Koran Rekam! #1

KO RAN Menggerinda Bersama Slave To The Grind

Menggali Semangat Di Balik Sengitnya Gig Houtenhand

Merayakan Pertemanan dan Kemandirian Di Hari Penahitam

Berjalan Kaki Menerobos Waktu dan Ruang di Kayutangan Bersama A Day To Walk (1)

Menziarahi Siar John Peel

Merekam hidup, merayakan waktu

REKAM! Koran REKAM!

TIM REDAKSI

Koran REKAM! merupakan salah satu divisi yang bergerak di ranah media cetak yang dikelola secara swadaya oleh tim REKAM! dengan periode terbit sebulan sekali (jika semesta merestui). Koran REKAM! memuat artikel serta berbagai informasi dari lintas disiplin seni dengan proses kurasi yang dilakukan secara subjektif oleh tim.

Penanggung Jawab Radinang Hilman Kontributor Aulia Anggia Hanifa Miryami Patrice Levyta Pandu Akhirpekan666

Di dalam Koran REKAM! terdapat berbagai macam rubrik yang memuat visual serta tulisan berdurasi segelas kopi atau sebatang kretek. Koran REKAM! juga membuka pintu selebar-lebarnya bagi kawan-kawan yang hendak berkontribusi menyumbangkan karya dalam bentuk gambar atau aksara untuk dimuat di Koran REKAM! dengan cara mengirimkannya ke surel rekamjaya@gmail.com Semua bentuk kontribusi akan lebih dulu melalui proses kurasi sebelum terbit di Koran REKAM!

Dokumentasi Gaharu Jabal Luthfi Puspito A Tata Letak dan Desain Cover Wiryawan P

REKAM! Jl. Simpang Tembaga no. 1 Kelurahan Purwantoro Malang Jawa Timur

Koran REKAM! juga menyediakan kolom iklan bagi kalian yang berminat untuk mempromosikan segala aktifitas maupun usaha yang sedang atau akan dijalani dengan lebih dulu kontak REKAM!. Tentu saja setiap pihak yang hendak mengisi kolom iklan Koran REKAM! akan lebih dulu melalui proses kurasi anggota.

WA: 08993115092 email: rekamjaya@gmail.com Terima kasih kami haturkan kepada Internet, Lapakan Kaset, Pedagang Rokok, Lapak Buku, indoxxi, Warung Kopi, MLG Record Label, GeMusik, Koalisi Nada, Balai Desa Houtenhand, Penahitam, Kedai Mbah Lemmy, Sisa Kertas, Solidrock, A Day To Walk, Malang Zine, Askara Webzine, Angsaruka, Kopi Sidomulyo, Le Nouveau Visage, IHeartgigs, Mas Samack, Mas Unk, Mas Alo, Made Oka, Ardhi, Risang Candarasa, Kidung, Mr. Fresh, Pak Wek dan kalian yang sekarang sedang memegang Koran REKAM!

Seluruh hasil penjualan Koran REKAM! digunakan untuk keberlangsungan aktifitas REKAM!.

Terima kasih untuk kalian semua yang mendukung REKAM!

1

Merekam hidup, merayakan waktu

WARTA Berjalan Kaki Menerobos Waktu dan Ruang di Kayutangan Bersama A Day To Walk (1) Pasar Krempyeng atau kini lebih dikenal dengan nama Pasar Talun terpantau sepi ketika kami datang. Hanya ada beberapa pedagang yang menggelar lapakan. Mulai pedagang sayuran, ikan, gorengan, jamu dan penjaja makanan tradisional. Maklum, ketika kami datang waktu bagian kota Malang sudah hampir masuk siang.

Krempyeng, menurut beberapa sumber, berarti “sekali habis”, merujuk pada dagangan yang cepat habis dijual. Jenis pasar tradisional yang juga masih ada di berbagai kota besar lainnya ini memang terkenal karena jam operasionalnya yang dimulai sejak pagi buta – sebelum subuh. Selain itu, pasar krempyeng juga dikenal sebagai pasar kecil yang letaknya berada di jantung perkampungan. Melihat lokasi dan jam operasionalnya, maka tak heran, ketika saya dan seorang teman datang, pasar ini sudah tampak sepi. Pasalnya, keberadaan pasar krempyeng jelas sangat membantu masyarakat sekitar dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa perlu pergi ke pasar induk.

Begitupula dengan pasar Talun yang letaknya berada di tengah kampung padat penduduk, Kayutangan, RW09, gang 6 Jl. Basuki Rahmat, Malang, Jawa Timur yang menjadi titik pertama kami kunjungi. “sarapan sek yo…(sarapan dulu ya)” ajak kawan saya bernama Gaharu. Saya hanya manut dan membuntutinya. Beberapa langkah ia berhenti di salah satu bedak berukuran 3x3 meter. Di situ perempuan tua tampak sedang sibuk berjibaku dengan lalat yang hendak meminta jatah gratis dagangannya. Namanya Bu Nah, perempuan berusia 80 tahun penjual cenil. “loh, mboten karo rombongan? (tidak sama rombongan?)” tanya Bu Nah ketika melihat Gaharu hanya datang bersama saya seorang.

“Mboten bu, mek mlampah-mlampah. (Enggak bu, cuma jalan-jalan)” jawab Gaharu setelah memesan dua porsi cenil. Bu Nah langsung beraksi menunjukkan kepiawaiannya dalam meracik. Di hadapan cenil, beliau tak tampak seperti perempuan berumur senja. Tanganya cekatan. Lihai dan cepat. Satu persatu bahan ia racik dan diletakkan

di atas daun pisang yang kemudian dilumuri gula merah cair. Voila, tak lama kemudina cenil sudah siap disantap.

“Monggo sarapan dhisik sakdurunge njamu, (silakan sarapan dulu sebelum minum jamu).” ujar Bu Nah ketika memberikan sepincuk cenil seharga dua ribu lima ratus rupiah sambil menunjuk arah pedagang jamu yang terletak lima meter di sebelahnya. Batinku, beliau ini tahu saja jika sedari tadi saya terus memantau bakul jamu di sebrang sana.

“Dulu mbak Ista (panggilan akrab pianis Christabel Annora) tampilnya di sini,” ujar Gaharu tiba-tiba sambil menunjukkan tempat ia berdiri.

“Di situ lapak jualan, di sana lapak Nandvr Dvlvr, di sini dibuat pameran foto, yang nonton di sepanjang sini,” ingatnya sambil mengarahkan telunjuknya ke berbagai arah.

Sejatinya, tujuan kami kemari memang bukan sekedar jalan-jalan. Beberapa hari sebelumnya saya memintanya agar diajak berjalan-jalan ke kampung Kayutangan sambil menceritakan berbagai kegiatan yang pernah ia lakukan bersama komunitasnya.

Gaharu merupakan salah satu dari tiga anggota dari komunitas bernama A Day To Walk. Sebuah komunitas yang menggalakkan kembali aktifitas berjalan kaki dengan cara mengunjungi berbagai tempat bersejarah di kota Malang.

A Day To Walk digagas pertama kali sekitar tahun awal 2013 oleh seorang perempuan bernama Sindy Asta yang saat itu masih berstatus mahasiswi yang juga dikenal sebagai seorang komikus. Bersama kawan kampus serta komunitas komikus itulah A Day To Walk berawal.

Gaharu sendiri – bersama Lintang – mengenal Sindy dan baru bergabung A Day To Walk di sekitar akhir tahun 2013 lewat acara Nandvr Dvlvr.

Kemudian, setelah saling mengenal dan menyatukan minat, pada tahun 2014 mereka mulai mematangkan agenda serta konsep A Day To Walk.

Sebelum bergabung A Day To Walk, Gaharu dikenal sebagai fotografer gigs. Ia juga sempat ikut membidani media musik seperti Anekdot, Angsaruka dan Iheartgigs. Selain musik dan fotografi, Gaharu juga punya ketertarikan besar terhadap seputar isu sosial dan sejarah.

Oleh karenanya jangan heran jika kegiatannya tak pernah lepas dari itu semua. Termasuk sekarang, di mana ia menjadi seorang guru di salah satu di sekolah yang letaknya jauh dari pusat kota

2

Malang.

Gaharu mengaku jika sebelum mengetahui aktifitas A Day To Walk ia juga memiliki kegiatan serupa. “Sebelumnya,” kata Gaharu, “saya juga kebetulan punya kegiatan yang hampir sama, tapi dalam bidang fotografi,” “Jadi, aktifitasnya hunting tempat untuk foto sambil jalan-jalan.” lanjutnya.

Aktifitasnya itu berangkat dari alasan sederhana; karena menurutnya kegiatan jalan kaki adalah aktifitas yang menyenangkan. Tak disangka, kegiatannya itu menarik minat banyak orang - yang semula hanya kawan terdekat hingga orang-orang yang belum ia kenal. Dari sini Gaharu berpikir jikas sebenarnya aktifitas jalan kaki banyak diminati.

“Sebenarnya banyak teman yang ingin melakukan hal serupa (jalan-jalan), tapi mereka malu jika melakukannya sendirian.” ujar Gaharu.

Sampai pada akhirnya, berjalannya waktu dan berkat penulusuran dunia maya ia menemukan kegiatan A Day To Walk yang dibentuk Sindy di mana menurut Gaharu memiliki benang merah dengan kegiatan yang sedang ia lakukan.

“Awalnya bertemu (berkenalan dengan Sindy) di acara Nandvr Dvlvr,” pukas Gaharu. “saya juga beberapa kali mengikuti kegiatan A Day To Walk, tapi waktu itu memang belum mengenal Sindy.”

Selain memiliki minat sama - berjalan kaki, kata Gaharu, Sindy melakukan aktifitas ini sebagai jawaban dan solusi yang riil atas kemacetan yang belakangan kian menyebar di berbagai poros jalan di kota Malang. Lantas apa hubungannya dengan bangunan-bangunan bersejarah?

Dikenal sebagai kota peristirahatan, pendidikan dan produsen keripik tempe, daya pikat Malang juga hadir karena sejarah panjangnya. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya keberadaan bangunan-bangunan bersejarah. Entah dari era sebelum atau sesudah masa penjajahan. Mulai dari candi, monumen, bioskop, toko kuno, rumah tinggal hingga gedung pertunjukan.

Menariknya

lagi,

tempat-tempat

bersejarah

Merekam hidup, merayakan waktu

WARTA tersebut mudah dijumpai di berbagai sudut kota Malang. Tidak hanya pada satu kawasan atau wilayah saja. Sebut saja kawasan Ijen, Pecinan, Klojen, Kayutangan dan lain sebagainya di mana semuanya mudah dijumpai bangunan-bangunan dengan bentuk arsitektur kuno.

dibilang njamu sudah menjadi budaya A Day To Walk.

“Istilah kerennya kami ajak coffee break,” lanjutnya.

Namun, sayangnya keberadaan bangunan-bangunan yang menjadi saksi bisu perjalanan sejarah di kota Malang itu sedang terancam. Banyak situs bersejarah yang atas nama pembangunan seenaknya diubah kemudian dialihfungsikan menjadi, yang katanya, modern. Seperti GOR Pulosari, misalnya. Ada juga yang diratakan tanah atau dibiarkan mangkrak begitu saja. Hal ini tentu tak lepas dari ketidakpedulian pemerintah kota Malang terhadap situs-situs bersejarah tersebut yang semestinya masuk dalam kategori cagar budaya.

Mungkin, perhatian mereka (pemerintah) terkuras habis untuk menghias taman, membongkar trotoar berulang-ulang, atau prasmanan “rejeki”.

Mencari kambing hitam rasanya memang lebih mudah. Namun, juga patut dipertanyakan bagaimana sikap seluruh penghuni kota, terutama arek Malang, dalam menyikapi fenomena ini.

Itulah yang mungkin mendasari Sindy akhirnya melahirkan A Day To Walk; menawarkan solusi dan jawaban dengan aksi nyata ketimbang hanya mengkambing hitamkan pihak-pihak tertentu atau mirisnya hanya berakhir di forum rasanrasan.

Sejak perekenalan itulah dan setelah hampir selama dua minggu rutin uklam-uklam bareng (jalan-jalan bersama) Gaharu memberikan usul bagaimana jika A Day To Walk dilakukan lebih serius.

“Akhirnya awal 2014 kami bertiga mulai menyusun agenda rutin A Day To Walk, dan pada periode awal ini jujur saja kami masih awam, pokoknya mlaku. Jalan kaki.” kata Gaharu.

Hingga berlahan-lahan mereka bertiga belajar untuk memetakan. Mulai dari literasi, forum diskusi bersama sejarawan, budayawan termasuk juga kalangan akademisi mereka jadikan sumber belajar dan rujukan. Dan sampai pada akhirnya A Day To Walk mengenal BOPLEN dan mulai membedah kota Malang berdasarkan BOPLEN. Jamu Break di Bedak Mr. Fresh Kami berdua sekarang sudah berada di lapakan tukang jamu. Pria bersongkok coklat tampak sibuk meramu aneka jamu dan mencampurnya ke dalam satu gelas demi menghasilkan jamu berkhasiat pesanan pembeli. Tak ingin mengganggu dan merusak konsentrasinya, kami pun memilih duduk di belakangnya sambil tetap menikmati cenil buatan Buk Nah. “Di sini markas A Day To Walk,” kata Gaharu merujuk pada bedak jamu yang kami duduki.

Konon bedak jamu ini hampir selalu menjadi titik yang selalu dikunjungi jika menyangkut segala aktifitas A Day To Walk. Mulai diskusi anggota, mengantarkan partisipan, atau bertemu tamu. Tak peduli mereka datang dari latar belakang seperti apa, bedak jamu ini selalu menjadi pilihan. Bisa

jual jamu terpancara jelas. Seolah mereka berdua sudah bagai teman dekat. Topik mengenai warga sekitar dan kabar-kabar kampung mengalir deras. Ini sudah cukup membuktikan bagaimana kedekatan anggota A Day To Walk dengan warga sekitar.

Setelah membayar mahar sebesar dua ribu lima ratus rupiah, kami pun berpamitan untuk mengitari kampung Kayutangan. Bapak penjual jamu itu langsung berdiri, mengambil sebotol jamu dan menuangkan sinom ke gelas kami yang sudah tandas.

“Jamu break maksudnya?” sanggahku. Kami pun tertawa mendegar istilah itu.

Mendengar kami tertawa, Bapak penjual jamu itu menoleh ke belakang. Tentu wajah Gaharu sudah akrab baginya dan pertanyaan serta jawaban awal tadi ketika bertemu Bu Nah kembali diulang.

Mereka semua (pedagang) tampaknya terbiasa melihat Gaharu datang bersama banyak orang, entah itu bersama anggota A Day To Walk, partisipan atau tamunya.

Jujur saya bingung ketika si penjual bertanya jenis jamu apa yang ingin dipesan. Menyoal jamu, yang saya tahu cuma sinom, beras kencur, temulawak, kencur dan anggur kolesom. Yang disebut terkahir bebas mau dimasukkan hitungan atau tidak.

Beruntung, si bapak penjual jamu tanggap dan memberi masukan, “mau jamu yang buat menghilangkan capek-capek?”

Tanpa banyak pertimbangan, saya pun sepakat. “lek, jamu sing nggarai cidek jodoh enten pak? (kalo jamu yang membuat dekat jodoh ada pak?)” goda Gaharu.

“Lek iku yo sampean kudu nggawe resep dewe, (kalo itu kamu harus membuat resep sendiri)” jawab bapak penjual jamu diikuti derai tawa kami bertiga.

Takaran demi takaran jamu mulai dituang ke gelas kecil tanpa alat bantu. Alat ukurnya hanya satu; perasaan. Alat ukur ini yang tak pernah ditemui tandingannya sampai sekarang. Oleh karenanya urusan meracik makanan atau minuman, orang dulu pasti punya ciri khasnya masing-masing.

Katanya, walaupun resep sama, beda tangan pasti beda rasa. Dan sampai saat ini saya percaya itu.

Pesanan jamu saya akhirnya rampung. Namanya puyang kencur, yang konon memiliki khasiat mampu menghilangkan capek-capek. Saya pesannya dingin. Dan ketika membasahi tenggorokan, segarnya bukan main. Rasa pahit dan manis berkelindan menghasilkan kesegaran yang pas!

Sembari menikmati puyang kencur, kami bertiga berbincang. Kedekatan Gaharu dan bapak pen-

3

“iki cek mlaku-mlakune tambah semangat, (ini biar jalan-jalannya semakin semangat),” katanya.

Kami pun duduk sejenak dan menikmati sinom pemberiannya lalu tak lupa berterima kasih kemudian berjalan-jalan dengan kondisi badan bugar segar. Pasar Talun selintas memang sederhana seperti pasar tradisional kebanyakan, tapi kehangatan para pedagang di sini yang membuat pasar krepyek ini memikat.

“Nama bapaknya tadi siapa?” tanyaku di tengah perjalanan sebelum blusukan ke kampung Kayutangan.

“Mr. Fresh,” jawab Gaharu datar sambil memasang tampang serius. Otomatis saya tertawa.

“Sing nggenah, (yang benar)” paksaku. Gaharu hanya senyum dan menjawab, “coba dibahasakan,” “Brengsek,” rutukku sambil tertawa.

Langkah kami berlanjut memasuki lorong-lorong sempit perkampungan Kayutangan. Rasa kagum kehangatan tadi masih belum reda. Kehangatan itu, kata Gaharu, adalah salah satu dampak serta kebanggan anggota A Day To Walk yang didapat berkat acara bertajuk setahun silam bertajuk Waktu Ruang Kayutangan 1 yang tadi kronologi tempatnya diceritakan Gaharu saat membeli cenil di bedak Bu Nah. “Sejujurnya dampak ini yang paling berkesan bagi kami dan sulit untuk diungkapkan lewat kata-kata.” jelas Gaharu. “tapi prosesnya sangat panjang.”

