C
JUMAT, 13 MEI 2016 | Nomor 885 Tahun III
SECANGKIR CERITA KOPI OSING » C28-C29
NATIONAL EVENT
25
SISSY PRISCILLIA
Mengangkat Loksado di Mata Dunia » C30
Bawa Anak Syuting
» C32
enjahit tak lagi identik kaum kerah biru. Atau, pekerjaan yang selalu diberikan kepada kalangan perempuan pengangguran. Kini, kursus menjahit justru diminati banyak perempuan sebagai salah satu jalur menyalurkan hobi. Bahkan, ada pula karena mimpi untuk membuat butik atau menjadi desainer baju. Dian Emawati misalnya. Perempuan 39 tahun asal Kali Malang, Jakarta Timur, ini sudah dua bulan mengikuti kursus di Monalita. Ia kembali menjalani kursus menjahit lantaran di tempat sebelumnya, kurang mendapatkan pengarahan soal teknik. “Terbukti, di sini saya mendapatkan pengarahan lebih detail,” kata Dian. Satu hal yang ia inginkan usai kursus: mendirikan butik busana muslimah. Inspirasi ini didapatnya dari media sosial, Instagram. “Lihat (aneka model baju di Instagram) bikin tambah pengin bisa menjahit,” kata Dian. Dunia fesyen di media sosial, diakui Dian, telah menggugah hasratnya untuk bisa menjadi desainer baju. “Kenapa enggak? Saya juga mau go internasional. Insya Allah,” ujar Dian bersemangat. Selama ini ia menginginkan adanya arahan menjahit yang penuh kritikan. Dengan begitu, ia bisa menghasilkan karya yang mendekati sempurna. Hal senada disampaikan Siti Maesaroh (36), peserta kursus lain. Siti rela kembali ke Jakarta setelah tinggal di Singapura hanya untuk belajar menjahit. “Saya ambil dua tingkat sekaligus: terampil dan mahir. Karena saya sebelumnya juga sudah pernah kursus menjahit di Singapura,” kata Siti, yang memiliki suami berdarah Pakistan ini. Siti kagum dengan tempat kursus Monalita lantaran melihat kiprah Netty Itawatty Siby, pemilik Monalita, melalui video yang diunggah di YouTube. Sejak tahun lalu, ia sudah terdaftar sebagai peserta menjahit dengan cita-cita mendirikan butik. Menurut dia, teknik paling sulit adalah teknik rumbai atau bisel. “Itu susah banget,” kata Siti sambil merampungkan desain kebaya. Soal biaya yang harus dikeluarkan hingga Rp 29 juta, hal itu tak jadi persoalan baginya. Sebab, kata dia, menjahit adalah menyalurkan hobinya. Di Jakarta, Siti pun rela indekost dan dua pekan sekali dikunjungi suaminya dari Singapura. Ke depan ia pun merasa siap untuk bersaing dengan para desainer busana muslim. Apalagi sejak tiga tahun lalu, ia mengaku sering membuat baju muslim berupa gamis. “Tapi, masih malu untuk bilang kalau baju itu saya jahit sendiri,” ujarnya. O DENISA TRISTIANTY
HARIAN NASIONAL | BAYU INDRA KAHURIPAN
M
PEREMPUAN & DUNIA MENJAHIT