Ketika Cinta Bertasbih

Page 199

Habiburrahman El Shirazy Ia sendiri tidak mengerti kenapa tidak juga merasakan kemantapan hati. Ia tidak mungkin melangkah tanpa kemantapan hati. Baginya menerima lamaran seseorang kemudian menikah adalah ibadah. Dan ibadah tidak sempurna jika tidak disertai keman-tapan hati dan jiwa. Jarum jam dinding di kamarnya menunjukkan pukul dua dini hari. Matanya tidak mau terpejam. Bagaimana jika Furqan, atau Mbak Zulfa mendesaknya lagi untuk segera mem beri kepastian? Ia bangkit dari kasur. Duduk dan menunduk. Kedua matanya yang sedikit merah menggu-ratkan kelelahan. Namun sama sekali tidak mengurangi pesona kecantikannya. Dari kamar sebelah sayup-sayup ia mendengar suara detak keyboard komputer. Dari kamar Wan Aina. Mahasiswi asal Selangor Malaysia yang pernah belajar di Diniyah Putri Padang Panjang itu memang seorang pekerja keras. Anna tahu persis gadis Melayu pecinta lagu-lagunya Ummi Kultsum itu benstirahat hanya dua jam. Ia sangat salut padanya. Wajar, jika tahun pertama di S.2 Al Azhar dilaluinya dengan mudah. Tak ada satu mata kuliah pun yang tertinggal. Anna beranjak ke kamar Wan Aina. Mengetuk pintunya pelan. "Masuk saja!" Suara Wan Aina dari dalam kamar. Anna membuka pintu dan masuk perlahan. Wan Aina duduk di depan komputer tanpa jilbab. Rambutnya dipotong pendek. Sedikit di atas bahu. Matanya terfokus pada buku yang ia letakkan di samping kanan monitor komputernya. Sementara sepuluh jarinya yang lentik menari-nari indah di atas tuts-tuts keyboard komputer Anna mendekat berdiri di sampingWanAina. "Nerjemah apa Wan?" "Ini Kak, nerjemah cerpennya Ibrahim Ashi," jawab Wan Aina. Ia memang biasa memanggil Anna kakak, "Nak ku-kirim 192 Ilyas Mak’s eBooks Collection


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.