Proses yang dimaksud tentu saja mengenai perjalanan A Day To Walk selama ini, terutama di kampung Kayutangan. Sekarang, dedikasi mereka memang telah membuahkan hasil. Namun, itu semua tidak semudah membalikkan tangan.

Problematika, keraguan dan tekanan dari berbagai pihak ibarat lauk bagi perjalanan mereka selama lima tahun berjalan. Akan tetapi, salutnya, sampai sekarang mereka bisa bertahan. Bertahan dari rasa jumawa, bertahan dengan prinsip serta visi misi seperti di awal, bertahan untuk membuktikan jika hal besar tidak lahir dari forum rasanrasan.

Lantas apa itu BOPLEN? Dan apa saja rintangan dalam menjalankan A Day To Walk yang selama ini tetap bertahan berdiri di atas kaki sendiri tanpa campur tangan kepentingan-kepentingan lain?

Bersambung…

(Teks/foto oleh Hilman)

Merekam hidup, merayakan waktu

PIT ON FIRE Jika bunyi (bumi ?) adalah…

Jika kau menemukan keindahan…

Silakan merancau di seantero keindahan…

Begitu, jika tidak salah dengar, potongan puisi yang selalu dibaca berulang-ulang dengan berbagai tingkatan nada serta membuat suasana sontak langsung mencekam.

Mereka adalah Ratapan Anjing Liar, kuartet noise yang malam itu dibantu oleh Andi Alo dari Ajer sebagai penggebuk drum. Salah satu unit noise dari kota Malang yang patut untuk diperhatikan ini selalu tampil dengan kejutan-kejutan baru. Entah itu dari sisi musik maupun instrumen yang digunakan.

Begitu pula di acara Houtenhand Open Tur malam itu di mana mereka menampilkan semacam musikalisasi puisi yang menghantam dan memekakkan telinga. Sayang, penampilan mereka terlalu singkat karena keterlambatan acara.

Giliran proyek trio noise-rock asal Yogyakarta bernama Lansanese naik ke atas panggung. Tensi acara semakin naik. Bahkan pecah. Pasalnya malam itu mereka bertandem bersama unit noise asal kota

Malang, Bergegas Mati, yang dipiloti oleh Pandu Akhirpekan666.

Menonton penampilan Lansanesea sama halnya membayangkan bagaimana Nirvana di masa muda ketika naik ke atas panggung pada kondisi paling liar dan nirkontrol kesadaran. Dan ledakan-ledakan yang dihasilkan oleh piranti Bergegas Mati menambah lengkap sudah.

Setelah Lansanse ft. Bergegas Mati menghajar telinga serta alat tanpa ampun. Kini saatnya grup psikedelik-elektro, Monohero, tampil mendinginkan suasana. Seperti biasa, selain musik, tembakan visual jelas menjadi salah satu daya tarik dari tiap penampilan trio ini. Penampilan Monohero memang tak pernah mengecewakan.

Namun, sepertinya mereka harus mulai memikirkan untuk membawa sesuatu yang baru, materi baru, misalnya. Pasalnya, dengan intensitas panggung yang cukup tinggi, bukan mustahil mereka akan terli-

hat monoton karena suguhan penampilan yang tak sewarna-warni visual yang dimainkan di setiap penampilan.

Darsombra didapuk menjadi penampil puncak sekaligus menutup acara Houtenhand Open Tur yang memang digelar dalam rangka menyambut rangkaian tur Asia mereka. Duo raga stoner rock asal Amerika ini tampil memukau.

Perpaduan musik stoner rock, raga hingga menyisipkan karakter musik Timur Tegah yang dimainkan repititif membuat seluruh penonton seolah diajak untuk menjelajahi dimensi yang berbeda demi menemukan sebuah ketenangan jiwa.

Meski hanya beranggotakan dua personil – gitaris dan pianis merangkap modulasi elektronik – Darsombra bermain rapat dan benar-benar membuat racikan minuman yang sedari diputar langsung bekerja maksimal dalam tubuh. Tak heran meski dua lagu yang mereka bawakan berdurasi panjang, penonton tampak masih belum puas dengan perjalanan spiritualnya. Alhasil, ketika Darsombra hendak pamit undur diri, penonton seakan tak membiarkannya sebelum keinginan mereka terpenuhi agar Darsombra membawakan satu buah lagu lagi.

(RHA)

Malam Psikedelia di Houtenhand Open Tour Klab Tempur Round 2 Semeru Art Gallery, Malang 31 Maret 2018 Klab Tempur menyuguhkan menu lengkap dan kenyang! Karena band pop, punk dan rock semua berada di satu daftar main. Bagi saya, semua penampil malam itu adalah menu utama. Namun, tentu saja Barefood yang paling membuat saya kalap. Bagaimana tidak, Barefood jarang ke Malang dan ini merupakan kali pertama saya menyaksikan mereka di sini.

Front row is a must. Tentunya massa ‘pecah’ pada lagu andalan mereka “Milkbox” dan “Perfect Colour”.

Sebelumnya, sing along bersama Write The Future itu wajib hukumnya. Ada beberapa band lagi yaitu Noose, The Broto, Closure dan Barnett Ghastly yang membuat kita tak beranjak dari ruang pamer Semeru Art Gallery, bahkan untuk sekedar mengambil nafas saat jeda pergantian performer. Klab Tempur sendiri adalah kolektif yang rutin mengadakan gigs dengan kombinasi band asyik dari Malang maupun luar Malang. Kembali ke satu tahun ke belakang, Klab Tempur perdana juga berhasil mempertemukan banyak penikmat musik Malang dengan Grrrl Gang (Jogja), Seahoarse (Jogja) & Soft Blood (Bandung) juga Dizzyhead, Much dan Coldiac sebagai tuan rumah. Begitu masuk venue Level Brewhouse, aroma indie akan sangat kentara namun tenang saja, semua gigs Klab Tempur aman dan nyaman untuk semua individu. Kuncinya tidak sulit: Sapa saja, senyum saja dan nikmati acaranya! Akan selalu ada yang bantu kamu bangun setelah moshing atau stage diving, ok? (Hanifa Miryami)

Open Tour Houtenhand Public House, Malang 14 Oktober 2018

berhalangan. Dawai Nusantara dan The Eye Of Time sama-sama mampu memanfaatkan durasi dengan membawakan set panjang.

Dalam jangka waktu berdekatan –periode September dan Oktober, Houtenhand Public House punya gawe yang masih segar untuk diingat. Acara itu adalah Open Tour – sebuah gig persembahan Houtenhand untuk menampung tur unit musik dari lintas kota bahkan benua.

Pertengahan bulan Oktober kemarin Open Tour menginjak edisi keenam. Selama perjalannya, program Open Tour sekaligus menjadi bukti bagaimana Houtenhand masih tetap bertahan dalam memberikan ruang bagi nama-nama di luar radar. Sebut saja Cat Rolls, Gaung, The Arcadia, Cassadaga, Matilda, Marsmolys, Lansanese, Darsombra dan lainnya yang pernah merasakan panggung Open Tour.

Dawai Nusantara tampil pertama.

Tiga personil dengan masing-masing memainkan alat petik seperti gitar, banjo dan Sape (alat musik tradisional asal Kalimantan) ini membawa penonton merasakan atmosfir musik Indonesia yang begitu teduh dan menenangkan jiwa.

Entah dari sisi musik maupun lirik dengan bahasa dari lintas daerah.

Berbeda halnya dengan The Eye Of Time yang dipiloti oleh Marc Euvrie ini memainkan seluruh alat musik

Pada edisi keenam kemarin (14/10) Houtenhand kedatangan tamu bernama The Eye Of Time - sebuah proyek solo pria bernama Marc Euvrie asal Perancis – yang ditemani grup folk, Dawai Nusantara. Seharusnya ada Dody Ide di antara mereka yang sayangnya mendadak

4

(Piano, gitar, cello, dan laptop untuk sampler) hanya seorang diri. Sinting. Oh iya, ia datang hanya dengan seorang crew perempuan muda yang memiliki tangan cekatan. Keren!

Setelah diajak “berkeliling” nusantara oleh Dawai Nusantara, kini The Eye Of Time mengajak penonton berpetualang ke dimensi lain dengan suasana gelap, mencekam dan mendebarkan dada. Tak banyak cakap, setelah seluruh alat siap, Marc Euvrie langsung menciptakan komposisi musik dengan teknik sampler yang ia rekam lewat piranti laptop dari satu persatu alat yang dibawanya. Alhasil, terciptalah sebuah musik instrumental yang mencekam sekaligus membuat siapapun di depannya terpana.

Peleburan gelapnya doom dan kemegahan musik atomsferik langsung menyergap. Tak ada yang bisa diperbuat penonton selain hanya pasrah, khusyuk, dan terpana menikmatinya. Lewat musiknya, The Eye Of Time menyalurkan enerji yang selama ini juga dipancarkan oleh unit musik seperti God Speed You! Black Emperor. Sadis dan manis, dua sisi yang dijadikan pasangan paling romantis di Open Tour edisi keenam.

(Hilman)

Merekam hidup, merayakan waktu

PUSTAKA Rahasia Salinem

man yang saya baca itu bisa menunjukkan jalan keluar atau bahkan hanya teka-teki.

Sugesti? Entah. I simply do what works for me. Karena hasilnya baik, ya saya lanjutkan. Kalau nggak, ya berhenti. Saya senang menganalisa, tapi belakangan saya belajar untuk berpikir seperlunya. Kalau kebanyakan mikir, bisa-bisa saya melewatkan banyak pengalaman dan pembelajaran, kan? (Patricia)

Penulis: Brilliant Yotenega & Wisnu Suryaning Adji Terbit: Oktober, 2018 Sumber: https://www.storial.co/book/rahasia-salinem

Kisah Terhebat Yang Pernah Diceritakan

“Bukan cuma pecel itu pernah menjadi sekoci penyelamat kapal keluarga, tapi pecel itu juga berhasil mempertemukan masa lalu yang terpisah.”

Penerbit: Banana Publisher (2005) “Buku ini akan membuka mata bahwa kisah nyata tak kalah kaya, memikat, ganjil, dan ajaib ketimbang fiksi.”

Bayangkan, seorang cucu keturunan darah biru yang selama ini mengira sosok perempuan kuat, tegar dan lemah lembut sebagai nenek kandungnya ternyata salah. Perempuan itu ternyata dulunya hanya seorang abdi dalem - orang yang mengabdikan dirinya kepada keraton – anak dari seorang kusir di istana keraton. Mirisnya, hal ini baru ia ketahui tak lama setelah perempuan itu dipanggil oleh Sang Pencipta. Namanya Salinem dan cucu tersebut bernama Tyo.

Buku saku ini berisikan tiga artikel - yang kemudian dialih bahasakan oleh dua orang- yang sebelumnya pernah diterbitkan lewat media-media besar macam Esquire dan New York Times. Dimulai dari Frank Sinatra Kena Salesm, Demam Anggrek dan Ali Kini. Kesuluruhan cerita di buku ini tentu layak dibaca. Namun, tentu saja yang menjadi menarik adalah feature berjudul Frank Sinatra Kena Salesma.

Novel berformat digital ini menceritakan tentang pencarian Tyo akan kehidupan masa lalu Salinem yang selama ini ia pikir adalah nenek kandungnya. Menariknya, pencarian itu didasari hal yang sederhana; pecel. Sampai pada akhirnya dengan modal rasa penasaran, ketelatenan, kegigihan dan sifat keras kepalanya itu Tyo akhirnya berhasil menguak sejarah panjang perjalanan kehidupan Salinem, termasuk juga menemukan resep pecel yang selama ini ia cari bersama Bibi Ning – adik Ayahnya.

Frank Sinatra Kena Salesma Penulis: Gay Talese Alih Bahasa: Yusi Avianto Pareanom

Dalam Rahasia Salinem, penulis lihai dalam mempermainkan pembaca. Entah melalui plot dan alur yang sengaja dibuat berlonjatan di mana tiba-tiba bisa membawa pembaca ke dimensi yang berbeda.

Entah masa depan lalu kemudian dihempaskan ke puluhan tahun silam di mana ketika Salinem lahir atau ketika Indonesia sedang dalam masa penjajahan.

Menariknya, artikel ini ditulis Gay Talese tanpa mewawancarai sang maestro, Frank Sinatra, secara langsung. Talese hanya mengamati, mewawancarai keluarga, teman-teman terdekat, hingga orangorang yang pernah bersinggungan dengan kehidupan Il Padrone. Alhasil, sebuah buku penuh kisah Frank Sinatra yang (mungkin) selama ini belum pernah didengar berhasil diceritakan secara mendalam namun dengan gaya bahasa yang santai. Membaca buku ini bagai membaca sebuah novel yang menghadirkan banyak karakter, drama dan plot yang beragam. Gaya penulisan seperti ini lebih dikenal dengan jurnalisme sastrawi di mana Gay Talese dianggap menjadi salah satu penulis yang turut mempeloporinya.

Selain mengupas tentang kehidupan Salinem yang penuh lika-liku serta pengorbanan, penulis tak luput menggesekkan ceritanya dengan kondisi sejarah bangsa di masa silam. Terutama di Jawa Tengah, tepatnya Solo dan sekitarnya yang memang menjadi latar tempat utama pada novel ini. Lantas bagaimanakah kisah Salinem hingga bisa menjadi bagian dari keluarga Bangsawan dan bahkan menjadi sosok penting dalam keluarga Tyo? Apa hubungannya dengan pecel? Silakan temukan sendiri di Rahasia Salinem. (Hilman)

Kisah ini adalah buah dari penugasan majalah Esquire kepada Gay Talese untuk menuliskan profil tentang Frank Sinatra. Pada tahun 1966 Gay laporan ini terbit dengan judul Frank Sinatra Has a Cold.

Lewat bukunya berjudul Nice Boys Don’t Write Rock N Roll, Nuran Wibisono juga sempat memyinggung mengenai artikel Gay Talese ini yang menurutnya adalah salah satu feature paling terkenal dalam sejarah penulisan musik dengan metode jurnalisme sastrawi.

Isyarat Cinta yang Keras Kepala Penulis: Puthut EA Penerbit: Labuh (2005), EA Books (2016) & Mojok (2017)

Musuh Musuh Kelahiran

Sebenarnya dua bulan terakhir saya sedang sedikit waktu untuk baca buku. Saya lebih senang menghabiskan waktu dengan obrolan. Isyarat Cinta yang Keras Kepala adalah salah satu buku yang say abaca dan belum selesai-selesai. Isinya kumpulan cerpen. Tidak mengecewakan. (Patricia)

Penulis: Mayon Soetrisno Penerbit: PT. Variasi Jaya – Kartini Group (1981)

Draft Magz #01

Sejak berkenalan dengan Langit-Langit Peraduan, nama Mayon Soetrisno langsung masuk dalam radar di setiap perburuan buku. Bagiku, pria kelahiran 25 Maret 1958 di Kranggan, Temanggung, Jawa Tengah ini bisa dikatakan representasi anak muda medio 1980an. Selain cakap dalam menceritakan perihal asmara yang selalu menyebalkan dan rumit, Mayon Soetrisno juga memiliki wawasan luas mengenai budaya di Indonesia. Selain itu yang patut dipuji ialah nyali besarnya yang kerap menyisipkan kritik terhadap budaya serta kondisi di negeri ini.

Terbit: 1 Oktober 2018 Narahubung: draftmagazine@gmail.com / @draftmagz (IG) Masa senja media cetak tampaknya akan semakin panjang. Setelah Rolling Stone dan Hai memutuskan gulung tikar, tabloid Bola juga menyusul berpamitan. Namun, itu semua tampaknya tak mempengaruhi semangat arek Malang untuk tetap berani melahirkan media cetak. Buktinya adalah Draft Magz.

Begitupula di bukunya yang berjudul Musuh-Musuh Kelahiran di mana Mayon masih tetap berkutat pada kisah asmara yang teramat menyebalkan dan rumit yang dibalut dengan pengetahuan-pengatahuan akan budaya di negeri ini.

Draft Magz lahir dari rahim komunitas pop-punk, maka tak heran jika pada edisi perdananya ini mereka lebih banyak menyorot perkembangan serta pergerakan pop-punk di kota Malang. Termasuk pula geliat musik emotive. Terlepas bagaimana kalian menyebutnya (Magazine, buletin,Tabloid, Fanzine), yang jelas jempol empat layak untuk dilayangkan pada mereka. Pasalnya, lewat Draft Magz mereka mampu mengembalikan semangat saling menopang dan mendukung antara penggiat dan pelaku kreatif (musik, distro, dll) di kota malang yang beberapa tahun belakangan dianggap mengalami kemandekan.

Musuh-Musuh Kelahiran menceritakan seorang gadis keturunan Batak bernama Meinar yang awalnya sangat membenci segala hal yang berhubungan tentang Batak. Entah itu budaya hingga karakter orang Batak. Sangking bencinya terhadap Batak, Meinar bahkan berkeinginan untuk menjadi orang Jawa yang menurutnya memiliki sifat-sifat santun dan kalem.

Kepindahannya ke Yogyakarta membuat Meinar semakin berkeinginan besar menjadi orang Jawa.

Terlebih ketika ia menjalin hubungan dengan pria asal Yogyakarta bernama Basuki – pria keturunan ningrat.

