Haluan 06 Feb 2011

Page 2

2

Laporan Utama

MINGGU, 6 FEBRUARI 2011 M / 3 RABIUL AWAL 1432 H

Lagu Pop Minang Kehilangan Identitas Kultural

Lagu pop Minang belakangan marak dengan ganre rap. Kadang, dalam satu lagu menggunakan tiga bahasa. Syairnya sangat instan. Kekuatan teks lagu-lagu Minang berupa pesan, nilai-nilai moral dan sosial, sudah sulit ditemukan. Namun, kalangan seniman musik menilai, hal itu sebuah proses dan kreativitas. Identitas Minang masih kuat. Benarkah? Alah tasabuik sajak dulunyo di ranah Minang ko//Maling Kundang anak durhako// Suko malawan ka mandehnya//Jan kito lawan orang tuo/nanti kito dikutuak jadi batu//It is right…It is true … It is wrong… Came on…//Jangan kita melawan// Legenada lama ini pasti adanya//ranah Minang banyak mistiknya ya… Mungkin Anda pernah mendengar lagu itu saat Anda menumpang bis kota, angkutan kota, atau mungkin dari speaker toko kaset, atau dari koleksi Anda? Lagu berjudul “Maling Kundang” dengan memakai tiga bahasa (Minang, Inggris, dan Indonesia) yang didendangkan “rapper” Tomy Bollin dengan irama rap. Dalam situs You Tube, semenjak diposting setahun lalu, tercatat sudah dilihat hampir 2650 user. Tapi

belum ada data berapa keping CD yang terjual secara komersil. Ada lagi penyanyi pop Minang lainnya bernama Buset dengan lagu Dewi yang syairnya seperti ini: Dewi… I cant stop /aku tak pernah berhenti mencintaimu/ooo diak kanduang/Dewi….No smoking/ SPBU beko tapanggang… Lagu ciptaan Budi Setiawan yang diroduksi Planet Record telah dilihay user di YouTube sebanyak 37.667. Itu hanya contoh lagu-lagu Minang yang kini menjadi “fenomena”. Beberapa kalangan yang mengaku mencintai lagu Minang, menilai, fenomena lagu pop Minang dengan berbagai ganre dan sangat instan itu, sebagai representasi kebudayaan Minangkabau hari ini. Lagu Minang telah kehilangan

identitasnya, demikian juga dengan budayanya. Iro dan filosofi, nilainilai kehidupan, serta pesan-pesan moral yang selama ini menjadi kekuatan teks syair lagu Minang sudah sulit dijumpai. Kondisi demikian, sudah terasa 20 tahun terakhir. Andranova, 50 tahun, salah seorang penggemar dan pencinta lagu Minang, mengaku prihatin dengan isi syair-syair lagu Minang yang kini banyak beredar di pasaran. “Saya sebagai orang Minang sangat sedih. Lagu-lagu Minang sekarang ini tak jelas akarnya. Terkesan asal bunyi. Kekuatan syair lagu Minang itu terletak pada nilai dan pesan, serta pantunnya. Kini hal itu telah terkikia. Lagu Minang sekarang telah kehilangan identitas kulturalnya” kata Andranova, Sabtu (5/1) dijumpai Haluan di Taman Budaya Sumatera Barat. Udin Tralala Miazuddin Sutan Marajo, orang Minang dari Agam, juga mengaku sedih mendengar lagu-lagu Minang yang banyak beredar di pasaran sekarang ini. “Nan ambo iyo

