Jambi Ekspres | Rabu, 18 November 2009

Page 11

Jambi Ekspres

Jawa Pos National Network (JPNN)

Lolos------------------------------------------------------------------------------Sambungan Dari Hal 1

Logikanya, jika di kandang Irlandia saja Les Bleus bisa menang, apalagi tampil di kandang. Memang, Prancis kurang akur dengan pendukungnya. Kala bermain home, fans mereka terlampau kritis dengan lebih kerap mencemooh tim asuhan Raymond Domenech dibandingkan memberi dukungan. Itu sangat kentara saat Prancis dipermalukan Nigeria dalam uji coba 2 Juni lalu. Tapi, para punggawa Prancis yakin para fans bakal bersikap dewasa dini hari nanti. Artinya, dukungan penuh seharusnya dikumandangkan kepada Thierry Henry dkk sepanjang pertandingan. “Tentu saja, kami harus mengimbanginya dengan memberikan penampilan yang terbaik. Saya belum tahu apakah kami akan bermain agresif atau datar-datar saja. Tapi, kami idealnya harus meraih kembali kemenangan,”terang Nicolas Anelka, penyerang Prancis, sebagaimana dilansir AFP. Anelka merupakan pencetak gol kemenangan Prancis di Dublin. Tidak menutup kemungkinan, striker 30 tahun Chelsea itu kembali membobol gawang Irlandia. “Saya akan

sangat berbahagia apabila menyumbangkan gol demi gol bagi Prancis. Tapi, lebih berbahagia lagi apabila Prancis lolos ke Piala Dunia,”jelas pemain dengan 62 caps dan 14 gol tersebut. Ya, Piala Dunia merupakan even yang belum pernah dicicipi mantan striker Arsenal dan Real Madrid itu. Ketika Prancis menjuarai Piala Dunia 1998, Anelka masih terbilang pemain debutan sehingga belum masuk skuad. Pada edisi 2002, Prancis gagal lolos ke Piala Dunia, sedangkan edisi 2006 tak lebih baik. Anelka kalah bersaing dengan Sidney Govou sebagai pengganti Djibril Cisse yang cedera. Berkaitan dengan cedera, Prancis bakal tampil tanpa defender Eric Abidal serta duo gelandang bertahan Jeremy Toulalan dan Abou Diaby. Absennya Toulalan dan Diaby tidak terlalu merisaukan mengingat dua pemain tidak main di leg pertama. Berbeda dengan Abidal. Minus punggawa FC Barcelona itu, Domenech masih menimbang antara Sebastien Squillaci atau Julien Escude sebagai pendamping William Gallas.

Baik Squillaci maupun Escude sama-sama membela Sevilla. “Dua pemain sama-sama bagus dan cukup berpengalaman,”ucap Domenech di France Football. Absennya Abidal menjadi kabar bagus bagi Irlandia yang datang dengan skuad komplet. Pelatih Giovanni Trapattoni yakin The Boys in Green -julukan Irlandia- tidak akan kesulitan meraih gol di Stade de France. Di mata Trapattoni, pertahanan Prancis disebutnya tidak terlalu istimewa terlepas main atau tidaknya Abidal. “Prancis bukan tim yang tidak bisa kebobolan. Sekalipun mencetak 18 gol selama kualifikasi, gawang mereka kebobolan sembilan gol. Kami yakin bakal lebih baik dalam mengeksploitasi pertahanan Prancis,”ulas mantan pelatih Italia periode 20002004 itu di Sportinglife. Tapi, Trapattoni mungkin lupa dengan statistik timnya sendiri. Agregat gol Irlandia di kualifikasi tidak lebih baik daripada Prancis bahkan lebih buruk. Sekalipun tidak terkalahkan, Robbie Keane dkk hanya mengemas 12 gol dan kemasukan delapan gol. Di laga away, Irlandia juga hanya menang tipis lawan tim-tim gurem macam Georgia dan Siprus. (dns)

Dua---------------------------------------------------------------------------------Sambungan Dari Hal 1

