Perjuangan, Luka, dan Harapan : Tuturan Korban dan Penyintas Perdagangan Manusia Asal NTT

Zine Humanity

Tim Penyusun

Judul Perjuangan, Luka dan Harapan: Tuturan Korban dan Penyintas Perdagangan Orang Asal NTT Tim Humanity Agustin S. Zacharias Dominikus Karangora Juandini A. Lapaan Yohanes Ethelbert Editor Martha Bire Desain dan Tata Letak James Faot Manuel Alberto Maia Diterbitkan atas prakarsa generasi muda dalam program Harnessing Understanding Mobilizing Action in Indonesia Through Youth for Conflict Survivors (Humanity for Conflict Survivors), bekerja sama dengan Asia Justice and Rights (AJAR) dan Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIT).

ii

Zine Humanity

Daftar Isi Perjuangan, Luka dan Harapan: Tuturan Korban dan Penyintas Perdagangan Orang Asal NTT

ii

Tim Penyusun

iii iv

Daftar Isi Kata Pengantar

7

Irma Talan Kerja Tiada Henti, Upah Tak Kunjung Diberi, Pulang pun Diusir

12

Yanti Tunbonat Mingrasi Aman Tidak Benar-Benar Aman

17

Johan Nifu Bekerja Keras Demi Upah yang Tak Seberapa

22

Mariance Kabu Luka yang Akan Terus Menganga

28

Bara Keluarga Kami Diejek sebagai ‘Orang Gagal’

34

Proses Partisipatory Action Reseach (PAR)

35

Metode Alur Waktu

36

Metode Batu Bunga

38

Metode Peta Tubuh

40

Metode Foto Bercerita

42

Metode Peta Kampung

44

Metode Sumber Penghidupan

46

Metode Kotak Memori dan Kartu Pos

48

Anak Muda Baomong Perdagangan Orang iii

Zine Humanity

Kata Pengantar

P

erdagangan orang Nusa Tenggara 4,5 tahun ini, 373 PMI meninggal dunia Timur (NTT) bermodus migrasi tenaga di negara penempatan dan di Indonesia. kerja merupakan permasalahan yang Penyebab kematian PMI pada umumnya sangat serius. Pada tahun 2015, Menteri adalah karena menderita berbagai jenis Tenaga Kerja menetapkan NTT sebagai penyakit kronis, bunuh diri, tenggelam Provinsi Darurat Perdagangan Orang di sungai, diterkam buaya, kecelakaan berdasarkan data dari Bareskrim Polri. kerja, dan tidak sedikit juga yang tidak Sementara NTT berada pada urutan ke-9 diketahui sebab kematiannya. pengirim Pekerja Migran Indonesia (PMI) Hal ini menunjukkan bahwa ke luar negeri, namun menempati urutan angkatan kerja asal NTT sangat rentan pertama dalam kasus perdagangan orang. terjebak dan dijebak dalam perdagangan Data Bareskrim ini didukung juga dengan orang dari proses pra penempatan, data dari Komisi V DPRD NTT 2015 bahwa penempatan dan pemulangan. Misalnya dari total angkatan kerja NTT (2.175.171) pemalsuan identitas, dikurung di diperkirakan 200.115 (9,2%) di antaranya penampungan, mengalami penyiksaan bekerja di luar daerah dan luar negeri. (fisik, psikologi dan seksual) dan gaji Diperkirakan sebanyak 50.000 pekerja tidak dibayar sesuai kontrak. Kenyataanterjebak dalam kasus perdagangan orang kenyataan di atas menunjukan bahwa dan 80% korban adalah perempuan dan bekerja sebagai PMI adalah pekerjaan anak. yang rentan terhadap perdagangan orang.

Korban perdagangan orang dan Kenyataan inilah yang mendorong kami perbudakan modern mengalami berbagai sebagai orang muda merasa penting bentuk kekerasan bahkan sampai pada untuk melakukan upaya menyuarakan kematian. Berdasarkan data kompilasi kisah mereka melalui program Humanity.

Aliansi Perdagangan Orang NTT (AMPERA) Program ini bertujuan untuk dan Solidaritas Kemanusiaan Untuk menciptakan ruang berbagi cerita dan Korban Perdagangan Orang Pada Tahun membangun harapan bagi korban 2016-2017 serta data kompilasi JPIT pada dan penyintas sebagai bagian dari tahun 2018-Maret 2020 bahwa selama pemulihan trauma dan menumbuhkan iv

Zine Humanity daya mobilisasi anak muda dalam memahami korban dan penyintas konflik dan kekerasan. Kemudian, kisah dan pengalaman para korban/penyintas didokumentasikan dan dijadikan sebagai bahan kampanye dan sebagai upaya mendorong pemerintah melahirkan kebijakan perlindungan calon PMI mulai dari proses perekrutan, hingga penempatan kerja, dan didukung oleh tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, pemerintah di tingkat desa, serta organisasi pemuda di tingkat desa.

Kebijakan ini diharapkan dapat menekan dan menghapus perdagangan orang berkedok pengiriman tenaga kerja ke luar NTT, ke luar negeri.

Kami melihat bahwa masalah perdagangan orang merupakan masalah pelanggaran HAM berat karena merampas harkat dan martabat korban sebagai manusia yang utuh. Minimnya perlindungan dan pengawasan negara sejak proses perekrutan, penempatan sampai dengan pemulangan PMI asal NTT merupakan sebuah bentuk pembiaran terhadap praktek eksploitasi habis-habisan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini kami bertekad untuk berjalan bersama dan memperjuangkan keadilan bersama para korban/penyintas.

Penelitian ini adalah kerjasama JPIT dan AJAR yang kemudian dilakukan oleh empat orang muda dan seorang penanggung jawab program yang memang peduli terhadap isu kemanusiaan. Aktivitas kami sehari-hari sebagai relawan pada lembaga swadaya masyarakat, komunitas yang berfokus berjuang untuk perlindungan pekerja migran dan penanganan perdagangan

orang. Namun sebelum memulai penelitian ini, AJAR membekali kami dengan pengetahuan dan juga alat bantu untuk memperlancar proses penelitian ini.

Lokasi penelitiannya adalah Kota Kupang dan Kabupaten Kupang. Kota Kupang dipilih karena beberapa korban/ penyintas yang didampingi JPIT berada di Kota Kupang dan untuk Desa Bokong, Kabupaten Kupang dipilih karena desa tersebut dikenal sebagai desa kantong PMI. Penelitian ini melibatkan 17 narasumber, selama tiga bulan (Maret hingga Mei 2019).

Kondisi Desa Bokong dapat mewakili kondisi umum desa-desa di Timor Barat. Meskipun hanya berjarak tidak sampai 10 km dari ibukota provinsi, fasilitas umum yang tidak memadai dan minimnya sumber air bersih menjadi tantangan utama bagi penduduk desa untuk bertahan dan mencari penghidupan di desa. Masyarakat Desa Bokong harus menempuh jarak beberapa kilometer untuk memperoleh air pada musim kemarau yang beberapa tahun ini menjadi lebih panjang, sekitar sembilan bulan dalam setahun. Padahal hidup mereka bergantung pada hasil bertani dan berternak. Kondisi-kondisi sulit seperti inilah yang menjadi alasan mengapa banyak penduduk Desa Bokong memilih untuk bekerja ke luar daerah bahkan ke luar negeri. Kebiasaan bermigrasi kerja ini sudah berlangsung turun temurun, dimulai sekitar awal 90an.

Kami menggunakan tujuh metode penelitian yang juga bertujuan sebagai media pemulihan trauma bagi korban/penyintas yaitu wawancara v

Zine Humanity mendalam, alur waktu, batu-bunga, peta tubuh, foto bercerita, peta kampung, kotak memori dan kartu pos.

Kami berupaya sedapat mungkin agar penelitian tidak menjadikan narasumber sebagai objek namun mereka adalah subjek yang bergerak bersama untuk memperjuangkan hak mereka yang terabaikan. Dalam penelitian ini, kami juga memberikan banyak informasi kepada narasumber terkait modus-modus yang sering dipakai oleh pelaku untuk mencari atau merekrut para pekerja. Walaupun demikian, kami juga mengalami hal yang membuat kami merasa gagal karena beberapa narasumber memilih untuk pergi bekerja lagi dengan pekerjaan yang sama seperti waktu sebelumnya.

Di ujung proses, kami meminta tanggapan mengenai permasalahan perdagangan orang kepada dari beberapa orang muda NTT yang juga bergelut dengan isu-isu kemanusiaan,

yang memberikan pendapat beragam namun menggambarkan sejauh mana kepedulian, kerterlibatan orang muda dalam gerakan pencegahan dan penangangan perdagangan orang.

Pada akhirnya, kami sampaikan ucapan terima kasih kepada 17 korban/penyintas yang telah bersedia membagikan kisah hidup mereka kepada kita semua. Dengan segala kekuatan dan keberanian, mereka telah menuturkan pengalaman kekerasan yang dialami.

