Edisi 010 Majalah Opini Indonesia

Page 25

STRATEGIC REVIEW

Kembali ke Sumber Moh. Mukri Hanya saja, karena yang harus kita lakukan saat ini adalah memperkukuh kembali “fundamen etis dan karakter bangsa berdasarkan falsafah dan pandangan dunia bangsa Indonesia sendiri”; segala ikhtiar kita dalam kembali ke Pancasila harus ditempuh dengan meneladani cara Bung Karno: “menggali kembali mutiara terpendam itu, mengargumentasikan, dan mengontekstualisasikan dalam kehidupan sesama, dan mengupayakan aktualisasinya dalam kehidupan masa kini dan masa depan”. Sebab, keinginan yang terlalu menggebu untuk mengembalikan nilai-nilai Pancasila dengan cara yang tidak tepat juga bukan tak menyisakan bahaya yang sama: kemungkinan memperlakukan (kembali) Pancasila sebagai ideologi tertutup lewat indoktrinasi yang verbalistik sebagaimana rezim masa lalu melakukannya. Cara-cara represif yang tidak menghasilkan apa-apa selain para penghapal Pancasila yang gagal menerjemahkan nilainilai luhurnya dalam kehidupan nyata.

perilaku koruptif sebagian elite politik kita yang dengan terangbenderang menunjukkan kegagalan mereka merawat warisan luhur para pendiri bangsa juga bukan tidak menyumbang benihbenih radikalisme sekaligus mematikan rasa kebangsaan. Sampai di sini kita bisa melihat betapa seriusnya krisis yang kini sedang merundung bangsa kita. Dan, karena krisis yang kita alami telah merasuk ke akar-akar terdalamnya, yakni krisis moralitas dan merapuhnya etos kebangsaan; maka, seperti ajakan Yudi Latif dalam karya terbarunya yang tengah diperbincangkan di mana-mana, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (2011: 49-50), tak tersedia jalan lain selain pulang kembali ke Pancasila.

PANCASILA, AGAMA PUBLIK Yang menarik, jika kita telusuri lebih jauh lagi landasan epistemologis, ontologis, dan aksiologis Pancasila sebagai basis moralitas dan panduan praktek berbangsa-bernegara, kita sesungguhnya akan menemukan pelbagai paralelismenya dengan teori-teori sosiologi agama mutakhir tentang “agama publik” (public religion) yang mengoreksi dan menolak baik tesis “separasi (separation) agama dan negara” maupun tesis “privatisasi agama” sembari mendukung tesis “diferensiasi”. Agama dan negara tidak perlu dipisahkan, tetapi cukup dibedakan. Dengan merujuk kembali penjelasan teoretik Yudi Latif (2011: 97-109) dalam bukunya yang sudah disebut di muka, juga tulisan Berlian F. Intan dalam Wajah Agama Publik di Indonesia (Jurnal Reform Review, 2007: 6-12); lewat diferensiasi, agama, dan negara harus saling memahami batas otoritas dan fungsi masingmasing. Artinya, di satu sisi, semua institusi negara harus bebas dalam membuat berbagai kebijakannya; tapi di sisi lain, institusiinstitusi agama pun haram memiliki hak prerogatif secara konstitusional. Begitu juga, setiap warga negara berhak beribadat secara privat maupun publik sepanjang tidak mencederai kebebasan orang lain. Itulah yang disebut “toleransi kembar” (twin tolerations). Sebuah situasi ketika—sejalan dengan negara Pancasila yang menetapkan diri sebagai “bukan negara-sekuler” sekaligus “bukan negara-agama”—agama bukan saja bisa keluar dari wilayah privat dan menunjukkan peran publiknya; tapi juga segala aktivitasnya mendapat perlindungan sembari tidak pernah lupa bahwa hegemoni agama tertentu tidak memiliki tempat di Indonesia.

OPINI INDONESIA 010

25


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.