sadiah, baa kaindak, nan banyak kini

AGUS TAHER, SENIMAN MUSIK

Antara Kreasi dan Hujatan

AGUS TAHER

Lagu Pop Minang yang ada di pasaran saat ini terkesan asal jadi. Apa komentar Anda? Pendapat itu terlalu instan. Apa yang dilakukan produser Minang Record, Tanama Record, Pitunang Record, Sinar Padang, Nada Musik Record, dan Sentral Musik, saya kira sudah sangat profesional, mulai dari memilih lagu, arranger, dan penyanyi. Studio mereka sudah dilengkapi dengan peralatan canggih, menggunakan sound effect macam-macam. Studio Minang Record dan Tanama Record termasuk yang terbaik di Sumatera. Bahkan, produser Kelas Manang Record, yang digawangi pak guru Ridwan Idma, seringkali mengulang mixing dan/mastering ke Jakarta, untuk mencapai kualitas prima. Instan, bila dimaknai lebih cepat prosesnya dari dulu, mungkin ya. Dulu orang rekaman sistem manual, apabila penyanyi bikin kesalahan, atau pemain gitar, pemain talempong salah, terpaksa diulang rekaman dari awal. Sekarang serba canggih, serba cepat. Kemampuan SDM kita terhadap teknologi rekaman juga sudah makin baik, hasil juga Ok. Kalau asal jadi dan serba instan, nggak mungkin lagu “SMS”-nya Minang Record bisa menerima penghargaan tingkat nasional. Namun demikian, lagu-lagu yang terkesan asal jadi itu, juga diterima masyarakat. Apakah memang demikian tingkat

Terbit Sejak 1948 Pendiri H. Kasoema

Penerbit: PT Haluan Sumbar Mandiri (Haluan Media Group). SIUPP No 014.SK.Menpen.SIUPP A.7 1985 tanggal 19 November 1985.

apresiasi masyarakat? Mungkin ya, mungkin tidak. Konsumen musik Minang sangat kritis. Mereka tidak terpengaruh oleh nama besar penyanyi, pencipta, atau produser. Kalau ndak bagus, ya nggak dibeli. Album beromset tinggi adalah album yang terkemas baik, seperti album “SMS” (Ria Amelia, Minang Record), “Marantau” (Ades Sadewa, Nada Musik), “Katiko Cinto Mangalah” (Febian dan Rilakan Nan Tamakan-Ody Malik), “Ayam Panaik Nan Lah Hilang” (Elda, Produksi Pitunang Record). Dilain pihak, ada fenomena spesial konsumen musik. Sebagian mereka bosan kemapanan. Album-album yang tampil beda, baik dari sisi kekhasan penyanyi, lagu, musik, dan tema, sering memiliki nilai jual yang tinggi. Fenomena ini yang muncul dengan kehadiran Buset. Tema yang diusung Buset, melodi lagu, jenis musik, cara Buset bernyanyi, apalagi kemasan visual dalam penyiapan VCD Buset, lain dari yang lain. Saya menilai Buset ini malah sangat cerdas, nylimet, dan inovatif dalam mengemas albumnya sesuai dengan potensi dan karakter vokalnya. Fenomena pasar seperti ini, juga terjadi didunia Barat. Meskipun kita sepakat bahwa lagu-lagu Elvys Presley, Tom Jones, Stevy Wonder, Mariah Carey lebih menyentuh dan indah, tetapi penggemar lagulagu Rap juga bejibun. Kekuatan lagu-lagu Minang itu pada syair dan nilai-nilai sosial dan masyarakat, hal demikian itu tak terlihat lagi pada saat sekarang? Mohon maaf kalau saya terpaksa mengambil perbandingan, antara lagu nostalgia dengan lagu-lagu generasi baru. Secara sederhana kita ambil saja nilai puitis atau kedalaman makna dari judul lagu. Judul lagu generasi baru, seperti “Sapayuang Bajauh Hati”, “Takicuah di Nan Tarang”, “Pintak ka Payuang” Kuniang”, “Rinai Pambasuah Luko”, “Dimimpi Datang Juo”, “Pasan Alang Babega” apakah terlalu

“miskin nilai” dibandingkan lagu nostalgia yang top-top, seperti “Ayam Den Lapeh”, “Laruik Sanjo”, “Kumbang Cari”, dan “Sayang Tak Sudah”. Kalau pengin tahu juga kandungan nilai dan pesan lagu, mungkin ada baiknya menyimak lagu “Selamat Pagi Minangkabau” (Febian) dan “Selamat Jalan Buya Hamka” (Ody Malik). Apakah hal ini sebagai tuntutan dari pasar atau produser atau memang penyanyi/ pencipta itu sendiri? Produser dan seniman biasanya tidak pernah bisa menciptakan pasar. Malah mereka secara intens mencermati perkembangan pasar. Misalnya, saat ini lagu-lagu bermotif klasik, terutama Dendang Darek lagi ngtrend. Saat ini, hampir sebagian besar produser dan seniman berpacu menggali peluang ini. Begitu juga, trend lagu-lagu lawak juga sedang bagus. Itu sebabnya, penyanyi Buset, Mak Itam, Lepoh, Lepai, Faisal dan Sil berpacu pula meraih popularitas. Sayangnya, para pengamat lebih mengkritisi yang lawak-lawak ini, komentar bagus tak pernah muncul dari apa yang dikerjakan Sexry Budiman, Alkawi, Alextris, Ades Sadewa dan lainnya.

