitoring, Surveillance dan Zoning Penykait Ikan Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan, Bogor 28 – 30 April 2010 Wahyono, A., I.G.P. Antariksa, M., Imron., R. Indrawasih, dan Sudiyono. (2001). Pemberdayaan Masyarakat Nelayan. Media Pressindo, Jogjakarta World Bank. (2013). Fish to 20130: Prospects for fisheries and aquaculture. World bank report number 83177-GLB. Washington DC, USA .


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.