Warta Buruh Migran Oktober 2011

Page 14

14 | Analisis Bulanan

Moratorium, Kasus Siti Nurkhasanah, dan Carut Marut Layanan TKI Oleh: Redaksi PSD-BM Dunia Buruh Migran Indonesia (BMI) bagai benang kusut yang sulit diurai menjadi benang yang bisa pakai. Keruwetan dunia BMI ini kerap terjadi sejak di dalam negeri. Pemalsuan identitas calon BMI hingga paspor dan visa kerja adalah beberapa contoh saja. Pemerasan dibalik dalih pengurusan dokumen dan administrasi oleh oknum-oknum disekitar pemerintah, calo dan perusahaan penyalur menambah daftar tersebut. Di luar negeri, banyak BMI yang merasa ditipu karena hak dan kewajibannya tidak sesuai dengan kontrak kerja maupun perjanjian awal, kekerasan, atau bahkan terjerat kasus hukum di negara tujuan. Kasus tersebut, contohnya, terjadi pada Siti Nurkhasanah (38). Buruh Migran Perempuan (BMP) asal Majenang Cilacap ini mengalami depresi berat sekembali bekerja dari Arab Saudi 1 Oktober 2011 lalu lantaran gaji selama 6 tahun tidak dibayarkan oleh majikan. Kadangkala bicaranya menracau. Ia marah-marah ketika ada yang menanyainya soal pekerjaan. Tidak hanya itu, kedatangannya ke rumah tanpa membawa barang-barang layaknya BMP lainnya juga menimbulkan kecurigaan kelurga. Ternyata Siti tak hanya kehilangan 6 tahun gajinya tapi juga barang-barangnya ketika di bandara Soekarno-Hatta. Ketika pulang ia hanya membawa satu tas kecil yang berisi exit final visa, kontrak kerja, paspor tahun 2001-2004, dan catatan test medis. Paspor terakhir dan dokumen lainnya beserta barang-barangnya entah berada dimana. Seharusnya depresi yang diderita oleh Siti bisa langsung tertangani dengan baik oleh pemerintah dengan keberadaan sistem terminal 3 yang mereka ciptakan. Prosedur terminal 3 harusnya bisa mendeteksi kejanggalan yang terjadi pada Siti. Prosedur tersebut seharunya juga memproses hal-hal yang terkait dengan pelanggaran kontrak. Siti lebih lanjut berhak mendapatkan fasilitas untuk memulihkan depresi yang dialaminya. Petugas terminal 3 seperti tidak jeli dengan keadaan dan kejadian yang menimpa Siti sekembali dari Arab Saudi. Mungkin bukan hanya Siti saja yang tidak mendapatkan fasilitas dan pelayanan yang seharusnya. Awal mula gagasan pemerintah menyediakan terminal 3 khusus untuk BMI adalah memastikan hak-hak BMI terpenuhi dan tidak ada pelanggaran kontrak, penganiayaan maupun pelecehan seksual. Jika terjadi pelanggaran kontrak maupun masalah lainnya, pemerintah sesegera mungkin menanganinya. Per panjang Jangka Mor ator ium ke Ar ab Saudi Banyaknya kasus yang menimpa BMI di Arab Saudi terkait kontrak dan kekerasan harus menjadi pertimbangan utama bagi kebijakan yang akan diambil pemerintah. Salah satu aspek yang harus ada dalam pertimbangan pemerintah adalah perlindungan penuh terhadap BMI, bukan hanya didasarkan pada besaran negara penerima BMI terbanyak. Halaman 14 | Warta Buruh Migran | Oktober 2011

Tentu tragedi kekerasan yang dialami oleh BMP Sumiati dan pemancungan Ruyati yang baru-baru ini menjadi perbincangan di media masih melekat pada ingatan kita. Sumiyati, Ruyati, Siti Nurkhasanah adalah sebagian kecil potret buruh migran yang mengalami nasib buruk dan diabaikan negara. Jaringan kerja negara maupun pemerintah lagi-lagi lalai menunaikan tugas pelayanan dan perlindungan bagi warganya. Akhirnya masyarakat kecillah yang sering menjadi tumbalnya. Kebijakan pemerintah setelah kasus-kasus yang menimpa BMI tersebut adalah moratorium pengiriman BMI hingga kedua negara (negara pengirim BMI dan penerima) mencapai kesepakatan. Waktu moratorium inilah yang menjadi momentum penting yang harus digunakan pemerintah untuk menjaga harkat martabat bangsa dan menaikkan daya tawar bagi BMI. Daya tawar dibutuhkan oleh BMI kita agar tidak diperlakukan semena-mena layaknya budak. Poin penting yang harus ada dalam kesepakatan bersama antar dua negara adalah sistem perlindungan yang jelas dan sanksi tegas bagi setiap pelanggaran yang terjadi tanpa pandang bulu. Per baikan Layanan untuk BMI Akhir bulan Juni 2011 kemarin Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) meluncurkan layanan call center “Halo TKI” yang bertujuan memberi informasi dan respon cepat jika ada pengaduan. Awalnya itikad baik pemerintah membenahi pelayanan untuk BMI ini disambut baik oleh masyarakat. Implementasinya, layanan “Halo TKI” tidak banyak membantu BMI. Salah satu cerita soal layanan “Halo TKI” sempat ditulis oleh Fera Nuraini di buruhmigran.or.id. BMI yang sudah sekian tahun bekerja di Hong Kong ini mencoba menggunakan layanan “Halo TKI” untuk memperoleh informasi. Bukan kejelasan informasi yang diperoleh Fera ketika menghubungi call center “Halo TKI” melainkan kebingungan, pernyataan antar operator layanan tidak sama dan senada. Tanggapan dari operator terlihat disederhanakan dibalik dalih “informasi hanya untuk kalangan terbatas” agar pekerjaan lekas beres. BNP2TKI selaku pelaksana dan penanggung jawab urusan BMI harusnya bisa menyediakan layanan yang baik untuk BMI. Dalam hal ini aspek pelayanan dan perlindungan harus menjadi prioritas pertama ketimbang aspek penempatan. Aspek penting lainnya yang harus disediakan pemerintah adalah keterbukaan informasi terkait BMI. Baik informasi yang berkaitan dengan kebijakan, peraturan, alur pelayanan, maupun besaran pembiayaan yang harus dikeluarkan calon BMI.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.