Jika boleh memberikan saran, mungkin edisi selanjutnya mereka bersedia memberikan informasi siapa saja tim redaksi atau mereka yang berkontribusi menyumbangkan karya dalam bentuk tulisan di Draft Magz. (Hilman)

Meinar memiliki dua kawan bernama Indarti dan Ilyas yang memiliki sifat bertolak belakang. Indarti lebih menjadi cerminan wanita kalem, baik dan penuh pertimbangan berdasarkan perasaan. Sedangkan Ilyas merupakan gadis liberal yang menjunjung tinggi rasionalitas dan kesetaraan. Diantara keduanya, posisi Meinar berada di tengah-tengah.

The Book of Questions Penulis: Lala Bohang Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2018)

Berada di Yogyakarta tak lantas membuat Meinar tidak sama sekali bersinggungan dengan Batak.

Pertemuan dengan dosen dan anaknya bernama Tigor, termasuk juga perseteruan dengan Nyonya Dompak, Ibunya, menyulut permasalahan runyam bagi Meinar.

Buku lainnya yang sedang sering saya mainkan dengan beberapa teman berujudu Book of Question.

Kalau yang ini, sesi obrolan santai bisa berubah jadi perdebatan serius! Buku ini mengingatkan saya berkali-kali bahwa kita tidak pantas untuk merasa paling benar atau paling menderita. (Patricia)

Permasalahan-permasalahan itu semakin rumit tatkala dua kawannya telah menikah, dan itu membuat Meinar kehilangan peganggan. Belum lagi perjodohan yang direncanakan oleh kedua orang tua Meinar yang berhasil menggiring Meinar pulang ke kampung halamannya.

Freedom (Website) Website: www.freedomportal.id

Meski demikian, menariknya, lewat buku ini Mayon bukannya menuntun pembaca untuk membenci adat yang kerap dianggap kolot. Justru Mayon ingin menegaskan sebenci apapun kalian terhadap budaya atau garis keturunan, identitas serta karakter yang telah menempel sejak lahir akan tetap melekat dan mengalir dalam diri sampai kapanpun.

Semoga semesta akan terus menjaga semangat mereka yang rela meluangkan waktu dan mencurahkan tenaga serta pikiran demi mendokumentasikan dan memberikan ruang untuk mengabarkan geliat di lingkungan terdekatnya. Apapun wujudnya. Salah satunya adalah media Freedom yang menjadi ruang untuk mendokumentasikan dan mengabarkan geliat di kota Madiun dan sekitarnya.

Begitupula Meinar yang awalnya begitu membenci ras Batak yang seiring berjalannya waktu ia menyadari jika ia sendiri selama ini menjadi cerminan dari orang Batak itu sendiri hingga perjalanannya bersama Albert – pria asal Batak yang secara adat sah untuk menikahi Meinar – ke Kalimantan membuat Meinar tersadar hingga dirinya mulai berdamai dengan latar belakangnya sebagai orang Batak.

Kitab Suci Kesatria Cahaya Penulis: Paulo Coelho Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2013) Satu buku yang benar-benar mengikat saya hampir dua bulan ini adalah Kita Suci Kesatria Cahaya.

Saya tidak paham betul bagaimana buku ini bisa punya korelasi dengan yang sedang saya alami. Mau ketika perasaan sedang semerawut atau sedang adem ayem aja, buku ini saya buka halamannya secara acak. Aneh! Halaman yang terbuka selalu membuat saya berkomentar, “Kok bisa sama ya?”. Satu hala-

Ayo! ikut mengisi rubrik ini dengan mengirimkan rekomendasi buku, fanzine, website dan lain-lain yang menurut kalian menarik untuk dibaca oleh pembaca Koran REKAM! Kirim tulisanmu ke surel rekamjaya@gmail.com

5

Merekam hidup, merayakan waktu

PIT ON FIRE Merayakan Pertemanan dan Kemandirian Di Hari Penahitam

serta tentang pertemanan juga segala sesuatu yang tidak permanen,” tulis Penahitam Arts melalui postingan di Instagram-nya.

Penahitam Day

“Jujur, awalnya kami tak punya ekspektasi bisa menjadi seperti sekarang.” tutur Didi saat acara Penahitam Day 2018 beberapa waktu lalu.

Sekitar pukul delapan malam kami akhirnya sampai. Pelataran Cygnuslab – headquarter Penahitam - hingga pelatara Wisma Margo Mulyo sudah dipadati puluhan pemuda-pemudi berpakaian serba gelap yang khusyuk menyaksikan performa unit akustik bernama Sins dengan penerangan secukupnya dari lampu-lampu yang bergantungan.

Setiap akhir pekan, menuju kota Batu akan selalu menjadi tantangan. Padatnya lalulintas mulai dari sekitaran Jl. Soekarno Hatta, Watugong, Dinoyo, Landungsari akan menguji kesabaran siapapun yang hendak pelesiran ke kota Batu. Begitupula pada hari Sabtu (13/10) ketika saya bersama tiga kawan lain hendak berangkat menuju Desa Gangsiran Putuk, Batu, Jawa Timur untuk menghadiri acara Penahitam Day.

Setelah Sins menyudahi penampilan, acara dilanjutkan dengan pemutaran dokumentasi pelbagai acara Penahitam. Mulai dari dokumentasi acara Art and Music Camp Fest di bukit Paralayang pada tahun 2015 silam, hingga dokumentasi Sebar Serang Tour ke berbagai kota. Termasuk yang terbaru kunjungan ke beberapa titik di Pulau Sumatera beberapa waktu lalu.

Selepas dari kemacetan kota, kini giliran ketahanan kendaraan kami yang diuji dalam menghadapi jalan menanjak serta medan terjal. Belum lagi mencari titik lokasi markas Penahitam bukan perkara mudah karena tempatnya di dataran tinggi dan memang jauh dari pusat kota Batu.

Selain para penggagas, pemutaran dokumentasi ini otomatis juga menyegarkan ingatan seluruh kawan yang mengikuti sepak terjang perjalanan Penahitam Arts sekaligus menjadi pembuktian jika slogan “Berkarya, Berteman, Berbagi dan Bersenang-Senang!”, yang selama ini mereka dengungkan bukanlah omong kosong belaka.

Untungnya pemandangan gemerlap kota Batu, hamparan sawah dan segarnya udara membuat ujian sepanjang perjalanan tadi terlewati dengan mudah.

Hari Penahitam atau Penahitam Day merupakan sebuah hari spesial komunitas Penahitam Art yang jatuh setiap tanggal 13 Oktober. Hari tersebut dipilih sebagai wujud merayakan pertemanan dan kemandirian yang memang menjadi asas berdirinya komunitas Penahitam.

Di tengah pemutaran, anak-anak kecil tanpa malu seliweran menerobos kerumunan penonton. Mereka berlari-larian keluar masuk bangunan Wisma Margo Mulyo tanpa peduli jika di pelataran ada puluhan pemuda-pemudi bertampang sangar dengan pakaian serba gelap. Apa yang ada di dalam bangunan hampir ambruk itu tampaknya lebih menarik perhatian mereka.

Sejak pertama kali terbentuk di salah satu sudut kedai kopi mungil bernama Legipait, Penahitam Arts memang terus berkembang dan menjelma menjadi salah satu komunitas paling besar di Indonesia dengan jaringan yang hampir tersebar di seluruh pelosok nusantara. Mulai dari chapter Jakarta, Tangerang, Makassar, Samarinda, Yogyakarta, Surabaya, Pandaan, Jember, Banyuwangi, Batam, Bali dan lainnya.

Menariknya, selain didasari atas kesamaan minat (baca: menggambar), jaringan itu terbentuk dari semangat pertemanan dan kemandirian yang kuat. Tanpa secuil campur tangan pemilik modal apalagi pemerintah.

merkan.

Saya pun ikut penasaran lalu mengikuti langkah kecil itu masuk ke dalam. Voilaa, ternyata di dalam wisma itu pameran Penahitam digelar.

Bangunan yang tampak depan tak terurus dan mengenaskan ternyata mampu disulap menjadi galeri seni yang mengesankan. Di tiap ruangan, karya Rio Krisma bersama teman-teman yang digambar langsung pada dinding dipa-

Anak-anak kecil yang sedari tadi berlarian ternyata sudah berada di tiap sisi tembok sambil memegang amunisi gambar mereka masing-masing dan ikut ambil bagian di antara karya kawan-kawan dari Penahitam. Mereka terlihat serius dan sibuk tanpa peduli jika banyak orang tengah memperhatikan aktifitasnya yang lucu dan menggemaskan. Genarasi penerus Penahitam di masa yang akan datang telah lahir di acara Penahitam Day malam itu.

Malam itu, 13 Oktober 2018, Penahitam Day – yang diorganisir oleh Cygnuslab dan Stone City Neighborhood - digelar di Wisma Margo Mulyo di Desa Gangsiran Putuk kota Batu, Jawa Timur. Di lokasi itulah markas kawan-kawan Penahitam Arts atau yang lebih dikenal dengan sebutan Cygnuslab berada.

Selain di Batu, hampir di setiap chapter seperti Jakarta, Bali, Batam, Salatiga, Jepara, Padang, Bandung, Jember dan lainnya secara serentak juga turut merayakan Penahitam Day dengan konsep beragam.

Dari pelataran, acara sudah berlanjut pada sesi bincang santai bersama mas Didi, Rio Krisma dan Kotak dari Tatotelulas. Mereka bertiga berbagi cerita bagaimana perjalanan awal Penahitam Art yang lahir dari sudut kedai kopi bernama Legipait dan bagaimana album milik grup trash-metal, Slayer bertajuk Seasons in the Abyss juga ikut mengiringi awal terbentuknya Penahitam.

Wisma Margo Mulyo merupakan ekslokalisasi dengan kondisi bangunan tak bertuan yang kondisinya bisa dibilang mengenaskan. Di bangunan tersebut kawan-kawan dari Penahitam merayakan Penahitam Day dengan menggelar pameran serta pesta yang seru, intim dan meriah.

Mas Didi mengaku awalnya tak punya ekspektasi jika Penahitam bisa menjadi seperti sekarang. Ia bercerita jika jaringan Penahitam terbentuk berawal dari media sosial Facebook. Lewat media sosial itu ia bersama penggagas lainnya mulai mengunggah karya-karya mereka. Dan tak disangka ternyata kegiatan mereka menuai banyak respons dan antusias dari berbagai pihak.

Sampai akhirnya banyak kawan-kawan dari luar kota yang menawarkan Penahitam untuk membuka chapter di kota mereka masing-masing.

Kabarnya, bangunan itu sengaja dipilih karena merepresentasikan pesan yang ingin disampaikan oleh Rio Krisma dan kawan-kawan melalui artwork yang mereka pamerkan.

“Rio Krisma and friends mengajak kita untuk merefleksi diri tentang sepi

6

Merekam hidup, merayakan waktu

PIT ON FIRE “Jujur saja, waktu itu kami masih belum tahu bagaimana cara mengorganisir komunitas,” tutur mas Didi. “oleh sebab itu, pada awalnya tak jarang terjadi miss komunikasi antara komunitas Penahitam di berbagai kota perihal semangat serta visi dan misi,”

“Kami membuktikan tanpa sokongan pemilik modal besar pun, Penahitam bisa bergerak dan bersenang-senang,” imbuh mas Didi.

Setelah bercerita panjang lebar mengenai kunjungan mereka ke beberapa titik kota di pulau Sumatera, acara Penahitam Day ditutup oleh aksi Mcxevan dan Glibly Ninja di lorong utama Wisma Margo Mulyo yang telah didesain meriah karena berbagai gambar di sisi tembok dan riasan wajah kawan-kawan menggunakan cat glow in the dark yang menyala berkat pancaran sinar uv.

Tapi, kata mas Didi, seiring berjalannya waktu ia bersama kawan-kawan terus belajar, berkarya dan bergerak. Sampai pada akhirnya Penahitam mulai melakukan kunjungan ke setriap chapter di berbagai kota di Indonesia lewat program bertajuk Seberang Serang Tour. Tujuannya, selain bersilaturahmi juga sekaligus menyatukan visi dan misi antar komunitas Penahitam berbagai kota.

Ruangan memang gelap, tapi kebahagiaan terpancar jelas dari hiruk-pikuk tawa yang terus menggema di seluruh ruangan. Tak terkecuali anak-anak kecil yang sudah meletakkan alat menggambar mereka dan ikut bergabung di lantai dansa bersama kawan-kawan Penahitam Art.

“Semuanya bermula dari acara Penahitam Art and Music Camp Fest di tahun 2015 silam,” lanjut mas Didi. Acara itu – yang sekaligus merayakan tiga tahun berdirinya Penahitam – memang terbilang sukses besar. Lewat gelaran tersebut, Penahitam berhasil menyatukan seluruh pelaku kreatif di kota Malang bahkan Indonesia untuk berkumpul dan bersenang-senang selama dua hari penuh di bukit Paralayang, Batu.

Slogan “Berkarya, Berteman, Berbagi dan Bersenang-Senang!” memang tak didengungkan, tapi sudah tergambar dan terasa jelas mulai dari pelataran Cygnuslab hingga bangunan Wisma Margo Mulyo di Desa Gangsiran Putuk.

Bahkan pasca acara Penahitam Art and Music Camp Fest, tak jarang di kota Malang bermunculan acara-acara dengan konsep serupa yang digelar oleh pihak kampus maupun komunitas lainnya.

Selamat untuk Penahitam Arts. Terus berkarya, berteman, berbagi dan bersenang-senang. Panjang umur pertemanan! Panjang umur kemandirian!

(Hilman)

Sejak itulah kawan-kawan Penahitam semakin melebarkan sayap, termasuk salah satunya dengan menginisiasi Sebrang Serang Tour. Mas Rio menambahkan jika dari kunjungan ke berbagai kota itu mereka banyak belajar dan saling berbagi ide dengan kawan-kawan komunitas dari lintas kota.

Dan salutnya, sampai detik ini seluruh aktifitas Penahitam itu dilakukan secara swadaya alias dengan modal mandiri. Mulai dari hasil penjualan merch, fanzine dan termasuk dukungan dari usaha milik lingkaran pertemanan mereka.

Heartfelt #3 Houtenhand Public House, Malang 25 Februari 2018 Balaidesa saat itu kembali menyambut rombongan Grrrl Gang & Flowr Pit dalam rangkaian Flowr Gang Tour mereka di bulan kedua tahun 2018. Saat itu saya beruntung bisa ada di sana sebagai bagian dari Dizzyhead yang turut meramaikan panggung lantai dua Houtenhand, juga sebagai penonton yang datang untuk menyaksikan band teman-teman lainnya.

Gigs tersebut berkesan karena teman-teman dari kolektif Heartfelt, pengisi acara, dan pengunjung yang hadir memberikan support yang luar biasa dalam rangka melepas kami menuju LaLaLa Fest pada awal Maret. Crowd yang padat-dari depan panggung sampai dengan tangga menuju lantai 3-selalu menjadi pemandangan yang bagus bagi saya. Membuat kami bersemangat untuk mempresentasikan nama Malang di festival musik hutan internasional yang diadakan di Bandung itu. Malam itu kami bersenang-senang bersama Much, salah satu band yang tak pernah sepi penikmat di tiap gigsnya dan juga Head Head yang baru mencuat ke permukaan dengan materi-materi fresh mereka. Kembali ke 2017, Heartfelt juga menggembirakan saya dengan membawa band math rock asal Jakarta, Eleventwelfth, dengan tandem quintet skramz, Rekah, sebagai tur partner mereka. Emosi kami malam itu diacak-acak pula oleh Moor, Eitherway dan Words//Worth

asal kota sendiri. Dan tak ada yang lebih baik untuk menutup malam yang ramai tersebut dengan ritual kuliner malam dan cangkruk di pecel rawon Ngaglik yang susah dicari tempat duduknya.

(Hanifa Miryami) _______________________________________ Jatim Power Vol. 3 SK Coffee Lab, Kediri 3-4 Agustus 2018 Berjarak (-+) 100 Km dari Kota Malang, Kediri terlihat seperti kota pensiunan yang hangat dan tenang.

Namun, kota yang juga dijuluki Kota Tahu (selama ini saya selalu mengira kota ini adalah kota rokok, astaga!) ini menyimpan keriuhan gigs hardcore/punk yang keren. Jatim Power adalah acara tahunan yang pada volume ke-3 ini diselenggarakan di SK Coffee Lab, Kediri. Tidak terlalu luas, tapi cukup menampung puluhan orang yang siap dengan aksi intim dari para penampil yang berhadapan langsung dengan mereka.

Diadakan selama dua hari dengan line-up penampil yang berbeda di masing-masing harinya, sayang sekali saya hanya berkesempatan datang pada hari ke-2. Hadd asal Blitar sudah pasti menjadi yang saya tunggu beserta kepalan sang vokalis, Yossy - yang kerap melayang ke arah kamera tim dokumentasi. Stone World dari Malang kala itu juga patut disaksikan karena sedang panas-panasnya mempromosikan album Going Greasy yang rilis sebulan kemudian. Duo asal Jakarta, Norr Frygt tak khayal juga menyita perhatian saya. Dengan hanya gitar dan drum, penampilan mereka tetap terasa penuh dan tak membuat sepi pit. Saya melihat banyak wajah puas saat menonton aksi mereka. Musik, mural, pameran seni dan lapakan merchandise dikemas dengan baik. Jatim Power tentu adalah DIY movement yang selalu akan saya nantikan di tahun-tahun berikutnya. (Hanifa Miryami)

7

Sound of REKAM! Bakar - Muntah Kras - One Shot One Kill Brigade Of Crow - Tendensi Agresif Grimwolf - Sapa Mentari Wigra - Another Dimension Taruk - Berapi-Api Moor – Whisper Mountain Noose – Surreal Way Of Paradise Seringai – Enamlima GeeZ – Vo)))id Ultraviolence – The Central Concept

Catch On Youtube Rajasinga - Orang Gila Cyclops - Anti Depressant AK//47 Live at St. Vitus Bar Pagi Tadi - Fase Eyesthetic - Real Eyes Realise Iksan Skuter ft Hera - Baca Buku KAVALERI – FATAMORGASME Pangalo! – Menghidupi Sepenuhnya

Merekam hidup, merayakan waktu

SINEMA

8

Merekam hidup, merayakan waktu

PIT ON FIRE Menggerinda Bersama Slave To The Grind

Sampah Dunia Ketiga,” tutur Yasmeen yang memang personil anyar Extreme Decay. Sampah Dunia Ketiga (2002) yang berisi 26 materi itu memang banyak ditasbihkan menjadi salah satu album terbaik di ranah grindcore, bahkan sepanjang masa, yang pernah dilahirkan oleh Extreme Decay karena eksplorasi musiknya yang bisa dibilang segar di era tersebut.