Memang yang berhak mengatur perdagangan gas adalah pemerintah. Mestinya pemerintah bisa mengaturnya lebih baik. Tapi, saya masih belum tahu siapa yang disebut pemerintah itu. Yang jelas, pemilikpemilik ladang gas adalah perusahaan swasta. Asing maupun domestik. Para pemilik ladang gas tentu ingin menjual gasnya dengan harga terbaik. Sebab, investasi untuk menemukan ladang gas tidak sedikit. Maka, PLN harus bersaing dengan pembeli-pembeli lain: pedagang luar negeri maupun pedagang dalam negeri seperti Perusahaan Gas Negara (PGN). Keinginan lain para pemilik ladang gas adalah ini: pembeli harus mengambil semua gas yang dihasilkan suatu sumur, berapa pun jumlahnya. Di sini PLN ditakdirkan kurang bisa fleksibel. Sebuah pembangkit listrik tentu sudah didesain memerlukan gas sekian MMBTU (Million Metric British Thermal Unit). Sedangkan produksi sebuah sumur gas kadang kurang dari kebutuhan itu dan kadang sedikit kelebihan. Dalam hal produksi sebuah sumur gas kelebihan, katakanlah 15 persen, dari kebutuhan sebuah pembangkit listrik, dilema muncul: dibeli semua PLN rugi, tidak dibeli semua pemilik sumur gas rugi. Maka, mestinya, tidak ada

jalan lain kecuali ada kerja sama yang sangat khusus antara PLN dan PGN. Kalau PLN mendapatkan sumur gas yang produksinya kelebihan, kelebihan itu bisa disalurkan ke PGN. Sebaliknya, kalau produksi sebuah sumur gas kurang dari jumlah yang diinginkan PLN, PGN yang harus menambah. Sampai sekarang kerja sama seperti itu rasanya belum ada. Egoisme setiap perusahaan masih sangat menonjol. Padahal, dua-duanya milik pemerintah. Memang itu saja belum cukup. PGN adalah juga sebuah perusahaan yang harus berlaba. Apalagi, sekarang sudah menjadi perusahaan publik. PGN sendiri kekurangan gas untuk melayani pelanggannya. Baik pelanggan rumahan dan terutama pelanggan industri. Maka, terjadilah persaingan ketat antara PLN dan PGN sebagai sama-sama pembeli gas dari ladang migas. Persaingan ini yang sampai sekarang belum mendapatkan jalan keluar. Tentu ada yang berdoa agar kedua perusahaan itu jangan cepat-cepat rukun. Para pedagang solar (di dalam maupun di luar negeri) yang setiap tahun mengeruk uang PLN sampai Rp 80 triliun akan kehilangan bisnis yang mengilap dari pedagangan solar. Bahwa itu membuat PLN dan pemerintah sulit, yang kurang pintar kan PLN dan pemerintah

rabu, 18 november 2009

HALAMAN SAMBUNGAN

sendiri. Tentu ide yang paling realistis adalah membangun LNGgasifikasi terminal. PLN atau investor yang bekerja sama dengan PLN diminta membangun terminal LNG-gasifikasi. PLN atau investor bisa membeli LNG (Liquefied Natural Gas atau gas alam cair) dari mana saja dalam jumlah yang pas untuk kepentingan PLN. Bisa dari Tangguh di Papua, bisa dari Senoro di Luwuk (Sulteng) bisa juga dari Qatar atau Iran. Atau dari tempat lainnya. LNG itulah yang kemudian diubah menjadi gas di sebuah terminal LNG-gasifikasi. Terminal ini bisa dibangun di sekitar Cilegon. Bahkan, sudah pula ada teknolgi baru: terminalnya dibuat terapung di lepas pantai Jakarta. Agar dekat dengan “PLTG salah makan” yang sekarang membuat masalah itu. Saya tidak melihat jalan lain. Hanya dua itulah jalan keluarnya: kerja sama yang baik dengan PGN atau membangun terminal LNG-gasifikasi. Yang pertama harus difasilitasi pemerintah dan yang kedua harus difasilitasi pemerintah. Memang masih ada jalan lain. Tapi, terlalu radikal. Lelang saja PLTG-PLTG itu! Daripada bikin penyakit yang mengisap darah keuangan pemerintah. Hasil lelang barang bekas itu untuk dibelikan PLTU bekas yang direkondisi seperti baru. Jalan “gila” itu bisa menyelamatkan uang negara setidaktidaknya Rp 10 triliun/setahun. Baca: 10.000.000.000.000/setahun. Kalau saja di swasta dan saya yang menjadi pemiliknya, saya akan lakukan yang terakhir ini. Masih ada penghematan lain yang juga triliunan rupiah. Tapi, dua seri tulisan ini saja sudah bisa menggambarkan mengapa PLN mengalami kesulitan selama ini. Dan mengapa sulit pula dipecahkan. (*)

