Tablo 6 32

Page 25

Aku bergegas ke dalam, dan memandang ke seberang lorong ke arah ruang piano. Itu bukan Steinway kami. Musik itu datang dari ruang duduk. Suatu perasaan dÊjà vu yang aneh—persis seperti malam sebelumnya, aku berdiri di lorong, memandang ke arah ruang duduk dengan rasa takut yang amat sangat. Aku menyalakan lampu lorong. Foto-foto. Hitam putih. Warna-warna kabur. Medali-medali, plakat-plakat. Musik semakin keras dengan setiap langkah, dan aku gemetar karena gugup. Yang kudengar bukan benar-benar piano. Itu hanya stereo, yang memutar rekaman lama. Ayahku duduk di lantai dengan punggung tersandar di sofa. Aku memandang berkeliling. Ibuku mungkin sedang tidur sekarang. Tanpa tahu apakah ayahku terjaga atau tidak, aku berjalan ke sampingnya. Tampak ketenangan di wajahnya, bukan ketenangan bodoh orang yang sakit, melainkan ketenteraman sejuk seorang seniman. Dia terjaga, tetapi matanya terpejam. Rekaman itu jelas dibuat terlalu dekat dengan piano. Beberapa nada yang keras terdengar pecah. Aku duduk di sebelahnya, berhati-hati agar tidak mengejutkannya dari kedamaiannya. Tetapi dia berbicara sebelum aku sempat memejamkan mataku. 30


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.