Menjelajahi grindcore ke seluruh dunia dalam seratus menit.

Menyinggung musik yang menjunjung tinggi nyalak distorsi hingga batas paling ekstrem (baca: cadas), Malang tentu menjadi salah satu kota di Indonesia yang patut disebut. Sejak dulu, musik ekstrem atau yang dulunya lebih dikenal dengan idiom underground ini memang sudah bisa diibaratkan menjadi nafas bagi kota ini. Bukan tanpa dasar penulis mengatakannya. Bukti itu bisa dilihat dari berbagai arsip atau dokumen yang pernah lahir di sirkuit musik kota Malang.

Sedangkan Arif atau akrab disapa Monox yang memang telah lama berkecimpung sebagai pelaku dan penggiat di sirkuit musik cadas kota Malang mengaku jika ia mengenal grindcore sudah sejak tahun 1996. Tahun tersebut, berdasarkan arsip penulis, memang bisa dibilang menjadi momen penting di sirkuit cadas di kota Malang yang dampaknya bisa dirasakan hingga detik ini.

Termasuk ketika musik cadas seperti deathmetal, blackmetal dan termasuk grindcore mulai digandrugi arek-arek Malang dengan menjujung tinggi semangat pertemanan dan kemandirian.

Mulai dari era GOR Pulosari, KNPI, auditorium ITN, Widyagama, Balai Merdeka UNMER, Gedung Kesenian Gajahyana, Godbless Cafe hingga Houtenhand, pernah atau masih menjadi saksi bagaimana scene musik cadas di kota ini terus menyalak dari waktu ke waktu. Generasi ke generasi. Dan itu masih terus berlanjut sampai detik ini.

“Kalo (band) lokal, saya awalnya tahu dari album Extreme Decay yang Progressive Destruction,” kata Monox.

Pengakuan dua narasumber itu cukup membuktikan bagaimana Extreme Decay memang memiliki pengaruh besar di sirkuit cadas kota Malang. Hal ini juga disepakati oleh bang Arfan selaku moderator yang juga menjadi saksi sejarah panjang arena musik cadas kota Malang. Bahkan mereka bertiga sepakat jika Extreme Decay juga memiliki pengaruh besar di kancah grindcore Indonesia. Rilisan bertitel A Tribute To Extreme Decay adalah salah satu bukti riil-nya.

Di penghujung bulan Oktober 2018, balai desa Houtenhand sukses menggelar acara nonton bareng film berjudul Slave To The Grind yang diproduksi oleh rumah produksi Death By Digital yang berbasis di Toronto, Kanada, distrudarai Doug Robert Brown. Film dokumenter ini secara primer diputar dalam Calgary Underground Film Festival di Calgary, Kanada, tanggal 21 April 2018 lalu. Termasuk rangkaian promosi ke berbagai Negara.

Sedangkan di Indonesia, film ini baru diputar secara serentak di beberapa titik kota di penghujung bulan Oktober 2018.

“Semua ini berkat Garna Raditya dari AK-47 yang memang sedang berada di Amerika untuk mengusahakan film ini agar bisa diputar di Indonesia,” tutur mas Alo selaku penanggung jawab pemutaran film Slave To The Grind di Houtenhand, Malang.

Selain di kota Malang, film yang mencoba menyusuri tentang sejarah perjalanan musik grindcore ini juga diputar di banyak titik penjuru Indonesia dengan konsep yang beragam. Mulai dari Aceh, Medan Palembang, Batam, Pontianak, Pekanbaru, Jakarta, Tangerang, Bandung, Semarang, Kediri, Bali, dan masih banyak lagi.

“Jadi setiap kota yang memutarkan film ini diajak kolektif untuk membayar royalti yang telah ditentukan oleh si pembuat filmnya,” jelas mas Alo yang juga selaku owner Barongsai Records.

Malam itu, di Houtenhand, pemutaran film Slave To The Grind dibagi dalam dua sesi; sesi pertama pukul setengah tujuh, kemudian dilanjut diskusi, dan sesi terakhir pukul sembilan malam.

Sekitar pukul tujuh area parkir Houtenhand sudah mengular. Di lantai dua, pemutaran film sesi pertama juga sedang berlangsung. Tepat waktu. Saya pun memutuskan untuk mengikuti sesi diskusi dan lanjut ikut nonton di sesi kedua. Diskusi dimulai pukul delapan. Tak ingin ketinggalan saya pun naik setelah membayar mahar sejumlah lima belas ribu rupiah.

Lantai dua tampak padat. Kursi-kursi sudah ditata rapi di bagian tengah yang biasa menjadi jantung pit tiap gigs di balai desa. Seperti halnya gigs biasanya, lantai dua Houtenhand hampir tak bercelah. Mulai dari bangku penonton hingga tangga sudah penuh sesak. Bedanya, kini tak ada adegan stage diving ataupun sing along. Di arena depan sudah duduk seorang moderator dan dua narasumber. Bang Arfan sebagai moderator menggantikan mas Samack yang berhalangan hadir, bersama narasumber Monox (Sangkar Paran, Neurosesick) dan Anizar Yasmeen (Extreme Decay).

“Padahal sampai detik ini bandnya (Extreme Decay) belum pernah mengaku bubar, tapi sudah ada tribute-nya,” respon bang Arfan disambut tawa penonton.

Extreme Decay memang bukan satu-satunya band yang pernah “menggerinda” arena musik underground kota Malang. Sebelum mereka lahir, sudah ada nama-nama seperti Bangkai, Grindpeace, Sekarat dan lain sebagainya yang lebih dulu memanaskan arena cadas kota ini. Namun, kata Monox, kualitas musik, eksistensi, konsistensi serta panjangnya catatan diskografi membuktikan jika keberadaan Extreme Decay memang penting. Entah skala regional maupun nasional.

Diskusi berlangsung menarik. Pasalnya moderator lebih tertarik untuk menggali mengenai sepak terjang musik grindcore di kota Malang ketimbang membahas mengenai sejarah yang lebih luas seperti yang dipaparkan dalam film. Bukankah memang lebih baik mengetahui sejarah di luang lingkup terdekat lebih dulu? Namun, satu yang pasti, grindcore tetap menjadi benang merahnya.

“Sejauh penelusuran saya waktu itu,” ungkap Monox. “Extreme Decay adalah satu-satunya band yang catatan diskografinya paling panjang.”

Menyinggung rekaman Extreme Decay, tentu tak bisa dilepaskan dari pengaruh label rekaman yang menaungi. Bang Arfan pun memanggil salah satu

“Saya awalnya kenal musik grindcore melalui kaset Extreme Decay berjudul

9

Merekam hidup, merayakan waktu

PIT ON FIRE narasumber untuk masuk dalam forum. Namanya mas Oox, founder sekaligus owner dari label rekaman Confuse Records. Keberadaan dan aktifitas label rekaman ini di sirkuit underground era 90’an memang penting, terlebih dalam urusan pendokumentasian dalam bentuk fisik. Tak terkecuali bagi perjalanan Extreme Decay.

Rilisannya pun dicetak terbatas. Hanya dicetak 50 keping.

Akan tetapi, berkat keinginan tinggi untuk terus berkarya dan bagaimana mereka mencintai musik itulah Extreme Decay mampu menorehkan sejarah mereka yang luar biasa dalam memutar mesin gerinda. Seperti banyak orang bilang, kerja keras tak pernah berkhianat.

Oox mengaku jika waktu itu ia hanya ingin membantu kawan-kawan merealisasikan keinginan band di kota Malang untuk merilis karyanya. Khususnya di skena underground. Pencapaian Extreme Decay, katanya, juga tak lepas karena peran Afril (vokalis) yang memang rajin membangun relasi dengan banyak pihak, entah skala nasional maupun internasional, lewat aktifias surat-menyurat (dalam arti sebenarnya; menggunakan surat dan dikirim lewat pos).

Monox juga menekankan apabila membangun jaringan memang sangatlah penting. Bahkan menurutnya tak peduli sebagus apa materi musiknya, jika tak memiliki jaringan, ya, percuma.

Kini giliran salah satu penonton bertanya. Seorang perempuan asal Banyuwangi yang kebetulan sedang kuliah di Malang. Ia mengaku bukan penikmat musik grindcore. Namun, karena besarnya keingintahuan akan musik grindcore yang membuatnya datang ke Houtenhand malam itu.

“Wah, kalo urusan surat-menyurat dan membangun jaringan, Afril itu termasuk gila” puji Oox.

“Bagaimanakah menurut kalian musik grindcore ke depannya?” tanya perempuan yang penulis lupa namannya.

“Bahkan,” lanjutnya. “kalo dikumpulkan mungkin bisa berkardus-kardus.”

Karena faktor tersebut Extreme Decay bisa cepat dikenal bahkan mampu bekerja sama dalam bentuk split bersama Agathocles asal Belgia. Selain karena sisi musik tentunya. Sedangkan untuk urusan rajinnya menghasilkan rekaman, Oox mengaku di era yang belum secanggih seperti sekarang, waktu itu metode rekaman Extreme Decay kebanyakan dilakukan melalui tape recorder saat latihan. Begitupula dengan proses penggarapan visualnya yang tak jarang dikerjakan dengan sistem manual.

Monox pun menanggapi pertanyaan itu dengan mengatakan jika sampai kapanpun skena grindcore akan selalu underrated dan berada di bawahtanah.

Karena selain bukan jenis musik yang mudah dicerna, berdasarkan pengalamannya, setiap acara grindcore penontonnya masih itu-itu saja dan tak akan menuai basis jumlah penonton seperti halnya acara musik folk atau clothing, misalnya. Namun, menurutnya di kota Malang grindcore akan terus bergeliat.

Bang Arfan dan Monox pun sepakat, dan mengambil contoh rilisan bertajuk For Freedom di mana Extreme Decay split bersama unit crust-punk asal Malang, Antiphaty, yang menurut mereka kualitas rekamannya bisa bisa dikatakan buruk.

“Jangan heran kota Malang punya sebutan sebagai kota Grindcore,” kata Monox.

Pernyataan Monox juga disepakati Oox. Menurutnya, sampai kapanpun sknea musik di kota Malang akan terus bergenerasi dan semakin seru. Tak terkecuali ranah musik grindcore. Nama-nama baru akan terus berlahiran dan ikut memanaskan sirkuit musik di kota Malang. Dan ini perlu didukung.

Sedang Yasmeen punya tanggapan berbeda mengenai yang dibilang Monox akan penonton yang sedikit. Menurutnya, jumlah penonton bukan perkara penting. Yang terpenting adalah bagaimana mereka (penonton) mengapresiasi dan memang benar-benar menikmatinya. Yasmeen berpendapat jika penonton yang jumlahnya sedikit itu terkadang memiliki dampak besar bagi kelangsungan band itu sendiri.

Oox pun tak memungkiri hal tersebut. Pasalnya, kata Oox, waktu itu ide membuat split memang spontan dari Afril. Lantas ketika mereka latihan, lagu itu direkam lewat piranti walkman. Itu sebabnya kualitasnya ala kadarnya.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sembilan. Dan itu pertanda jika pemutaran film Slave To The Grind sesi kedua akan segera dimulai. Sesi diskusi pun disudahi dan Slave To The Grind dimulai. Penonton di sesi kedua ini tak kalah ramai. Bahkan jumlahnya meningkat. Ambil posisi senyaman mungkin dan film pun diputar.

Grind On! Film dokumenter berdurasi 100 menit ini mencoba untuk menelusuri bagaimana kancah musik grindcore lahir ke dunia, siapa saja nama-nama yang berpengaruh besar di dalam skena, bagaimana aktifitasnya, hingga menggali pengalaman para penggiat serta pelakunya.

Dan Slave To The Grind berhasil mempresentasikannya dengan apik, penuh gizi serta mencerahkan. Arsip berbagai dokumentasi yang mereka selamatkan dan tampilkan; mulai video gigs, poster, fanzine dan lain sebagainya berhasil membuka mata penonton mengenai sepak terjang serta sejarah perjalanan nama-nama besar di arena grindocre Internasional seperti Repulsion, Napalm Death, Brutal Truth, Anal Cunt, Carcass, Terrorizer, Fuck The Facts dan lain sebagainya.

Termasuk pula dengan sesi wawancara bersama para pelaku dan pihak label rekaman (Erache dan Relapse Records). Para narasumber itu sukses menjelaskan secara gamblang bagaimana sejarah perjalanan mereka berkecimpung atau bersinggungan dengan skena grindcore. Juga berbagi cerita sejarah band masing-masing lengkap beserta segala macam problematika, plus, kejadian-kejadian di atas panggung yang berhasil tertangkap kamera.

Seperti yang sudah dijelaskan lewat berbagai postingan promosi sebelumnya, lewat film dokumenter ini sang sutradara, Doug Robert Brown, ingin lebih dulu menjelaskan sejatinya grindcore memiliki sejarah yang erat hubungannya dengan punk dan metal.

10

Merekam hidup, merayakan waktu

PIT ON FIRE “Grindcore,” kata Doug Brown. “menggabungkan metal dan punk dengan cara yang tidak hanya ‘setengah dari satu dan setengah dari yang lain’”.

“Grindcore adalah hal yang sangat tersendiri.” lanjutnya. Pernyataan inilah yang coba ditekankan Brown lewat film Slave To The Grind. Entah dari sisi semagat yang dianut, lirik maupun teknik musik. Juga hingga menyinggung perkembangannya hingga saat ini. Termasuk membahas bagaimana grindcore berkembang menjadi gore-grind.

menyalakan mesin gerinda di dekat telinganya.

Saya baru sadar jika tanggal 31 Oktober merupkan hari hallowen. Baiklah, tak ada kostum, grindcore pun jadi. Grind on!! (Hilman)

Slave To The Grind - yang menelan biaya kurang lebih dua belas ribu dollar sukses membuka cakrawala penikmat grindcore seluruh dunia. Semua itu berkat kejituan Doug Brown dalam mengumpulkan 1000 jam dokumentasi konser dan 100 jam wawawancara bersama 72 narasumber dari seluruh dunia yang kemudian ia rangkum menjadi film dokumenter berdurasi 100 menit yang mencerahkan.

Dari film ini kita juga bisa belajar bagaimana pentingnya peran arsip dan dokumentasi dalam merekam sejarah. Seperti yang bang Arfan bilang, “tak peduli apapun bentuknya, arsip punya peran penting dalam sejarah,” “Mungkin dampaknya tidak bisa dirasakan sekarang, tapi di masa mendatang perannya jelas akan sangat besar.” jelas bang Arfan.

Bagi penggemar atau penikmat musik grindcore, film Slave To The Grind jelas bisa membuat mereka akan terus bahkan semakin gila menggerinda. Namun, Slave To The Grind juga memapu menjadi gerbang bagi mereka yang baru akan The Illusion Secret Gig Houtenhand Public House 2 Oktober 2018 Malam 2 Oktober 2018 sebuah acara yang secara spontan dan tanpa woro-woro diselenggarakan untuk merayakan pesta ulang tahun seorang kawan bernama Agadiwasanta. Istrinya, Lulu, yang patut dituding menjadi otak di balik ide secret party ini.

“Akhirnya bisa liat The Illusion main dan bikin acara secret gig yang intim seperti ini,” kata Lulu dengan senyum merekah.

Agadiwasanta sendiri merupakan frontman The Illusion. Menurut hikayat scene alternatif rock di kota Malang, The Illusion adalah salah satu band yang lahir di era band-band seperti Idiot Bob (post-punk), You Know You’re Right (post-rock), Becuz (noise rock), Intenna (Shoegaze) dan banyak lainnya.

Dulu, ketika masih aktif di scene, The Illusion memang menjadi salah satu band yang bisa dikatakan harum namanya. Ini bukan karangan si

penulis, selain berdasarkan banyak cerita kawan yang mengaku jika The Illusion menjadi salah satu band alternatif kota Malang paling mereka gandrungi, juga didasari berbagai arsip penulis.

Bukti lainnya adalah bagaimana tembang-tembang macam “Goodbye Butterfly” dan ”Psychosetique” sudah begitu melekat dan bahkan sampai mereka hafal di luar kepala. Padahal rilisannya antara ada dan tiada. Ha!

seluruh penonton hanyut dan menikmati malam yang begitu intim.

Sin didapuk membuka acara. Tak banyak abaaba, proyek eksperimental akustik pendatang baru yang beranggotakan Doni (Ajer) dan Andin (Becuz) tampil sekaligus membuat seluruh kawan berkumpul di lantai dua. Nada sumbang dari gitar maupun vokal sudah menjadi bagian dari performa mereka yang selalu tampil dengan lagak peduli setan dan kerap menyuguhkan aksi-aksi liar membelalakkan mata.

