5 minute read

Sepeda Baru Impianku

Advertisement

Ya, Allah, kapan korona pergi, aku dah bosen di rumah terus. Berulang kali aku berdoa seperti itu, tetapi Allah Swt belum mengabulkan doaku. Aku sedih, bingung mo apalagi, hampir tiap hari aku diungsikan ibu di rumah yang jauh dari keramaian, karena persis di halaman depan rumahku ada pasar kampungnya.

Setelah mandi, sholat dhuha (semoga aku selalu ingat), makan, ibu biasanya mengantarku ke rumah “pengungsianku” yang jauh dari keramaian, agar mengurangi pertemuanku dengan banyak orang. Aku maklum ayah dan ibu sangat khawatir karena aku gampang sekali masuk angin. Oh, ya, aku kalau belajar malam hari, karena ibu sibuk di warungnya. Sementara aku hanya mau belajar kalau dengan ibu, meski kadang ibu “galak” kalau aku gak mau menuruti perintahnya. Misal aku sering menunda-nunda tugas, atau lupa waktu salat karena keasyikan bermain. Terlepas dari itu semua sebenarnya aku ini “stres” kalau istilah orang dewasa, karena aku gak boleh kemanamana. Terlalu lama aku di rumah, aku rindu sekolah, rindu pakai seragam, rindu ketemu bapak dan ibu guru, rindu ketemu teman-teman, rindu ekstra renang di sekolah yang kuikuti. Pokoknya aku bingung deh, gak ngerti kenapa ada korona dan belum pergi-pergi. Di tengah kebos a n an ku itu, aku lihat ibu menaruh tanah di plastik dalam yang Oleh: Brillian Adzkia M (3 Ad Dhuha) diberi pupuk dan disirami. Semula aku gak minat, aku cuek aja dengan apa yang ibu lakukan. Lama kelamaan aku mulai tahu kalau ibu menaburkan biji cabe dan tomat di atasnya. Ternyata ibu sedang menanam tanaman dalam polibag. Aku tahu kata polibag setelah bertanya kepada ibu, artinya plastik hitam yang ada lubangnya. Karena hampir setiap hari aku melihat ibu asyik dengan polibagnya, lama kelamaan tertarik juga. Waktu itu masih musim kemarau, hampir setiap sore aku ikut membantu ibu menyirami tanaman. Aku amati setiap perkembangan tanaman itu. Selang kurang lebih sebulan tomatnya mulai berbuah kecil, hijau warnanya, ” Ibu lihat, tomatnya sudah berbuah, mungil sekali lucu bentuknya”, aku berteriak memanggil ibu. Ibu menghampiriku, “Iya, alhamdulillah sudah mulai berbuah, tapi memetiknya menunggu kalau warnanya sudah

mulai menguning,” jawab ibu. Oh, ya, selain

menanam di polibag, ibu juga menanam sayuran lain di kebun dekat rumah. Ada tanaman kacang panjang, sawi, kangkung darat, pepaya, cabe, tomat, pisang, dan terong. Aku gak tahu kenapa ibu tiba-tiba rajin berkebun. Mungkin ibu bingung karena ibu biasanya sibuk mengajar di sekolah dan mengelola usaha keluarga kami, tetapi karena ada korona banyak waktu luang di rumah.

Saat yang dinanti-nantikan tiba. Tanaman kami mulai panen. Aku, sih, kurang memperhatikan, tiba-tiba ibu bilang, “Adzkia, sini ambil celenganmu, katanya kamu kepingin sepeda baru”. Ternyata, eh, ternyata, ibu yang dadakan menjadi petani amatiran itu, salah satunya karena ingin menuruti permintaanku yaitu membeli sepeda baru. Di rumah ibu menerapkan aturan kalau kami, anak-anak menginginkan sesuatu yang di luar kebutuhan pokok, kami harus menabung terlebih dahulu tidak boleh meminta ini itu dengan sak deg sak nyet. Apa itu sak deg sak nyet, yang

jelas, kami harus bersabar dengan menabung terlebih dahulu, tanpa kecuali juga berlaku untuk Mbak Eveline yang sudah kelas 12 dan Mas Rayhan yang sudah kelas 9.

