Advokasi Perencanaan & Penganggaran Pro-Poor: Kasus Kebumen dan Bantul

Page 2

Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

Kedua, di tengah keterbatasan anggaran, selama ini belanja anggaran daerah masih belum diprioritaskan untuk menjawab kebutuhan masyarakat (miskin) dan belum secara maksimal ditujukan untuk peningkatan kualitas dan daya cakup pelayanan publik ke semua lapisan masyarakat, terutama yang sebelumnya termarjinalkan. Cara pandang terhadap APBD bersifat residual. Yang terjadi, pemerintah daerah di banyak tempat justru mengutamakan belanja tidak langsung (birokrasi dan elit sebagai beneficiary) dan sisanya (residu) baru untuk pembangunan dan pelayanan bagi masyarakat. Banyak daerah belum memenuhi mengalokasikan secara cukup untuk sektor yang berhubungan dengan hak-hak dasar warganya seperti pendidikan, kesehatan, dan sektor lain yang terkait dengan jaminan kesejahteraan. Ketiga, kuatnya kecenderungan birokrasi untuk memaksimalkan alokasi anggaran untuk dirinya sendiri. Lay (2005: 27) merujuk Dunlvey (1991), menyebut istilah “bureu-shaping” yakni kecenderungan bahwa birokrat berupaya memaksimalkan alokasi anggaran untuk organisasinya sendiri. Para birokrat terlibat aktif dalam perebutan anggaran—yang memunculkan fenomena “egoisme sektoral”—tetapi alpa terhadap kebutuhan publik kebanyakan. Kecenderungan ini berdampak, antara lain, disintegrasi program internal pemerintah di mana satu dinas saling overlapping, atau jika pun berbeda tidak signifikan. Seorang birokrat di Kebumen pernah berujar, suatu dinas mendapatkan alokasi angaran bukan karena programnya sesuai kebutuhan, melainkan hanya karena dinas tersebut terlanjur dibentuk dan “birokratnya membutuhkan proyek”. Bahkan, guna menambah porsi alokasi untuk organisasi dan personilnya, birokrasi tak segan menggunting belanja tidak langsung (untuk pembangunan dan pelayanan publik) sebagai honorarium. Jika diringkas, berpartisipasi dalam penganggaran sedemikian penting dilakukan karena adanya pemandangan paradoksal di atas: di satu sisi ada kebutuhan mendesak penanggulangan kemiskinan dan anggaran terbatas, namun di sisi lain birokrasi menempatkan alokasi anggaran untuk publik secara residual dan cenderung memaksimalkan anggaran publik untuk dirinya sendiri. Resources dan needs tidak bertemu. Dorongan lain bagi partisipasi anggaran juga muncul dari konteks politik. Pertama, kebijakan desentralisasi. Sejak lama desentralisasi digadang-gadang baik oleh donor maupun teoretisi sebagai panacea bagi keburukan sentralisasi: (i) mendekatkan pelayanan publik lebih dekat ke masyarakat sebab birokrat di level lokal lebih mengenal budaya dan kebutuhan warga; (ii) memupus jarak politik sebab proses kebijakan menjadi sedemikian dekat sehingga mudah diakses dan dipengaruhi publik. Jika relasi warga negara dengan legislatif dan eksekutif (representative institutions) dalam sentralisasi dikritik terlalu jauh, maka desentralisasi menjanjikan sebaliknya. Kedua, konteks decentralized governance. Desentralisasi juga membawa konsekuensi berupa perubahan model tata kelola (governance) yang semakin memungkinkan institusi non negara berinetraksi dengan institusi negara (Pierre & Peters, 2000: 88). Pendekatan lama yang tertutup dengan hanya pemerintah sebagai aktor dominan, dinilai oleh aktor-aktor di luar negara (masyarakat sipil dan sektor swasta) menjadi biang malapraktik administrasi, kebijakan yang tidak aspiratif, serta sistem yang rentan dibajak oleh rent seekers atau aparat penjual rente. Titik beratnya pada bagaimana negara bisa secara luas menjalankan peran pengaturan dan fasilitasi terhadap aktor-aktor penting lain di masyarakat. Karena itu, filosofi dasar dari governance mencakup nilai kesetaraan, kooperasi, akomodasi, toleransi, serta pembentukan konsensus di antara sektor negara, privat dan masyarakat sipil (UNDP, 1997). Konteks desentralisasi maupun governance mengisyaratkan bahwa tata kelola pemerintahan bukan semata proses penggunaan otoritas negara terhadap rakyat tapi juga penggunaan hakhak rakyat di hadapan negara (Santoso, 2003). Corak relasi diidealkan tidak lagi melulu menggunakan instrumen kebijakan yang koersif, kendati negara masih menjadi pusat dari kekuasaan politik. Implikasinya, sharing power tidak hanya di antara level organisasi pada lembaga negara, melainkan juga memberikan akses voice terhadap societal actors di dlaam proses kebijakan (Rondinelli & Cheema, 2007: 10-18). Partisipasi, dengan demikian, semakin tegas sebagai bagian inheren dalam citizenships. Publik tak semata citizen state melainkan punya atribut citizenships—a concept that describes an individual and his or her relationship (rights and obligations) to the state. Adanya hak-hak politik warga negara ditujukan untuk

113


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.