Meski tampil jauh dari performa maksimal, penonton sudah tak menggubris. Mereka semua terlanjur tenggelam dalam suasana nostalgia dan meluapkan kerinduan yang kadung membuncah.

Wajar, lima tahun bukanlah waktu yang sebentar.

Absen dari sirkuit musik selama itu tentu berdampak besar bagi performa The Illusion.

Kebersamaan, keintiman serta bagaimana kawankawan ini bersenang-senang demi mempersembahkan malam yang hangat dan penuh kesan patut untuk kita semua rayakan. Sejujurnya, sudah lama kerinduan akan acara intim seperti ini terpendam. Spontan, tanpa tendensi dan gimmick macam-macam.. Semua murni atas nama bersenang-senang. (Hilman)

Giliran I’m Sorry I’m Lost tampil mendinginkan suasana dengan instrument rock-nya. Suasana riuh gaduh candaan yang sedari tadi sulit dipaksa berhenti sontak langsung berganti sunyi ketika ISIL tampil. Tampil dengan tiga gitaris, ISIL sukses menyajikan performa apik dan membuat

Penampilan yang ditunggu akhirnya naik panggung, Tentu saja adalah The Illusion. Baru beberapa menit meninggalkan arena, lantai moshpit yang sedari tadi longgar sudah terlihat rapat tanpa celah. Wajah-wajah antusias yang merindukan penampilan The Illusion tak bisa disembunyikan.

Pastinya banyak gigs seru dan keren yang kami lewati, jika kalian hadir dan ingin berbagi cerita kami dengan senang hati akan mendengarnya. Kami tunggu cerita gigs-mu di surel rekamjaya@gmail.com

11

Merekam hidup, merayakan waktu

SINEMA 1.

Bohemian Rhapsody (2018)

Film ini lagi rame banget, sebuah biopic dari band Queen dan cerita vokalisnya, Freddie Mercury. Menurutku, plotnya di sini terlalu terburu-buru, tapi emang susah juga untuk film berdurasi dua jam buat menceritakan semuanya.

Banyak yang bilang juga kalo ceritanya lebih ke Freddie-sentris dibandingkan band nya, karena emang porsinya banyak membahas kehidupan personal Freddie sendiri. Ditambah lagi ada beberapa cerita yang gak sesuai dengan aslinya, misalnya aja pertemuan Jim Hutton dan Freddie atau momen pengakuan Freddie yang kalo dia terinfeksi AIDS ke temen-temennya sebelum konser Live Aid. Tapi di samping itu semua, film ini sangat menyenangkan dan gak perlu jadi fans Queen buat ikut larut dalam ceritanya. Dari pemilihan pemeran yang pas (terutama Brian May dan Joh Deacon nya yang mirip banget), akting pemain yang bagus, OST yang diambil dari greatest hits Queen yang membuat kita bernostalgia dan sing along sepanjang film. Selain itu juga scene Live Aid gig-nya yang dibuat semirip mungkin kayak aslinya bikin terpukau dan bergumam “iri banget sama nonton langsung disana dulu ya!”

Film ini berhasil bikin aku nangis sepertiga hingga akhir film dan baru kali ini aku sampe nonton tiga kali di bioskop karena sesuka itu sama film ini. (Aulia Anggia)

2.

Juliet, Naked (2018)

Film music & romance yang rumit, dengan balutan soundtrack yang nyaman dan renyah diputar saat rembulan tepat di atas kepala. Jika kalian seorang musisi, film ini mengajarkan jika orang-orang yang memujamu (karena karya) terkadang justru tak membuat nyaman dan bahkan justru tak memahimu secara seutuhnya. Ia seakan dibutakan, tak peduli seburuk apa bagian karyamu, mereka tetap memujamu. Dan terkadang itu menyebalkan.

Namun, justru orang yang tidak mengenalmu dan mereka yang dengan gamblang mengkritik karyamu – dengan rasional serta kesadaran - adalah orang yang dikirmkan semesta untuk mengajakmu melangkah ke depan yang lebih baik. Dan Satu lagi, film ini menunjukkan bagaimana definisi kamar keren, coba tengok kamar Duncan!

(Hilman)

3.

Love, Simon (2018)

Awalnya gak ekspektasi apa-apa sama film ini, mungkin kayak rom-com generik lainnya tapi ternyata efeknya “se-happy” abis nonton ini sama kayak abis nonton The Edge of Seventeen. Bercerita tentang Simon, remaja yang bisa dibilang mempunyai kehidupan yang sempurna, keluarga yang sempurna, sahabat yang asik, dan populer di sekolah, tapi ternyata dia punya rahasia yaitu orientasi seksualnya yang berbeda. Tema LGBT yang diangkat di sini dieksekusi jadi manis banget, bahkan keinget rom-com 2000an yang biasanya diperanin Lindsay Lohan. Alurnya bisa dibilang biasa aja, tapi plot twist-nya lumayan bikin senyum-senyum sendiri hehe. Yang doyan rom-com manis, cinta-cintaan ringan wajib nonton sih. Selain Nick Robinson cute parah, daya tarik film ini juga ada Katherine Langford (pemeran Hannah Baker di 13 Reasons Why). (Aulia Anggia)

4.

Searching (2018)

Bisa dibilang ini film thriller atau crime/thriller yang beda banget karena gak melulu tentang kejar-kejaran tapi malah ngajak kita buat duduk dan webcam-an sama pemainnya buat memecahkan masalahnya. Bercerita tentang David Kim (John Cho) yang kehilangan putrinya secara tiba-tiba dan memulai pencarian melalui laptop putrinya untuk mencari dari jejak digitalnya. Film ini bisa dibilang seru dan menyenangkan secara bersamaan, karena beda banget buat yang suka thriller. Dari alur ceritanya yang runtut tapi gak terkesan buru-buru, story telling-nya mantap, akting John Cho yang meyakinkan jadi ikutan ngerasain anxiety-nya kehilangan anak. Meskipun terkesan lambat di awal tapi justru gak bikin bosan. Uniknya film ini menampilkan tampilan interface komputer dan telepon genggam sepanjang film yang sebesar layar bikin kayak seakan kita yang lagi mengoperasikan dan ikutan nyari si anak. Anyway, ini plot twistnya pecah banget sih dan siap-siap karena ending-nya nyebelin banget! (Aulia Anggia)

5.

To All The Boys I’ve Loved Before (2018)

Rom-com dari Netlfix ini diadopsi dari buku yang berjudul sama bercerita tentang Lara Jean Covey dan secret love letter-nya yang secara sengaja dikirim oleh adik perempuannya kepada lima cowok yang selama ini dia taksir.

Meskipun seperti ¬rom-com lainnya dengan teenage problem pada umumnya, film ini cukup fresh dan sangat menyenangkan buat dinikmati. Alur cerita yang simpel dan cukup relate dengan remaja masa kini, ditambah OSTnya catchy, serta chemisty Lana Condor dan Noah Centineo yang meyakinkan membuat istimewa film ini. Buat fans rom-com karya John Hughes (Pretty in Pink, Say Anything, atau Sixteen Candles) dijamin pasti suka banget.

Film ini juga punya pesan tentang self-confidence, kejujuran, dan family unity. Dan siap-siap buat para cewek untuk jatuh cinta dengan Peter Kavinsky. Overall, ini rom-com yang gak kayak rom-com kebanyakan sekarang karena ceritanya yang manis, simpel, dan gak bosan buat ditonton berulang-ulang (Aulia Anggia)

6.

Foklore: A Mother’s Love (2018)

Sebenernya ini gak termasuk film sih, tapi salah satu episode dari serial HBO berjudul Foklore yang berisi tentang urban legend di Asia. Di episode pertamanya yang berjudul A Mother’s Love yang mengangkat urban legend Indonesia yaitu Wewe Gombel. Film ini gak perlu diragukan lagi karena dikerjakan oleh Joko Anwar, meskipun secara teknis berbeda dengan Pengabdi Setan. Gak kayak horror Indonesia lainnya, film ini minim jump scare, tapi masih bikin ngeri dan penasaran. Dari segi sinematografi dan akting pemainnya bagus banget (salut sekali dengan Marissa Anita dan Muzakki Ramadhan). Film ini berkisah tentang hubungan ibu dan anak dengan jalan cerita yang dibalut horror. Berawal dari ibu bernama Murni (Marissa Anita) dan anaknya yang bernama Jody (Muzakki Ramadhan) yang hidup pas-pasan dan harus berpindah-pindah kontrakan mendapat pekerjaan yaitu membersihkan sebuah rumah mewah yang tidak berpenghuni. Kejadian aneh dimulai ketika Murni mencari Jody di rumah kosong tersebut namun malah menemukan sekumpulan anak di loteng yang entah darimana anak-anak itu berasal.

Film yang berdurasi kurang dari 1 jam ini bakal bikin tegang, penasaran, takut dan juga sedih dalam waktu yang bersamaan. Ada satu adegan yang bikin nyesek. Oh iya, plot twistnya juga cakep!!! (Aulia Anggia)

Ada tontonan bagus yang terlewat? Mungkin kalian bisa rekmondasikan kepada kami dan pembaca Koran REKAM!. Caranya gampang, kirim saja daftarmu ke surel rekamjaya@gmail.com

12

Merekam hidup, merayakan waktu

LIPUTAN

kedai yang terletak di Jl Patimura, Klojen, kota Malang. Begitupula pagi itu.

Semalam, sepulang dari kunjungan ke acara Penahitam Day (13/10), kami sempat nongkrong di Houtenhand hingga pukul dua pagi. Pulangnya pun masih sempat mengudap semangkuk bakso di sekitaran Rumah Sakit Lavalet. Jika diperkirakan, kami sampai rumah sekitar pukul tiga pagi. Dan pada pukul sembilan pagi ia sudah berada di Legipait dengan kopi yang tandas!

Sinting!

Menggali Semangat Di Balik Sengitnya Gig Houtenhand Dari lantai moshpit, Houtenhand memang selalu menyenangkan; bisa seintim acara reuni, tapi tak jarang memacu adrenalin. Namun, tahukah kalian jika di balik itu ada semangat dan pesan yang ingin mereka salurkan?

“Gak tidur mas?” tanyaku.

Suatu hari, sepulang dari pelesiran ke luar kota, seorang teman bercerita jika ia berjumpa dengan salah satu pelaku musik yang pernah melakoni tur ke kota Malang.“Waktu ke Malang sebenarnya mereka pengen main di Houtenhand,” katanya. “Tapi sayang ternyata mainnya gak di sana (Houtenhand), mungkin lain kali, katanya.”

“Ya tidur, pulang tadi langsung tidur.” jawabnya dalam logat jawa.

Saya pun hanya diam meski sejujurnya pernyataan itu sedikit sulit dimasuk akal. Setelah memesan segelas kopi rempah, saya pun menceritakan kisah pertemuan kawan saya ketika sepulang dari pelesiran beberapa waktu lalu.

“Katanya waktu itu ada yang pingin main di Houtenhand, tapi gak jadi dan diganti venue lain.” kataku.

Bukan rahasia lagi, beer house atau yang lebih akrab dengan panggilan balai desa bernama Houtenhand ini bisa disebut salah satu destinasi penting bagi sirkuit musik kota Malang. Pasalnya, sejak dibentuk pada tahun 2012, ratusan gigs pernah bergema di lantai dua Houtenhand melawan hiruk-pikuk arus lalu-lintas di Jl. Kayutangan. Dan sampai detik ini, itu masih terus berlanjut.

Dahinya mengernyit, raut wajahnya berubah menjadi penasaran dan menanyakan band siapa yang dimaksud. Saya pun tersadar jika lupa untuk menanyakan band siapa yang dimaksud kawan saya dan menjawabnya pertanyaan itu dengan gerakan kedua bahu pertanda kurang tahu.

Selain balai desa, berbagai sebutan pernah disematkan pada Houtenhand.

Dan yang paling tersohor tentu saja sebutan sebagai CBGB-nya kota Malang.

“Mungkin mereka maunya main hari Sabtu,” tutur Unk santai. Memang kenapa dengan hari Sabtu?

Bermacam sebutan itu disematkan tentu bukan tanpa sebab. Lewat tulisan Mas Samack berjudul Houtenhand: Menjaga Bara dari Kayutangan di situs Jurnal Ruang, Donny Hendrawan selaku pengagas Houtenhand memang mengatakan jika Houtenhand lahir dari kesadaran bahwa Malang membutuhkan ruang yang lebih memadai untuk mewadahi karya-karya seniman lokal. Terutama, band-band muda dari scene musik independen Kota Malang yang mulai menggeliat.

Dan ungkapan itu tak hanya manis di bibir. Bersama dua pria bernama Unk dan Andi Alo, Doni benar-benar membuktikannya. Bahkan, Houtenhand kini menjelma menjadi “rumah” bagi seluruh arek Malang yang peduli terhadap nafas scene musik independen di kota Malang. Tanpa ada sekat ataupun pengkotak-kotakan jenis musik. Itu sebabnya, banyak orang yang berani sesumbar; jangan mengaku pernah nge-band di Malang kalau belum penah merasakan panggung Houtenhand.

Bukan hanya pelaku, para penggagas gig pun juga tak jarang memilih Houtenhand sebagai venue favorit karena memang tempatnya yang sangat mendukung untuk membangun atmosfir gig yang hangat, intim dan menyenangkan.

Menjaga Identitas Houtenhand

Berjalannya waktu Houtenhand semakin dikenal luas. Selain karena konsistensinya dalam memberikan wadah, penyebabnya tentu tidak lepas karena aktifitas musik di kota Malang yang selalu panas. Karena geliatnya ini, wajar jika kota Malang sejak dulu selalu disinggahi oleh para pelaku musik dari pelbagai kota yang sedang melakoni rangkaian tur mereka dan Houtenhand menjadi salah satu venue yang paling sering memberikan wadah.

Seperti halnya komunitas yang memiliki hari spesialnya masing-masing.

Houtenhand ternyata juga memiliki hari mereka sendiri, yakni hari Sabtu.

Menurut Unk, dari seminggu, Sabtu memang dikhususkan menjadi hari Houtenhand. Pasalnya, pada hari Sabtu pihak Houtenhand memiliki prinsip untuk semacam menjaga identitas mereka setelah di hari lainnya dengan bebas dijadikan “rumah” atau wadah bagi para insan kreatif dari berbagai latar belakang disiplin seni. Khususnya untuk dijadikan tempat acara.

Konon reputasi itu lahir dari mulut ke mulut, terutama melalui kisah dari mereka yang pernah merasakan langsung bagaimana atmosfir di Houtenhand. Mulai dari sudut bar, panggung, moshpit, rooftop atau sekedar playlist.

“Jadi kalo jika tiap hari Sabtu ada acara, itu pasti yang mengorganisir pihak Houtenhand,”tutur Unk.

Sayangnya beberapa pelaku musik memang belum beruntung untuk merasakan bagaimana serunya atmosfir lantai Houtenhand. Apa alasannya?

“Apa bedanya acara yang diorganisir Houtenhand dengan lainnya?” tanyaku.

“Tentu beda,” jawabnya. “jika acara diprakrasi oleh Houtenhand, semuanya keputusan mutlak berasal dari pihak Houtenhand. Mulai dari konsep hingga pemilihan talent.”

*** Jam masih menunjukkan pukul sembilan pagi ketika saya baru saja sampai di salah satu sudut kedai kopi bernama Legipait. Pria berambut gondrong dengan kaos Deafheaven sudah duduk di salah satu sudut dengan segelas kopi yang hanya menyisakan ampas. Namanya Unk, orang yang paling bertanggung jawab dalam urusan operasional Houtenhand.

Prinsip inilah yang coba dipertahankan oleh Houtenhand. Toh, identitas Houtenhand yang terbentuk hingga detik ini tak bisa lepas karena keteguhan dan konsisten mereka dalam memegang prinsip awal mereka.

“Jadi, hari Sabtu memang tertutup bagi pihak luar yang ingin menggelar acara di Houtenhand?” tanyaku penasaran.

Jujur saya kerap dibuat heran dengan siklus kehidupannya. Bayangkan, setiap hari dipastikan ia selalu pulang pagi dari Houtenhand. Namun, selisih berapa jam kemudian ia sering terlihat bersantai sambil menyeduh kopi di

“Sebenarnya tidak juga, kalo mau mengadakan hari acara di hari Sabtu di

13

Merekam hidup, merayakan waktu

LIPUTAN

konsep launching album atau mewadahi tur.

Ketika ditanya apakah Houtenhand pernah menolak acara, dengan tegas Unk menjawab; belum.

“Kalo mundur banyak, apalagi setelah megetahui ketentuan-ketentuan menggelar acara di Houtenhand,” aku Unk. Ia juga bercerita, suatu ketika ada beberapa anak muda ingin membuat gig di Houtenhand, tapi ketika ditanya apakah mereka memiliki album dalam bentuk fisik raut wajah mereka tampak kebingungan. Namun, setelah mendengar alasan dan tujuan anak-anak muda itu membuat gig, ia mengaku langsung kagum. Ternyata anak-anak yang baru menyelesaikan masa sekolah itu ingin membuat gig sebagai ajang reuni agar bisa mengumpulkan teman-teman yang keberadaannya mulai terpencar. Pasalnya, dulu mereka bisa berkumpul ya karena nge-band dan nonton acara musik bersama-sama.

“Sebenarnya beberapa dari mereka ada yang punya materi, tapi hanya diunggah melalui platform digital,” kisah Unk. Dari situ ia lalu memberi masukan untuk mencetak lagu-lagu tersebut dalam format fisik. Tak disangka, beberapa waktu berselang anak-anak itu kembali ke Houtenhand dengan menggenggam cakram padat berisikan meteri-materi mereka.