Tak terasa saat yang dinanti telah tiba, setiap dua hari sekali ibu sudah mulai memanen hasil kebun. Hasil kebun tersebut dititikann ke pedagang sayur yang ada di halaman rumah kami. Uang hasil penjualan sayuran itu aku celengin di celengan ayam dan ditambah uang jajanku tiap hari. Terkadang aku intipintip uang celenganku, walaupun aku catat tiap kali aku memasukkan uang, sehingga kurang lebih jumlahnya aku sudah tahu. Perkiraanku setelah tiga bulan sepeda baru impianku bakal terwujud. Aku senyum-senyum sendiri kalau membayangkan sepeda baru itu, aku ingin warna pink dan ada gambarnya.

Setelah satu setengah bulan aku menabung, tiba-tiba ibu berkata, “Ayo ikut ibu ke Magelang, jangan lupa pakai maskermu”. Aku bingung di samping aku jarang sekali ke Magelang sejak ada korona, kok, tumben ibu mengajakku. Hari ini ibu mo membelikan sepeda baru untukku, padahal menurut perhitungan uangku belum cukup kalau untuk membeli sepeda. Sambil meloncat kegirangan aku bertanya kepada ibu kalau uangku belum cukup untuk membeli sepeda idamanku. Celengan ayam kubuka, kuhitung lembar demi lembar dan kutata rapi. pelajaran tentang uang yang diajarkan Pak Sigit waktu di kelas dua kuterapkan. Kutata rapi setiap terkumpul 10 ribu kulipat, banyak juga recehnya. Aku heran, kok, banyak uang warna biru yang berarti lima puluh ribuan dan ada beberapa warna merah yang berarti seratus ribuan. Aku bertanya pada ibu, “Kayaknya aku gak masukin uang warna biru dan merah kok sekarang ada, ya”, ibu senyum-senyum saja melihat keherananku. Alhamdulillah ibu kemarin ada rejeki lebih terus ibu masukin, deh, ke celengan ayammu. “Wow, makasih Bu, aku sayang Ibu,” sambil ibu kupeluk erat.

Aku segera bergegas untuk siap-siap ke Magelang membeli sepeda idaman. Aku mau memilih sendiri sepeda yang aku suka. Setelah ke sana kemari, akhirnya pilihanku jatuh pada sepeda warna putih yang ada pinknya bergambar peri bunga cantik dengan keranjang mungil di depannya. Aku sudah membayangkan akan bermain sepeda bersama teman-teman, di samping juga berolahraga. Alhamdulillah aku senang sekali, ternyata ini to maksud ibu menjadi “petani dadakan”. Di samping mengajakku ikut berkebun mencintai alam, aku juga belajar tentang tanaman, dan yang paling utama aku diajarkan bagaimana usaha untuk meraih sebuah cita-cita dengan perjuangan. Kupandang sepeda baruku dengan penuh rasa haru. Alhamdulillah, ya, Allah ucapku lirih. Ternyata mendapatkan sesuatu yang kita cita-citakan dengan perjuangan itu terasa nikmat sekali. Ada kepuasan dan kebanggaan yang susah sekali kuungkapkan dengan kata-kata. Inilah hikmah kehidupan yang bisa kujadikan bekal untuk masa yang akan datang. Di tengah wabah korona, ada nikmat yang tiada terkira aku dapatkan. Alhamdulillah, ya, Allah berulang kali aku panjatkan dan terima kasih pada ayah dan ibu yang selalu membimbingku untuk belajar kehidupan sebagai bekal kelak setelah dewasa nanti.

This article is from: