Jakarta: Architecture + Adaptation

Page 29

Who Does Jakarta Think It Is?

kurang makmur (perhatikan bagaimana, dalam pidato ini, istilah pembangunan mulai menggantikan istilah imperialisme), telah berkembang menjadi proyek global mereduksi bentuk majemuk dari kehidupan sosial menjadi sumber daya ekonomi yang potensial. Maka, dimensi politik dari pembangunan berhubungan dengan kecenderungan mereduksi bidang sosial yang majemuk menjadi suatu seri penandaan koheren, bisa dikenal, dan formal yang bisa dihitung dan diperdagangkan—yaitu, berakumulasi menjadi modal. Kaki langit terkini dari megacity utama mana pun bisa dimengerti sebagai serangkaian kuda Troya dengan bungkusan-bungkusan perancang; penghuni yang menikmati kemewahan hunian bertingkat tinggi hanya merupakan efek residu, sementara efek utama dari berbagai pembangunan besar adalah akumulasi profit oleh perusahaan-perusahaan pembangunan itu sendiri. Efek kuda Troya dari pembangunan perkotaan telah diperjuangkan sebagai solusi atas kemiskinan perkotaan oleh ekonom neoliberal Hernando de Soto. Argumen de Soto sederhana tapi juga menipu: karena rakyat miskin kota pada umumnya tidak memiliki “surat sah” atas tanah atau tempat tinggal, aset tersebut terjebak sebagai “modal mati.”8 Pembebasan modal mati tersebut, lantas, membutuhkan pembakuan atas hak properti dan aset material sehingga memungkinkan nilai potensial mereka diwujudkan sebagai jaminan investasi. Maka solusi yang dinyatakan de Soto untuk mengatasi masalah modal adalah memperkenalkan struktur hutang finansial yang lebih tangguh dan homogen dengan menyamaratakan hubungan sosial dari rakyat miskin kota menjadi aset kepemilikan yang dibakukan dan bisa dipertanggungjawabkan yang melaluinya uang untuk pembangunan bisa dipinjam.9 Di antara banyak kritikus yang menentang logika tersebut, Mike Davis—yang menyebut de Soto sebagai “guru global populisme neoliberal”10—telah dengan jernih menjelaskan bagaimana pembakuan aset fisik sebagai properti akan secara signifikan merugikan rakyat termiskin dari permukiman informal dengan memaksa mereka untuk berkompetisi di dalam ekonomi pasar formal, dan oleh karena itu akan memperburuk bentuk paling keras dari kemiskinan perkotaan. Pertanyaan tentang kapasitas adaptif sehubungan dengan arsitektur dalam hal ini terbagi menjadi dua haluan. Pertama, adalah suatu keharusan untuk mempertanyakan peran arsitektur sebagai ikonografi dari pembangunan; problematisasi ini tentunya akan melibatkan upaya terpadu dan jangka panjang, yang dengan sendirinya akan membutuhkan pemikiran ulang mendasar atas pengajaran dan pembelajaran arsitektural, di samping juga penilaian kembali yang substansial atas filsafat kota itu sendiri.11 Kedua, agar arsitektur memajukan konsep kota yang lebih sehat yang mampu menandingi kekerasan yang terus berkembang dari neoliberalisme masa kini, sangatlah penting untuk terlibat lebih dalam dengan wacana “informalitas,” mengingat seri hubungan sosial yang majemuk dan sulituntuk-dibakukan inilah yang sering menjadi sasaran kebijakan pembangunan perkotaan dan akumulasi melalui perampasan (lagi-lagi, seringkali di bawah logika meragukan dari perbaikan “ketertinggalan” perkotaan). Kami tidak sendirian dalam mengajukan distribusi keruangan dan hubungan sosial 9


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.