OPINI
KAMIS, 8 DESember 2016
LAMPUNG POST
12
Kuasa Elite Lokal Robi Cahyadi Kurniawan Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Unila
E
LITE pada awalnya dianggap mereka yang dipilih oleh Tuhan atau anggota masyarakat yang terpilih dan terseleksi berdasarkan tingkatan sosial dalam strata masyarakat borjuis. Elite merupakan peran yang dimainkan sejumlah minoritas yang memegang kekuasaan dalam sejarah manusia, dapat berupa oligarki dan aristokrasi, itulah segelintir pendapat dari Aristoteles. Dalam setiap masyarakat terdapat orang-orang yang lebih kuat, lebih baik, dan ditempatkan dalam posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain. Refleksi kekuatan masyarakat yang plural dan lemahnya negara dalam negara dunia ketiga menyebabkan kemunculan para elite lokal. Setiap kelompok dalam masyarakat memiliki pemimpinnya sendiri dan pemimpin ini relatif otonom terhadap negara. Migdal (2001:85) menyebutnya sebagai local strongmen. Akibat sifatnya yang otonom, keberlangsungan local strongmen (elite lokal) bergantung pada kapasitas sosial dari negara. Kapasitas sosial dapat diartikan kemampuan negara untuk membuat warganya mematuhi aturan permainan dalam masyarakat. Kemampuan untuk menyediakan sumber daya untuk keberlangsungan hidup warganya atau mengatur perilaku dan kehidupan masyarakat dalam kesehariannya. Kemampuan yang tidak dimiliki negara. Elite lokal dapat bertahan asalkan ia berkolaborasi dengan negara dan partai politik pemerintah, sehingga terbentuklah segitiga kekuasaan. Segitiga kekuasaan ini mengizinkan sumber daya negara untuk memperkuat diri dan mempersilahkan organisasinya mengatur konflik dalam negara. Keberlangsungan dan eksistensinya bergantung pada kekuatan negara untuk mengatur mereka. Para elite juga mampu menemukan pemimpin yang populis untuk mengakomodasikan kepentingan dan organisasi mereka melalui massa yang ada.
Elite Lokal di Dunia Mancur Olson (2000:6-10) dalam bukunya Power and Prosperity, Outgrowing Communist and Capitalist Dictatorship, memaparkan strategi para elite.
Menurut Olson, yang melakukan penelitiannya di negara-negara eks Soviet, Rusia, Jerman, dan Jepang, ada beragam tipe elite lokal. Stationary bandit dan roving bandit adalah strategi yang banyak dipakai para elite lokal. Kedua istilah ini menggambarkan dilakukannya tindakan kriminalitas. Stationary, mencuri dengan memberi kan masyarakat perlindungan, mengambil alih bisnis, dan memberikan kebutuhan barang publik sehingga masyarakat dapat berproduksi. Produksi tersebut akhirnya kembali dicuri oleh mereka. Roving, merampok sebanyak mungkin yang dapat ia lakukan tanpa meninggalkan apa pun pada masyarakat. Perilaku ini berpotensi menimbulkan kemiskinan dan ketidakstabilan dalam masyarakat. Penelitian John Sidel (1991:19) tentang kuasa elite lokal di Filipina, memperkenalkan konsep bossism (para bos). Predator kekuasaan yang memiliki kontrol monopoli terhadap sumber daya ekonomi dan politik serta pengaruhnya di wilayah kekuasaan hukum. Keberlangsungan dan kelanggengan bossism di Filipina didukung beberapa faktor. Faktor itu di antaranya struktur institusi dari negara sendiri, konsentrasi modal swasta di daerah sebagai bagian kebijakan negara. Ditambah dengan keikutsertaan aparat negara ada masa awal pembangunan kapitalis sebagai mazhab ekonomi negara. Warisan sistem pemilu Filipina yang mengadopsi model Amerika turut memengaruhi. Keberlangsungan bossism merupakan refleksi kekuatan negara. Mereka juga tidak segan untuk menggu-
nakan strategi coercive violence (kekerasan) untuk mempertahankan eksistensinya.
Elite Lokal di Indonesia Untuk kasus di Indonesia yang memiliki ribuan etnis dan kelompok suku, keberadaan elite lokal tidak dapat dielakkan. Sebagian di antara elite lokal itu misalnya kareng di Takalar Sulawesi, fetor dan Temukung di Kupang, Nusa Tenggara, majid usul di Kabupaten Musi Rawas, serta marga dan suku di Pulau Timor. Contoh lain yang lebih spesifik yakni usif di eks Swapraja Mollo, Kabupaten Timor Tengah. Usif adalah mereka yang lahir sebagai keturunan bangsawan yang mempunyai kekuasaan atas sumber daya berupa hutan, tanah, ternak, sumber daya air, dan tenaga kerja (manusia). Usif memiliki pe ngaruh kuat di masyarakat setempat karena pemegang status sosial tertinggi di masyarakat adat dan n SUGENG RIYADI dikukuhkan secara resmi oleh masyarakat adat setempat. Begitu besarnya pengaruh usif, sehingga di bidang ekonomi seorang pengusaha yang akan berinvestasi haruslah melakukan pendekatan kepada usif. Sebagai penguasa sumber daya di daerah, restu usif menjadi harga mati dalam upaya mengeksploitasi sumber daya yang ada. Dalam bidang politik, selama periode tahun 1955—2004 para usif selalu mendominasi pucuk pimpinan partai pada tingkat eks Swapraja Mollo. Usif juga berperan memobilisasi dukungan massa terhadap partai tertentu. Lain halnya dengan jawara di Cilegon, Provinsi Banten. Asal usul jawara sebenarnya adalah kelom-
pok santri yang digembleng dan dibekali berbagai ilmu kanuragan (bela diri) dan kesaktian oleh ulama untuk melawan penjajah ada masa lalu. Atas dasar itu, jawara identik dengan pendekar, seorang jago bela diri merangkap paham mengenai ilmu agama, dan mereka berguna memperkokoh syiar Islam pada masa lalu. Jawara mengalami pergeseran makna sosiologis, setelah masa penjajahan usai. Tidak lagi positif, melainkan berbalik menjadi sesuatu yang negatif. Jawara tidak lagi dipandang sebagai orang yang saleh namun sakti. Pemaknaannya beralih pada orang atau sekumpulan orang yang berani merampok (jalma wani rampog) atau orang yang berani menipu (jalma wani rahul). Pandangan negatif ini muncul karena sifat oportunis dan eksklusif dari jawara itu sendiri serta tindakan kekerasan yang sering dilakukan. Namun, tidak selamanya keberadaan jawara dalam alam modern ini dipandang negatif. Setidaknya bagi masyarakat Cilegon, keberadaan jawara dinilai cukup efektif menjaga stabilitas keamanan. Minimnya gejala huru hara dan kericuhan yang berpotensi menyebabkan hancurnya aset publik dan swasta di Kabupaten Cilegon. Karena faktor itulah, banyak dari komponen masyarakat lain yang menggunakan keberadaan jawara, seperti para pengusaha, para pejabat dan partai politik. Keunggulan jawara dalam memobi lisasi massa menyebabkan membanjirnya tawaran kontrak yang ditawarkan oleh berbagai partai politik guna kepentingan pemilu. Elite lokal sebagai pihak yang paling mengerti dan memahami karakter masyarakat di daerahnya hendaknya menjawab harapan masyarakat tersebut. Ibarat bambu sebagai penopang awal mendirikan bangunan yang kokoh, bersatunya elite lokal akan sangat bermanfaat bagi pembangunan di daerah, bukan hanya berkonflik memperebutkan kekuasaan yang fana. Apabila para elite lokal masih memiliki sebuah hati yang berisi nurani, tantangan itu bukanlah sesuatu yang berat untuk dihadapi. Bagaimana dengan Lampung? Mampukah para elite lokal menciptakan perubahan Kita masih menunggu jawabannya. n
Merayakan Kebhinnekaan Romanus Ndau Lendong Dosen Binus Jakarta, Program Doktor Politik Universitas Indonesia
A
KSI 212 berakhir sudah. Jauh dari yang dikhawatirkan, aksi berjalan aman, tertib, dan lancar. Bayangbayang kekerasan yang sebelumnya terasa mengerikan tak terbukti. Indonesia sekali lagi menegaskan diri sebagai bangsa beradab, toleran, dan demokratis. Kepada rakyat kita patut berterima kasih. Pandangan yang mengecilkan rasa kritis dan kesadaran rakyat tak lagi relevan. Sebaliknya, rakyat kini menjadi role model pengembangan demokrasi. Demokrasi, bagi rakyat, tak lagi sekadar jargon, tetapi perilaku hidup yang memancarkan kejujuran, kesantunan, saling menghormati, dan toleransi. Ini kabar baik bagi masa depan Indonesia. Pendidikan membuat rakyat semakin cerdas, kritis, dan mandiri. Nelson Mandela menegaskan pendidikan membuat rakyat maju, bisa menolong diri sendiri, dan mampu memilah serta memilih informasi. Pidato-pidato elite dan gempuran informasi beraroma kebencian dan balas dendam yang tersebar masif di media sosial tak membuat rakyat gelap mata. Tak sudi mereka bertaruh hidup untuk sesuatu yang tidak jelas, apalagi sekadar memuluskan gairah politik rendahan segelintir elite. Meski demikian, demokrasi sejati masih memerlukan perjuangan terus-menerus sebab ada saat demokrasi harus memasuki fase-fase gawat, terutama menyongsong Pilkada serentak 2017 dan Pemilu 2019. Sudah lazim hasrat akan kekuasaan membuat para elite terjebak dalam praktikpraktik menghalalkan segala cara. Jadi, demokrasi tidak bergantung pada kesadaran elite, tetapi lahir atas inisiatif
PARTISIPASI OPINI
Pribadi Multiwajah Konflik hari-hari ini seakan menjustifikasi benturan peradaban yang dikemukakan Samuel P Huntington. Dalam bukunya The Clash of Civilization and the Remaking of the World Order (1996), Huntington menebarkan tesis benturan antarperadaban. Inti tesis itu ialah benturan antarperadaban akan menjadi sumber ketegangan baru pasca-berakhirnya perang dingin. Kekeliruan besar yang dilakukan Huntington ialah menempatkan agama sebagai sumber tunggal nilai peradaban. Seturut analisisnya, jumlah peradaban paralel dengan jumlah agama. Setidaknya, ada empat peradaban utama yang akan saling bersaing, yakni Islam, Hindu, Kristen, dan Buddha. Betul agama menjadi sumber penting nilai peradaban, tetapi bukan satu-satunya. Sumber nilai lain yang tidak boleh diabaikan ialah adat istiadat, norma sosial, ras, sistem kerja, organisasi sosial, pilihan politik, dan seterusnya. Tegasnya, manusia bukan makhluk beridentitas tunggal, pribadi multiwajah. Tesis Huntington benar-benar keliru sehingga sudah semestinya dikaji ulang. Tidak sulit rasanya membuktikan manusia ialah pribadi multiwajah. Contohnya, selain sebagai orang Katolik, saya orang Flores, seorang dosen, penulis, kader Partai Golkar, kader Kosgoro 1957, aktivis LSM, dan masih banyak lagi.
Di atas segalanya, saya warga negara Indonesia yang memiliki hak politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Atas dasar itu, saya berhak mendapatkan perlakuan yang sama di segala bidang kehidupan. Tidak tepat kalau saya diperlakukan berbeda sematamata karena saya beragama Katolik. Di luar organisasi keagamaan, tidak ada posisi yang menjadikan agama sebagai
“
Toleransi dan tolong-menolong antarumat berbeda agama sesungguhnya sudah lama dipraktikkan rakyat di berbagai daerah. Di Larantuka, Flores, rakyat berbeda agama sudah terbiasa saling membantu. preferensi. Saya juga tidak bisa diperlakukan semena-mena atau menanggung risiko semata-mata karena ada orang Katolik yang melakukan kesalahan. Hukum nasional kita mengajarkan setiap orang diperlakukan sesuai dengan tindakannya. Pemilahan ini penting agar kita terhindar dari fanatisme dangkal yang kerap menjadi sumber amarah dan darah.