Apakah dengan maraknya lagu-lagu Minang yang serba instan itu, sebagai indikator merosotnya nilai-nilai kebudayaan Minang secara umum? Sekali lagi, saya kurang sepakat dengan istilah “serba instan” kalau diterjemahkan sebagai kecepatan sebuah proses produksi rekaman melalui bantuan teknologi. Saya juga kurang sependapat apabila pendapat serba instan ini dimaknai sebagai merosotnya kualitas seluruh buah karya seniman Minang. Mengukur produk masa lalu dengan selera konsumen sekarang yang sangat dinamis, yang dipotret dan dijadikan rujukan seniman masa kini dalam berkarya, agaknya tidak tepat. Soal kebudayaan, sesuai dengan falsafah “Alam Takambang

Menjadi Guru”, yang berarti perubahan __tidak ada yang abadi, ya memang begitu. Bahkan, potensi perubahan budaya itu lebih cepat bagi etnik Minangkabau. Ini topik diskusi lain lagi. Disamping itu, perlu diingat bahwa biasanya seniman terbiasa dan selalu berupaya untuk bisa tampil beda, tidak menjadi epigon seniman pendahulunya, sehingga warna karyanya sedikit agak beda dari yang lama. Apa upaya yang mesti dilakukan agar syair-syair lagu Minang kembali kepada jatidirinya lagi? Saya punya gagasan, perlunya kita menyelenggarakan “Gubernur Award” yakni iven Festifal Lomba Cipta Lagu Minang bernafaskan iro dan motif lagu sub etnik Minang. Misal, tahun 2011, dilaksanakan Lomba Cipta Lagu Minang bernapaskan gamad, tahun 2012 ber-iro Indang Piaman, 2013 bermotif Dendang Pauah, 2014 bercorak Dendang, Darek, 2015 bermotif Rabab Pasisia, dan seterusnya, seperti bermotif Sampelong, Dendang Palayaran, Indang Solok, Gambus, atau lomba cipta Lagu Minang bernafaskan Islam. Festifal di-set dalam waktu yang cukup panjang, misal 6 bulan, semua seniman tanpa batas umur dan domisili bisa ikut. Pemenang diberi Tropy “Gubernur Award”, ditambah dengan hadiah uang yang aktraktif, dimana penyelenggaraannya bekerjasama dengan unsur Pemda, seniman, produser, dan media massa dan elektronik. Menurut saya, ajang inilah, yang akan mampu memperkuat upaya penggalian seni budaya leluhur Minang, sehingga Sumbar sebagai pusat industri musik terbesar diluar Jawa etap eksis dan makin berkembang. Artinya, seniman didorong oleh Pemda untuk makin menekuni nilai-nilai tradisi. Inipun berarti, bahwa Pemda ikut berpartisipasi dalam berkesenian yang berkebudayaan. Pewawancara Nasrul Azwar

lagu babahaso Minang, samantaro nan sabana lagu Minang lari ka suduik kampuang, tamasuak ka suduik meja karajo ambo,” kata Miazuddin dalam komentarnya di Facebook. F Malin Sutan, yang kini sedang menempuh S3 di Universitas Udayana Bali, menilai, apa yang dilakukan para penyanyi Minang sesuatu yang sangat kreatif. Dia mengaku penggemar Buset. “Ambo suko jo Buset.” Endut Ahadiat, pengajar di UBH, mengatakan, syair-syairnya yang kurang dan tak tepat. Asal jadi saja. “Sabab bilo mandanga lagu Minang kini, syairnyo asa kanai se lay. Jadi indak seperti lagu Teluk Bayur, Bareh Solok, dan Sinar Riau. Mudah-mudahan untuk ke depan pencipta lagu bisa memilih kata-kata yang bagus dan penuk makna. “Mestinya pencipta lagu Minang bisa belajar dari pantun dan kaba-kaba yang demikian banyak di Minang ini,” terang Endut Ahadiat. Sementara Donny Syofyan, pengajar Fakaltas Sastra Unand menjelaskan, penyanyi Buset dan Tomy Bollin mampu me-