Tuturan disertai luka namun penuh harapan. Harapan itu ada pada kita sebagai orang muda yang membaca tulisan ini. Semoga narasi korban/ penyintas tidak saja mendapat tempat di hati kita semua yang membaca namun mampu menggerakan nurani kita untuk bersuara bagi pemenuhan hak PMI dan menolak perdagangan orang dan perbudakan modern dari NTT, dari Indonesia.

Tim Humanity Kupang

vi

Zine Humanity

Irma Talan Kerja Tiada Henti, Upah Tak Kunjung Diberi, Pulang pun Diusir Foto: Jundini A. Lapaan

vii

Zine Humanity

“Harapan saya, hasil kerja saya selama dua tahun itu diberikan kepada saya.

Dengan demikian, saya bisa mengurus diri sendiri dengan uang hasil keringat saya.�

8

Zine Humanity

S

aya Adi Irmawaty Talan, umur 25 tahun, berasal dari Manelaanen, Kabupaten Timur Tengah Selatan. Sejak 25 tahun lalu saya ditinggalkan oleh ayah sementara ibu memilih untuk menikah lagi. Pada tahun 2004, saya tinggal bersama dengan nenek yang adalah ibu angkat saya.

Pada Oktober 2015, sesudah tamat SMA, saya diusir dari rumah nenek karena bertengkar dengan adik tiri dan ia melempar kepala saya dengan batu. Di tengah kekalutan akibat pertengkaran itu, saya berkenalan dengan seorang perempuan bernama Desy yang datang ke kampung dan mengajak saya ke Kupang. Ia menjanjikan sebuah pekerjaan untuk saya di salah satu toko di Kupang.

Setibanya di Kupang kami menginap satu malam di daerah Oesapa. Keesokan harinya, ia membawa saya menuju ke Manutapen dan menyampaikan bahwa di sana sudah ada pekerjaan untuk saya. Sesampainya kami di rumah itu, ibu pemilik rumah menyuruh saya untuk mencuci bajunya.

Lalu saya mandi, makan, dan kemudian tidur. Pada subuh di hari berikutnya, saya dibangunkan dan disuruh bersiap ke bandara El Tari Kupang tanpa membawa satu barang pun, bahkan telepon genggam saya pun disita oleh mereka.

Ketika tiba di Bandara El Tari Kupang, mereka memberikan sebuah KTP milik seseorang yang tidak jadi berangkat

karena sakit bernama Novi. Mereka menyuruh saya memakai KTP itu. Ternyata saya diberangkatkan ke Malaysia bersama dengan lima orang perempuan lainnya.

Jalur yang saya tempuh dalam tiga hari itu sangat panjang dan melelahkan mulai dari Manelaanen, Oesapa, Manutapen, Bandara El Tari, Surabaya, Sia (Medan), dan akhirnya tiba di Johor Malaysia Barat.

Setibanya di Malaysia Barat, saya bekerja terlebih dahulu dengan seorang majikan beretnis Cina selama beberapa bulan. Pada tahun 2016, saya kemudian dihubungi oleh agen perekrut yang menyampaikan bahwa saya akan diwawancarai untuk ditempatkan di tempat kerja yang baru. Sewaktu diwawancarai, mereka tidak menjelaskan kerja seperti apa yang akan saya kerjakan di sana. Informasi yang saya terima hanyalah masa kerja saya selama dua tahun dengan potongan gaji sebanyak RM 400 per bulan selama enam bulan pertama. Setelah wawancara, jam tujuh malam saya langsung dijemput oleh majikan yang baru, namanya Tuan Maren, seorang keturunan India.

9

Zine Humanity

Foto: Juandini A. Lapaan Isterinya bernama Marapan dan mereka Ini bukan berarti bahwa tugas kami sudah memiliki tiga orang anak. Saya dibawa ke selesai tapi masih ada pekerjaan yang rumah Tuan Maren yang beralamat di Sri menunggu untuk diselesaikan sebelum Gombak Fase 1 nomor 30 Selangor, dekat tidur. Kami harus menyapu, mencuci Masjid Anwar. piring, dan membersihkan rumah tuan Ternyata saya dipekerjakan Maren. Jika kami tidak bekerja, maka sebagai tukang bersih-bersih atau istrinya akan memarahi kami. Kami tidak cleaning service yang bisa disewa oleh bisa melawan dan hanya terkurung di pemilik rumah yang membutuhkan jasa rumah sebab Tuan Maren memegang membersihkan rumah. Saya tidak sendiri paspor kami. melainkan ada tiga teman perempuan Kami kurang istrirahat, tidak yang lain bernama Yanti, Yani, dan Maria mendapatkan libur, bahkan tetap bekerja yang dipekerjakan oleh Tuan Maren. pada hari Minggu. Tidur pun hanya Setiap pagi kami berempat diantar oleh beralaskan kasur yang dibentangkan Tuan Maren ke rumah pemesan jasa. langsung di atas lantai. Kami beberapa Kami berangkat jam enam pagi dan kali sakit perut akibat diberi makanan baru selesai bekerja pada jam dua belas yang sudah basi di rumah Tuan Maren. malam. Setelah selesai kerja kami akan Terkadang ada orang yang kami dijemput pulang ke rumah Tuan Maren. bersihkan rumahnya cukup berbaik hati 10

Zine Humanity memberikan kami makanan dan sedikit uang, RM 5 sampai RM 10. Uang itu kami kumpulkan untuk membeli kebutuhan bulanan seperti sabun dan pembalut.

Saya pernah mengalami sakit parah, darah putih terlalu banyak (leukositosis) sampai naik di kepala dan banyak lendir keluar dari mulut saya. Saya masuk rumah sakit sekitar dua sampai tiga kali. Majikan mengatakan bahwa biaya perawatan di rumah sakit dipotong dari gaji saya. Saya katakan tidak apa-apa.

Saya bekerja dari tahun 2016 sampai 2018, tapi Tuan Maren tidak pernah menyerahkan gaji saya.

Beberapa kali saya meminta, namun dia mengatakan kepada saya untuk memberikan nomor rekening agar ia bisa mengirim gaji saya. Saya tidak memiliki nomor rekening, sehingga ia juga tidak pernah mengirim gaji saya. Awalnya ia mengatakan bahwa saya akan digaji sebesar RM 1.000 per bulan, tapi ketika saya menanyakan lagi dia bilang hanya RM 800. Setiap kali saya meminta ia selalu katakan bahwa akan dikirim kalau nanti saya sudah pulang. Sampai saya pulang pun saya tidak menerima gaji yang dijanjikan.

Pada bulan Mei 2018 saya memutuskan untuk pulang ke Kupang karena sakit kepala yang saya derita.

Saya sakit karena bekerja terlalu banyak.

Semua badan saya sakit. Saya juga terkena sakit lambung karena sering makan tidak tepat waktu. Saya sering mengalami flu karena bekerja di tempat yang berdebu. Mata saya sering berair, kaki dan tangan saya juga sakit akibat cairan klorox dan air jeruk nipis yang sering kami pakai untuk membersihkan 11

lantai. Ada seorang saudara yang merasa kasihan dengan keadaan saya.

Ia kemudian mengantarkan saya ke kantor imigrasi. Menurutnya saya sudah sangat kurus dan pucat. Saya kemudian diantar ke bandara dan dipulangkan ke Kupang.

Pulang dengan tidak bawa apa-apa kecuali penyakit di badan. Semuanya saya tinggalkan di rumah majikan, termasuk uang tabungan yang selama ini saya kumpulkan dari pemberian orang.

Setelah sampai di Manelaanen ternyata keadaan di sana juga sudah berubah. Pohon-pohon di kebun sudah banyak dipotong, dan ternak tersisa hanya satu ekor babi. Tidak lama saja saya bersama keluarga, saya memutuskan untuk kembali ke Kupang. Dari kampung saya kembali ke Kupang dan tinggal dengan tante saya di Penfui. Sehari-hari saya membantu tante berjualan sayuran di depan rumah. Biasanya saya diberikan Rp. 10.000,- sampai Rp. 20.000,- yang saya gunakan untuk membeli kebutuhan saya. Saya berencana untuk bekerja lagi sebagai pelayan di warung makan, jika urusan terkait dengan gaji saya di Malaysia sudah selesai.

Saya merasa bahwa keadilan itu tidak ada. Saya kerja sangat keras tapi itu tidak dihargai oleh majikan saya. Majikan memberikan uang milik saya kepada orang lain. Saya belum sembuh dan masih sakit karena banyak pikiran. Saya perempuan, dan kalau tidak ada apa-apa, tidak ada satu orang pun yang datang dan bantu saya kecuali kita berusaha sendiri.

Harapan saya, hasil kerja saya selama dua tahun itu diberikan kepada saya. Dengan demikian, saya bisa mengurus diri sendiri dengan uang hasil keringat saya.

