SUARA Maret 2009 Main

Page 22

22

Belum ada dana “trafficking” yang ada di luar negeri. ”Kami berunding dengan Malaysia dan menjelaskan MESKI Gugus Tugas Pencegahan dan hukum-hukumnya. Harus dibedakan Penanganan Tindak Pidana Perdagan- TKI ilegal dengan perdagangan orang,” gan Orang sudah terbentuk, hingga saat katanya, seperti diberitakan Kompas. ini belum ada anggaran yang solid unBerdasarkan laporan Organisasi Intuk mengatasi perdagangan orang atau ternasional untuk Migrasi (IOM) tahun trafficking. Padahal, korban perdagan- 2005-2007, mereka memulangkan 3.127 gan orang kian bertambah. korban perdagangan orang baik di ”Gugus Tugas belum ada pengang- dalam negeri maupun luar negeri, sepgaran yang solid. Setiap pekerjaan ada erti Malaysia, Singapura, Hongkong, dananya. Departemen Sosial menyedi- Arab Saudi, Jepang, Kuwait, Suriah, Taiakan dana untuk trafficking sebesar Rp 2 wan, dan Jordania. Dari 3.127 korban, miliar tahun 2008 dan Rp 3 miliar tahun 5 bayi, 801 anak, 2.321 dewasa, dan se2009,” kata Menteri Negara Pember- bagian besar korban adalah perempuan dayaan Perempuan Meutia Farida Hatta (88,9 persen). Swasono usai rapat dengan jajaran Akar permasalahan perdagangan terkait di Jakarta, Kamis (26/2). orang adalah kemiskinan dan rendahnMenteri Koordinator Kesejahteraan ya tingkat pendidikan. Oleh karena itu, Rakyat Aburizal Bakrie menyatakan, upaya penghapusan perdagangan perpemerintah memiliki sikap politik jelas, empuan dan anak harus sejalan dengan yakni melindungi warga negaranya penghapusan kemiskinan. Oleh Lilis Herlina

WARTA

6 March 2009

Surat Dari Kampung Bertamu di Jakarta (IV): Ingat Parmin Nah, ketika dalam perjalanan dari Bandara ke rumah Pakde, aku selalu jelalatan melihat kiri-kanan jalan. Bangunan tinggi-tinggi. Mobil banyak sekali. Aku perhatikan pula sebuah sungai yang airnya hitam. Di sisi kiri-kanannya berderet ruKang Mul mah-rumah dari kayu dan tak beraturan. Siapakah yang tinggal di rumah seperti Dik Srie di rantau Maaf ya, surat ini masih melanjutkan gubuk itu? Aku hanya menduga-duga saja. kisah yang lalu. Maklumlah Dik, bertamu Barangkali mereka orang-orang kampung ke Jakarta merupakan kenangan tak ter- seperti kita yang mengadu nasib di Jakarta. Aku jadi ingat dengan Parmin, temanku lupakan. Ya, ini pengalaman pergi jauh dari desa yang pertama, dan mungkin tera- SD yang tak melanjutkan sekolah. Setelah khir bagiku, Mbakyumu, Emak, dan Bapak. sekian lama memburuh tani di desa, ia pergi Naik pesawat terbang pula. Singkat cerita Dik, selama berada di pesawat terbang hatiku cuma deg-degan terus. Antara seneng banget, karena pengalaman pertama, tapi juga was-was. Tentu saja aku memperhatikan jendela. Ingat godaan dari Kang Jenu, yang bilang aku jangan membuka jendela untuk dadah-dadah ke dia. Aku sepintas juga memperhatikan Emak, Bapak dan Mbakyumu. Mereka juga diam semua. Mungkin perasaan mereka sama seperti aku. Jadi, selama perjalanan di pesawat, kami semua membisu. Emak tidak pipis, tidak seperti yang dia khawatirkan sebelum berangkat. “Kang, atiku ser-ser-an terus-terusan saat pesawatnya mau turun,” kata Mbakyumu saat kita sudah mendarat. Aku cuma mesem, sambil membatin, “Sama. Aku ke Jakarta sejak 5 tahun lalu. Lebaran lalu ia pulang kampung, dan kami bertemu. juga gitu.” Kami mengobrol lama. Dia bercerita Kami dijemput oleh sopirnya Pakde Gimin di Bandar Udara Soekarno-Hatta. bahwa di Jakarta hidup dengan mengandalWah, kami diperlakukan seperti tamu is- kan tenaga saja. “Jadi buruh. Apa saja aku timewa. Mobil yang dipakai menjemput kerjakan. Dari buruh bangunan, tukang bagus sekali. Aku tidak tahu apa mereknya. gali tanah, sampai tukang angkut sayur di Yang pasti aku belum pernah melihatnya di pasar, Mul,” katanya. Mungkin dia bercerita sejujurnya. Aku kota kecamatan, apalagi di desa kita.

perhatikan tubuhnya tetap gelap seperti waktu di desa. Masih tegap, tapi terlihat lebih kasar tangannya “Aku tinggal berpindah-pindah. Sewa bedeng, gubuk kayu, bersama teman-teman senasib. Pernah tinggal di gubuk di dalam kampung, pernah pula di pinggir kali,” katanya. Rumah kita di kampung juga tak jauh dari kali ya Dik. Tapi lebih jernih ketimbang sungai di Jakarta itu. Banyak sekali sampahnya. Airnya tidak bergerak. Ketika aku sedang membayangkan cerita Parmin, tiba-tiba mobil sudah berhenti di depan gerbang tinggi. Dari luar gerbang tidak kelihatan rumah di baliknya. “Sudah sampai kita,” kata sopir. Pintu gerbang terbuka, mobil terus masuk. Kulihat rumah gedong berlantai dua. Aku cuma bengong. Suara Pakde Gimin menyetop kebengonganku. “Selamat datang di Jakarta, di gubukku. Ayo masuk,” katanya. Wajahnya sumringah. Kulihat Bapak dan Emak sangat kikuk. Tentu saja kami kaget, karena memasuki rumah yang begitu mewah, seperti rumah yang biasa ditampilkan di sinetron televisi itu lho Dik. Ketika hendak melangkah ke dalam rumah itu rasanya kaki ini takut menginjak lantainya yang mengkilap. Duduk di kursi yang indah itu pun rasanya aku tak siap. “Ayolah, jangan sungkan-sungkan. Anggap seperti rumah sendiri,” kata Pakde. Duh... Dik Srie, gara-gara ingat Parmin itu aku jadi serba salah berada di rumah Pakde. Aku jadi merasa lebih siap tidur di gubuk Parmin, ketimbang di rumah Pakde Gimin. Laa, apa aku bisa betah tinggal empat hari di rumah yang begini mewah? (Dik, diteruskan di surat berikutnya ya... mohon sabar, masih ada banyak kejutan kami di Jakarta).


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.