rebut hati anak-anak muda Minang yang selama ini alergi dengan musik Minang. “Apalagi rang di rantau. Ini lantaran mereka kreatif, keluar dari pakem dan kali aja mewakili semangat postmo... Persoalan syair mudah-mudahan suatu saat mereka akan mencapai titik keseimbangan,” nilainya. Lagu Minang Punya Penggemar Menurut Ferry Zein, seniman, produser dan pencipta lagu Minang menilai, lagu Minang punya penggemar karena beberapa hal, pertama berbahasa Minang, ritme dan melodi lagu diatonis yang sudah familiar di telinga orang Minang, isi dan makna dari syairnya pun berkisar tentang cerita kehidupan masyarakat. “Secara menyeluruh lagu Minang mudah dimengerti dan dipahami sera bermanfaat bagi pendengarnya sebagai obat pelipurlara, hiburan, fanatisme kedaerahan, dan lain sebagainya,” kata Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Sumatera Barat ini. Penyanyi Minang sekarang tidak hanya Buset, Mak Itam, Lepoh…Itu hanya sebahagian kecil. Memang lagu Minang sekarang banyak ragamnya sesuia dengan kreasi seniman itu sendiri dan tuntutan pasar yang bersifat komersil. “Di sudut lain banyak lagu Minang bermutu seperti ciptaan Agus Taher, Zul Azham, B Adoeska, Rhian D Kincai, Edi Jamair, Pen Panyalai, RE Odong, dan banyak lagi yang lainnya. “Lagu Minang berkembang sesuai dengan tuntutan zaman.” Namun demikian, lagu-lagu yang terkesan asal jadi itu, yang juga diterima masyarakat, menurut Ferry Zein, bersifat temporer. “Mereka juga cepat bosan dan mencari album baru berikutnya yang mereka anggap bisa menjadi hiburan di tengahtengah kehidupan ini. Masyarakat memang berubah tidak seperti dulu lagi.” Apakah kehadiran lagu-lagu Minang itu disebabkan kondisi pasar musik memang sudah jatuh? Menurut Ferry Zein, tidak ada hubungannya antara pasar dan lagu Minang. “Kami terus mencipta, berkarya, namun tidak kami pasarkan karena tidak ada produser yang berminat menge-

darkannya karena menurut mereka tidak komersil. Jadi sebenarnya selera masyarakatlah yang menentukan jenis lagu Minang apa yang laku di pasaran,” terangnya. Bahwa syair dan lagu Minang sekarang ini telah kehilangan identitas dan jati dirinya, menurut Agus Taher, pencipta lagu Minang, agaknya pendapat tersebut berlebihan, kurang analitis dan terlalu mengeneralisir. Kalau disimak karya cipta Sexry Budiman, Zul Azham, Nedy Gampo, Wan Parau, Devy Ardi, agaknya iro, filosofi dan identiti Minang tersebut sudah sangat jelas kelihatan. Bahkan pencipta pendatang baru Ades Sadewa dengan lagu “Marantau” dan “Tangih Anak Suayan” begitu kental iro dendang dareknya. “Coba simak karya terbaru Alextris Chaniago yang berjudul “Ratok Lambok Malam”. Menurut saya Alextris merupakan pencipta pertama yang berhasil mengangkat iro dendang Pauah ke dalam sebuah karya pop. Juga, kehadiran penyanyi sekaligus pencipta Alkawi yang hadir dengan lagu bercorak klasik, baik darek, rabab, dan indang. Apakah itu bukan sebuah karya berbasis identiti tradisi Minang? Bila kita mau jujur, agaknya kekentalan unsur klasik dalam lagu Minang lebih terasa dalam karya seniman sekarang. Sebenarnya saya mau membahasnya lebih jauh, tetapi sebagai pelaku musik era sekarang, tak enak rasanya membandingkan karya cipta era Gumarang/Kumbang Cari yang sering dijadikan standar dengan era seniman 2 dekade terakhir ini,” kata Agus Taher. Kemudian, pada prinsipnya kita hanya mengenal 2 tema utama lagu, yakni ratok dan garah. Asbon pun membuat lagu garah, seperti “Upiak Jariang dan “Nan Bagala” begitu juga Nuskan Syarif dalam lagu “Bahondoh Pondoh” atau “Ginyang Mak Taci,” sama dengan yang dilakukan Buset dan kawan-kawan. “Soalnya Buset dan Lepoh lebih “bagak” garahnya. Itu hanya karena mereka merupakan seniman spesialis lagu garah, dan zaman pun sudah berubah,” tambah Agus. Ketika ditanyakan apakah kehadiran lagu-lagu Minang itu disebabkan kondisi pasar musik yang memang sudah jatuh Agus Taher membantah statement ini. (h/naz)