Zine Humanity

Yanti memegang pakianyang diberikan majikan saat akan pulang ke Indonesia

Yanti Tunbonat Migrasi Aman Tidak Benar-Benar Aman!

12

Foto: Juandini A. Lapaan

Zine Humanity

“Harapan saya keluarga dan masyarakat sekitar tidak lagi membicarakan keadaan saya yang pulang tanpa membawa uang. Saya juga masih berharap agar ada jalan untuk mendapatkan gaji saya selama bekerja di Malaysia.�

13

Zine Humanity

S

aya anak bungsu dari tiga orang bersaudara dan saat ini berusia 27 tahun.

Mama saya, Bertha Tunbonat, seorang janda karena bapak sudah meninggal sejak kami masih kecil. Di rumah kami tinggal berlima, termasuk dua orang anak saya yang masih kecil. Saya hanya tamatan SD karena masalah ekonomi tidak menunjang saya untuk melanjutkan dan juga jarak ke SMP terdekat dari desa kami sangat jauh.

Saya pun mencoba mencari pekerjaan di tanah rantau. Bersama seorang teman, saya pergi ke Kupang dengan membawa surat baptis dan ijazah SD. Setelah empat bulan di Kupang, kami mulai melamar menjadi pekerja migran ke sebuah PPTKIS yang terkenal dan memiliki ijin resmi.

Kami mendapatkan pelatihan seperti pelajaran membaca, bahasa asing, dan juga belajar cara membersihkan rumah. Saya ditempatkan di sebuah rumah dekat PPTKIS untuk belajar membersihkan rumah selama sembilan bulan. Setelah selesai masa pelatihan, saya mengikuti beberapa tes seperti tes wawancara dan tes kesehatan. Setelah semua tes dilakukan saya kemudian difoto oleh petugas perusahaan. Menurut mereka, foto itu dikirim ke majikan saya.

Pada tahun 2012, saya berangkat ke Malaysia. Saya dijemput oleh majikan, seorang laki-laki keturunan Cina, sedangkan istrinya orang Indonesia. Saya dibawa ke tempat mereka di daerah Perak. Di rumah majikan, selain memasak dan menjaga 14

anak, tugas utama saya ialah menjaga ibu dari majikan yang sudah lanjut usia ditambah dengan membersihkan rumah mereka yang berlantai tiga. Setiap hari saya harus memberi makan si nenek, memandikannya, dan menemaninya berjalan-jalan. Setelah itu baru saya mulai membersihkan rumah. Waktu bekerja mulai dari jam 3 subuh sampai jam 10 malam. Selama bekerja saya tidak diberikan hari libur sama sekali.

Saya juga tidak diizinkan berkomunikasi dengan keluarga. Hari Minggu pun saya tidak pernah ke gereja. Saya pernah sakit selama bekerja di Malaysia, tetapi saya tidak diberikan waktu istirahat yang cukup. Sekali pun sakit, saya harus tetap mengerjakan tugas utama saya, yaitu menjaga nenek.

Oleh karena beban kerja yang berat, saya sering sakit kepala dan juga beberapa kali mimisan. Selain itu, saya juga sering mengangkat benda berat yang membuat seluruh badan saya terasa sakit. Di siang hari, selesai bekerja pun saya jarang beristirahat.

Saya juga sering terlambat makan

Zine Humanity sehingga sering sakit lambung. Beberapa kali majikan mengeluarkan kata kasar ketika saya melakukan sesuatu yang dianggapnya salah. Ketika terlambat memberikan makanan kepada nenek saya dimarahi oleh majikan. Ia marahmarah menggunakan bahasa Cina jadi saya tidak mengerti apapun. Hal ini membuat saya sakit hati.

Ketika kontrak kerja saya berakhir, saya memilih untuk pulang ke kampung. Saya meminta gaji selama dua tahun bekerja yang dijanjikan sebesar RM

400 setiap bulan dan dipotong selama empat bulan pertama. Namun majikan saya berkelit dan mengatakan bahwa akan dikirimkan kepada saya setiba saya di Indonesia. Saya pun tidak bisa menuntut pada saat itu karena saya tidak tahu bagaimana caranya. Majikan hanya memberikan uang Rp. 1.000.000,- dan beberapa potong pakaian kepada saya.

Ia juga mengembalikan paspor saya yang ia pegang sewaktu saya mulai bekerja dengannya.

Foto: Juandini A. Lapaan Tiba di bandara, majikan masih mengatakan bahwa gaji saya akan dikirim.

Kemudian saya pulang ke kampung dengan pesawat melewati rute Kuala 15

Lumpur-Surabaya-Kupang. Saya pulang dengan tidak membawa gaji. Orang tua lalu menghubungi majikan. Namun, majikan saya mengatakan bahwa gaji

Zine Humanity sudah dia kirim namun tidak menjelaskan dikirim kepada siapa.

Sekarang saya sudah kembali ke Desa Bokong. Sehari-hari saya bekerja di kebun dengan mama, memasak, mencuci pakaian, dan memberi makanan ke kambing dan sapi. Setiap hari kakak laki-laki saya memotong daun untuk diberikan juga kepada ternak. Kebutuhan setiap hari didapati dari hasil penjualan sayur, pisang, jagung, dan kacang di pasar Oesapa oleh Mama saya. Saya menjadi buruh membantu panen padi di Oesao di saat musim panen padi.

Saat ini saya menetap di Desa Bokong. Saya mempunyai sepasang anak laki-laki dan perempuan. Kedua anak saya memiliki bapak yang berbeda. Bapak dari anak pertama saya berasal dari Barate, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Kami berpisah karena mama tidak merestui.

Sedangkan, bapak dari anak kedua adalah tetangga saya di Bokong sini. Dia juga

16

tidak mau bertanggung jawab. Jadi sekarang saya beserta kedua anak tinggal bersama mama saya.

Saya ingin kembali ke Malaysia dan bekerja, tetapi mama dan kedua kakak saya tidak mengizinkan saya pergi lagi. Menurut mereka percuma saja pergi tapi nanti pulang tidak membawa uang lagi seperti sebelumnya. Selain itu, kedua anak saya juga masih kecil dan membutuhkan saya.

Hati orang tua sakit karena keadaan saya. Tetangga juga sering bicara hal-hal buruk tentang keadaan saya. Hal ini membuat saya sering merasa stres dan sakit kepala. Saya pulang dari Malaysia cuma membawa sedikit pakaian. Harapan saya keluarga dan masyarakat sekitar tidak lagi membicarakan keadaan saya yang pulang tanpa membawa uang.Saya juga masih berharap agar ada jalan untuk mendapatkan gaji saya selama bekerja di Malaysia.

Zine Humanity

Johan Nifu Bekerja Keras Demi Upah yang Tak Seberapa Foto: Rosna Bernadetha 17

Zine Humanity

“Saya sangat berharap pemerintah dapat memperketat aturan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri agar tidak banyak orang lagi yang mengalami kejadian seperti saya. �

18

Zine Humanity

S

aya Johan Nifu, lahir di Desa Naeobe 12 September 1977. Pendidikan saya hanya sebatas SMA. Kondisi kehidupan ekonomi kami sangat sulit. Sumber air di desa juga sangat terbatas, hanya ada satu mata air. Letaknya cukup jauh, sekitar satu jam berjalan kaki untuk mencapainya. Air itu hanya dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari serta tidak cukup untuk mengairi kebun yang ada di dekat rumah kami.

Tahun 1998 ada seorang agen di Malaysia. Di sana saya menetap perekrut pekerja migran datang ke desa sementara di rumah yang disediakan mencari pekerja untuk dipekerjakan di perusahaan bagi pekerja. Tanggal 9 Malaysia. Bersama dengan 15 teman Januari saya mulai bekerja di perkebunan yang lain, saya berangkat ke Malaysia coklat yang dikelola perusahaan lewat Nunukan. Kami tinggal di kontrakan Bongnagok yang terletak di wilayah Kuna, yang disediakan agen selama dua minggu. Malaysia Timur. Tugas saya merawat Kami sama sekali tidak mendapatkan pohon-pohon kakao milik perusahan. pelatihan atau persiapan untuk bekerja Saya bekerja selama satu tahun di wilayah perkebunan. Agen membantu di perkebunan cokelat. Gaji saya hanya saya untuk pengurusan paspor di RM 9 per hari. Gaji itu tak sebanding Nunukan. Menurutnya, agar pengurusan dengan beban pekerjaan saya. Kami pasport bisa lancar, KTP saya harus tidak dilengkapi dengan perlengkapan dicetak yang baru dan alamat tempat pelindung kerja yang memadai seperti tinggal diganti dengan alamat Nunukan. masker dan penutup kepala saat S ete l a h s e m u a p ro s e s menyemprot pohon kakao dengan cairan pengurusan dokumen ini selesai, pada kimia berbahaya bagi tubuh. Akibatnya tanggal 1 Januari tahun 2000 saya tiba saya pernah mengalami sakit kepala dan 19

Zine Humanity

Foto: Lony Wenyi muntah-muntah. Tubuh saya melemah dan bekerja di perkebunan kelapa sawit bahkan seringkali saya muntah darah. saya selalu mengunakan air hujan untuk Pada tahun 2001 saya kebutuhan setiap hari. memutuskan pindah bekerja ke kebun Pada tahun 2003 saya menikah kelapa sawit yang dikelola oleh Serikat dengan istri saya. Kami bertemu di Limnonsen. Saya bekerja sebagai buruh Malaysia. Kami berdua adalah pekerja harian. Bekerja sebagai buruh di kebun dari Indonesia yang mengadu nasib di kelapa sawit tidak jauh berbeda dengan sana. Setelah menikah saya mengalami yang saya alami di perkebunan cokelat. kehidupan yang serba kesulitan. Total Saya harus berhutang untuk membeli gaji harian yang saya terima setiap alat bantu kerja dan perlengkapan bulan umumnya berkisar RM 500 ringgit keselamatan kerja. Selama bekerja atau kalau dirupiahkan sama dengan saya dan teman-teman terpaksa Rp. 500.000.-. Uang tidak cukup untuk mengkomsumsi air hujan yang kami memenuhi kebutuhan saya dan istri tampung sebab tidak ada sumber air lain. selama di sana.

Kondisi air yang kami tampung tersebut Saya pernah menangis karena sama sekali tidak baik bagi kesehatan sedikitnya uang yang saya terima sebagai saya dan teman-teman karena air yang buruh harian. Selama masa kerja saya kami tampung tersebut disalurkan dan teman-teman pernah melakukan dengan mengunakan atap seng yang protes kenaikan upah harian namun sudah berkarat. Selama saya tinggal tidak direspon oleh pihak perusahaan.

20

Zine Humanity Tahun 2003 saya memutuskan menjadi pekerja illegal selama 6 tahun. Selama enam tahun itu saya hidup dalam suasana ketakutan dan kekhawatiran sebab jika saya tertangkap oleh pihak kepolisian saya akan dipenjara dan disiksa dengan mengunakan cambuk. Saya sempat kembali mengurus passport pada tahun 2006 tapi itu hanya berlaku selama satu tahun setelah itu saya kembali menjadi pekerja illegal.

Kondisi tempat tinggal kami sangat memprihatinkan. Selama di sana saya dan teman-teman tidur beralaskan tikar dan papan. Tingginya curah hujan di wilayah perkebunan membuat lingkungan tempat kami tinggal lembab dan banyak nyamuk di sekitar kami.

Perusahaan tidak menyediakan kelambu bagi saya dan teman-teman sehingga kami harus membeli sendiri. Banyak saudara saya yang pulang karena sakit.

Oleh perusahaan, mereka hanya dikirim sampai ke Nunukan sesuai dengan alamat yang tertera di KTP. Saya kemudian sadar mengapa itu terjadi karena seingat pengalaman saya, alamat yang tertera di KTP kami yang baru adalah Nunukan.

Saya juga sadar jika saya adalah korban penipuan agen yang tidak bertanggung jawab. Saya beruntung bisa kembali ke kampung dengan selamat meskipun pernah ditipu untuk membuat KTP baru.

Saya pernah mendengar dari teman-teman sepekerjaan jika ada pekerja wanita yang diperkosa oleh bodyguard perusahaan lalu dibuang di hutan. Namun karena kurangnya informasi dan rasa takut yang tinggi untuk membicarakannya, kejadian itu hilang dengan sendirinya. Selain itu ada 21

juga pekerja wanita yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga diperkosa oleh majikan dan ada juga yang disiram dengan air aki.

Saya memang tidak mengalami kekerasan fisik, namun saya sering mendapatkan perlakukan yang tidak baik dari pihak perusahaan. Tidak jarang saya mendapatkan cacian berupa katakata kasar. Sebagai manusia saya merasa sakit hati dengan cacian yang saya terima tersebut. Sering dalam diri saya muncul persaan ingin memberontak. Tapi apa daya saya tidak dapat melakukan protes atau tindakan lainnya apalagi status saya sebagai pekerja illegal tentu sangat beresiko bagi saya dan keluarga kecil saya yang baru saya mulai.

Tahun 2008 saya dan istri memutuskan untuk kembali ke Indonesia.

Untuk kembali ke Indonesia, saya harus membayar polisi agar bisa lolos karena saya adalah pekerja ilegal. Sekembalinya di Bokong saya menjalani hidup sebagai petani. Penghasilan kami hanya cukup untuk kebutuhan kami sehari-hari.

Untuk mendapat penghasilan di musim kemarau, saya dan istri biasa membeli sayur di petani yang ada di desa lain untuk kami jual di pasar-pasar yang ada di Kabupaten Kupang maupun di Kota Kupang. Rata-rata penghasilan saya menjual sayur adalah Rp. 600.000.- per bulan. Dengan penghasilan demikian sangat sulit bagi kami untuk memenuhi kebutuhan kami yang lain. Saya sangat berharap pemerintah dapat memperketat aturan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri agar tidak banyak orang lagi yang mengalami kejadian seperti saya.

Zine Humanity

Mariance Kabu Luka yang Akan Terus Menganga 22

Foto: Lony Wenyi

Zine Humanity

“Saya berharap agar keluarga suami tidak lagi menyudutkan dan menyalahkan saya atas apa yang saya alami. Saya juga masih tetap ingin mendapatkan informasi tentang proses hukum dan kejelasan status hukum majikan di Malaysia.�

23

Zine Humanity

H

idup saya benar-benar berubah setelah mengalami penyiksaan luar biasa sewaktu bekerja di Malaysia selama delapan bulan. Awalnya saya pikir dengan pergi mengadu nasib menjadi pekerja migran dapat menjadi jalan keluar bagi masalah ekonomi keluarga. Saya berangkat ke Malaysia tanpa sepengetahuan suami, karena suami tinggal di Kupang bersama dengan tiga orang anak saya. Sedangkan saat itu, saya bersama anak bungsu saya sedang mengunjungi orangtua saya di kampung.

Saya bersama dengan saudara ipar saya diajak dua orang ibu yang merupakan perekrut lapangan dari sebuah PPTKIS. Kami dibujuk dengan pengakuan bahwa mereka mendapat petunjuk dari Tuhan melalui tim doa, agar saya dan ipar pergi bekerja sebagai TKW. Selain itu, kami diiming-imingi dengan pekerjaan yang gampang, gajinya besar, juga tidak perlu membawa pakian.

Saya menitipkan anak saya yang bungsu kepada kedua orangtua saya, kemudian saya dan ipar dibawa oleh oleh sang perekrut pada bulan April 2014.

Kami menginap satu malam di rumahnya.

Besoknya kami ke Kupang, diantar oleh perekrut dan saudara laki-lakinya dengan menggunakan mobil sewaan. Di dalam mobil tersebut juga ada orang lain tetapi tidak saya kenal.

Di Kupang, kami dijemput oleh kakak si perekrut, kepala PT Malindo bersama isterinya dengan menggunakan mobil. Lalu kami dibawa ke rumah kepala PT. Setelah makan dan beristirahat, kami pergi ke tempat penampungan milik PT Malindo di Maulafa. Saat kami tiba di sana, sudah ada lebih dari 20 orang perempuan yang terkumpul. Ada yang 24

masih muda dan ada juga yang lebih tua dari saya. Kami tinggal selama tiga hari di penampungan, tanpa mengerjakan apapun atau pelatihan kerja.

Kami dibawa oleh kepala PT dan istrinya ke rumah ibu mertua kepala PT di Penfui. Dua hari kemudian, kami dibawa oleh seorang laki-laki ke kantor imigrasi.

Pada tanggal 11 April 2014, tepatnya pada pukul empat subuh, kami bersiapsiap untuk berangkat. Kami dibekali uang Rp. 50.000,- oleh istri kepala PT dan diantar ke bandara El Tari. Di bandara, kepala PT memberikan kami paspor. Kami juga tidak diperbolehkan membawa handphone saat dalam perjalanan dari Kupang-Surabaya-Batam.

Di Batam kami dijemput oleh dua orang laki-laki, lalu dibawa naik taksi ke suatu rumah seperti kos-kosan. Hanya satu jam kami di Batam sebab kami diantar dua orang laki-laki tadi ke pelabuhan, tanpa tiket dan hanya ada paspor. Lalu kami menyebrang ke Malaysia. Sampai di Malaysia kami bertemu dengan seorang perempuan yang sudah menunggu untuk memeriksa paspor kami dan kemudian membawa kami ke rumahnya. Sampai di rumahnya, kami diberi makan dan

Zine Humanity disuruh berisitirahat. Di rumah itu, ada banyak orang termasuk orang NTT. Setelah itu, kami dijemput sebuah bus yang kemudian membawa kami ke penampungan. Waktu itu sudah magrib.