Houtenhand, ya, silakan. Tapi… konsep dan bandnya semua Houtenhand yang mengatur,” jawab Unk sambil tertawa.

Meski demikian, Houtenhand sadar jika Sabtu memang menjadi hari ideal bagi kawan-kawan pelaku dari Malang maupun luar kota atau pengorginisir gig yang hendak melangsungkan tur atau acara. Jadi, tidak semuanya lantas dimentahkan atau ditolak.

“Jujur, aku salut dengan semangat dam tujuan mereka dalam membuat acara,” tutur Unk. Setelah memberikan rilisan, ia menanyakan bagaimana rasanya punya album dalam wujud fisik. Dan menurut cerita Unk, mereka (pihak band sekaligus penyelenggara) mengaku bangga dan senang.

Untuk menyiasatinya, ketika ada pihak yang hendak mengajukan membuat acara di Houtenhand, biasanya pihak Houtenhand akan terlebih dulu menjelaskan jika di hari Sabtu menjadi harinya Houtenhand. Setelah mengerti, baru perbincangan dilanjutkan ke topik acara yang hendak digelar.

“Bahkan setelah diijinkan membuat acara, judul acaranya yang sebelumnya diajukan ternyata diganti dengan embel-embel Launching Album,” lanutnya sembari tersenyum bangga.

Dari sinilah Unk mengaku jika tidak menutup kemungkinan pada hari Sabtu Houtenhand mau berkolaborasi menggelar acara dengan kolektif lainnya.

Asalkan konsep, visi dan misinya sesuai.

Berbeda halnya dengan ketentuan pihak yang ingin menjadikan Houtenhand sebagai jujukan tur. Menurut Unk, kebanyakan tur memang ditangani oleh pihak atau kolektif yang berasal dari kota yang akan dituju. Semisal tur ke Malang, pasti yang mengorganisir pihak atau kolektif yang berasal dari Malang.

“Kalo sesuai atau sama dengan prinsipnya Houtenhand, ya hajar!” kata Unk antusias. “Kalo enggak, ya, silakan cari hari lain atau tempat lain.” “tambah satu lagi, gak rewel!” imbuhnya.

Dari sana Houtenhand biasanya ingin lebih dulu tahu alasan mengapa si kolektif atau pihak penyelenggara mau meng-handle tur band tersebut. Unk mengaku, selain berjejaring, Houtenhand lebih tertarik dengan konsep sharing gigs, misalnya.

Sejatinya, prinsip ini diterapkan juga sekaligus sebagai bentuk penegasan bahwasannya bersenang-senang bisa dilakukan kapanpun. Tidak hanya hari Sabtu. Kebahagiaan memang harusnya mutlak dibagikan ke semua orang.

Tak peduli pada bidang apa pekerjaan atau latar belakangnya.

“Jadi, setelah band-band tur itu berkunjung ke Malang dan dibikinkan acara, harapannya band Malang nantinya juga bisa berkunjung ke kota band itu berasal,” jelas Unk. “Houtenhand lebih tertarik dengan hubungan atau simbiosis berkelanjutan seperti itu, tidak hanya berhenti sampai Malang saja.”

Toh, keberadaan acara musik atau gig seharusnya menjadi salah satu hal yang mampu membuat semua orang yang terlibat berbahagia dan bisa menjadi jawaban atas penat yang merongrong pikiran karena seharian penuh ditempa pelbagai macam rutinitas.

Alasan di atas tentu masuk akal dan sudah memang sepatutnya ditanamkan pada gigs yang digelar atas dasar jaringan pertemanan. Lewat gig, Houtenhand ternyata tak ingin hanya sekedar bersenang-senang. Mereka juga ingin mengedukasi dan menekankan bahwasannya gig bukan sekedar acara yang hanya datang, senang-senang kemudian pulang. Seharusnya ada yang lahir setelah gig dilangsungkan, hubungan pertemanan yang berkelanjutan salah satunya.

Memupuk Budaya Pengarsipan dan Memantik Jaringan Pertemanan Berbicara mengenai gig tidak hanya sekedar urusan bersenang-senang. Selain menjadi ajang mempresentasikan karya para pelaku musik, gig juga kerap menjadi rahim lahirnya jaringan pertemanan baru. Bersenang-senang memang sudah menjadi syarat, tapi acara musik digelar bukan hanya sekedar untuk itu; datang, bersenang-senang kemudian pulang. Tujuan menggelar acara juga sudah sepatutnya untuk diperhatikan.

Dan semangat atau pesan yang ingin disampaikan oleh Houtenhand melalui gig tak jarang menjadi kenyataan. Gig di Houtenhand kerap menjadi rahim dan melahirkan jaringan antar pelaku serta penggiat musik independen lintas kota. Alhasil, mereka (pelaku) memiliki hubungan berkelanjutan, tak hanya berhenti sampai pada arena moshpit. Mulai dari saling support lewat jejaring media sosial hingga bertukar gig (sharing) di kota mereka masing-masing.

(Hilman/Luthfi)

Begitupula dengan Houtenhand yang meski membebaskan siapapun untuk naik panggung, tapi mereka memiliki standar sendiri dalam mengkurasi pihak yang hendak menggelar gig di Houtenhand. Mulai dari bagaimana konsep, tujuan, termasuk kewajiban memiliki album dalam bentuk fisik. Itu sebabnya, kata Unk, gig di Houtenhand selama ini lebih banyak mengusung

14

Merekam hidup, merayakan waktu

SPINNING

CD/Tape/Spotify 1. Noose – Flawless Darkness (EP) Flawless Darkness bisa menjadi seamacam penegasan untuk band-band muda di negeri ini jika tanah heavy metal/ stoner metal masih terbentang luas dan masih perlu untuk dijelajahi lebih jauh.

2. Bakar – s/t (EP) Soundtrack yang tepat untuk menenggak arak sampai muntah!

3. Remissa – Tegangan Tinggi (LP) Sayangnya, dari segi kemasan, Remissa mengalamai “penghematan”. Namun, dari sisi musik, mereka semakin kaya.

4. Coldiac – O (LP) Coldiac menunjukkan proses pendewasaan dengan kualitas rekaman yang kian matang, tapi jika disuruh berdansa, saya akan lebih memilih memutar album sebelumnya.

5. Pronks – Mind Rage (LP) Album kedua Pronks memiliki tenaga yang berlipat ganda. Sayangnya itu tak diimbangi dengan semangat mereka.

6. Write The Future – Changing Pace (LP) Menurut saya, album ini adalah salah satu album wajib dimiliki di scene pop-punk kota Malang. Sekaligus menjadi album terbaik di catatan diskografi mereka, sejauh ini.

7. Snickers And The Chicken Fighters – Retorika (LP) Album dengan banyak warna ini membuat saya bingung, harus diletakkan di jajaran rilisan jenis musik apakah Retorika?

8. Brigade 07 – No Regret (LP) Album dibuka dengan optimis yang sudah mewakili kesuluruhan isi jika tak ada alasan untuk tidak ikut sing along dan stage diving. Semakin dewasa, iya. Semakin bertenaga, jelas.

On Rotation!

The Smashing Pumpkins Shiny & Oh So Bright, Vol. 1

Chrome Waves Burdened

Deafheaven Ordinary Corrupt Human Love

Tidak ada yang berubah. Billy Corgan dkk masih tetap serenyah dulu. bedanya, sekarang sedikit galak dan tentunya modern.

Singel terbaru milik trio atmosferik blackmetalgaze asal Indianapolis ini mungkin bisa mengobati kekecewaan kalian terhadap perubahan signifikan album Deafheaven dari New Bermuda ke Ordinary Corrupt Human Love.

Ketika mendengar penasbihan blackmetal-millenial, jujur saja, saya tertawa. Namun, setelah OCHL lahir ke dunia, saya langsung bilang; iya.

Amenra – Mass VI

Ghost – Prequelle

Tom Petty - Full Moon Fever

Interpol - Maraduder

Hebosagil - Kevät

Parquet Courts - Wide Awake

15

The White Light Supergrup bentukan Greg Anderson (Southern Lord Records, Sunn O)))), Bryan Herweg (Pelican), Jade Devitt (Luck Me, Gale Forces) dan Jen Wood ini meleburkan sisi gelap heavydoom, kemurungan shoegaze, hingar rock kolosal sampaiu kemegahan post-rock. Coba saja singel mereka “Winter Flower” (Soundcloud) dan “The House” (Bandcamp).

This Will Destroy You - New Others Part Two

A Perfect Circle - Eat The Elephant

Merekam hidup, merayakan waktu

NEW IN TOWN Noose Di Malang, heavy-metal memang sudah lama berkibar. Namun, tiga wajah baru ini memilih berani mengambil langkah yang berbeda.

Noose adalah trio heavy-metal yang dihuni oleh wajah-wajah segar. Sesegar musik yang mereka presentasikan. Berbicara mengenai sirkuit yang menjujung tinggi distorsi super garang nan berat ini, di lintasan kota Malang memang sudah pernah melahirkan nama-nama seperti Pickwolf, Strider, Berbisa, Jafar, atau yang terbaru ada Grimwolf. Namun, Noose memilih menyalakkan heavy-metal dengan cara yang berbeda. Dan itu yang membuat band ini patut untuk diperhatikan.

Mereka adalah Fadly (vocal & gitar), Kevin (bass) dan Dendi (drum) yang mencoba meleburkan kegagahan musik stoner-rock, kegelapan doom-metal, hingga keliaran rock kontemporer menjadi satu frekuensi – yang mereka sebut dengan Misantrophic Stoner Rock.

MOOR Proyek baru ini memilih menyusuri jalan sunyi dan belum bertuan bernama post-metal.

“Noose memiliki visi dan juga keinginan besar untuk memanaskan geliat musik rock purba dengan sound yang modern,” ungkap band yang mengaku musiknya banyak dipengaruhi oleh band seperti Black Sabbath , Budgie, Deep Purple serta meraciknya dengan sentuhan rock kontemporer ala Mastodon, Priestess, dan Baroness.

Sebagai perkenalan awal, pada pertengahan bulan April 2018 mereka melahirkan mini album pertama yang dikasih tajuk Flawless Darkness berformat kaset pita oleh label rekaman Hell Is Other Records.

sosial, namun juga beberapa track yang bersifat personal,” terang Fadly selaku penulis lirik.

Singel bertajuk “Surreal Way Of Paradise” dan yang terbaru “Children Of The Grief ” dalam wujud video musik sudah bisa dinikmati melalui berbagai saluran digital. Kabarnya, baru beberapa bulan lahir, Flawlees Darkness sudah masuk proses rilis ulang untuk ketiga kalinya.

Flawless Darkness berisikan enam materi orisinil dan satu materi cover yang keseluruhannya digeber dengan distorsi super beringas dan memacu adrenalin. Sedangkan untuk tema yang diusung, Noose berujar jika ada banyak pesan yang ingin mereka sampaikan; mulai seputar isu sosial, personal hingga ranah fiksi.

“Secara tematik mini album Flawless Darkness mengangkat tema tentang kehidupan dan isu-isu melangkahkan kaki lebih jauh dari apa yang pernah dilakukan dua nama yang disebutkan sebelumnya.

Ketika masih berformat duo (gitar dan drum) grup ini menamakan diri mereka Mork. Sampai pada akhirnya satu personil sebagai pembetot bass masuk dan membawa pengaruh besar. Mulai dari penjelajahan musik yang lebih bernyali hingga perubahan nama menjadi Moor.

Moor beranggotakan Surya (gitar), Yogi (bass), dan Hafiedz (drum) yang mencampurkan aroma atmospheric black-metal ke dalam cawan berwarna gelap bernama post-metal. Band-band seperti Ghaust, Vallendusk, Ulver, Burzum dan lainnya adalah pengaruh besarnya.

Kemunculan Moor memang mengejutkan dan jauh dari hingar-bingar. Wajar, di kota Malang, jalan yang mereka pilih bisa dibilang sunyi dan belum bertuan. Duo bernama Maul memang sempat memilih jalan ini, tapi mereka pelan-pelan mundur dan hanya meninggalkan jejak kecil.

Begitupula Sabbe Satta yang padahal dianggap punya potensi besar.

Lewat “Whisper Mountain” Moor mencoba merepresentasikan keresehan mereka akan isu lingkungan, yang menurut mereka, “manusia dan alam sudah tidak bisa selaras dengan alam seperti dahulu,”

Sampai pada akhirnya Moor muncul dengan singel “Whisper Mountain” dan pelan-pelan mulai

Pada 20 November 2018 kemarin. Moor mengenalkan

debut album perdananya yang bertajuk Maestitia dalam wujud kaset pita yang dirilis di bawah bendera label rekaman Bulletproof Tiger. Maestitia memang menjadi dobrakan penting di tanah post-metal yang masih sunyi dan sepi. Namun, Moor masih punya jalan panjang yang musti mereka jelajahi lebih jauh. Dan kita patut untuk menemani.

GERPFAST UPCOMING RELEASES! DJ510Mariko –“DEMO” Setelah kabarnya tidak terlalu sering terdengar seusai Mariko s e l a k u vokalis dari band JazzGrind/Fusion “Midori” mengumumkan bandnya tersebut bubar di tahun 2010 (Sayonara Goto-San), dan sempat merilis sebuah DVD live show terakhir mereka di tahun 2011. Mariko mulai membuat solo proyek dan

merilis beberapa album dibawah nama “Goto Mariko”, juga sempat mengambil perandalam film (Petal Dance) & drama (Taberu Dake).

Tahun 2018 ini Gerpfast berkesempatan untuk merilis “DEMO” album dari project terbaru Mariko, “DJ 510Mariko”. Dengan format DJ, sound Trance-Electro-Industrial dan element Violence-Pop ala Mariko yang tetap melekat dan selalu urakan, membuat album Demo ini patut untuk dimasukkan wishlist kalian. Dirilis dalam format kaset terbatas dan merch berupa T-shirt, rencana album ini akan dirilis bulan Desember 2018, semoga tidak ada halangan!

16

Charlotte Is Mine “When The Daybreak Comes” Unit Indie-rock/Emoasal Tokyo, Charlotte Is Mine akan me-reissue EP pertama mereka ‘When The Daybreak Comes’yang semula dirilis dalam format CD. Bekerjasama dengan Gerpfast, EP ini akan dirilis dalam format kaset.

Didalam EP ini Nana Furuya (Voc/Guitar) dan Koji Sugiyama memberikan nuansa yang kental akan unsur indie-rock dengan

balutan shoegaze, juga vocal manis Nana yang akan menghipnotis kalian!

EP ini akan dirilis di bulan Desember 2018 jika tidak ada halangan!

Merekam hidup, merayakan waktu

KLASIK Menziarahi Siar John Peel

gnya tadi.

Beruntung malam itu ia hanya membawa uang secukupnya dan tidak memasukkan seluruh uangnya ke dalam dompet. Dengan pelan Hann mengeluarkan dompetnya yang melompong tanpa uang seperserpun.

“Kau tidak bercanda kan?” kata salah satu pria dengan nada gusar.

Karena ingin cepat pergi, ia merogoh saku celana sebelah kiri dan mengeluarkan beberapa uang berjumlah sekitar lima dollar. Padahal, di sisi kantong lainnya ada jumlah yang lebih banyak untuk menyewa taksi.

“Hanya ini yang aku punya,” jawab Hann mencoba meyakinkan dengan suara bergetar.

mulai mendiskusikan penjelasan remaja yang beberapa menit lalu hendak mereka rampok.

Tubuh Hann tetap berada di tempatnya, sampai kemudian salah satu pria berkata, “Ngapain kamu tetap di sini? Pergi sana dan hati-hati. Bocah sepertimu seharusnya tidak berkeliaran malammalam begini.”

Tanpa menunggu lama Hann pun langsung pergi.

Hatinya senang. Terlebih karena apa yang disiarkan John Peel lewat radio di mana tiap malam ia dengarkan, yang sebelumnya ia anggap sekedar angin lalu, ternyata bermanfaat bahkan mampu menyelamatkan hidupnya di malam itu. Hann pun selamat, meski lima dollar harus melayang. *****

Mata pria di depannya menyusur ke seluruh tubuh Hann, seolah ada sesuatu yang ia rasa tidak asing.

“Kau orang Inggris?” tanya salah satu pria di depannya.

Michel Hann harusnya sudah berada di tengah moshpit dan bersenang-senang bersama teman-temannya menonton gig. Namun, rencana itu tak berjalan sesuai rencana. Ketika hendak menuju venue, ia harus lebih dulu mengahadapi beberapa pria dengan tampang dan penampilan sangar. “waktu itu saya masih umur 19 tahun,” terang Hann mengenang kejadian di malam tahun 1988.

Jarak antara venue acara dengan kediaman Hann memang lumayan jauh. Dan ia harus berjalan kaki lebih dulu untuk menemukan taksi. Tak di sangka, di tengah perjalanan, segerombolan pria sangar tiba-tiba menghadang langkahnya.

“Hei bocah, sini kau!” bentak salah satu pria dari gerombolan itu dengan tampang sengak.

Melihat segerombolan pria bertampang sangar mencoba menghentikan langkahnya, jantungnya langsung bergemuruh bak konser musik cadas.

Hann tak berani menengok dan hanya menunduk ke bawah. Langkahnya semakin cepat, tapi dua pria segera menyergapnya.

“Mau ke mana kau! Mau kuhajar?” kata pria satunya dengan kasar.

“Tidak bang,” jawab Hann sambil terus melihat tali sepatunya.

