Edisi : Mei 2013

Page 50

musuhnya terkapar bermandi darah. Toni, si pemenang telah lama mencari musuhnya tersebut. Kejadian berawal ketika acara tujuh belasan. Seperti kebiasaan turun temurun di kampung Toni selalu diadakan panggung hiburan rakyat dengan dimeriahkan hiburan orgen tunggal. Biduan yang tampil di atas pentas tak kalah dengan artis top sungguhan. Dadanan menor dan aduhai menambah semarak penggila musik dandutan. Sedang asyik bergoyang, tiba-tiba ada yang menumpahkan air ke belakang baju Toni hingga basah semua. Ternyata preman kampung sebelah yang tersendak mulutnya hingga muntahkan air tepat di belakang Toni. Terjadilah perang mulut antarkeduanya. Karena merasa tidak dihargai sebagai preman, akhirnya Toni membawa masalah tersebut ke ajang pertarungan berdarah dengan si pemuda kampung sebelah tersebut. Toni pun menghilang menjadi buronan. ***** Malam semakin pekat ketika sesosok bayangan berkelebat. Bayangan itu ternyata seorang pria dengan mengenakan sarung sekaligus menutupi wajahnya. Hanya kedua matanya saja yang nampak liar seperti harimau mencari mangsa. Lebih kurang seratus meter di belakangnya, mengekor lima orang temannya yang sama penampilannya. Tampaknya mereka sedang merencanakan sesuatu. Tugas besar untuk mereka telah terngiang-ngiang di kepala mereka sejak seminggu yang lalu. Di belakang gudang pabrik gerobok mereka mematangkan kembali strategi yang telah dibuat. Sasaran harus lenyap malam ini juga. Temannya yang paling tinggi bertugas memukul sasaran dari belakang. Kayu gelam sebesar lengan telah digenggam sedari tadi. Yang lain bertindak sebagai pengeroyok musuh. Sang pimpinan sebagai eksekutornya. Parang klima setajam mata silet menyilaukan pandangan. Berhari-hari ia mengasah parang kesayangannya. Entah sudah berapa banyak pohon pisang yang menjadi amukan sabetan parang klimanya. Sasaran nampak sedang berjalan sendirian. Bau alkohol dari tubuhnya masih menyengat menebarkan aroma ke penjuru kampung seakan-akan memberitahu dialah sang dewa mabuk sejati. Sesekali tubuhnya terjatuh tak kuat mengimbangi gaya gravitasi bumi. Bajunya sudah penuh dengan muntahan minuman yang bercampur dengan aneka kacang-kacangan. Entah sudah berapa botol yang ia habiskan bersama teman-temannya. Tepat berada di tikungan jalan samp50

Kibar, Edisi Perdana

ing pos ronda, sebuah benda keras menghantam kepalanya. Tubuhnya pun terjerembab mencium tanah becek bekas gerimis hujan. Ketika akan berdiri, puluhan pukulan melayang mendarat di wajahnya. Ia tersungkur kembali. Dengan sisa tenaga yang ia punya, mencoba bangkit melawan. Pisau dua belas dim berusaha dicabut dari pinggangnya. Tetapi terlambat. Sabetan parang klima lawan terlebih dahulu membabat habis tubuhnya, mengeluarkan isi perutnya. Usus pun terburai. Walaupun begitu, ia tetap berusaha menusukan pisau dua belas dimnya ke lawan di hadapannya. Namun terlambat, sabetan parang klima yang terakhir tepat mengenai leher menghentikan perlawanannya. Sang sasaran akhirnya tumbang. Tak terhitung lagi luka yang menganga. Sasaran tewas dengan luka mengenaskan. Bau amis darah pun menyengat. Siraman cuka parah menambah rusak wajah si korban. Gerombolan pengeroyok meninggalkan sasaran dengan tersenyum bangga. “Inilah hari pembalasan untuk pembunuh adikku�, teriakan si pemegang parang klima. Dendam berkarat tertanam yang selama dua tahun tersimpan di dalam hatinya. Lama ia menunggu kepulangan Toni, sang preman kampung dari persembunyiannya. Di kala pagi akan menyambut hari, kokok ayam jantan mulai meninggi dan orang-orang mulai akan menjalankan aktivitas, warga dikejutkan dengan sesosok mayat dengan penuh luka di tubuhnya. Gemparlah warga kampung. Seorang preman kampung tewas mengenaskan. Dialah Toni, si pembuat ulah dan keonaran yang baru pulang dua hari lalu dari persembunyiannya. Tubuh Toni ditemukan bersimbah darah oleh pedagang bubur ayam di samping pos ronda. Hampir saja warga tidak mengenali mayat Toni yang wajahnya juga hancur terkena siraman cuka parah. Tato di lengan bertuliskan namanyalah yang menjadi tanda pengenal sang preman kampung. Beberapa orang mengiris dada melihat tubuhnya. Tapi tak sedikit pula yang mengucap syukur atas kematian preman kampung itu. Karena kelakuan Toni yang selama ini meresahkan warga kampung. Sang ayah pensiunan kopral hanya tertunduk lemas melihat jenazah anaknya yang sudah terbujur kaku. Ia merasa terpukul sekali karena merasa gagal mendidik anak bungsunya. Sebulan setelah peristiwa tersebut, sang ayah pun menyusul kepergian anaknya. Ia tewas gantung diri di kamarnya. Beban moral yang menjadi penyebab ia sanggup melakukan perbuatan tersebut. Tamat. *****


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.