Di perjalanan, kami diturunkan satu per satu. Saya dengan ipar saya adalah orang yang paling terakhir di bus tersebut, sampai di tempat penampungan sudah tengah malam.

Di tempat penampungan ada dua orang perempuan Indonesia yang bertugas sebagai penjaga penampungan.

Kami disuruh makan lalu mengganti pakaian. Kami disuruh untuk duduk sopan, tidak boleh bicara, hanya saling pandang.

Kalau kami bercerita dengan temanteman lain, kami akan dimarahi. Kami tinggal di penampungan ini selama satu minggu. Biasanya bangun jam lima pagi dan tidur jam sepuluh malam. Setelah seminggu di penampungan, kami dibawa ke sebuah kantor, kemudian ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan kesehatan. Kami dirontgen, periksa darah, dan periksa keseluruhan tubuh. Setelah itu kami dibawa ke kantor, lalu kembali ke tempat penampungan. Besoknya, kami dikenalkan dengan majikannya di penampungan tersebut. Dalam pertemuan itu saya ditanya apakah ada pantangan makanan dan apakah bersedia menjaga seorang nenek? Keesokan harinya, majikan menjemput saya. Ia seorang perempuan berusia 47 tahun bernama Sereng Ong. Sesampai di rumah majikan, saya diminta untuk mengeluarkan semua isi tas agar majikan dapat memeriksanya.

Setelah itu saya diberi jadwal kerja oleh seorang teman majikan. Dalam jadwal 25

itu, saya bekerja dari jam 05.00 pagi sampai jam 10.00 malam. Tugas saya adalah memandikan, memberi makan, menidurkan, menemani nenek jalanjalan, memasak, dan bersih-bersih rumah. Kalau nenek itu membutuhkan sesuatu, dia akan memberitahukan pada saya. Saya tidur sekamar bersama nenek, nenek tidur di tempat tidur, sedangkan saya tidur di lantai beralas kasur, lalu diganti dengan tikar.

Saya mengalami penyiksaan selama delapan bulan yakni dari April hingga Desember 2014. Saya dipukul, gigi saya dicabut, kemaluan saya ditarik menggunakan tang. Selama itu pula saya tidak menerima gaji.

Dia pukul saya pakai ikan beku itu karena saya salah simpan daging di kulkas. Dia omong satu kali saya harus dengar tapi kadang dia di kamar sebelah saya di dapur saya tidak dengar jelas jadi saya minta dia mengulangi permintaannya.

Minta ulang itu dengan pukul baru dia ulang. Pukul dengan ikan itu jadi luka dan darah meleleh. Temannya yang membersihkan luka saya, diberi obat lalu suruh saya istirahat. Habis itu bangun kerja lagi. Tapi sebelum itu saya sudah dapat pukul, muka sudah bengkak. Jadwal kerja yang diberikan jam lima pagi sampai jam sepuluh malam tapi saya kerja sampai jam lima pagi atau jam empat. Itu kerja dengan telanjang dan bukan pakai pakaian.

Kalau dia sudah di rumah, saya punya jantung sudah berdetak kencang karena tiba-tiba dia hantam. Itu saya punya rambut dipotong berapa kali saya tidak tahu juga. Puting susu saya ini hancur,

Zine Humanity saya tidak tahu lagi. Saya kerja hanya pakai baju kaos tidak pakai bra karena luka ini sudah. Saya tidak buat apaapa. Kemaluan saya juga sudah hancur dengan itu tang. Saya bilang Tuhan lihat ini darah saya tidak tahu ini darah berapa harus poa di tangan. Dia ambil ikat pinggang terus pukul tapi sebelum pukul saya juga sudah penuh luka di dalam.

Saya selalu diawasi melalui CCTV yang dipasang di dalam rumah.

Saya dilarang keluar dari rumah dan bertemu dengan orang lain, terutama orang-orang dari gereja yang biasanya ke rumah majikan untuk melayani nenek perjamuan kudus. Pada malam hari saya harus bekerja tanpa mengenakan pakaian.

Kalau siang hari, saya tidak menggenakan pakian dalam, juga saat di kamar mandi

26

atau toilet tidak boleh menutup pintu.

Suatu hari, ketika majikan sedang pergi bekerja, saya mendengar suara tetangga (orang asal India) yang berbicara bahasa Melayu di depan pintu apartemen. Lalu saya menulis sebuah surat yang berisi “tolong saya, saya disiksa, saya mandi darah setiap hari�. Saya melemparkannya keluar dari pintu. Sekitar satu jam kemudian polisi datang ke rumah. Majikan membujuk saya untuk diam pada polisi. Saya dibawa oleh polisi, dan diyakinkan oleh polisi bahwa saya aman, kemudian diminta kesaksiannya, dan saya menceritakan segala yang terjadi pada polisi tersebut.

Saya menunjukkan luka di tubuh pada polisi.

Satu jam kemudian, majikan dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Polisi juga menanyakan paspor saya, tapi majikan mengatakan

Foto: Lony Wenyi

Zine Humanity bahwa saya tidak mempunyai paspor.

Padahal, paspor saya ada pada majikan.

Selain itu, majikan juga tidak mengakui semua kekerasan yang sudah dia lakukan terhadap saya pada Polisi. Majikan ditahan di kantor polisi, sedangkan saya dibawa ke rumah sakit. Saya dirawat selama sembilan hari. Setelah keluar dari rumah sakit, saya dibawa ke rumah perlindungan selama enam bulan. Setelah itu, saya di pulangkan ke Indonesia.

Setelah enam bulan dirawat di rumah perlindungan, saya mengikuti persidangan kasus kekerasan yang dilakukan sang majikan terhadap saya. Dalam persidangan itu, saya didampingi oleh pihak KBRI. Di sana saya menceritakan semua yang saya alami selama delapan bulan itu. Gaji saya kemudian dibayar 24 bulan. Setelah dipulangkan kembali ke Indonesia dengan

27

difasilitasi oleh pemerintah, saya tidak tahu lagi bagaimana perkembangan kasus tersebut. Apakah sang majikan dihukum atau tidak, jika dihukum maka seperti apa hukumannya dan berapa lama? Saya maupun keluarga tidak menerima berita itu sampai saat ini.

Sekarang, jika saya sedang tidur dan terkaget bangun karena suatu bunyi atau suara lainnya, maka kepala akan rasa sakit seperti ditusuk-tusuk jarum. Makan pun tidak bisa mengunyah dengan cepat, karena ada empat gigi yang dicabut dan lidah yang sudah tidak utuh. Hinaan dari keluarga suami juga sering saya dapatkan jika ada masalah dalam keluarga. Saya berharap agar keluarga suami tidak lagi menyudutkan dan menyalahkan saya atas apa yang saya alami. Saya juga masih tetap ingin mendapatkan informasi tentang proses hukum dan kejelasan status hukum majikan di Malaysia.

Zine Humanity

Bara Keluarga Kami Diejek sebagai ‘Orang Gagal’ 28

Foto: Lony Wenyi

Zine Humanity

“Tidak ada tempat untuk menceritakan penderitaan dan kegagalan yang kami alami. Kami dipandang sebagai orang-orang yang gagal dan kami sekeluarga sering diejek. Saya berharap keadaan akan lebih baik ke depan.�

29

Zine Humanity

S

aya Bara, seorang perempuan asal Desa Tupan, Kecamatan Batu Putih, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Saya sulung dari empat bersaudara.

Selain mengurus anak, saya juga berkebun dan mengurus ternak babi. Di antara kami empat bersaudara, saya dan adik perempuan adalah korban perdagangan orang bermodus pekerja migran. Bahkan adik saya yang waktu itu berusia 19 tahun (pada tahun 2015) harus meregang nyawa di Malaysia tanpa kami ketahui penyebab kematian yang sebenarnya.

Perjalanan saya sebagai seorang pekerja migran berawal pada tanggal 28 April 2012 ketika saya direkrut oleh sebuah PPTKIS yang kantornya beralamat di Kota Kupang. Sayangnya dalam proses persiapan dokumen, data identitas saya di Kartu Tanda Penduduk (KTP) diubah. Pada tanggal 4 Mei 2012, saya berangkat dari Kupang ke Surabaya.

Jam enam pagi saya bersama enam orang calon pekerja diantar ke bandara oleh perekrut lapangan PPTKIS. Kami tiba di Surabaya dua jam kemudian, lalu transit lagi ke Batam. Sampai di Batam kami masih menginap dua malam di rumah salah satu anak buah PPTKIS. Pada tanggal 6 Mei 2012 jam dua subuh, kami menyeberang dari Batam ke Malaysia menggunakan perahu dan tiba di Johor jam enam pagi. Setelah itu, 30

kami dijemput agensi dari Johor menuju ke Kuala lumpur. Sampai di sana sudah tengah malam. Kami masih menginap satu malam di agensi cleaning service.

Paginya, kami dijemput oleh agensi yang lain lagi. Pada tanggal 7 Mei hingga 22 Mei 2012, kami diberi pelatihan bekerja sebagai pekerja rumah tangga oleh agensi.

Pada tanggal 22 Mei 2012, saya dijemput oleh majikannya. Saat hari pertama bekerja saya tidak sanggup karena pekerjaannya banyak dan rumah majikan cukup besar sedangkan saya satu-satunya yang bekerja di sana. Tugas saya dimulai sejak pukul lima pagi hingga pukul dua belas malam. Tidak ada hari libur, tidak bisa ke gereja, jika melakukan kesalahan maka saya dimarahi.

Terkadang makan pun tidak ada lauk

Zine Humanity ketika majikan ke luar negeri. Kontrak Pada tanggal 6 November 2015, majikan kerja saya selama 2 tahun. Saat masa mengirim pesan agar saya cepat kembali kontrak selesai, saya berencana pulang ke Malaysia. Jika tidak, maka sisa gaji saya ke Kupang, namun batal. Saya bekerja lagi tidak akan dikirim. selama satu tahun. Setelah itu saya minta Waktu saya tiba di kampung pulang ke Indonesia. Namun majikan halaman, saya mendapati bahwa adik berkata bahwa saya tidak bisa pulang perempuan saya telah hilang. Bapak dan karena paspor saya hilang sehingga harus ibu menduga bahwa dia telah direkrut diurus yang baru. Saya berpikir bahwa gaji untuk bekerja sebagai pekerja migran. saya masih cukup untuk membuat paspor Saya pun memutuskan untuk tidak baru, akan tetapi majikan memberikan kembali ke Malaysia dan membantu persyaratan bahwa saya harus kembali mencari adik. Berbagai cara saya lakukan lagi ke Malaysia jika majikan membantu sebisanya untuk mencari petunjuk membuat paspor. Saya ragu mengiyakan keberadaan adik. Saya mendatangi persyaratan tersebut tetapi akhirnya beberapa PPTKIS di Kota Kupang namun saya terima demi mendapatkan paspor hasilnya nihil. Akhirnya saya mencoba dan bisa pulang ke kampung. Pada awal ke Jakarta untuk meneruskan pencarian. bulan November 2015, saya kembali Di sana saya juga sambil kerja sebagai ke Kupang. Majikan saya memberi gaji pembantu rumah tangga. Pencarian saya saya selama bekerja namun tidak utuh. berakhir pada bulan Juli 2016, ketika saya

Foto: Lony Wenyi 31

Zine Humanity mendapat kabar dari kampung bahwa tubuh adik telah dipulangkan dalam dalam peti mati dari Malaysia. Hati saya sedih tak terkira. Tanggal 13 Juli 2016, saya akhirnya kembali ke Kupang dan langsung menuju ke kampung.

Saya dan adik perempuan pulang dari Malaysia tanpa tidak membawa hasil

yang berarti. Bahkan adik yang masih cukup muda harus kehilangan hidupnya.

Tidak ada tempat untuk menceritakan penderitaan dan kegagalan yang kami alami. Kami dipandang sebagai orangorang yang gagal dan kami sekeluarga sering diejek. Saya berharap keadaan akan lebih baik ke depan.

32

Zine Humanity

Ini kisah kami yang selama ini tidak kami ceritakan. Cerita perjuangan untuk menggapai harapan agar bisa hidup lebih baik. Namun, perjuangan itu membawa luka bagi kami dan harapan itu hanya tinggal mimpi. Akan sia-siakah perjuangan kami ini? Apakah kisah kami ini hanya sebatas cerita yang dianggap biasabiasa saja dan dilupakan banyak orang? Ataukah kisah kami ini bisa melahirkan perjuangan baru untuk memperjuangkan keadilan agar kita semua bisa hidup lebih baik.

33

Zine Humanity

F

oto proses Partisipatory Action Research (PAR) yang difasilitasi oleh empat anak muda fasilitator Humanity bersama korban perdagangan orang.

34

Zine Humanity

METODE ALUR WAKTU Metode ini dilakukan dengan maksud untuk memberdayakan korban dengan cara menciptakan sebuah alur waktu konflik dari perspektif mereka.

Foto: Lony Wenyi 35

Zine Humanity

METODE BATU DAN BUNGA

36

Zine Humanity

Metode ini dilakukan dengan maksud agar korban mengetahui bahwa setiap orang, termasuk dirinya memiliki hak atas kebenaran, keadilan, reparasi, dan jaminan untuk tidak mengalami kekerasan ini lagi (baik dari diri sendiri, lingkungan keluarga dan masyarakat). Batu memiliki makna bahwa korban tidak/belum mendapatkan keadilan.

Sedangkan, bunga memiliki makna bahwa korban sudah mendapatkan keadilan.

Foto: Lony Wenyi 37

Zine Humanity

METODE PETA TUBUH 38

Zine Humanity

Korban yang mengalami kekerasan kerap menutup diri dan tidak ingin berbicara. Metode ini dilakukan dengan maksud agar korban memulihkan diri sambil membuat dokumentasi yang berguna untuk advokasi dan meneruskan edukasi dengan cara.

Korban menggambar siluet tubuh di atas kertas dan mewarnai setiap bagian tubuh yang pernah mengalami rasa sakit dan bagian tubuh yang menjadi kekuatan diwaktu mengalami rasa sakit.

Foto: Lony Wenyi

39

Zine Humanity

METODE FOTO BERCERITA

40

Zine Humanity

Metode ini bertujuan untuk membangun arsip-arsip personal yang bisa berguna untuk memorialisasi dan advokasi hakhak korban dengan cara korban menciratakan makna setiap gambar foto yang diambilnya.

Foto: Lony Wenyi 41

Zine Humanity

METODE PETA KAMPUNG

42

Zine Humanity

Metode ini dilakukan dengan maksud untuk mengembangkan sebuah peta komunitas yang mencakup rumah, kebun, gedung pemerintah, dan informasi tentang apa yang terjadi pada korban tersebut dan lokasi kejadiannya.

Foto: Juandini A. Lapaan 43

Zine Humanity

METODE SUMBER KEHIDUPAN 44

Zine Humanity

Metode ini bertujuan untuk melihat sumber-sumber pemenuhan kehidupan dari untuk keluarga di dalam kampung dia tinggal, dan hal apa saja yang digunakan dalam memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari mereka.

Foto: Tin

45

Zine Humanity

METODE KOTAK MEMORI DAN KARTU POS

46

Zine Humanity

Metode ini dilakukan dengan maksud untuk menyampaikan pesan pada generasi muda dengan cara bercerita mengenai bendabenda berharga yang menyimpan ingatan bagi mereka (korban).

Foto: Lony Welyi 47

Zine Humanity

ANAK MUDA BAOMONG PERDAGANGAN ORANG

S

elain mendokumentasikan kisah-kisah korban yang berisi pengalaman traumatis, tim juga melihat peran orang muda di Kota Kupang dalam gerakan melawan perdagangan orang. Kami mencoba memotret gagasan mereka terkait masalah ini melalui beberapa pernyataan seputar definisi perdagangan orang yang mereka pahami, peran negara untuk memberikan perlindungan bagi PMI, alternatif lapangan kerja bagi anak muda di NTT, kontribusi orang

48

Zine Humanity

muda dalam gerakan pencegahan dan penanganan perdagangan orang, serta harapan mereka ke depan. Kami mendapati bahwa sebagian besar anakanak muda ini sudah memahami apa itu perdagangan orang serta berperan aktif di berbagai lingkup untuk melakukan edukasi bagi masyarakat luas tentang resiko bekerja di luar daerah. Ketika kami menanyakan apakah bekerja sebagai PMI ke luar negeri ada pilihan yang tepat dan apakah mereka juga pernah berniat untuk menjadi PMI,

49

sebagian besar mereka menyatakan bahwa mereka juga pernah berpikir untuk menjadi PMI dengan syarat negara memberikan perlindungan yang layak. Bagi kami ini menunjukkan bahwa setiap orang memiliki mimpi untuk hidup yang labih baik dan mendapatkan pengalaman bekerja di luar negeri. Mimpi memperbaiki taraf hidup bukan hanya milik anak muda dari desa yang pergi bekerja dengan banyak keterbatasan saja. Berikut beberapa gagasan mereka.

Zine Humanity

Christo Kolimo, Founder Komunitas Talepo dan Mantan Ketua GMKI Cabang Kupang 1. Perdagangan orang bukan hanya pada PMI illegal saja. Bukan hanya sebatas mereka pergi dan pulang dalam keadaan tragis. Perdagangan orang ada di depan mata kita, misalnya setiap warung di pinggir jalan yang memperkerjakan anak-anak dari kampung dengan gaji di bawah UMR yakni hanya Rp. 500.000 per bulan.

2. Pemerintah tidak serius dalam menanggapi persoalan ini. Mereka membuat Satgas Anti Human Trafficking, menempatkan petugas di bandara untuk menghalagi orang pergi. Itu hanya untuk menghabiskan anggaran danakhirnya pemerintah hanya bekerja berdasarkan anggaran.

Jadi kalau berharap pada pemerintah untuk saya secara pribadi tidak. Lebih baik membuka ruang-ruang usaha atau bisnis untuk menunjukkan bagaimana cara memenuhi hak hidup orang. Kasus perdagangan orang di NTT juga dijadikan batu loncatan secara politis baik itu pribadi atau pun 50

golongan tertentu. Saya juga takut jangan sampai LSM terjebak dalam menjadikan persoalan perdagangan orang sebagai program abadi supaya terus mendapatkan donor.

3. Saya mencoba membuka lapangan pekerjaan yakni pangkas rambut, clothing reseller yang mempekerjakan anak-anak muda asal yang masih berkuliah atau yang sudah selesai kuliah atau sekolah. Selain itu kami juga sering memberikan pelatihanpelatihan bagi kalangan anak muda mengenai bagaimana menjadi orang yang bisa melakukan usaha sendiri.

4. Bagi saya pemerintah dan LSM harus bekerja sama dalam artian melakukan proses pencegahan hingga tingkat desa. Kita memiliki ruang untuk mengatur Peraturan Desa untuk meminimalisir orang keluar dan masuk ke desa.

Ningsih Bunga, Komunitas Paece Maker Kupang (KOMPAK) 1. Masalah perdagangan orang di NTT dengan modus pekerja migran sangat membuat saya secara pribadi gelisah.

Zine Humanity Banyak anak muda yang menjadi korban, dipulangkan dalam keadaan tidak sama seperti mereka awal pergi.

Jadi semua pihak harus terlibat dalam menanggapi masalah ini baik itu dari tokoh agama, lembaga agama, dan tokoh muda.

2. Pemerintah harus memperketat persyaratan bekerja ke luar negeri, membuka ruang koordinasi, dan mekanisme pelaporannya kasus yang mudah dipahami dan diakses PMI. Selain itu harus menjamin perlindungan PMI yang ada di luar negeri agar dapat mengurangi resiko kematian.

3. Menjadi pekerja migran keluar daerah atau negeri itu bukanlah satu-satunya jalan. Namun, kurangnya akses jalan, jaringan untuk mengembangkan produk lokal di daerah, kurangnya informasi mengenai lapangan pekerjaan dan peningkatan kualitas diri membuat pemuda desa memilih untuk bekerja di luar daerah atau luar negeri. Ditambah lagi satu-satunya informasi yang mereka miliki melalui orang-orang terdekatnya seperti tetangga atau keluarga adalah bekerja di luar daerah atau luar negeri dengan gaji lumayan dan itu sudah bisa memenuhi kebutuhan ekonomi.

4. Harapan saya semoga pemerintah tidak diam seperti tenang-tenang saja.

Kepekaan pemerintah, ketersediaan ruang kerja, ketersediaan lapangan pekerjaan dalam dunia yang digital ini juga kita sangat berharap bisa memotifasi anak-anak muda tidak hanya di kota, tetapi di desa-desa di NTT untuk lebih kreatif dan 51

punya kesempatan mendapatkan penghasilam ekonomi dan sumber daya manusia yang lebih baik.

Nafsari Waang, Relawan Rumah Harapan GMIT 1. Dalam beberapa kasus yang didampingi oleh Rumah Harapan GMIT, korban perdagangan orang masih berusia usia anak. Modus yang paling banyak ditemukan adalah pelaku memberikan uang kepada keluarga untuk mengikat suatu perjanjian dengan korban dan pelaku misalnya uang “sirih pinang�.

Dan ada juga yang berkedok pacaran.

2. Menurut saya, bekerja sebagai Buruh Migran bukan satu-satunya menjadi pekerjaan yang tepat bagi masyarakat NTT khususnya orang muda. Di masa sekarang, orang muda mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Bahkan bisa menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Peran gereja sangat amat penting untuk mencegah jemaatnya keluar menjadi PMI. Gereja harus kreatif mencari jalan keluar agar

Zine Humanity bagaimana jemaat betah dan tidak memilih menjadi PMI apalagi dengan cara non-prosedural.

3. Pemerintah hanya hadir dalam bentuk abstrak berupa peraturan perundang-undangan. Masih lemah dalam pengawasan. Memang sudah ada regulasi seperti UU no. 18 tahun 2018 tentang Perlindungan Pekerja Migran dan UU no. 21 tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidanan Perdagangan Orang. Namun, UU tersebut belum cukup untuk melindungi PMI kita secara nyata dan terorganisir. Moratorium yang dikeluarkan pemerintah daerah pun dicabut kembali dan banyak kasuskasus perdagangan orang yang tidak sampai pada meja pengadilan, karena terbatasnya alat bukti dan lokasi kejadian yang terlalu jauh.

negara hanya boleh mengirim PMI yang sudah memiliki pengetahuan yang dianggap pantas untuk bekerja di luar.

2. Masalah perdagangan orang bukan hanya tanggung jawab Dinas Ketenagakerjaan, Imigrasi, Dinas Sosial. Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus menjadi mesin pengerak dengan cara menggerakan semua lini kerja pemerintahan dari dinas pertanian sampai dinas pendidikan, dari dinas pekerjaan umum sampai dinas tenaga kerja. dengan kata lain semua harus terlibat tanpa mengkambinghitamkan yang lainnya.

Adnan Suluwetang, Ketua HMI Cabang Kupang Periode 2019-2020 Ade Simon Setiawan, Relawan Jaringan Relawan Untuk Kemanusiaan (J-RUK)

1. Menurut saya untuk saat ini membangun daerah jauh lebih penting dibandingkan harus tergiur dengan tawaran upah/gaji yg tinggi di luar negeri.

2. Harapan saya upaya pemerintah untuk

1. Cara negara melindungi PMI adalah dengan memberikan pembekalan pengetahuan yang mumpuni dan 52

Zine Humanity mencegah perdagangan orang bukan hanya sekedar formalitas, namun harus benar-benar sampai pada akar rumput/masyarakat terutama yang kondisi ekonominya menengah ke bawah.

dan transparan bagi setiap orang yang mendaftar untuk pergi bekerja di luar negeri sebagai PMI. Kemudian juga pemerintah harus menyelidiki oknumoknum yang menyalahgunakan jabatan untuk proses perekrutan PMI secara ilegal.

Adriana Ngailu, Mahasiswa dan Anggota Komunitas Film Kupang

Dedimus Deddy Dhosa, Dosen Fisip Universitas Widya Mandira

1. Perdagangan orang menurut saya suatu tindakan merekrut atau pun mempekerjakan seseorang dengan sistem yang tidak prosedural dengan maksud memenuhi kepentingan diri sendiri, mengeskploitasi korban tersebut yang bisa saja berakibat pada pelecehan seksual, perbudakan dan lain sebagainya.

2. Amanat bagi negara dalam UU No. 18 tahun 2017 tentang perlindungan terhadap PMI sudah jelas. Negara melindungi dan memantau, m e m b e r i ka n p e m b e l a j a ra n , memberikan pemahaman dan pelatihan. Dalam hal ini pemerintah harus tegas untuk mengatur sistem perlindungan yang sesuai prosedur 53

1. Negara wajib untuk melindungi semua warga negaranya yang bekerja di luar negeri karena negara mendapatkan pendapatan atau devisa yang sangat besar dari mereka yang bekerja diluar negeri. Misalkan menambah jumlah atase pada KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) sebab ada temuan bahwa jumlah atese jauh lebih sedikt dari jumlah pekerja migran.

Hal ini membuat sulit ketika pekerja migran mendapatkan kesulitan. Selain itu, negara membuat kesepakatan yang lebih adil kepada pekerja migran dengan cara mengubah Memorandum of Understanding (MoU) menjadi Memorandum of Agreement (MoA)

Zine Humanity sehingga kesepakatan lebih mengikat dan menekan.

2. Pencegahan dapat dilakukan di level instutusi Negara. Negara wajib memastikan bahwa semua perangkat negara baik itu di kementerian, Polri, TNI, pemerintah daerah dan lainnya untuk tidak terlibat dalam memfasilitasi perdagangan orang.

Proses administrasi dan akses terhadapnya juga harus dibuat lebih mudah sehingga memudahkan calon PMI yang hendak bekerja. Pencegahan juga dapat dilakukan dengan mulai membangun dari desa. Dalam hal ini negara harus memastikan bahwa desa dapat menciptakan peluang untuk orang bekerja. Dalam hal ini orang boleh bekerja pada sektor pertanian dengan memanfaatkan perkembangan teknologi. Di level social society minimal membantu menyiapkan orang yang berpergiaan baik itu pengetahuan, informasi dan segalah hal yang berkaitan dengan tenaga kerja. Selain itu membantu dalam hal meningkatkan keterampilan tenaga kerja.

Yuliana Benu, Staf Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIT) 1. Menurut saya perdagangan orang adalah kejahatan kemanusiaan yang sangat merendahkan nilai kemanusiaan. Manusia dipelakukan seperti barang. Misalnya, dalam media Tribunnews, 24 Agustus 2016, ada 20 perempuan muda Nusa Tenggara Timur (NTT) ditukar 54

dengan satu mobil Xenia. Dalam UU Nomor 21 Tahun 2007 jelas juga bahwa proses perekrutan seseorang ialah dengan tujuan dieksploitasi. Jadi, orang-orang yang terjebak dalam rantai mafia perdagangan orang akan terus dieksploitasi sampai ia tidak berdaya lagi dalam bentuk jenazah.

Kemudian, jenazah-jenazah itu dipulangkan di ke NTT atau bahkan tidak dipulangkan. Jadi, memang betul-betul diperlakukan seperti barang.

2. Terkait negara, ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu meningkatkan perlindungan bagi PMI dan penegakan hukum berhubungan dengan kasuskasus TPPO. Negara jangan hanya mengagung-agungkan PMI sebagai pahlawan devisa negara, tapi pada saat yang sama berbagai media massa memuat berita tentang penyiksaan, penganiayaan, pembunuhan, kematian, pelecehan seksual, penipuan yang dialami oleh PMI setiap harinya. Saya juga ingat bahwa ada PMI yang bekerja untuk anakanaknya bisa sekolah. Itu juga salah satu support untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Jadi, negara harus adil dalam memperlakukan PMI. Kemudia terkait penegakkan hukum bagi pelaku sangat tidak adil kepada korban. Beberapa kasus TPPO yang pernah saya ikut proses peradilannya di pengadilan sangat mediskreditkan korban. Putusan hakim kepada terdakwa yang adalah pelaku terlalu ringan dan tidak sebanding dengan apa yang dialami korban (kematian).

3. Harapan saya:

Zine Humanity • Masyarakat Indonesia, khususnya NTT sadar tentang bahaya perdagangan orang. Masalah perdagangan orang saat ini menyasar generasi muda NTT yang produktif. Kondisi ini menjadi pekerjaan besar bagi NTT dan Indonesia karena anak-anak keluarga PMI rentan untuk terjebak dalam rantai kekerasan dan perdagangan orang. Bagaimana wajah NTT dan Indonesia ke depan?

• Di NTT sendiri suara tokohtokoh agama punya kekuatan mempengaruhi orang untuk membawa perubahan yang baik.

Oleh karena itu, tokoh-tokoh agama memainkan peran yang penting berkaitan dengan pendidikan dan penyadaran masyarakat terkait masalah perdagangan orang melalui khotbah/dakwah.

• Pemerintah perlu meningkatkan perlindungan bagi PMI dan keluarganya, serta penegakkan hukum terkait kasus-kasus TPPO • Saya berharap juga tidak ada lagi PMI yang dipulangkan dalam keadaan meninggal.

• Adanya perhatian pemerintah dan tokoh-tokoh agama pada keluarga PMI. Misalnya, melalui pemberdayaan ekonomi.

55

Jeny Getrida Laamo, Relawan Unit Anti Human Trafficking Yayasan Spiritual Penyelenggara Ilahi 1. Ketika seseorang mengalami salah satu bentuk eksploitasi yang termuat dalam UU no. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang maka menurut saya telah terjadi perdagangan manusia.

2. Saya bersama dengan para suster dari kongregasi PI sering melakukan sosialisasi di daerah terpencil dan kampanye bahaya TPPO melalui media sosial. Kami juga menjemput jenazah PMI di kargo bandara El Tari Kupang dan membantu mendampingi keluarga bersama tim jaringan anti perdagangan orang.

3. Perlu ada dialog yang secara khusus membahas tentang perlindungan terhadap PMI antara Indonesia dan negera penempatan PMI untuk memberikan jaminan perlindungan bagi PMI.

Zine Humanity

Merlin Tiran, Relawan Rumah Harapan GMIT 1. Pelaku penjualan orang melakukan pemaksaan, penyekapan, kekerasan, pemalsuan dokumen atau juga dengan memberi sejumlah uang dengan tujuan menjebak seseorang.

Korban kemudian diekploitasi secara seksual dan juga dieksploitasi sebagai tenaga kerja dan mengakibatkan korban bekerja tanpa upah dan tanpa perlindungan dari negara. Kelompok yang paling rentan terhadap tindakan perdagangan orang yaitu perempuan dan anak.

2. Sulitnya mencari pekerjaan, upah yang tidak sesuai di negara sendiri, gambaran tentang luar negeri yang begitu menjanjikan, tanah yang telah dijual habis dan kebutuhan hidup yang semakin meningkat membuat siapapun tertarik untuk menjadi PMI. Uang menjadi salah satu alasan yang kuat seseorang menjadi PMI tanpa memikirkan prosedur yang tepat dan dampak lainnya menjadi PMI. Ketika seseorang ditawari bekerja di toko di Kupang dengan upah Rp. 500.000 per 56

bulan atau menjadi PRT di Malaysia dengan upah Rp. 3.000.000 per bulan maka saya yakin orang akan memilih untuk bekerja di Malaysia.

3. Harapan saya: • Pemerintah dapat bekerjasama degan pemimpin agama, LSM dan pemerintah desa untuk secara serius aktif melakukan sosialisasi tentang perdagangan orang dan menciptakan ruang-ruang bagi masyarakat untuk meningkatkan potensi • Masyarakat bisa mendapat pekerjaan di dalam negeri dengan upah yang sesuai • Pemerintah desa bekerjasama dengan pemimpin agama melakukan upaya peningkatan ekonomi masyarakat.

P. Berthon Mbete, CMF, Misionaris Claretian 1. Edukasi masyarakat tentang nilai kerja harus lebih giat dijalankan. Ini berkaitan dengan tenaga pendidik yang mumpuni pada bidangnya, serta keseriusan dan memiliki etos kerja yang baik untuk memberikan

Zine Humanity pengetahuan yang baik dan benar.

2. Membuka lapangan-lapangan pekerjaan baru yang berorientasi lokal. Setelah dididik dengan baik dan benar, terciptalah tenaga-tenaga siap pakai (SDM)yang bekerja di daerahnya sendiri.

3. Pelatihan keterampilan untuk menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Diberikan modal usaha yang berkelanjutan setelah kursus-kursus keterampilan diterapkan.

ekonomi desa. Dan yang tidak kalah penting adalah pemerintah juga jangan mengesahkan Omnibus Law sebab akan mengekploitasi buruh.

Rima Melani Bilaut, Aktivis WALHI NTT 1. Peraturan perundang-undangan terkait PMI harus ditegakan.

Pemerintah harus berperan untuk mensosialisaikan terkait hak-hak PMI saat berada di luar negeri.

2. Pemerintah harus meningkatkan pengetahuan masyarakat desa karena mereka yang paling rentan dalam persoalan ini. Dana desa harus digunakan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan masyarakat. Pemuda di desa jugaa harus dikenalkan kepada social enterprise untuk membangun 57

Pengalaman berproses bersama ini, membawa kami pada refleksi, yang kami bagikan di sini: “Kami berjumpa dengan pengalaman yang tidak biasa. Narasumber begitu tegar menceritakan pengalaman kekerasan dan pahitnya hidup ketika bekerja sebagai pekerja migran. Harapan untuk menggenggam masa depan yang lebih baik terlihat begitu kuat dari wajahwajah mereka. Pengalaman adalah sejarah hidup masa lalu yang tidak bisa dilupakan.�

(Yohanes Ethelberth) Saya yakin Anda juga akan sangat marah seperti saya ketika pertama kali Anda mengetahui kisah dari penyintas (narasumber). Mendengarkan kisah mereka membutuhkan nyali yang kuat untuk terus mendengarkan bagaimana sadisnya manusia terhadap manusia.

Meskipun mengalami kesulitan yang luar biasa, penyintas selalu memiliki sumber kekuatan untuk bangkit dan terus hidup.

Sayangnya negara dalam ini seperti melakukan pembiaran sehingga sangat mungkin akan terjadi secara berulang.

(Dominikus Karangora) Memasang telinga bagi kisah pilu para narasumber adalah pengalaman yang jarang didapat sebab banyak orang hanya mau menceritakan kisah sukses mereka.

Tapi mendengar cerita narasumber memberikan gambaran bahwa tidak semua pekerja migran yang pulang dengan keadaan baik pasti melewati semua proses dengan baik. Kisah mereka adalah bukti bahwa proses keberangkatan sampai pemulangan mereka penuh resiko berbahaya. Namun, mereka memilih pergi untuk mendapatkan hidup yang lebih baik sesuai dengan janji manis sang pemberi kerja.

Keterbukaan mereka untuk menceritakan penderitaan dan kegagalan ini bukan untuk mendramatisir pengalaman mereka, melainkan untuk menjadi pelajaran agar tidak ada lagi kisah seperti mereka di masa depan.�

(Agustin Zacharias)