Indahnya Keragaman Seorang filsuf mengatakan manusia seakan dilempar begitu saja ke tengah dunia. Dia tidak berhak memilih ayah dan rahim ibu yang melahirkannya. Dia juga tidak berhak merekomendasikan warna kulit, agama, dan tanah airnya. Itulah
keterbatasan eksistensial manusia yang harus diterima secara sadar dan wajar. Bagi bangsa Indonesia, keragaman suku, agama, budaya, dan ras ialah kekayaan sehingga harus diterima dan dikembangkan. Keragaman itulah yang membentuk Indonesia ibarat taman raksasa yang indah dan memesona. Keragaman membuat kita saling belajar, bertoleransi, dan hormat-menghormati. Di atas segalanya, keragaman itu menjadi dasar kita untuk membangun mimpi besar menjadi bangsa Indonesia yang bersatu, maju, mandiri, adil, dan sejahtera. Toleransi dan tolong-menolong antarumat berbeda agama sesungguhnya sudah lama dipraktikkan rakyat di berbagai daerah. Di Larantuka, Flores, rakyat berbeda agama sudah terbiasa saling membantu. Saat Natal dan Paskah, umat Islam menjadi panitia dan menjaga keamanan. Demikian sebaliknya. Saat Lebaran, tanpa pamrih orang Katolik menjamin keamanan dan ketertiban. Semua terasa indah. Pengalaman serupa tentu saja terjadi di tempat lain di negeri ini. Hidup di antara sesama dengan keyakinan keagamaan yang sama tidak selamanya berjalan harmonis. Selama kuliah di Fakultas Filsafat UGM pada 1990-an, saya mempunyai pengalaman menarik. Awalnya, saya tinggal di rumah indekos yang pemiliknya beragama Islam. Orangnya rajin beribadah, ramah, dan baik hati. Kalau terlambat kiriman uang dari orang tua, pemilik rumah indekos menyediakan makanan secara layak tanpa menanyakan kapan bisa membayarnya. Padahal, pemilik rumah indekos itu hanya berjualan di pasar
dan hidup sederhana. Inilah pengalaman terbaik selama saya di Yogya. Di waktu lain, saya tinggal di rumah indekos yang pemiliknya satu agama dengan saya. Awalnya saya membayangkan pasti pemilik rumah indekos ini lebih baik. Ternyata itu hanya ilusi. Orangnya jarang senyum dan bertegur sapa. Bayaran indekos tidak boleh terlambat. Aturannya sangat ketat. Di mana-mana tertempel tulisan: Dilarang Ribut’, ‘Dilarang Menerima Tamu’, ‘Tamu Dilarang Kencing’, dan sebagainya. Karena jengkel, di suatu malam saya mencopot semua tulisan tersebut dan menempelkan tulisan baru: ‘Dilarang Melarang!’ Saat hari raya tiba, saya membayangkan akan ikut merasakan nikmatnya hidangan ketika pemilik rumah indekos yang kaya raya ini merayakan Natal bersama atau Paskah bersama. Namun, lagi-lagi itu tidak terjadi. Semua hidangan hanya nikmat di mata karena tak pernah ditawarkan ke anakanak indekos. Bahkan, saat ke gereja setiap pagi di Kapel Kolese de Brito, pemilik rumah indekos ini naik motor sendirian, sementara saya susah payah berjalan kaki. Contoh ini tentu tidak memadai. Apa yang hendak saya katakan ialah keindahan hidup bersama tidak dengan sendirinya didapatkan saat kita berada di antara sesama dengan keyakinan keagamaan yang sama. Sebaliknya, hidup di antara orang yang berbeda keyakinan keagamaan belum tentu berbuah konflik. Semua bergantung pada kualitas individu. Karena itu, tidak ada alasan bagi kita untuk menolak kebhinnekaan selain merayakannya. n
Lampung Post menerima opini orisinal dan tidak dikirim ke media lain, tak lebih dari 6.000 karakter. Kirim via e-mail ke opini@lampungpost.co.id dengan mencantumkan nomor kontak dan rekening bank. Kami mengutamakan tulisan yang mengkaji fenomena aktual di lingkungan masyarakat Lampung. Setiap artikel/tulisan, foto atau materi apa pun yang telah dimuat di Lampung Post dapat dipublikasikan atau dialihwujudkan kembali dalam format digital dan atau nondigital tetap merupakan bagian dari harian ini.
Direktur: Usman Kansong. Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab: Iskandar Zulkarnain. Pemimpin Perusahaan: Prianto A. Suryono. Dewan Redaksi Media Group: Bambang Eka Wijaya, Djadjat Sudradjat, Elman Saragih, Gaudensius Suhardi, Laurens Tato, Lestari Moerdijat, Najwa Shihab, Putra Nababan, Rahni Lowhur Schad, Saur Hutabarat, Suryopratomo, Usman Kansong. Kepala Divisi Pemberitaan: D. Widodo. Kepala Divisi Content Enrichment: Iskak Susanto. Kepala Divisi Percetakan: Kresna Murti. Asisten Kepala Divisi: Nova Lidarni, Musta’an Basran, Sri Agustina. Sekretariat Redaksi: Nani Hasnia.
rakyat. Pendidikan dan penyadaran rakyat akan luhurnya demokrasi mesti terus dilanjutkan. Ini langkah strategis untuk menjauhkan bangsa ini dari ancaman disintegrasi sosial dan politik.
Redaktur: Abdul Gofur, Iyar Jarkasih, Muharram Candra Lugina, Padli Ramdan, Rinda Mulyani, Vera Aglisa, Wiwik Hastuti.
Desain Grafis/Foto Redaktur: Hendrivan Gumala, Asisten Redaktur: Sugeng Riyadi, Nurul Fahmi, Ridwansyah.