11

Bangun---------------------------------------------------------------------------------------------------------Sambungan Dari Hal 1

Tak hanya tahan gempa, tapi juga sebagai rescue center ketika terjadi bencana. Untuk itu, Jawa Pos bekerja sama dengan konsultan JICA, Joshie ‘’Arenco’’ Halim, Institut Teknologi 10 Nopember (ITS) Surabaya, Universitas Andalas (Unand) Padang, dan harian Padang Ekspres Group (Jawa Pos Group). Ini bukan kali pertama saya ke Gunung Tigo yang hancur di beberapa titik karena gempa tektonik. Sebagaimana diketahui, ketika terjadi gempa tektonik berkekuatan 7,9 skala Richter pada 30 September lalu, beberapa titik di kawasan perbukitan yang penduduknya lumayan padat itu mengalami longsor berat. Ratusan orang tewas terkubur hidup-hidup oleh bukit yang longsor. Tak seperti di Padang, tak banyak korban di Gunung Tigo dan sekitarnya yang bisa diselamatkan. Bahkan, yang di Tandikek, tak seorang pun bisa diselamatkan, sehingga daerah itu pun dinyatakan sebagai kuburan masal dengan jumlah korban tewas sekitar 300 orang. Kali pertama saya ke Gunung Tigo justru bersama Bupati Padang Pariaman Drs H Muslim Kasim Ak MM dan tim medis RS Petrokimia Gresik yang dipimpin langsung oleh dr Singgih pada hari ketujuh pascagempa. Baru kali itu saya mengunjungi daerah bencana bersama pejabat pemerintah. Jujur, saya terkesan oleh cara bupati yang pernah bertugas di Dolog Jatim selama 10 tahun (1984-1994) dengan jabatan terakhir Waka Dolog Jatim itu mendatangi para korban. Dia datang ke lokasi tanpa protokoler. Juga, tak ada tim pendahulu yang ‘’mengamankan’’ lokasi. Dia menemui langsung para korban yang selamat. Kepada mereka, sarjana akuntansi lulusan Unpad Bandung tersebut tak hanya bertanya. Tapi, memberikan langsung apa yang dibutuhkan para korban. Sebab, dia membawa serta sebuah mobil boks berisi bantuan bagi para korban. Mulai natura sampai susu bayi, pakaian layak pakai, dan tenda darurat yang sederhana. Pada saat yang sama, dia juga memberikan sendiri uang lauk-pauk kepada para korban. Cara memberikannya pun unik. Yakni, meminta mereka yang belum mendapatkan bantuan pemerintah itu untuk berkumpul, kemudian menyerahkan layaknya seorang bapak yang memberikan uang saku kepada anak-anaknya yang akan berangkat sekolah. Sementara Pak Bupati sibuk dengan urusannya, saya memisahkan diri bersama dr Singgih dan tim medisnya. Di lokasi yang sama, yakni di Korong (semacam dusun) Patamuan, kami bertemu seorang ibu yang bayinya sudah berhari-hari demam. Karena kebetulan sedang bersama tim medis, bayi itu pun langsung ditangani. Tapi, karena ketika itu mereka belum punya posko, penanganan dilakukan secara darurat di teras sebuah rumah yang kebetulan masih utuh. Untuk gempa di Sumatera Barat ini, Petrokimia Gresik tidak hanya mengirimkan tim medis yang berjumlah 10 orang, tapi juga puluhan dus besar obatobatan, belasan ton beras, bahan makanan lain, selimut, serta tenda. Bantuan itu diangkut KRI