Pemimpin Umum: H. Basrizal Koto. Konsultan Pengembangan Media: H. Hasril Chaniago, Pemimpin Redaksi: Zul Effendi, Pemimpin Perusahaan: Irfan Jasri, Dewan Redaksi: H. Basrizal Koto, H. Hasril Chaniago, H. Desfandri Madjid, Zul Effendi, H. Fachrul Rasyid, H.F., Eko Yanche Edrie, Irfan Jasri, Ismet Fanani M.D. Tim Kerja Redaksi: Eko Yanche Edrie (Koordinator), Ismet Fanany MD, Nasrul Azwar, Atviarni, Dodi Nurja, Syamsu Rizal, Afrianita, Gusni Yenti Putri, David Ramadian, Nova Anggraini, Aci Indrawadi, Perdana Putra, Ahmad Kharisma, Rahmatul Akbar, Gustedria, Reporter: Andika Destika Khagen, Ade Budi Kurniati, Suswinda Ningsih, Mice Angelasari, Rudi Antono, Haswandi, Koresponden: Syamsuardi S, Jon Indra, Ridwan (Bukittinggi), Dedi Salim (Pariaman), Zulkifli, Syafril Nita (Payakumbuh), Atos Indria (Lubuk Sikaping), Miazuddin, Kasra Scorpi (Lubuk Basung), Iwan DN, Darwin Danin (Padang Panjang), Yuldaveri, Emrizal (Batusangkar), M.Junir, Gusmizar (Pasaman Barat), Sabrul Bayang, M.Joni, Haridman (Painan), Syamsuardi Hasan, Riswan Jaya, Alfian, Almito (Solok), Marnus Chaniago (Solok Selatan), Alamsyah Halim, Fadilla Jusman (Sawahlunto), Azneldi (Sijunjung), Maryadi (Dharmasraya), Biro Jakarta: Syafruddin Al (Koordinator), Syafril Amir, Jamalis Jamin, Surya, Biro Riau: Hasan Basril Biro Kepri: Yon Erizon Tim Kerja Usaha: Isbadri Bakri (Koordinator Sirkulasi), Alfarino Ikhsan (Koordinator Promosi), Koordinator Pracetak: Andri Idra. Alamat Redaksi/Bisnis: Komplek Bandara Tabing, Jl Hamka Padang. Telp. (0751)4488700, 4488701, 4488702, 4488703, Fax (0751) 4488704 Email: redaksi_haluan@yahoo.com, website: http/harianhaluan.com, Kantor Jakarta: Basko Group, Jalan H.R. Rasuna Said Kav. H1-2 Kuningan, Jakarta 12920, telp.: 021-5250868, faks: 021-5273310, Harga Langganan/iklan: Harga langganan bulanan dalam kota Padang Rp57.000, Harga eceran Rp2.500,- Tarif iklan: FC: Rp25.000/mm kolom, Produk BW: Rp 10.000/mmkolom, Spot Colour: Rp20.000/mmkolom, Display: Rp 10.000/mmkolom, Sosial BW: Rp 8.000/mmkolom, Sosial FC: Rp 15.000/mmkolom, Iklan Mini(Max 1kolom X50mm) Rp 100.000/1 kali muat, Iklan Baris: Rp 10.000/ baris Bank: BRI Cabang Padang Rek No: 0058-01-001430-30-8, PT Haluan Sumbar Mandiri Dicetak oleh Unit Percetakan PT Haluan Sumbar Mandiri Padang. Klik http://www.harianhaluan.com


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.
Haluan 06 Feb 2011 by Harian Haluan - Issuu