Hann mencoba mencari celah agar bisa menghindar, tapi tangan satu pria menariknya. Wajah Hann sudah pucat. Dalam kondisi seperti ini ia hanya bisa berharap agar secepatnya ia lepas dari gerombolan pria ini.

“Jika kamu tidak mau apa-apamaka giliran kami yang mau uangmu,” kata pria yang menghadan-

Dengan ragu Hann mengiyakan. Suasana menjadi sunyi seketika. Dalam kepala Hann sudah terbayang hal-hal yang tak diinginkan akan menimpa dirinya. Sampai satu pertanyaan yang mengejutkan datang dari salah satu pria sangar itu, “Kau suka reggae?”

Mendengar pertanyaan itu, Hann langsung berani menatap salah satu pria di depannya dengan pandangan heran kemudian kembali menunduk.

Ia berpikir sebentar. Dalam hati sebenarnya ia sudah memiliki jawaban bahwasannya ia tidak menyukai musik reggae. Namun, Hann tak ingin membuat pria-pria berpawakan sangar ini kecewa karena jawabannya.

Cari selamat, Hann pun menjawab, “ya saya cinta reggae,” Seolah tidak percaya, pria itu menguji Hann dengan bertanya siapa musisi favoritnya. Secara tegas Hann menyebutkan satu persatu musisi seperti Barrington Levy, Augustus Pablo, Wayne Smith, Sugar Minott, Ijahman Levy, Yellowman. Masih merasa belum puas, pria lainnya menanyakan apa album favorit Hann.

Beruntung Hann adalah seorang remaja yang terbiasa menghabiskan malam hari di atas ranjang dengan lampu mati sambil mendengarkan program siaran di radio yang kerap mengupas secara tuntas mengenai musik yang diputar. Salah satunya adalah musik reggae.

“Prison Oval Rock milik Barrington,” jawab Hann meyakinkan.

Suasana yang sedari tegang langsung berubah drastis. Seluruh pria sangar itu mendiskusikan musik bersama Hann. Termasuk UB40 yang menurut Hann di Inggris adalah murid reggae.

Dan Hann mengaku tidak menyukainya. Mendengar penjelasan Hann, dahi seluruh pria tersebut mengernyit menandakan heran kemudian

17

John Robert Parker Ravenscroft lahir pada tanggal 30 Agustus 1939 di Wirral Peninsula (dekat Liverpool), Inggris. Semasa kecil ia sudah memiliki ketertarikan besar terhadap musik serta tergolong rajin mengumpulkan rilisan musik. Lahir di tengah keluarga yang bisa dibilang mampu – Ayah John pengusaha kapas – cukup bisa memenuhi rak rilisan John dengan koleksi musiknya yang berselera berani dan liar.

R. H. J Brooke, asisten rumah tangga keluarga John, mengingat jika semasa kecilnya John adalah pria yang selalu menyukai tantangan, bahkan untuk urusan mendengarkan musik.

“John selalu mendengarkan rekaman musik sangat berisik di ruang belajarnya,” kenang Brooke.

Karena selera musik John yang dianggap nyeleneh itu, Brooke bahkan pernah meramalkan jika di masa depan besar kemungkinan anak ini akan menitih karir yang menurut Brooke dianggap tidak wajar. Hal tersebut ia lihat berdasarkan, “antusiasmenya (John) terhadapan album musik yang tidak ramah di telinga hingga kegemarannya menulis esai panjang dan menjijikkan.”

Ramalan Brooke menuju kenyataan. Di awali dengan kegemaran mendengarkan radio hing-

Merekam hidup, merayakan waktu

KLASIK ga perjumpaan awal dengan musik rock and roll ditahun 1950 yang dikenalkan oleh Elvis Presley membuat John Robert Parker berani bermimpi.

Bukan sebagai pilot, dokter, tentara atau musisi melainkan menjadi seorang penyiar radio! Mimpi itu didasari alasan sederhana; agar ia bisa memutar lagu-lagu yang ia suka dan bisa didengarkan seluruh orang di dunia.

Ketika John berumur 21 tahun, ia terbang ke Amerika. Saat itu, di Amerika, denyut rock and roll mulai berdegup kencang di setiap nadi anak muda dan orang dewasa sekaligus menjadi momok para orang tua yang khawatir jika darah anak mereka juga terinfeksi aliran yang dianggap sebagai musik para pemuja setan dengan idiomnya; sex, drugs and rock & roll.

Jiwa John tentu saja terpanggil. Alih-alih ingin membuat bangga orang tuanya bangga dengan dalih jika di Amerika ia bisa belajar lebih banyak mengenai perusahaan kapas, John memilih tinggal tentu demi menggapai mimpi sekaligus menyusuri jalan suci bernama rock and roll.

Ulampun tiba, John diterima bekerja menjadi penyiar di salah satu radio berfrekuensi AM bernama WRR di Dallas. Konon, demi mendapatkan perkejaan ini, ia rela tak dibayar seperserpun. Di WRR, John mendapat kepercayaan untuk menjalankan program Kat’s Karavan milik penyiar sekaligus penyanyi, Jim Lowe, yang mengudara setiap hari Senin.

Sebagai pria yang selalu haus akan tantangan membuatnya terus ingin berpetualang ke satu stasiun ke stasiun radio lainnya. Selama di Amerika, selain WRR, John juga sempat menjajal pengalaman menjadi penyiar di radio KLIF dan juga KMEN. Namun, ketika bergabung dan menjadi penyiar di KMEN-lah karir John sebagai penyiar mulai naik dan ia mulai menunjukkan jati dirinya.

“Saya hanya memainkan rekaman yang saya ingin mainkan,” kata John. “jika saya akan melakukan (siaran) enam jam, maka saya akan memainkan apa yang ingin saya mainkan. Saya mulai memainkan The Doors, Love, Butterfield Blues Band dan Jefferson Airplane.”

Memilih jalan rock and roll, tentu mau tidak mau ada resiko yang musti ia tanggung. Salah satunya adalah jatuh dalam pelukan obat bius serta segala macam jenis psikotropika lainnya. John mengaku semenjak memutuskan pindah ke California ia mulai menyentuh barang haram itu dan menjalani kehidupan yang ia sebut, bejat.

Sampai akhirnya, John memilih untuk menyudahi petualangannya di Amerika dan memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya, Inggris.

Meski demikian, kecintaan terhadap profesi serta musik tak berkurang sedikitpun. Bahkan berlipat ganda. Bagi John waktu bukan lagi emas, melainkan musik.

London Calling Rock and roll ternyata ikut membuntutinya pulang di mana saat itu kancah musik di Inggris sedang mengalami revolusi yang cukup mampu membuat negara tersebut bergejolak. Mulai dari The Beatles yang bergaul dengan para hippies hingga The Rolling Stones yang mulai “terbang ke awan”. Jika digambarkan, benar apa kata Bob Dylan lewat lagunya, “The Times They Are A Changin”.

Di tahun-tahun pertama sekembalinya John ke Inggris, sekitar 1967, belum ada pekerjaan atau stasiun radio yang mau menampungnya. Reputasi sebagai penyiar radio dengan gaya semaunya ketika di Amerika tampaknya mempengaruhi radio konvensional di Inggris mempertimbangkan John untuk masuk.

Tak lama berselang kesempatan datang. Menjadi penyiar radio ilegal di atas kapal! Iya, di atas kapal, di radio kapal lepas pantai bernama Radio London atau dikenal Big L atau juga Wonderful Radio London. Di sinilah program bertajuk The Parfumed Garden lahir. Termasuk juga panggilan John Peel yang konon disarankan oleh sekertaris Radio London demi menyembunyikan identitasnya karena keberadaan radio tersebut illegal alias dilarang oleh pemerintah Inggris.

Di KMEN John memang merealisasikan keinginannya; memutar musik yang hanya ia suka. Titik.

Tak peduli jika di era tersebut demam The Beatles tengah melanda remaja di Amerika sana.

Dalam salah satu wawancaranya, John pernah membocorkan resep sukses di balik program asuhannya adalah dengan cara menemukan grup musik berpotensi yang tidak diketahui atau didengar secara luas – yang dianggap John suatu masalah di dalam dunia radio saat itu. Masalahnya adalah, tegas John, bahwa apa yang terdengar bagus di klub tidak selalu muncul di radio.

Bermukim di San Bernardino, California, yang letaknya hanya puluhan mil dari timur Los Angeles membawa berkah tersendiri bagi John. Pasalnya, ia bisa merasakan langsung bagaimana berada di tengah pusaran rock and roll yang pada saat itu melahirkan nama-nama seperti The Yardbirds dan The Doors.

“Saya selalu lebih t e r t ar i k p a d a catatan yang belum pernah saya dengar sebelumnya,” tutur John P e e l .

“S embilan puluh persen dari catatan yang saya mainkan belum pernah diputar di radio sebelumnya.”

Berkat program asuhannya dan suara khasnya, John Peel menjelma menjadi maha guru yang mampu membentuk selera anak muda di Inggris.

Pasalnya ia berani mengudarakan berbagai macam aliran musik yang lahir dari arus bawahtanah di Inggris. Mulai dari jenis musik blues klasik, psikedelik, folk-rock. Bahkan musik yang sebelumnya tidak pernah ia dengarkan sama sekali berani ia putar lewat programnya.

Persetan dengan hits atau top40. Grup macam Tyrannosaurus Rex, Captain Beefheart, John Fahey dan Fairport Convention menurutnya lebih menarik untuk di lempar ke telinga pendengar.

Bahkan John Peel selalu memutar album secara utuh – hal yang dihindari dalam dunia broadcast pada saat itu, yang juga tidak pernah diizinkan di stasiun radio konvensional macam BBC. Bukan John Peel namanya jika ia tidak punya nyali untuk membangkang. Ia tak segan menentang segala hal yang menurutnya memang harus ditentang. Tak perlu diragukan lagi jika sikap rock and roll mengalir dalam darah John Peel. Buktinya, selain musik, ia juga kerap membacakan puisi dan artikel yang dipublikasikan oleh pers bawahtanah yang tergolong radikal. Termasuk juga mendiskusikan politik di saat siaran.

Karenanya tak heran kepopularitasan John Peel menanjak tanpa perlu waktu lama. Mulai masifnya kiriman surat, puisi dan tumpukan rekaman dari para pendegar setianya selama ini adalah sebagian buktinya. Konon apa yang John Peel terima dari pendengar setianya tak pernah dirasakan penyiar lain di Radio London.

Menjadi penyiar di stasiun radio ilegal yang menjunjung tinggi semangat pemberontakan – silakan tonton film berjudul The Boat That Rocked - membuat John Peel semakin leluasa dalam menerapkan gaya siarannya yang semaunya. Salah satunya mempromosikan pergerakan musik bawahtanah yang menurutnya pantas untuk dikenalkan lewat lewat program The Parfumed Garden.

18

Sayangnya, romantisme John Peel bersama Radio London berjalan singkat. Setelah enam bulan mengambang di laut dan mengudara di dalam kapal, pada 14 Agustus 1967, Radio London “dikaramkan” oleh pemerintah Inggris. Namun, John Peel tak berhenti. Ia menunjukkan dedikasi dan cintanya terhadap scene underground dengan menjadi penulis kolom berjudul sama dengan program siaran asuhannya, The Parfumed Garden, di koran bawahtanah bernama International Times. Apa yang dilakukan John Peel ternyata menginspirasi banyak seniman bawahtanah untuk melakukan hal sama; memberikan wadah

Merekam hidup, merayakan waktu

KLASIK bagi scene bawahtanah. Salah satunya adalah kelahiran majalah puisi bernama Sol. Era BBC Reputasi yang gemilang membuat radio konvensional BBC – yang sebelumnya dianggap sebagai radio dengan selera musik kuno – tertarik merekrut John Peel untuk menangani stasiun baru mereka, Radio One. Dari sinilah lahir program bertajuk Top Gear. Meski dianggap mengkhawatirkan – hanya dapat kontrak selama enam minggu, tapi John Peel membuktikan jika pengalaman serta naluri tajamnya mencari potensi dengan ciri khas serta prinsip yang tak bisa diganggu gugat menjadi daya pikat yang sulit ditemukan tandingannya.

menjalankan program ini masih mempertahankan semangatnya dalam menangkap geliat pergerakan bawahtanah.

Selama 18 bulan program Night Ride berjalan.

Selain Byrds dan The Rolling Stones, sesi paling terkenal tentu saja ketika John Lennon dan Yoko Ono memutar rekaman dan meyiarkan detak jantung anak mereka yang saat itu belum lahir.

“Saya mulai mendengarkannya (The Peel Session) ketika saya berusia sekitar 15 tahun,” kenang John O’Neill dari The Undertones. “Saat saya mulai menyetel ke Top Gear setiap Selasa dan Kamis malam, saat itulah pendidikan musik saya benar-benar dimulai dengan sungguh-sungguh.”

Melihat potensi John Peel, pada Januari 1968, BBC memintanya untuk menghidupkan kembali program The Parfumed Garden yang pernah ia bidani era Radio London. Program ini dinamai Night Ride dan disiarkan saat tengah malam. Di awal siaran Night Ride, John mengumumkan; “This is the first of a new series of programmes on which you may hear just about anything.”

Sama halnya ketika menjalankan program The Parfumed Garden, lewat Nigh Ride, selain memutarkan berbagai macam musik mulai rock, folk, blues, klasik dan elektronik, John Peel juga menampilkan pembacaan puisi dan melakukan sesi wawancara dengan berbagai kalangan; musisi, jurnalis, penyair. Semua aktifitasnya dalam

“When you think of the grip that there is on music and musical taste, Peel opened the box; he opened it all up. He realised the liberating power of radio.

Once we got there in 1968 it was incredible, he had opened up a brave new world.” kenang Robert Plant, vokalis kharsimatik Led Zeppelin.

Namun, pengabdiannya serta apa yang ia lakukan sepanjang hidupnya tak bisa dipungkiri punya pengaruh besar terhadap semesta musik popular yang kita kenal sampai detik ini. John Peel adalah teladan, junjungan serta maha guru. Dia adalah salah satu nama di gelanggang musik dunia yang akan selalu dikenang menjadi orang yang punya pengaruh di balik perjalanan karir nama-nama besar.

“Sejak awal, Peel selalu ingin menyentuh hati para pendengarnya dengan memainkan musik yang ia anggap inovatif dan berkualitas tinggi, terlepas dari potensi komersialnya,” tulis Telegraph.

Keraguan pemilik BBC terbukti salah besar, John Peel kerap terpilih sebagai DJ terbaik pilihan pendengar di majalah Melody Maker dan juga New Musical Express.

Dan salutnya, gaya siaran Peel – yang jarang bahkan sulit ditemukan di antara penyiar BBC lainnya – tetap ia pertahankan sepanjang kiprahnya menjadi penyiar di BBC. Imbasnya John Peel diberi kebebasan oleh para pemilik stasiun radio untuk memainkan apa pun yang diinginkannya.

derhana dan tak menampakkan diri jika ia adalah salah satu tokoh yang punya pengaruh besar terhadap geliat musik dunia seperti kesaksian banyak rockstar.

Termasuk dokumentasi BBC Records dalam bentuk piringan hitam bertajuk John Peel’s Archive Things (1970) yang di dalamnya berisikan trek pembuka paling popular yang digunakan oleh John Peel selama menjalankan program Night Ride.

Kiprahnya dalam dunia musik terus berlanjut dan dikembangkan ke berbagai lini. Selain menjadi penyiar, ia juga pernah membidani label rekaman bernama Dandelion yang tetap menjadi wadah untuk merilis karya-karya musisi dan grup musik di bawah radar. Sayangnya, perjalanan Dandelion tak semoncer seperti kiprahnya menjadi penyiar Meski dililit utang, John Peel mengaku senang dengan apa yang ia capai lewat label rekamnnya. Menurutnya, yang lebih penting dari sekedar mencari pundi-pundi dollar dengan merilis karya band-band besar adalah menemukan grup musik yang memiliki identitas - yang sulit dikaitkan (musiknya) dengan band lain. Seperti Medicine Head dan Bridge St John, misalnya.

“Dandelion adalah proyek pribadi,” tegas John Peel. “Saya bukan orang yang berorientasi pada komersial, yang saya lakukan hanyalah agar semua orang bisa mendengarkannya (album).”

Nama John Peel (mungkin) memang kalah tenar dibanding para musisi atau rockstar yang lagu juga albumnya pernah ia putarkan. Hampir semasa hidupnya John Peel memang memilih menjauhi hiruk-pikuk popularitas. Sampai usia senja pun ia tetap memilih hidup dengan cara se-

19

Mulai dari Pink Floyd, The Velvet Underground, The Ramones, Napalm Death, Grateful Dead, Pixies, Nirvana hingga The White Stripes adalah segilintir nama yang di awal karirnya pernah mengudara di program asuhan John Peel.

“Ketika dia mulai memainkan lagu kami,” kenang Jack White pada MOJO. “kami seperti, ‘Itu tidak bisa dipercaya!’”

Begitupula dengan Justin Broadrick (Napalm Death, Godflesh) yang dalam film Sleeve To The Grind pernah mengaku terharu ketika di awal karir Napalm Death lagu mereka diputar oleh John Peel.

“Ketika selesai diputar saya menelponnya dan meminta untuk diputarkan kembali,” ingat Justin Broadrick bangga. “Dan John Peel mengabulkannya!”

Di usia ke-65, pada tanggal 25 Oktober 2004, John Peel menghebuskan nafas terkahirnya. Kematiannya tentu menjadi luka bagi dunia. Bahkan saat ajal menjemputnya, banyak yang menganggap jika hari itu adalah “hari ketika musik mati”. Pasca kematiannya berbagai bentuk penghormatan dan tribute digelar demi menghomati jasa beliau, tapi satu yang jelas; meski tubuhnya telah dikebumikan, semangat John Peel akan selalu mengudara sampai kapanpun.