Teluk Mandar bersama sumbangan pembaca Jawa Pos lainnya. Di antaranya, 50 tabung (isi) elpiji 12 kg dari PT Pertamina dan 100 kompor gas PT Energi Multitech Indonesia. Ketika pagi itu rombongan kami tiba, warga di kawasan tersebut belum mendapat bantuan apa pun. Baru siangnya bantuan dan relawan lain yang membawa bantuan medis, tenda, serta keperluan lain datang berduyun-duyun. Kalaupun sebelumnya banyak relawan yang datang, konsentrasi mereka bukan membantu yang hidup, tapi berusaha menyelamatkan yang tertimbun longsoran bukit Gunung Tigo. Sayang, yang berhasil dievakuasi umumnya para korban yang sudah menjadi jenazah. Memang rada mustahil untuk bisa bertahan hidup di bawah timbunan tanah bukit yang longsor seperti itu. Beberapa hari lalu, saya kembali ke Kampung Patamuan. Bukit Padang Alai yang longsor tersebut masih belum banyak berubah. Kalaupun ada yang berbeda, lokasi itu sudah bersih. Tak ada lagi tanah longsoran dan batang-batang pohon kelapa yang berserakan. Jalan di situ juga sudah cukup lebar dan cukup keras untuk dilalui mobil. Ketika saya ke sana pada hari ke tujuh itu, jalan tersebut cuma jalan setapak yang hanya cukup untuk dua orang. Jika tidak hatihati jalannya, akan tergelincir masuk ke jurang yang menganga lebar di sampingnya. Ketika saya kembali ke situ akhir pekan lalu, jurang tersebut masih menganga selebar dan sedalam yang dulu. Rumah bercat tembok pink yang terasnya pernah digunakan dr Irfan dari tim medis RS Petrokimia Gresik mengobati bayi yang demam tersebut masih di sana. Tegak berdiri seperti sebelumnya dan bersih. Ketika saya tiba di situ, di ruang tamunya hanya ada dua pria muda yang sedang bersantai. Saya yang ketika itu didampingi Iyut, reporter cantik dari Padangtv (Grup JTV-Jawa Pos), tak sempat bertanya banyak. Sebab, kami berdua ingin segera sampai ke Koto Tinggi sebelum hari gelap. Kami berdua juga tak sempat bertanya kepada pemilik warung di sebelah rumah itu, ke mana gerangan orang-orang yang pernah kami temui pada hari ketujuh pasca gempa yang lalu. Misalnya, Aroni, 50, yang anak lelakinya, 11 tahun, tewas terkubur longsoran Gunung Padang Alai ketika sedang asyik menonton TV bersama lima temannya. Apriadi baru ditemukan pada hari keenam pascagempa, oleh Aroni yang dibantu tetangga-tetangganya. Saya juga tak sempat bertanya di mana gerangan ibu Umay sekarang tinggal. Wanita beru-