Biro Wilayah Selatan (Lampung Selatan): Herwansyah (Kabiro), Aan Kridolaksono, Juwantoro.
Asisten Redaktur: Aris Susanto, Delima Natalia Napitupulu, Dian Wahyu Kusuma, Eka Setiawan, Fathul Mu’in, Ricky P. Marly, Susilowati, Wandi Barboy.
Biro Wilayah Utara (Lampung Utara, Way Kanan, Lampung Barat): Mat Saleh (Kabiro), Aripsah (Asisten Kabiro), Eliyah, Hari Supriyono, Hendri Rosadi, Yudhi Hardiyanto, Candra Putra Wijaya, Yon Fisoma, Fajar Nafitra.
Senior Account Manager Jakarta: Pinta R Damanik.
Liputan Bandar Lampung: Adi Sunaryo, Deni Zulniyadi, Febi Herumanika, Firman Luqmanul Hakim, Ikhsan Dwi Satrio, M Umarudinsyah Mokoagow, Nur Jannah, Setiaji Bintang Pamungkas, Umar Wira Hadi Kusuma, Zainuddin, . Liputan Jakarta: Hesma Eryani, Luchito Sangsoko. Radio SAI-LAMPOST.CO. : Isnovan Djamaludin (Redaktur), Asrul Septian Malik. Publishing (Tabloid, Majalah, Buku): Rahmat Hidayat, Djadi Satmiko. Content Enrichment Bahasa: Wiji Sukamto (Asisten Redaktur), Chairil, Kurniawan, Aldianta.
Biro Wilayah Tengah (Lampung Tengah, Metro, Lampung Timur): Chairuddin (Kabiro), M. Wahyuning Pamungkas (Asisten Kabiro), Agus Chandra, Agus Susanto, Andika Suhendra, Djoni Hartawan Jaya, Ikhwanuddin, Suprayogi, Musannif Effendi Y. Biro Wilayah Timur (Tulangbawang, Mesuji, Tulangbawang Barat): Juan Santoso Situmeang (Kabiro), Merwan (Asisten Kabiro), Rian Pranata. Biro Wilayah Barat (Tanggamus, Pringsewu, Pesawaran): Widodo (Kabiro), Abu Umarali, Mif Sulaiman, Sudiono, Ahmad Amri.
Senior Account Manager Lampung: Syarifudin. Account Manager Lampung: Edy Haryanto. Account Manager Iklan Biro: Siti Fatimah. Manager Sirkulasi: Indra Sutaryoto. Manager Keuangan & Akunting: Handoko. Alamat Redaksi dan Pemasaran: Jl. Soekarno Hatta No.108, Rajabasa, Bandar Lampung, Telp: (0721) 783693 (hunting), 773888 (redaksi). Faks: (0721) 783578 (redaksi), 783598 (usaha). http://www.lampost.co e-mail: redaksi@ lampungpost.co.id, redaksilampost@yahoo.com. Jakarta: Gedung Media Indonesia, Kompleks Delta Kedoya, Jl. Pilar Raya Kav. A-D, Kedoya Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Telp: (021) 5812088 (hunting), 5812107, Faks: (021) 5812113. Kalianda: Jl. Soekarno-Hatta No. 31, Kalianda, Telp/Fax: (0727) 323130. Pringsewu: Jl. Ki Hajar Dewan-
tara No.1093, Telp/Fax: (0729) 22900. Kotaagung: Jl. Ir. H. Juanda, Telp/Fax: (0722) 21708. Metro: Jl. Diponegoro No. 22 Telp/Fax: (0725) 47275. Kotabumi: Jl. Pemasyarakatan Telp/Fax: (0724) 26290. Liwa: Jl. Raden Intan No. 69. Telp/Fax: (0728) 21281. Penerbit: PT Masa Kini Mandiri. SIUPP: SK Menpen RI No.150/Menpen/SIUPP/A.7/1986 15 April 1986. Percetakan: PT Masa Kini Mandiri, Jl. Soekarno - Hatta No. 108, Rajabasa, Bandar Lampung Isi di Luar Tanggung Jawab Percetakan. Harga: Eceran per eksemplar Rp3.000 Langganan per bulan Rp75.000 (luar kota + ongkos kirim).
DALAM MELAKSANAKAN TUGAS JURNALISTIK, WARTAWAN LAMPUNG POST DILENGKAPI KARTU PERS DAN TIDAK DIPERKENANKAN MENERIMA ATAU MEMINTA IMBALAN DENGAN ALASAN APA PUN. Member of Media Group