PERPUSTAKAAN REKAM!

Merekam hidup, merayakan waktu

Berikut adalah data Zine, Fanzine, Newslatter, Magazine Musik Kota Malang yang akan diterbitkan melalui Perpustakaan dalam jaringan REKAM! Terbitan tahun 1996 – 2001 Tahun Terbit

Judul Zine

Tim Redaksi / Penerbit

Konten

Genre

Juli, 1996

Mindblast

Afril, Samack, Ferry, Nanang, Yunianto, Harry

Info Band, Parade Musik, Merchadise, Scene Reports, Reviews

Punk, Metal (Death, Black, Thrash) Grindcore, Hardcore, Crossover

1996

Mindblast #2

Afril, Samack,

Info Band, Parade Musik, Merchadise, Scene Reports, Reviews

Punk, Metal (Death, Black, Thrash) Grindcore, Hardcore, Crossover

November, 1998

Brain To Think Mouth To Speak #1

Rully dan Didith

Esai, Artikel; Gaya Hidup, Filosofi dan scene

Punk, Oi!, Skinhead

Desember, 1999

Selebaran Gerilya #1

Samack

Samack

-

Mei, 1999

Escort #2

Totok, Doni, Victor, Aryev Buthex, Ravi

News, Esai, Komik, Wawancara, Scene Reports, Reviews,

Hardcore/Punk

Agustus, 1999

Brain To Think Mouth To Speak #2

Rully, Didik, Didith, Chris ATI, Antok, Bodrex

Esai, Artikel (Gaya Hidup, Filosofi dan scene), Wawancara, Komik, Cerpen,

Punk, Oi!, Skinhead

Oktober 1999

Kemerdekaan

Samack-

News, Artikel (sosial-politik) Wawancara, Komik, Scene Reports, Esai, Reviews

Hardcore, Punk, Ska

1999

Cempluk

Deddy, Samack

-

-

2000

NDESO #2

Gandhi

News, Info Band, Esai, Scene Reports, Reviews, Wawancara,

Punk, Grindcore, hardcore, Ska dll. Punk, Grindcore, hardcore, Ska dll.

Januari, 2001

Selebaran Gerilya #2

Samack

-

-

Februari, 2001

Selebaran Gerilya #3

Samack

-

-

Mei, 2001

Feelcom (Feel Communicates)

Samack

-

-

Juni, 2001

Feel Communicates

Samack

-

-

Desember, 2001

Endfeel #4

Samack

-

-

2001

The-Endfeel

Samack

-

-

2001

Solidrock Issue #1

Samack (Rekayasa & Konstruksi), Arfan, Afril, Ble & Ook (Kontributor)

Resensi (Film/ Musik.

Buku), Info Band,Interview, Esai, Feature, Liputan Konser. News

Underground

2001

Kemerdekaan #2

-

News, Artikel (sosial-politik) Wawancara, Scene Reports, Opini, Reviews

Hardcore, Punk

-

Kemerdekaan #3

-

News, Artikel (sosial-politik) Wawancara, Scene Reports, Esai, Reviews

20

Hardcore, Punk

PERPUSTAKAAN REKAM!

Merekam hidup, merayakan waktu

Terbitan tahun 2002 – 2010 Tahun Terbit

Judul Zine

Tim Redaksi / Penerbit

Konten

Genre

Maret, 2002

Cempluk #2

-

-

-

2002

Cempluk #3

-

-

-

Mei, 2004

Tommorow Never Knows Vol. 2

Afril, Oox, Ravi, Mandra,

-

-

Juli, 2004

Tommorow Never Knows Vol. 3

Afril, Oox, Arfan

-

-

April, 2005

LOUDY P.R.E.S.S

Indro dan Adon

News, Wawancara, Esai, Reviews

Hardcore, Punk,

Juni, 2006

Gronzero #1

Mar

-

-

2007

PUNCH!

Andre, Louise, Gambutrol Works

News, Profile, Scene Reports, Wawancara

Alternatif rock, Indie-pop, Garage Rock

2008

BLAST! #1

Vykarr, Obing

Artikel, Esai, Reviews, Wawancara, News

Alternatif rock, Post-Rock, Post-Punk, Shoegaze

2008

BLAST #2

Vykarr, Obing

Artikel, Esai, Reviews, Wawancara, News

Alternatif rock, Post-Rock, Post-Punk, Shoegaze, Garage Rock

Juli, 2008

Common Ground #1

Suci Rahyu, Gunawan Yuli, Ucie, Rino, Ogive, Antok, Famie

Wawancara, News, Review, Feature, Profile Band,

All Genre

2008

Common Ground #5

Suci Rahayu, Yuli Indrawan, Taufik Taufani Suhadak, Ogive, Hendisgorge, Antok, Jati, Rino, fami, Adji

Wawancara, News, Review, Feature, Profile Band, Quiz

All Genre

2009

Hardticle Volume 1

Iqbal (Penanggung Jawab), Azhalia (Editor), Iwan & Zian (Distributor), Rio (Media Komputerisasi), Pras (Percetakan), Dipta & Seweng (Kontributor)

Profile Band, Esai, Feature, Review, News

Hardcore

2009

Common Ground #7

Suci Rahayu, Yuli Indrawan, Ogive, Hendisgorge, Antok, Jati, Rino, Adji, Samack, dQ, Norman, Vykar, Dalonewolf, Adon

Wawancara, News, Review, Feature, Profile Band, Quiz

All Genre

2009

Common Ground #8

Suci Rahayu, Yuli Indrawan, Ogive, Hendisgorge, Antok, Jati, Rino, Fami, Adji

Wawancara, News, Review, Feature, Profile Band, Quiz

All Genre

Juni, 2009

Common Ground #9

Suci Rahayu, Yuli Indrawan, Ogive, Hendisgorge, Antok, Jati, Rino, Fami, Adji

Wawancara, News, Review, Feature, Profile Band, Quiz

All Genre

Juli, 2009

Common Ground #10

Suci Rahayu, Yuli Indrawan, Ogive, Hendisgorge, Antok, Jati, Rino, Fami, Adji

Wawancara, News, Review, Feature, Profile Band, Quiz

All Genre

Agustus, 2009

Common Ground #11

Suci Rahayu, Yuli Indrawan, Ogive, Hendisgorge, Antok, Jati, Fami, Adji

Wawancara, News, Review, Feature, Profile Band, Quiz

All Genre

September, 2009

Common Ground #12

Suci Rahayu, Yuli Indrawan, Ogive, Hendisgorge, Antok, Jati, Rino, Fami, Adji

Wawancara, News, Review, Feature, Profile Band, Quiz

All Genre

Oktober, 2009

Common Ground #13

Suci Rahayu, Yuli Indrawan, Ogive, Hendisgorge, Antok, Jati, Rino, Ganong, Adji, Rizky

Wawancara, News, Review, Feature, Profile Band, Quiz

All Genre

Desember, 2009

Common Ground #14

Suci Rahayu, Yuli Indrawan, Ogive, Hendisgorge, Antok, Jati, Rino, Adji

Wawancara, News, Review, Feature, Profile Band, Quiz

All Genre

21

PERPUSTAKAAN REKAM!

Merekam hidup, merayakan waktu

2009

Telepop #4

BLAZT!

News, Artwork Band, Ilustrasi

Alternatif rock, Post-Rock, Post-Punk, Shoegaze, Garage Rock

Januari, 2010

Common Ground #15

Suci Rahayu, Yuli Indrawan, Ogive, Tri Setyo P, Antok, Rino, Adji

Wawancara, News, Review, Feature, Profile Band, Quiz

All Genre

Maret, 2010

Common Ground #16

Suci Rahayu, Yuli Indrawan, Ogive, Tri Setyo P, Antok, Rino, Rizky, Ganong

Wawancara, News, Review, Feature, Profile Band, Quiz

All Genre

April, 2010

Common Ground #17

Suci Rahayu, Yuli Indrawan, Ogive, Tri Setyo P, Antok, Rino, Rizky, Agung

Wawancara, News, Review, Feature, Profile Band, Quiz

All Genre

Juli, 2010

Common Ground #18

Suci Rahayu, Yuli Indrawan, Ogive, Tri Setyo P, Antok, Rino, Rizky, Agung

Wawancara, News, Review, Feature, Profile Band, Quiz

All Genre

Terbitan tahun 2011 – 2018 Tahun Terbit

Judul Zine

Tim Redaksi / Penerbit

Konten

Genre

Januari, 2011

Common Ground #21

Suci Rahayu, Yuli Indrawan, Ogive, Tri Setyo P, Antok, Rino, Rizky, Agung, Dhani Chaniago, DeGowang

Wawancara, News, Review, Feature, Profile Band, Quiz

All Genre

2012

Common Ground #25

Suci Rahayu, Antok, Rino, irwan Chaoz, Noorman Sasongko, Hendisgorge

Wawancara, News, Review, Feature, Profile Band

All Genre

2014

Aku Lagi Tour

Aku Lagi Kompilasi

Profile Band, Ilustrasi

Indie Rock, Noise Rock, Garage-Rock

September, 2014

Cassette Store Day

MLG Records Day

Esai & Testimony

-

2014

Sangkar Paran #1

Monox

Feature, Esai, Wawancara, Profile Band, Review, News

Hardcore, Punk, Grindcore

2015

Sangkar Paran #2

Monox

Feature, Esai, Wawancara, Profile Band, Review, News, Komik

Hardcore, Punk, Grindcore

2015

Semburat #001

Sursum Omnia

Profile Band

All Genre

2016

Malang Noise Bimbang

Malang Sub Noise

Esai, Profile, Review

Eksperimental, Noise

Maret, 2016

Semburat #2

Sursum Omnia

Review, Profile, News

All Genre

2016

Cassette Store Day

MLG Records Day

Feature, Profile, Wawancara, News

All Genre

April, 2016

Malang Records Store Day

MLG Records Day

Press Release

All Genre

Juli, 2016

Distorsi Lahir Batin

Malang Sub Noise

Profile Band

Eksperimental,, Noise

2016

Nugatoriman

Nugatoria

Profile Band

D-beat

2016

Kumpulan Single Promo

MLG Records Day

Profile Band

All Genre

Juli, 2016

Askara

Romizan “Yomi” Iqbal, Aldy Maulana, Reyhan Rendra

Review, Feature, News, Ilustrasi

Shoegaze, Post-Rock, Noise

Juli, 2016

Gaung Tandang

Koalisi Nada & Sursum Omnia

Esai, Profile Band

2017

Sangkar Paran #3

Monox

Esai, Opini, Wawancara, Profile Band, Review, News, Scene Report

Hardcore, Punk, Grindcore

April, 2017

Pengantar Obat Pereda Rasa Penasaran

Young Savages

News, Esai

Indie-Rock

2017

Peka #6

KMPL, Kipul, Ersa

News, Esai, Review, Kuis

All Genre

2017

Peka #7

KMPL, Kipul, Ersa

News, Esai, Review

All Genre

2017

Peka #8

KMPL, Kipul, Ersa

News, Esai, Review

All Genre

22

PERPUSTAKAAN REKAM!

Merekam hidup, merayakan waktu

2017

Peka #9

KMPL, Kipul, Ersa

News, Opini, Esai, Review

All Genre

2017

Record Store Day Malang

MLG Records Day

Esai, News

All Genre

2017

Cassette Store Day

MLG Records Day

Esai, Wawancara, News

All Genre

2017

Semburat #3

Sursum Omnia

News, Profile Band, Wawancara

All Genre

2017

Malang Sub Dampod!!

Malang Sub Noise

Feature, Esai, Review

Eksperimental, Noise

2018

Malang Record Store Day

MLG Records Day

Wawancara, Profile Band, News

All Genre

April, 2018

More Mutant Than Human

Malang Sub Noise, Askara Kolektif

Esai

Noise, Eksperimental

2018

BLAST!

Obing

Profile Band, Review, Esai, News

Stoner Rock, Hardcore, Noise, Eksperimental, Sadcore

2018

Unicorn Diarrhea

Akhirpekan666 (Pandu Gerpfast)

Esai, Review

Tweepop, Jangle-pop, Lo-Fi, Shoegaze, Noise

2018

Don’t Tread On Me #2

A Muhib, Monox, Prana Okta

Wawancara, Review,

Hardcore, Punk

2018

Askara

Yomi

News

All Genre

2018

Draft Magz #1

Alfan dkk

-

-

Genre

Lain-Lain Tahun Terbit

Judul Zine

Tim Redaksi / Penerbit

Konten

-

Difusi

Becuz

Ilustrasi, Narasi

-

-

Malang Sub Noise

Malang Sub Noise

Esai, Feature, Ilustrasi

Eksperimental, Noise

-

Gerpfast

Gerpafast Kolektif

News, Review

Shoegaze, Noise

-

Malang Sub Noise

Malang Sub Noise

Esai, News

-

-

Noise Addict

Bang Club

Profile

All Genre

NB: Kami sangat berharap jika kalian semua mau membantu melengkapi data arsip yang belum dimiliki oleh Perpustakaan REKAM! Atau ada di antara kalian yang pernah atau akan menerbitkan zine dan berencana mengarsipkan di Perpustakaan REKAM! silakan hubungi kami di 08993115092 (WA a.n HILMAN) / rekamjaya@gmail.com Terima Kasih.

23

Merekam hidup, merayakan waktu

REKAM!

SEGERA TAYANG Perpustakaan REKAM! Perpustakaan REKAM! merupakan salah satu divisi REKAM! yang bergerak dalam bidang pengarsipan dokumen (fanzine, magazine, tabloid, newsletter, selebaran, dll) yang pernah lahir di kota Malang. Untuk sementara waktu semua aktifitas Perpustakaan REKAM! dilakukan di dalam jaringan (Online).

Perpustakaan REKAM! lahir dari kesadaran pentingnya aktifitas pengarsipan demi menyelamatkan setiap cuil sejarah yang pernah lahir di sirkuit kreatif kota Malang. Lahirnya Perpustakaan REKAM! sekaligus sebagai wujud terima kasih dan penghormatan terhadap mereka yang selama ini telah sudih meluangkan waktu, tenaga serta pikiran demi mendokumentasikan rekam jejak Kota Malang.

Sejarah ada untuk dijadikan pengalaman serta pelajaran demi menyongsong masa depan yang lebih baik. Oleh sebab itu, perlu kami tegaskan jika semua yang REKAM! lakukan melalui Perpustakaan REKAM! bukan untuk mengajak kalian semua melangkah mundur. Justru dari bukti serta arsip yang terkumpul dan temukan ini mampu menjadi pelita agar kita terus berkembang dan melangkah maju.

Perpustakaan REKAM! membuka tangan selebar-lebarnya bagi semua pihak yang berminat membantu REKAM! dalam aktifitas pengarsipan ini dalam wujud ide, saran, kritik, tenaga maupun dokumen.

GOGON Generasi muda dari scene grunge kota Malang tampaknya sedang menyiapkan sesuatu, kita tunggu saja gebrakannya.

Kolektif Sursum Omnia dikabarkan kembali menggelar Semburat edisi keempat. Kalian harus hadir. Karena seperti biasa, nama-nama baru akan mengguncang panggung Semburat!

Crimson Diary dikabarkan akan segera luncurkan video musik untuk singel terbaru yang akan masuk di album ketiga mereka.

Menurut kabar burung, salah seorang kawan akan membuka distribusi outlet rekaman musik. Wah, semoga benar! Kota ini butuh tempat-tempat seperti itu!

Moor, unit instrumental atmospheric black metal baru saja melempar mini album perdana dalam bentuk kaset di bawah bendera label rekaman Bulletproof Tiger.

Kancah Hiphop Indonesia sedang memanas, begitu juga di Malang! Tapi jangan lupa rilisannya… hehe… Silakan follow IG: officialmalanghiphopunity

Supergrup anyar dikabarkan akan segera lahir ke permukaan, terdiri dari personil Ajer. Becuz dan Intenna. Kita tunggu saja kemunculannya di atas panggung.

Scene FDJ di kota ini tampaknya semakin seru dan menarik untuk ditelaah. Sukses terus untuk Fian, Hilmo dan kawankawan! Rekues OM – Haqq al-Yaqin

Kami nendapat kabar jika Hearfelt akan kembali digelar dengan tamu Polka Wars dan The Panturas.

Menurut sumber terpercaya, selain akan melahirkan rilisan diskografi, grup oi/punk veteran, No Man’s Land, sedang proses pembuatan film dokumenter. Salah satu band yang patut untuk dicontoh dalam urusan konsisten dan dokumentasi!

Kami masih menunggu website Koalisi Nada yang tak kunjung selesai itu… Sudah banyak yang tanya sam!

Kami sedang menunggu gebrakan baru dari kawan-kawan Askara asal kota Batu. Untuk Yomi, Reyhan dan kawan-kawan; Hajar jalanan terus!!

REKAM! baru saja dipercaya menjadi narasumber untuk proyek buku yang membahas mengenai perkembangan zine di tiap kota Indonesia. Terima kasih. Jika sudah terbit akan kami kabarkan!

semua orang.

Intenna sedang masuk studio rekaman ya?

Perpustakaan daring REKAM! tampaknya akan kami tempatkan di “rumah” sementara agar lekas bisa dinikmati oleh

Koleksi Tono Kasetan Boldi semakin bertambah. Serbu!

Konon Atim Record Store akan membangun toko di rumahnya? Wes rampung ta lek?

Draft Magz edisi kedua sudah terbit, antisipasi dan ikuti kabarnya!

24