mur 65 tahun tersebut, pada hari ketujuh itu, juga saya temui di teras rumah tersebut. Dia kehilangan 12 anggota keluarganya. Sepuluh orang di antaranya baru ditemukan pada hari keenam itu, bersamaan dengan jasad Apriadi. Mereka juga sudah tak bernyawa saat ditemukan. Yang saya agak heran ketika datang kembali ke situ, rumah di samping rumah pink itu. Di situ dulu saya bertemu Kamal. Seorang lelaki berumur 47 tahun yang sebelum gempa tinggal di Jakarta. Kamal juga kehilangan 12 anggota keluarganya. Delapan orang berhasil ditemukan dalam keadaan hidup. Tapi, karena tak ada akses untuk mendapatkan pertolongan, ‘’Mereka hanya bertahan hidup selama dua hari,’’ tuturnya dengan wajah sedih. Ketika saya datang dulu, rumah tersebut tinggal separo. Tapi, gorden kamar, lemari hias (orang biasa menyebutnya bufet) di ruang tamu berikut isinya, dan televisinya masih utuh. Namun, lemari pintu hias itu sudah tak bisa lagi dibuka karena bagian depannya tertutup reruntuhan tembok dan atap rumah. Di halamannya juga masih berserakan beberapa kantong mayat bantuan Departemen Kesehatan yang berwarna kuning. Saat saya kembali ke situ pekan lalu, sisa rumah itu sudah tak ada. Diganti dengan rumah kayu semipermanen yang dihuni kelapa-kelapa. Di halamannya, seorang bapak setengah baya yang saya lupa namanya sedang sibuk membangun tungku untuk membakar kelapa-kelapa yang sudah kering tersebut. ‘’Kami belum bisa bekerja seperti dulu. Tapi, kalau kelapa yang hanya sedikit ini bisa kami bakar jadi kopra, kan lumayan untuk menyambung hidup,’’ tuturnya dengan wajah penuh optimisme. Dengan berjalan kaki, seperti hari ke tujuh dulu, saya melintasi bukit Padang Alai. Beberapa remaja pria yang berpapasan dengan kami menawarkan mengantar kami dengan sepeda motornya. Saya pikir mereka itu pengemudi ojek, ternyata bukan. Mereka hanya kasihan melihat kami berdua berjalan kaki. Beda dengan hari ketujuh dulu. Beberapa anak muda yang berani mengemudikan motornya di jalan-jalan darurat memanfaatkan kesempatan untuk jadi ojek. Lumayan juga penghasilan mereka karena bisa mencapai Rp 100 ribu per hari. Saya dan Iyut memang sen-

gaja berjalan kaki. Untuk mengenang kembali perjalanan kami pada hari ketujuh dulu, di mana kami harus sangat berhati-hati. Kalau tidak, kaki akan tersandung pohon kelapa atau tiang listrik yang tumbang. Saat itu, yang terancam bukan hanya kaki, tapi juga leher yang bisa tersangkut kabel listrik yang tiangnya telah setengah tumbang. Atau, bisa juga dahi kita terantuk tiangnya yang melintang di tengah jalan. Saat itu, ketika jalan masih sangat darurat, saya dan Iyut sempat juga naik ojek. Namun, tidak jauh karena takut terjungkal. Begitu juga tim dokter dari Petrokimia Gresik. Setelah lelah memikul obat-obatan yang satu dus besar, mereka terpaksa menggunakan ojek. Ketika kami berdua menapak tilas jejak kami sendiri di Padang Alai, langit sedang terik. Tapi, jika dibanding hari ketujuh dulu, teriknya matahari pekan lalu jauh lebih bersahabat. Apalagi, di sepanjang perjalanan sudah banyak warga yang kembali menempati rumahnya yang masih dalam kondisi berantakan. Yang rumahnya tak bisa lagi ditinggali ya tinggal di tenda-tenda yang didirikan di depan atau samping puingpuing rumah mereka. Berbeda dengan dulu, kali ini kami banyak mendapat tawaran mampir dan minum dari warga. Pada hari ketujuh dulu, kami harus berjalan sejauh 18 kilometer (PP) tanpa ada yang menawari minum. Beli pun tak bisa karena juga belum ada yang berjualan. Sebaliknya, ketika itu, kami juga tak bisa memberikan apaapa kepada warga dan anakanak yang jadi korban. Namun, pekan lalu, kami berdua dan Pemimpin Redaksi Pos Metro Padang (Jawa Pos Group) Sukri bisa berbagi roti, makanan kecil, bahkan permen dan permainan puzzle (gambar yang bisa dibongkar pasang). Permen dan puzzle-puzzle itu saya dapat dari Dian, pramugari Garuda rute Jakarta-Padang. Pramugari cantik tersebut juga pernah memberi saya dua bungkus permen saat saya dan dr Singgih dalam penerbangan Surabaya-Jakarta untuk kemudian ke Padang dengan membawa satu tas besar berisi obat bius dan obat-obat injeksi (antibiotik dan anti nyeri). Permen-permen dan mainanmainan itu sangat menghibur anakanak korban gempa di Padang Alai dan Gunung Tigo. (*/iro)


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.